Rabu, 24 Januari 2024

Benih Terlarang (Bab 9)

 


Aku lebih merasa dipermainkan daripada dikhianati.


---


Usia kandunganku memasuki bulan ketiga. Masih belum ada titik terang perihal keberadaan Ruwanta. Aku mulai panik, gelisah, dan sedikit takut. Bagaimana jika Ruwanta benar-benar tak menampakkan diri hingga kandungan ini tak dapat lagi kusembunyikan? Sekarang saja, aku mulai ekstra hati-hati memilih pakaian jika hendak keluar rumah. Terutama ke kampus. Jangan sampai mereka menyadari bentuk perutku yang mulai tidak rata. Meski pipi yang bertambah tembam tak bisa kusembunyikan—efek susu formula yang rutin kuminum sesuai anjuran yang tertera pada kemasan.

"Kamu lagi proses penggemukan, ya?" tukas Nila suatu hari. "Ngapain? Bentuk tubuh kamu sebelumnya sudah bagus," imbuhnya.

"Ah, enggak, kok!" elakku sambil merapikan ujung sweterku.

Akhir-akhir ini aku memang lebih nyaman mengenakan sweter ke mana-mana. Dengan begini, lekuk tubuh di bagian perut bisa tersamarkan. Nila pernah protes dengan penampilan baruku. Aku hanya menganggapinya dengan senyum iseng. Entahlah, hingga detik ini aku belum siap menceritakan masalah ini padanya.

***


Kau pernah tidak percaya terhadap sesuatu yang nyata-nyata terpatri di depan mata, berharap semua itu hanya mimpi dan kau akan segera terbangun? Aku pernah membaca hal semacam ini di sebuah novel, juga menemukannya di beberapa film. Dan sekarang, aku mengalaminya.

Aku sedang berada di ruang tengah bersama Bibi, menikmati program talk show di salah satu stasiun tivi swasta. Bibi tampak serius. Ia memang suka dengan acara ini. Demi menyaksikan acara yang dipandu oleh host botak bersetelan hitam itu, ia akan menunda semua pekerjaannya, atau buru-buru menyelesaikannya di awal. Aku tidak pernah mempermasalahkannya. Selama ini Bibi sudah bekerja sangat baik.

Tiba-tiba seseorang di luar sana memencet bel, minta segera dibukakan pintu. Aku beranjak, membiarkan Bibi bersama acara favoritnya.

Maka di sinilah aku, seperti yang kubilang di awal. Mama berdiri di depan pintu bersama seorang lelaki. Ia bergelayut manja di lengan lelaki itu. Teman atau pacar baru? Ia berusaha memberikan senyum terbaik. Pergi tanpa kabar dan tak pulang selama berhari-hari seolah bukan kesalahan. Hal itu terbukti dengan tidak adanya pancaran rasa bersalah di matanya.

Kemudian Mama memperkenalkan lelaki tadi sebagai pacar barunya. Aku tersentak. Selama sekian detik aku kesulitan menarik napas. Bukan lantaran Mama berganti pasangan lagi, bukan pula karena lelaki yang dipilihnya kini tampak sebaya denganku. Lebih dari itu, lelaki yang kini sedang mengulurkan tangan dan baru saja menyebutkan namanya adalah Ruwanta, orang yang kucari selama ini demi pengakuan untuk bakal malaikat kecil di rahimku.

Lantas, kenapa jadi seperti ini? Aku beku, memelototi Ruwanta yang tampak sangat santai dengan senyum palsunya. Bahkan saat aku menyambut tangan kekarnya, aku masih berharap, ini hanya mimpi buruk yang akan segera berakhir.

Maka tak ada pilihan selain mengikuti alur permainan Ruwanta—pura-pura tidak saling kenal di depan Mama. Di adegan perkenalan itu—saat menyebutkan nama—aku mendadak merasa sangat konyol. Bodoh! Tolol!

Drama ini berlanjut di ruang tamu. Tengah duduk pun, Mama tak hentinya bergelayut di lengan Ruwanta. Sesekali ia akan menyandarkan kepalanya dengan manja di bahu yang seharusnya lebih pantas menopang masalah yang tengah menerpaku. Sedang Ruwanta, ia tampak nyaman dengan kepura-puraannya, ahli dalam perannya. Aku sempat mengira ia sedang amnesia. Ada sesuatu yang terbakar di dalam dada. Bila tak kucegah, seketika akan menghanguskan sepasang bola mataku juga.

Dengan nada riang, Mama bercerita tentang Ruwanta, mengenalkannya lebih jauh. Sebagian besar cerita Mama sudah kudengar langsung dari Ruwanta. Semua sifat-sifat Ruwanta yang dijelaskan Mama, aku lebih tahu. Sudah sejauh itukah Mama mengenal Ruwanta? Sudah berapa lama mereka berhubungan?

"Iya, kan, Sayang?"

Ruwanta hanya akan mengangguk seraya tersenyum setiap kali Mama meminta penegasan. Senyumnya kali ini dibaluri kepalsuan. Menyeramkan! Aku muak!

"Ruwanta juga kuliah di Advent, loh! Masa kalian nggak pernah ketemu, sih?" Dengan gamblang Mama melontarkan pertanyaan barusan. Tidakkah ia risi tengah memacari lelaki yang lebih pantas jadi anaknya? Kematian serta perselingkuhan Papa benar-benar membuatnya gila. Tapi kali ini kurasa Ruwanta jauh lebih gila.

"Kampus kami luas, Ma. Mahasiswanya bukan cuma satu dua orang," kilahku seraya menahan perih di tenggorokan. Aku benar-benar tersiksa dengan situasi ini.

Lebih dari sekadar ketemu, Ma. Kami akan punya anak.

Saat di meja makan pun, Mama masih berceloteh tentang Ruwanta. Kali ini Mama bercerita seputar pertemuannya dengan Ruwanta. Perkenalan singkat yang berujung hubungan serius. Aku tidak begitu menyimak, tidak penting. Pikiranku mendadak dipenuhi gosip tentang Ruwanta yang merebak di kampus akhir-akhir ini.

"Eh, kamu tahu kenapa Ruwanta nggak pernah kelihatan batang hidungnya?" tanya Nila pada suatu siang, saat tengah menikmati semangkuk bakso di kantin langganan kami.

Aku mengernyit.

"Dia jadi gandengan tante-tante. Kabarnya, mereka tengah liburan ke luar kota." Bukan Nila namanya jika ekspresinya tidak berlebihan saat bicara.

Seketika mataku membola, tapi tak lantas percaya begitu saja.

"Serius? Kamu tahu dari mana?" Aku meletakkan sendok dan garpu, mendadak tidak berselera.

"Astaga! Kamunya aja yang belum tahu. Padahal seantero kampus tengah membicarakannya."

"Masa, sih?" Aku masih memasang tampang tak percaya.

"Sadisnya lagi, ia melakukan itu semata-mata demi uang. Kabarnya, tante-tante gandengannya sangat tajir.

Aku terdiam. Entah bagaimana harus merespons omongan Nila. Jujur, aku sama sekali tidak percaya. Aku mengenal Ruwanta lebih dari siapa pun. Aku tahu latar belakang keluarganya. Ia memang kerap bercerita perihal kesulitan ekonomi yang melanda mereka. Tapi aku yakin, Ruwanta bukan tipe orang yang akan mengambil jalan pintas untuk menyelesaikan permasalahan apa pun. Terlebih dengan menggadaikan harga diri.

Setelah Nila menyampaikan gosip itu, aku makin sering mendengarnya dari teman-teman yang lain. Demi menemukan kejelasan, aku menemui Tio. Di luar dugaan, lelaki berambut kribo itu pun membenarkan kabar itu. Lucunya, aku masih saja belum percaya. Bahkan hingga malam ini, ketika semuanya terpampang nyata di depan mata, aku masih berusaha untuk tidak percaya. Kalau memang benar, kenapa harus Mama? Takdir terlalu kejam!

"Senja, bukannya makan, kok, malah ngelamun?" Teguran mama menghentikan gerakan tanganku yang sedari tadi mengaduk makanan tidak jelas.

Sesaat Ruwanta berhenti menguyah makanannya. Memerhatikanku. Kemudian tersenyum aneh. Masih senyum palsu yang sedari tadi memperburuk keadaan.

"Sebenarnya ... aku masih kenyang, Ma, dan sedikit capek. Maaf, aku istirahat duluan." Aku beranjak, tak bisa bertahan lebih lama dalam sandiwara ini. Sekilas aku masih sempat melirik Ruwanta. Entah ilmu apa yang ia gunakan hingga bisa setenang itu. Apa jadinya jika aku tiba-tiba membeberkan sejauh mana hubungan kami di depan Mama?

Setibanya di kamar, kabut yang sedari tadi menggantung di pelupuk mataku pun luruh. Tumpah sejadi-jadinya. Aku benar-benar merasa sendiri dalam masalah ini. Siapa yang harus kuajak berbagi? Siapa yang harus kusalahkan? Aku dan Ruwanta hanya pernah terjebak dalam kesalahan atas dasar suka sama suka. Selebihnya, ia hanya pemilik pesona, sedang aku tawanannya. Ikatan, janji, atau apa pun yang merujuk ke suatu hubungan serius tidak pernah ada. Maksudku, Ruwanta tidak pernah memulainya. Aku lebih merasa dipermainkan daripada dikhianati.

Sebenarnya tidak terlalu aneh jika Ruwanta tergoda oleh Mama. Meskipun umurnya sudah berkepala empat, Mama sangat menjaga penampilan. Ia rutin melakukan berbagai rangkaian perawatan kecantikan. Sebelum Papa membuatnya gila, kami sering dikira kakak-adik jika jalan berdua. Hanya saja ... perihal Ruwanta serius atau tidak, itu yang sedari tadi bercokol di benakku. Aku masih tidak habis pikir.

Suara Nila kembali terngiang di sela isak tangisku ....

"Ia melakukan itu semata-mata demi uang."

***


[Bersambung]


Klik link di bawah untuk baca lanjutannya;

KBM

KARYAKARSA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar