Selasa, 30 Januari 2024

Belahan Jiwa dari Dunia Lain (Bab 4)

 


Dalam perjalanan, mereka banyak bertemu dengan rombongan wisatawan asing maupun domestik yang tengah melakukan pendakian menuju Puncak Carstensz. Matahari semakin meninggi. Medan terasa semakin berat. Keringat mulai bercucuran, diiringi hela napas tersengal. Mereka selalu berusaha menunjukkan senyum tetap semangat di mata Prof. Hamdani, tapi yang terbaca di mata profesor penggemar jagung bakar itu malah keinginan untuk beristirahat sejenak. Ia pun mengabulkannya setelah mencapai salah satu pos pendakian.

Setelah berjalan sekitar delapan jam dan melintasi Sungai Kemabu, mereka tiba di kawasan Desa Ugimba, desa terakhir dan terdekat dengan Puncak Carstensz. Di desa ini kebanyakan rumah penduduknya masih berbentuk honai yang terbuat dari kayu dan jerami tanpa paku yang menyerupai jamur raksasa. Letak rumah warga terpisah-pisah dengan jarak berjauhan.

Ratusan orang tinggal di Ugimba. 90% merupakan suku Moni, sisanya suku Dani. Keseharian mereka, perempuan berkebun untuk menanam kol, kedelai, dan bayam. Sementara lelaki masuk ke hutan untuk berburu. Di desa inilah terdapat hutan hujan tropis terbesar di Papua. Hutan yang masih jarang dimasuki oleh manusia, bahkan masyarakat Desa Ugimba sendiri. Konon, di dalam hutan itulah gua patung putri cantik itu berada.

Sore menjelang senja. Sebentar lagi kekuatan gelap akan turun menyelimuti bumi. Mereka masih bisa beristirahat di pos pendakian, sebelum besok mulai masuk menembus belantara dan hanya bisa mengandalkan peralatan yang mereka punya. Yang lain terlihat sangat pulas, sementara Prof. Hamdani masih terjaga. Ia terus memandangi peta lokasi gua yang terdapat di salah satu halaman buku kuno yang membahas segala macam hal yang berkaitan dengan cincin naga berkepala manusia itu. Entah apa yang akan mereka temui di dalam hutan sana. Prof. Hamdani bertekad akan memberikan totalitasnya di ekspedisi ini. Ia tidak ingin gagal.

***


Prof. Hamdani meminta anggota timnya membentuk lingkaran kecil. Mereka berdoa sebelum memasuki hutan. Untuk pertama kalinya mereka melakukan ritual ini. Seketika rasa tegang bercampur hawa dingin pagi hari Desa Ugimba mencekam. Mereka mulai bergerak ketika kabut masih menyelubungi beberapa sudut desa itu.

Memasuki kawasan hutan, Indah takjub. Hampir seluruh permukaan hutan ditumbuhi lumut. Hijau lumut dan hijau daun tergores indah di kanvas keagungan Sang Pencipta. Sejauh mata memandang, Indah dimanjakan nuansa hijau, warna yang memang ia gemari selama ini.

Mereka berjalan sangat hati-hati di permukaan tanah berlumut yang sangat licin. Mereka terkadang harus saling membantu untuk melewati akar-akar pohon besar dan kokoh, atau berjalan sambil jongkok demi menembus semak belukar yang berpadu dengan tumpukan ranting-ranting kering pohon yang telah tumbang.

Perjalanan mereka diwarnai insiden tergelincir beberapa kali. Yang terakhir Tio, ia kehilangan keseimbangan ketika berjalan di atas bangkai pohon yang ternyata mulai lapuk. Untungnya tidak ada luka serius, hanya goresan-goresan kecil yang sepertinya memang sudah wajib untuk ekspedisi semacam ini.

Sudah lumayan jauh mereka berjalan, ditemani suara-suara serta aroma hutan yang khas. Mereka menemukan sebidang tanah lapang yang sepertinya cocok untuk mendirikan tenda, tepat di saat raga mulai lunglai.

"Baiklah, kita akan mendirikan tenda di sini. Kita lanjutkan lagi setelah makan siang," terang Prof. Hamdani sambil menyeka peluh di keningnya.

"Prof, kenapa kita nggak istirahat di gubuk itu aja?" Indah menunjuk sesuatu.

Mereka menoleh ke tempat yang dimaksudkan Indah. Lalu bersitatap. Heran. Gubuk apa sebenarnya yang dimaksud Indah? Prof. Hamdani kembali menatap Indah yang masih mengacungkan jari telunjuknya.

"Indah, kamu baik-baik saja?"

Indah malah tersenyum. Suasana mendadak tegang. Mereka merapat.

"Lihat, Prof, mereka melambai."

"Mereka siapa?" tanya Kevin sambil memegang kedua pundak Indah.

"Masa lo nggak lihat? Orang-orang di gubuk itu." Alih-alih menjelaskan lebih lanjut, Indah malah beranjak ke sana setelah menepis kedua tangan Kevin di pundaknya. Ia berjalan pelan dengan telunjuk tetap mengacung.

"Indah, jangan!" Kevin berusaha mencegah.

"Biarkan! Kita harus tahu apa sebenarnya yang ia lihat." Prof. Hamdani meraih tangan Kevin.

Semua mata tertuju pada Indah, tak berkedip sedikit pun. Kevin sudah ancang-ancang kalau sampai terjadi hal buruk.

Beberapa saat kemudian, Indah kembali dengan sesuatu di tangan kirinya.

"Lo ngapain di sana?" sambut Raya.

"Pinjam tikar."

"Tikar?" Raya berbalik menatap yang lain. Mereka pun sama herannya.

Raya mengguncang pelan pundak Indah.

"Perhatikan baik-baik apa yang lo pegang!" pinta Raya kemudian.

Indah memandang benda di tangannya. Matanya seketika melotot. Tangannya gemetar dan langsung melemparkan benda itu. Indah menoleh ke arah gubuk tadi. Ia menggeleng cepat berkali-kali. Wajahnya mendadak pucat. Sama sekali tidak ada gubuk di sana, hanya semak belukar.

"Kok? Mana gubuk tadi? Mana tikarnya?" Indah terlihat kacau. Ribuan pertanyaan berkejar-kejaran di kepalanya.

Raya meraih kedua tangan Indah. Yang lain merapat.

"Lo harus tenang. Dari tadi di sana emang nggak ada apa-apa. Terlebih tikar. Hanya ranting kering itu yang lo bawa dari sana.

"Nggak. Lo bohong!" timpal Indah.

Indah beralih menghampiri Prof. Hamdani.

"Prof, mereka bohong, kan?" Kepanikan membuncah di wajah Indah.

"Indah, tenangkan dirimu!"

Sejenak hening.

Tiba-tiba Indah tampak ketakutan. "JANGAN!!!" jeritnya kemudian. Ia melangkah mundur sambil mengentak-entakkan tangan, seolah berusaha mencegah atau mengusir sesuatu.

Indah melihat bocah laki-laki dengan wajah berlumuran darah. Tangan kirinya buntung, sementara tangan kanannya mengacungkan belati berkarat berujung runcing. Anak itu terus menghampiri Indah.

"Jangan! Jangan bunuh aku! Jangan mendekat!" Indah panik, tangisnya meraung.

Kevin mendekap Indah dari belakang.

"Tenang, Ndah!"

"Dia mau bunuh gue." Indah makin histeris.

"Sadar, Ndah, di sini nggak ada siapa-siapa selain kita."

"Tolong gue, Vin! Dia semakin dekat." Sekujur tubuh Indah bergetar, keringatnya bercucuran.

Kevin menyapu pandang sekeliling. Siapa sebenarnya yang dilihat Indah? Mereka merapat ke arah Prof. Hamdani. Tingkah Indah membuat mereka takut.

"TIDAK!!!" jerit Indah sekencang-kencangnya, sebelum terkulai dalam dekapan Kevin. Ia pingsan.

***


Prof. Hamdani menjaga Indah yang belum siuman, yang lain cepat-cepat mendirikan tenda. Indah sadar setelah teman-temannya selesai menyiapkan tenda. Kepalanya terasa berat. Indah dibiarkan istirahat, sementara yang lain sibuk mengumpulkan ranting kering untuk menyalakan api unggun nanti malam.

Malam pertama di dalam hutan. Jauh dari keramaian, dekat dengan alam. Sungguh sangat mengesankan bagi jiwa-jiwa arkeolog. Suasana makan malam sederhana namun dibalut hangat kebersamaan dalam sebuah misi yang kuat, baru saja berlangsung. Sekarang mereka bercengkerama di depan api unggun.

"Lo udah baikan?" tanya Kevin yang duduk bersisian dengan Indah.

Indah mengangguk seraya tersenyum lemah. Indah beralih menatap Prof. Hamdani. "Prof yakin, keanehan tadi siang hanya halusinasi?"

"Menurut saya begitu."

"Tapi semuanya begitu jelas," tegas Indah.

"Kita tidak pernah tahu apa sebenarnya yang ada di dalam hutan ini. Mulai sekarang, kita harus lebih berhati-hati. Semoga kejadian serupa tidak terulang lagi."

Mereka manggut-manggut.

"Tadi lo bikin kita takut," celetuk Tio, setelah suasana sempat menegang sesaat.

"Terutama dia, tuh, Ndah," timpal Dian.

"Enak aja. Lo, tuh, yang nyaris pingsan duluan," balas Tio.

"Eh, jangan-jangan penunggu hutan ini nggak suka sama lo, Ndah," lanjut Tio dengan mimik yang didramatisir.

"Hus! Jangan ngomong sembarangan!" Eva menimpali.

"Masa, sih, setan nggak suka sama cewek secantik Indah?" bantah Kevin dengan nada pembelaan. Ia melirik Indah sekilas. "Atau jangan-jangan, setannya nggak suka sama rambut lo," imbuh Kevin setengah terkekeh.

Serentak semua tertawa. Tio tidak bisa berkutik, hanya meraba rambut kribonya yang kian hari kian lebat.

"Sudah, cukup bercandanya!" Suara Prof. Hamdani menyela tawa mereka. "Setelah ini kalian harus istirahat. Besok kita akan mulai melakukan penyisiran di sekitar tempat ini. Sesuai petunjuk di peta, gua itu tidak jauh dari sini."

Rasa tidak sabaran merekah di wajah mereka.

***


[Bersambung]


Klik link di bawah untuk baca lanjutannya;

KBM

KARYAKARSA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar