Minggu, 26 Februari 2017

Review : Sebuah Catatan untuk DCTN, oleh Uda Agus




Di kata pengantarnya, Ansar Siri mengatakan kalau novel ini adalah hasil karyanya waktu SMA. Sebuah jempol patut diacungkan di sini. Seorang siswa SMA yang melahirkan novel ini? Aku kagum. Kagum karena aku waktu SMA sama sekali belum punya karya.

Mungkin itu hanya sedikit prolog biar sang penulis senang dapat pujian hehehe... Jujur, setiap ada teman (kebanyakan yang usianya jauh lebih muda dariku/pelajar) yang minta diulas karyanya, aku biasanya lebih banyak memberikan pujian dibanding kritik/celaan. Misalnya: 'wah, untuk ukuran pemula, kamu sudah hebat lho?', sedang untuk kritikan biasanya aku  mengatakan 'tulisanmu sudah bagus kok, kamu hanya perlu sering-sering banyak membaca dan menulis.'

Ya, banyak orang terutama pemula yang kadang langsung jatuh ketika karyanya dikritik, tidak ingin menulis lagi karena langsung down saat mendapat kritikan pedas (meski banyak juga yang kemudian merasa tertantang untuk membuat karya yang lebih baik). Memikirkan kemungkinan pertama, makanya aku selalu lebih memberikan porsi pujian lebih tinggi daripada kritikan.

Tapi khusus untuk DCTN, aku tidak akan seperti itu. Atas permintaan sang penulis langsung yang ingin novel DCTN dikuliti olehku, maka tak satu baris pun kalimat dalam novel itu yang kulewatkan untuk dibaca. Aku yakin, sepedas apa pun nanti hasil ulasanku, tak akan membuat penulis down. Aku yakin, sepedas apa pun nanti kritikanku, akan membuat penulis semakin tertantang untuk menulis lebih baik lagi di masa datang. Aku yakin, setelah ini ia tak akan membenciku. Mengapa aku yakin? Karena aku 'mengenal' penulisnya, meski hanya lewat dunia maya.

Baiklah, itu hanya pengantar. Kita langsung ke acara pembedahan. Ansar, tarik napas dulu ya, Dek :)

·       Hal pertama yang ingin kuulas adalah mengenai tata bahasa, Ejaan yang Disempurnakan (EYD), pemakaian tanda baca, dan lain-lain yang berkenaan dengan itu. Sangat banyak sekali kesalahan hal-hal tersebut dalam buku ini. Jika hanya satu atau dua, itu bisa dimaafkan, tapi ini terjadi hampir dalam setiap lembaran novel DCTN. Jika buku ini tanpa sentuhan editor, aku maklum hal itu, mengingat naskah ini ditulis waktu masih SMA. Dan kalaupun sebelum mengirim tulisan ini ke penerbit Ansar melakukan baca ulang, revisi dan editan kecil-kecilan semampunya, toh nyatanya kesalahan-kesalahan itu masih terlihat.
Yang mana sih kesalahan yang kumaksud? Aku ambil saja beberapa contoh ya? Karena kalau kuberitahukan semua, aku yakin catatanku ini justru lebih panjang dari novelnya sendiri hihihi.

Banyak kesalahan dalam pemakaian huruf besar, seperti pada kata ayah dan ibu. huruf pertama dari kata ayah dan ibu adalah kapital jika itu berbentuk kata sapaan yang terdapat dalam kalimat. Tapi jika kata ayah dan ibu terdapat dalam paragraf yang bukan dialog, maka kita menuliskannya dengan huruf kecil. Hal ini berlaku buat kata paman, adik, bibi, Tante, dll.
Contoh:    "Mau kemana Ibu hari ini?"
                             Aku mengejar ibu itu sampai ke simpang jalan.
                             "Mia, ibu kamu tidak ada di rumah, ya?"
                             "Aku akan pergi." Kata Andi (salah)
                             "Aku akan pergi." kata Andi (benar)
                
Itu sedikit ulasan tentang tata bahasa, ya? Bisa dicek di dalam novel, banyak kesalahan-kesalahan tersebut terdapat.  Hal ini memang sepenuhnya tugas editor. Dan sebagai seorang penulis, sudah sebaiknya juga kita menjadi editor pertama atas karya kita.

·       Sekarang kita lanjut lebih dalam. Novel ini menurutku kebanyakan dialog. Porsi dialog dalam novel ini mungkin lebih dari 80% bahkan mendekati 90%. Tidak menyalahi memang, tapi karena aku yang disuruh menilai, aku kurang menyukai dialog yang terlalu banyak. Hal-hal yang tidak penting dibuat dalam bentuk dialog ada baiknya dipaparkan dalam bentuk narasi atau deskripsi saja. misalnya begini:

Dalam bentuk dialog:
"Kamu mau ke mana?" tanyaku
"Ke pasar." jawab Iwan tanpa menoleh
"Dengan siapa?" aku bertanya lagi
"Emang kenapa, mau ikut?" Iwan menatap ke arahku sambil tersenyum.
"Iya." kataku sambil membalas senyumannya

Dalam bentuk narasi:
"Kamu mau ke mana?" tanyaku.
Tanpa menoleh Iwan mengatakan kalau ia mau ke pasar. Lalu kutanyakan dengan siapa ia akan pergi. Iwan menatap ke arahku. Sambil tersenyum kemudian ia berkata kalau ia akan pergi sendiri. "Mau ikut?" lanjutnya.
Aku membalas senyumannya dan langsung menganggukkan kepala.

Tidak ada yang salah dengan dialog pada contoh pertama, tapi aku lebih menyukai versi yang kedua. Di dalam novel DCTN, dialog-dialog seperti halnya contoh di atas sangat banyak terdapat, hampir pada setiap halaman novel.

·       Alur cerita novel DCTN mengalir dengan lancar dari Bab A sampai Bab Z. Begitu runut. Rapi. Tidak terlihat klimaks atau kejutan-kejutan yang berarti. Ada memang klimaks yang terdapat dalam novel ini, tapi tidak begitu runcing.

Menurutku, novel yang bagus itu tidak harus selalu runut dari Bab A sampai Bab Z. Tak ada salahnya memulai dari tengah, nanti flash back ke awal. Atau tunjukkan langsung permasalahannya di awal cerita, dan pelan-pelan diurai dari awal mengapa permasalahan itu terjadi dan kemudian baru diakhiri.

Tidak ada yang salah dengan novel DCTN yang mengalir lancar dari A hingga Z. Tapi seperti yang dikatakan tadi, alur ceritanya menurutku terlalu datar, kejutan-kejutan dan klimaks yang terdapat di dalam tidak begitu 'wah'. Apalagi tema yang diangkat bukanlah tema yang unik, tapi tema yang sudah umum dan banyak terdapat dalam novel-novel lain atau sering kita tonton dalam drama-drama dan film di televisi.

Mengangkat tema yang sudah umum ke dalam sebuah cerita tidak salah, hanya saja kita harus bisa membawakannya dengan cara yang tidak umum alias unik. Sebab jika diceritakan dengan cara biasa, akan terasa monoton dan membosankan.

Untuk novel DCTN sendiri, akan lebih baik menurutku jika Bab 10 dijadikan bab pertama. Bermula dari kisah cinta Fahran dan Aida. Lalu dilanjutkan dengan pertemuan Mia dengan Ustadz Ansara. Lalu dari sana cerita mundur ke belakang, saat pertama kali Mia dan Ustadz Ansara (Dirga) bertemu di TPU. Begitu selanjutnya hingga mereka berpisah, Mia berkenalan dengan Evan dan menikah. Lalu baru balik lagi ke suasana pesantren di mana Ustadz Ansara kemudian memberikan penjelasan atas apa yang selama ini terjadi.

·       Hal yang menurutku paling mengganjal adalah tidak dijumpainya tokoh antagonis dalam novel ini. Sebagaimana kita tahu, tokoh baik (protagonis) akan selalau berhadapan dengan tokoh jahat (antagonis). Jalinan kisah merekalah yang nanti naik turun akan memberikan kejutan atau klimaks kepada pembaca.

Dan di dalam novel DCTN, tidak ada tokoh antagonis ini. Semua tokohnya adalah orang baik. Bukankah ada Datuk Maringgih dalam novel Siti Nurbaya sebagai tokoh antagonisnya? Ada Voldemort dalam novel Harry Potter sebagai penjahatnya. Atau kita bisa baca tokoh ibu tiri dalam cerita Cinderella sebagai tokoh antagonis. Bahkan dalam film, kita pasti menemukan kenyataan bahwa pemainnya ada yang berkarakter baik dan ada yang berperan jahat.

·       Namun dari semua kekurangan itu. Setelah membaca dari bab awal hingga akhir, aku sangat suka dengan ending cerita ini. Penulis mengakhiri cerita ini dengan sangat indah. Mungkin ending inilah yang membuatku bisa memaafkan segala kekurangan yang ada di awal-awal. Bagaimanapun juga aku harus jujur, ketidakpuasanku terbayar lunas saat membaca bab terakhir dan membaca bagaimana penulis dengan begitu indah mengkahiri kisah ini. Untuk ini aku patut acungkan jempol.

Mungkin itu sedikit ulasan dariku. Untuk novel-novel selanjutnya, semoga Ansar tidak mengabaikan apa-apa yang kuceritakan di atas. Tentang tata bahasa, tentang alur yang maju dan mundur (kalaupun datar harus diceritakan dengan unik), tentang porsi dialog yang harus dikurangi, dan tentang penambahan tokoh antagonis.

Udah, segitu aja. Maaf atas segala kelancangan. Bagaimanapun juga memberikan kritik itu sangat gampang. Menilai kekurangan orang lain atau karya orang lain itu sangat mudah. Ketika kita sendiri yang mempraktekkannya, belum tentu bisa.

     salam

     Uda Agus


NB.
Dek, udah puas, kan dengan ulasannya? Tapi aku hanya bisa memberikan kritik. Karyaku sendiri juga tidak sempurna, nanti bisa dibuktikan saat bukuku sudah dibaca. Ditunggu karya selanjutnya. Tetap menulis ya? Tetap semangat. Menulislah saat memang ingin menulis. Jangan menulis saat mood tidak baik. Jika ada kendala, kita sama-sama saling diskusi. Kita sama-sama belajar. Sama-sama mengisi. Suatu saat mungkin bisa berkolaborasi. Amin.

Rabu, 08 Februari 2017

Review Novel: Rumah Mande





Judul                        : Rumah Mande

Penulis                      : Irhayati Harun dan Uda Agus

Penerbit                    : Elex Media Komputindo

Tebal                        : 162 hlm

ISBN                        : 978-602-02-2376-6

BLURB
Mande, binar cintaku ini tetap milikmu. Meski binar bahagia di matamu yang keriput redup ditelan usia. Tak lagi memiliki arti seperti dulu.

Mande, kurindu sinar kecemasan di matamu. Saat mendapati diriku bermuram durja. Biarlah kini kecemasan itu menjadi milikku. Yang kian hari dipenuhi rasa putus asa.

Mande, tak akan mungkin kulupa. Kedua pelupuk matamu yang menganak sungai oleh air mata. Di saat bermunajat di sepertiga malam demi keberhasilan ananda, tapi kini kedua pelupuk mata tuamu selalu basah oleh air mata derita.

Oh Mande, waktu telah menjawab segala. Betapa cintamu selalu mengalir untukku. Bagaikan ricik air cinta yang tak pernah kering di hatimu.

            Sebuah novel yang terinspirasi dari kisah nyata. Cerita ini dimulai dari rumah Mande (ibu) yang hancur total akibat gempa Padang pada tahun 2009, karena alasan itu Mande harus mengungsi ke rumah putrinya (Upik) di Jakarta. Di Jakarta, Mande bercerita kepada Upik tentang kisah hidupnya dan juga tentang banyaknya kenangan yang terjadi di rumahnya yang hancur tersebut. Sebenarnya anak-anaknya ingin Mande-nya tinggal di Jakarta saja, selain sudah tua dan sakit-sakitan, juga karena kedua anaknya yang sudah dewasa menetap di Jakarta, tapi Mande bersikeras untuk tetap bisa tinggal di kampung halamannya, dan berharap rumahnya yang di kampung dalam Pariaman itu dibangun lagi.
            Secara garis besar, berturut-turut kenangan Mande yang diceritakannya kepada Upik adalah:
1.      Tentang ibunda Mande (neneknya Upik) yang harus menerima nasib dimadu karena suaminya menikah lagi. Pada bagian ini saya melihat ketegaran hati seorang perempuan yang rela memendam rasa sakit demi mempertahankan keutuhan keluarga.

“Mande tidak akan pernah minta cerai pada abakmu. Ibarat rendang, sebuah keluarga harus lengkap. Tak boleh ada yang kurang. Haruskah keluarga kita kehilangan abak untuk dikuasai oleh keluarga barunya? Sungguh! Mande tak akan rela kalau itu sampai terjadi.” (hal 29)

2.      Tentang Mande yang dijodohkan oleh ibunya seperti kisah Siti Nurbaya, dengan duda beranak lima pada usianya yang belum genap 20 tahun. Pada bagian ini ritme cerita mulai meningkat. Ketika terjadi penolakan dan usaha melarikan diri. Meski pada akhirnya perjodohan itu tetap terjadi. Uniknya, terjadinya perjodohan ini sangat berbeda dengan kisah-kisah yang sudah ada. Ada unsur lain yang membuatnya memang harus terjadi. Bahkan, di sini dipaparkan bahwa cinta yang bisa tumbuh setelah pernikahan memang benar adanya. Seperti apa? Silakan hunting bukunya dan baca sendiri.

Kupandangi wajah suamiku yang mulai keriput. Sisa-sisa ketampanannya masih terlihat meski usianya sudah beranjak senja. Rasanya tak percaya kalau aku akan menjadi istri keempat sekaligus terakhir baginya. Sedikit pun aku tak menyesal menikah dengannya. Karena selama menjadi istrinya, aku sudah puas mengecap bahagianya hidup berumah tangga. (hal 122-123)

3.      Tentang anak kesayangannya, Bintang, yang memiliki prestasi cemerlang walaupun dengan segala keterbatasan mereka. Pada bagian ini saya mendapatkan aliran energi positif yang sangat kuat dari sosok Bintang. Semangatnya, ketekunannya, patut dicontoh dan diaplikasikan ke semua aspek kehidupan.

Aku begitu bahagia hingga tanpa sadar bersujud syukur di lantai. Serasa mimpi mendengar Bintang akan sekolah di luar negeri. Tak sia-sia usaha keras bintang selama ini. Akhirnya dia berhasil mencapai cita-citanya untuk bisa sekolah ke luar negeri bebas biaya. (hal 125)

            Dari ketiga poin di atas, untuk sebuah drama keluarga buku ini sangat komplit. Sarat akan makna perjuangan dan bagaimana memenangkan diri dari ego. Konflik yang diangkat sebenarnya cukup umum, tapi sentuhan bumbu dari kedua penulis membuatnya terasa beda dan menarik untuk dijajaki hingga akhir.
            Membaca novel ini saya merasa dinasehati langsung oleh ibu. Sosok Mande beserta petuah-petuahnya terasa nyata. Berikut kalimat Mande yang paling saya suka, pas banget buat kita-kita yang berkecimpung di dunia literasi;

“Teruslah berjuang mengukir dunia dengan tulisanmu yang penuh manfaat bagi semua orang. Sebab menulis adalah sebuah perjuangan yang akan kau kecap imbalannya di akhirat kelak. Jadi jangan putus asa dulu. Allah pasti akan memberikan kemudahan bila niatmu benar.” (hal 79)

            Saya selalu suka dengan novel yang mengandung unsur kedaerahan. Novel ini salah satunya. Adanya unsur tersebut membuat saya merasa berkunjung ke daerah Padang yang menjadi latar cerita ini. Meski hanya dijembatangi oleh tulisan, saya jadi paham beberapa jenis sapaan yang biasa digunakan orang Padang sehari-hari—yang sebelumnya sama sekali belum saya tahu.
            Novel ini menggunakan dua sudut pandang. Di awal, kita akan disuguhkan dengan kisah Upik yang sebenarnya hanya pengemas dari kisah Mande yang merupakan inti cerita. Ketika kita berhadapan dengan kisah Mande, di sanalah sudut pandang berubah. Unik. Tapi jujur, di awal-awal saya sempat bingung karena banyaknya tokoh Mande yang muncul hampir bersamaan. Saya terkadang sulit membedakan. Tapi makin ke tengah, setelah merasa ikut terlibat dalam cerita, kebingungan tadi sirna.
            Sepertinya, apa pun itu tidak luput dari yang namanya kekurangan, pun dengan buku ini. Mata jeliku menemukan typo di halaman 68. Tapi sumpah, kesalahan kecil itu tidak mengurangi kenikmatan cerita.
            Cerita ini berakhir indah, meski ada bagian tertentu yang membekaskan pilu. Aku suka bagian epilog yang menghadirkan kisah cinta Upik yang dikemas sederhana, menggelitik, dan sangat manis. Ada cinta yang berbalas serta impian yang terwujud.
            Terakhir, saya menangis membaca bab-bab akhir novel ini. Kenapa? Silakan cari tahu sendiri.

Puisi: Sajak-Sajak Pelangi




Andai Ini Sujud Terakhirku

Tema    : Religi
Karya   : Ansar Siri

Aku belingsatan di tengah gemilap
Merangkum setiap kilauan hiasan dunia
Tubuh makmur, berlumuran harta benda
Tapi tidak hati!

Sesering apapun air suci menyesapi lekuk tubuhku
Tak mampu mengikis gumpalan debu di sekeping rasa
Memadat, hingga menyesaki pelataran sukma
Aku teramat kotor!

Seruan sembah menggetarkan bilik hati
Di sepertiga malam—ketika sejuk merayu raga
Aku terjaga ….
Menerawang sayu di beranda kelam yang berkarat

Andai ini sujud terakhirku
Izinkan kucicipi wewangian ampunan-Mu!
Sebelum kening ini kuangkat
Indahkanlah air mataku menganak sungai di sajadah usang
Hingga gundukan dosa nan telak
Melebur … seiring terbitnya sang fajar

Makassar, 02 Juni 2016

-----------------------------------------------------------------



Biarkan Tangan Tuhan Menari

Tema    : Sosial
Karya   : Ansar Siri

Dedoa menyembur, berpacu debu jalanan
Sejumput angan mengakari sengat mentari
Asa berantai, bertunas di setiap kepingan uang logam
Merembes dari tangan-tangan berpayung iba

Gadis cilik berkulit legam itu … ringkih!
Berdamai di bawah bayangan selembar koran lusuh
Hadirnya nyaris tak terdeteksi
Tangan menengadah, serupa bayangan tanpa nyawa
Suara lirih, senada hiruk-pikuk—memuakkan!

Sekeping uang logam di telapak tangannya nan dekil
Punyai kemuliaan ….
Daripada amplop hitam bersegel dusta
Yang beringsut di balik kaca mobil—licin mengkilap
Atau wajah-wajah pahlawan yang terpasah
Di liang kantong seragam berpangkat wibawa

Di balik kawanan asap knalpot yang membaluri biji mata
Ia menerawang seberkas cahaya berwarna mimpi
Telah ia awali langkah kecil di undakan perjuangan bertuan takdir
Tak ada gentar, tepis ragu!
Biarkan tangan Tuhan menari!
Sang Sutradara drama jalanan

Makassar, 04 Juni 2016

-------------------------------------------------------------------


Lampion Nelayan

Tema    : Perjuangan
Karya   : Ansar Siri

Seutas malam di masa kecilku
Mengakar di benak hingga lena di keabadian
Di punggung perahu tua nan lapuk
Dengan layar membentang semegah mimpi
Ayah berkisah tentang hidup, perjuangan, dan pengorbanan
Menapaki titian waktu
Sembari menanti peri laut hinggap di jala kami

Ombak mengusik pelan ketentraman yang berlaga
Membuat lampion di ujung perahu menari
Cahaya ke-emasannya menyepuh wajah ayah
Menampilkan pintalan senyum yang senantiasa hangat
Walau kini kerutan usia mengitarinya

Lampion itu terus bergoyang
Seolah hendak mementaskan kelana
Bakti setia menemani tuannya mengarungi lautan
Di tubuhnya, kulihat terjal perjuangan ayah
Di cahayanya, semburat cinta mengalun untukku, dan ibu!
Sebab lampion itu … rembulan ayah di atas perahu

Makassar, 01 Juni 2016

-----------------------------------------------------------------------

*Puisi-puisi ini sudah diterbitkan dalam buku antologi bersama dengan judul "Sajak-Sajak Pelangi" (Aqlam Media; Oktober 2016)