Minggu, 29 Oktober 2017

Review Novel: By Your Side


Judul            : By Your Side

Penulis        : Bulan Nosarios

Penerbit      : Gramedia Pustaka Utama

Tebal            : 296 hlm

ISBN             : 9786020304519

Blurb:
Bagi Erga, Kania adalah pusat dunianya. Erga bahkan tidak bercita-cita muluk, hanya ingin menua bersama Kania. Masalahnya adalah, dia tidak pernah mengatakan hal itu pada Kania. Hanya bertahan dalam rindu diam-diam. Selama bertahun-tahun.

Karena, lihat saja gadis itu....
Kania dokter cemerlang yang sedang melaju meraih cita-citanya, tidak berniat berhenti untuk hal-hal sepele dan cengeng, seperti jatuh cinta dan patah hati. Dia merasa puas dengan persahabatan stabil yang ditawarkan Erga. Meski diam-diam hatinya menginginkan lebih, karena bersahabat saja rasanya tak lagi cukup. Namun, bagaimana dia bisa berdamai dengan hal-hal yang tak pasti?

“Kita terbiasa merencanakan banyak hal yang mudah kita jalani, Kania. Tapi Tuhan membuat rencana supaya kita menjadi kuat. Sedikit hal yang tidak pasti, sedikit kepedihan, sedikit kebimbangan, begitulah hidup.”

_*_

Alur Cerita:
“Untuk pertama kalinya, Erga melihat Kania tersenyum lebar. Saat itu ia pertama kali tahu bahwa ada yang lebih cemerlang daripada matahari pagi. Kania.”_(hal 60)

Erga kenal Kania sejak masa ospek, dan langsung menyukai gadis itu tanpa berusaha mencari tahu alasan pastinya. Sudah delapan tahun, tapi tak sekali pun ia mengutarakan perasaannya secara lisan, meski secara tingkah laku sudah teramat sering. Selalu malah. Ia menikmati kedekatan dan caranya menjalin hubungan dengan gadis itu. Bukan berarti ia tak pernah mencoba menjalin hubungan dengan gadis lain, namun lagi-lagi terbukti, Kania menempati ruang paling besar di hatinya.

Terkadang Kania iri melihat kehidupan orang lain yang penuh warna, tapi ia sama sekali tak menyesali jalan hidupnya yang lurus-lurus saja hingga menggapai apa yang ia cita-citakan. Namun tak sampai di sini, Kania masih punya serentetetan prioritas sebelum mulai memikirkan cinta. Maka tak heran bila tawa, sikap, dan hal lainnya seolah terhalagi oleh sesuatu.

Kania tak pernah sekali pun jaga jarak dari Erga. Buktinya, semua orang menganggap mereka pacaran. Tapi sedekat apa pun mereka di mata orang lain, Erga paham betul, Kania menggariskan sesuatu di hubungan mereka. Namun ketika seseorang dari masa lalu Erga kembali muncul dan seolah tengah mencari celah untuk mengetuk pintu hati Erga, Kania mendadak khawatir--tanpa paham apa yang ia khawatirkan.

Susah memang. Erga berusaha mendapatkan sesuatu yang tak pernah benar-benar ia minta, sedang Kania mencoba mempertahankan sesuatu yang tak pernah benar-benar ia miliki.

Waktu seolah berjalan di tempat. Erga masih pada perasaannya, yang terkadang memucuk hijau, namun bisa saja layu di saat bersamaan. Sudah ribuan pesan ia titip pada angin, yang pasti satu dua berlabuh jua di tempat seharusnya. Namun sekali lagi, waktu seolah berjalan di tempat.

Kania masih seorang perencana hebat yang menderetkan serapi mungkin rangkaian cita-cita yang harus ia capai secepat mungkin. Dan sayangnya, tidak ada Erga di sana. Atau ia hanya tidak ingin mengakuinya.

“Kania tidak pernah melakukan sesuatu yang impulsif, sepasti ia tidak pernah memakai baju kusut. Dan mengenai rencana hidup, ia tahu benar bagaimana kehidupan dokter, apalagi ketika nanti ia mengambil pendidikan spesialis. Ia tidak berani berharap masih memiliki waktu bersama Erga.”_(hal 127)

Andai Kania bisa menyuarakan isi hatinya, ia ingin memiliki Erga tetap seperti ini dulu, tanpa ikatan. Tapi, bukankah itu egois? Sebagai seseorang yang masih berstatus sahabat, seharusnya ia merelakan apa pun yang terbaik untuk Erga. Termasuk bersatu kembali dengan seseorang dari masa lalu, Nina. Di mata Kania, mereka seperti pasangan yang sedang mencoba merajut kembali sesuatu yang belum tuntas. Dan itu menyakitkan bagi Kania tanpa sepengetahuan siapa pun.

Bukan jenuh, terlebih lelah, Erga hanya semakin tidak melihat peluang untuk mengisi satu ruang yang masih bergeming di hati Kania. Dari dulu ia tak pernah bermasalah dengan kepercayaan diri, tapi bagaimana jika dr. Bian yang menurutnya jauh lebih sempurna darinya kini hadir di kehidupan Kania?

“Sungguh aneh perasaan rindu yang muncul diam-diam ini.”_(hal 137)

Erga mulai merindukan Kania. Tapi ada hal lain yang berusaha dipahaminya. Bagaimana bisa ia tidak bertemu Kania selama beberapa hari? Tempat tinggal Kania menyatu dengan tempat kerjanya. Tak mungkin seperti itu bila tak ada jarak tak kasat mata yang kian menyata di antara mereka, sejak kehadiran masing-masing orang yang sesungguhnya tak pernah benar-benar bermaksud mengusik pertemanan mereka.

Di mata Kania, Erga mulai menunjukkan kedekatannya dengan Nina. Sedang di mata Erga, Kania tak pernah sekali pun menunjukkan rasa keberatan. Alih-alih mencegah kedekatan mereka, Kania seolah menyerang balik dengan menunjukkan hal-hal terhadap dr. Bian yang sungguh di luar perkiraan Erga.

Maka sekali lagi tak ada kemajuan apa-apa, selain luka yang perlahan-lahan tumbuh dan membuat keduanya seperti orang asing.

Kania meminta ruang, Erga mengabulkan. Ruang yang pada akhirnya dihuni rindu, benci, gelisah, muak, dan hal tak menentu lainnya secara bersamaan. Mereka harus bersikap lebih dewasa untuk benar-benar memahami apa yang tengah terjadi.

Bagaimana akhir kisah rumit mereka? Segera miliki bukunya dan baca sendiri, ya. Sebab menjelang ending, ketika Erga akhirnya mengambil keputusan (yang tidak mungkin saya bocorkan di sini), itu benar-benar dramatis. Pokoknya rugi kalau nggak baca (pasang wajah maksa). Hehehe ....

_*_

Review:
Membaca novel ini seperti sedang duduk di dalam bioskop, menonton langsung filmnya. Keadaan di sekeliling tokoh dinarasikan sedetail mungkin tanpa menjemukan. Penulis paham, mana yang harus dituliskan dan mana yang lebih baik dibebaskan dalam ruang imajinasi pembaca.

Berhubung tokoh Kania seorang dokter, membuat novel ini secara tidak langsung cukup informatif di beberapa bagian, meski bahasanya agak berat juga untuk orang yang buta dunia medis macam saya ini. Hehehe ....

Hal lain yang saya suka, penulis menuang nuansa roman dalam cerita ini tanpa memaksakan berpuitis ria. Kalimatnya sederhana, sesuai takaran, tapi bikin kangen kalau ditinggal lama-lama.

Sepanjang mengikuti kisah Erga dan Kania, perasaan saya campur aduk. Baper, lucu, nyesek, bisa muncul di halaman yang sama. Ajaibnya, perasaan kedua tokoh utama itu tersampaikan dengan baik. Kadang saya merasa di posisi Erga yang mungkin merasa diabaikan, tapi kadang pula saya merasa di posisi Kania yang memang harus mempertahankan komitmen.

Namun, plotnya memang terkesan lambat. Konflik cerita seolah hanya berkisar di isi kepala Erga dan Kania. Hampir tidak ada kejutan. Untunglah, di alur cerita yang mengalir ringan tanpa banyak tanjakan, penulis menanamkan sesuatu yang sukses menjaga kenikmatan baca hingga akhir.

Menurut saya kekuatan novel ini ada pada kedalalaman kata per kata, bukan lompatan-lompatan konflik. Banyak quote berbobot yang tidak sekadar menonjolkan romantisme belaka.

Senin, 16 Oktober 2017

Review Buku: Aku Mencintaimu



Judul           : Aku Mencintaimu

Penulis       : Irhayati Harun

Penerbit     : Salsabila

Tebal           : 208 hlm

ISBN            : 978-602-1695-15-9

Blurb:
Pernikahan yang langgeng tidak dijamin oleh sebuah janji di atas kertas. Pernikahan abadi membutuhkan cinta, rasa menghargai, rasa percaya, saling memahami, persahabatan, ketulusan, dan kejujuran dalam menjalani hubungan.

Dalam perjalanannya, cinta kadang tergerus, terlupakan oleh rutinitas hidup sehari-hari yang kadang membosankan. Cinta yang dulu terasa hangat menghidupkan hati sepasang suami istri kadang meredup. Inilah saatnya kita berhenti sejenak.

Bacalah buku ini. Ia akan mengingatkan kita kembali akan indahnya cinta yang pernah kita punya. Ini adalah muhasabah cinta bagi pasangan mereka yang sedang dalam pernikahan, atau bahkan yang baru menikah dan ingin menikah. Sehingga cinta tidak akan hanya menjadi kenangan, tetapi menjadi energi yang menghidupkan jalinan hari-hari yang kita miliki bersama suami/istri.

Selamat membaca. Selamat jatuh cinta lagi dan lagi.

_*_

Isi Buku:
Persembahan untuk Pasutri

Tanpamu.... 
Langit hidupku tak lagi membias biru
Sebiru cintaku padamu

Tanpamu.... 
Angin rindu tak lagi hangat menyapa
Relung hatiku yang hampa

Tanpamu.... 
Malamku tak lagi bekerjap bintang-bintang
Menghibur hatiku yang remang

Tanpamu.... 
Laut hatiku tak lagi melahirkan ombak
Yang buihnya menyirami pohon cinta di benak

Tanpamu.... 
Awan di hidupku tak lagi menemani mendung
Menurunkan air kehidupan cinta
Bagi jiwaku yang dahaga

Ya, tanpamu.... 
Akankah hidupku tetap berwarna?

Teruntuk semua pasangan yang bersedia mencintai pasangannya dengan hati
(hal 8)

Pada saat menikah memang dianjurkan melakukan resepsi sebagai wadah untuk menyiarkan kabar bahagia ke semua orang, agar tak lagi menimbulkan fitnah atau hal-hal lain yang tidak diinginkan. Namun tahukah Anda, setiap proses pernikahan, mulai dari lamaran hingga bulan madu, semua mengandung makna yang dipaparkan lengkap dalam buku ini.

Pernikahan itu ibarat pohon yang butuh nutrisi agar bisa tumbuh subur. Seperti unsur hara dan sinar matahari yang cukup. Sedang rasa percaya dan komunikasi yang sehat adalah sebagian kecil nutrisi yang dibutuhkan pernikahan.

Ketika sudah memutuskan untuk menikah, kita dan pasangan harus punya visi dalam mengarungi hidup bersama. Tapi ingat, jangan cuma visi dunia, visi akhirat juga harus dipikirkan bersama.

Dari awal mencintai pasangan kita seharusnya dari hati, bukan akal. Sebab akal akan selalu menuntut kesempurnaan yang jelas-jelas hanya milik Sang Pencipta. Dan yang terpenting, agar biduk pernikahan tidak terombang-ambing, kita harus punya pedoman. Al-Quran adalah pedoman paling utama dalam pernikahan pasangan muslim.

Biarkan sang waktu menjadi saksi kebersamaan kita
Walau hanya sedetik kita lalui hari bersama
Jarum jam akan terus berputar
Memaknai setiap kebersamaan kita

Yakinlah.... 
Langit tak akan berubah warna
Sebagaimana cinta kita
Tetap berwarna merah membara
Sebagaimana hati kita
Tetap menyatu meski terenggut oleh waktu

Percayalah ....
Aku akan tetap di sisimu
Mendengarkan segala isi hatimu
Sembari kita menghabiskan waktu
Dengan canda mesra dan bahagia
Hingga masa berganti usia
(hal 60)

Dalam suatu hubungan penting untuk saling mendengarkan. Ceritakan apa saja yang sedang mengganggu pikiran, dan dengarkan ketika tiba giliran pasangan kita bercerita. Buku ini memberikan tips curhat pada pasangan agar pembicaraan bermuara pada solusi bijak, bukan malah sebaliknya.

Ingat, masalah sekecil apa pun jangan pernah dibicarakan pada orang lain, terlebih mereka yang belum tentu paham dan sebenarnya tidak mau ambil pusing. Selalu usahakan jalan keluar bersama pasangan. Dan yang wajib dihindari adalah curhat pada lawan jenis, sebab ini bisa memicu perselingkuhan.

Anak kembar saja masih memiliki perbedaan dari segala sisi, apalagi laki-laki dan perempuan? Jadi, sejatinya perbedaan memang tidak bisa dihindari dalam sebuah hubungan. Tapi hal itu bisa teratasi jika kita mau menyadari, bahwa perbedaan ada untuk saling melengkapi.

Penting untuk mencintai apa adanya, agar tidak tercipta cinta semu akibat tampilan semu pula yang sangat mudah terkikis oleh keadaan. Makanya, di masa pedekate tampil apa adanya aja, nggak usah sok-sok manis. Hehehe ....

Bertemu dan mendapatkan dirimu adalah sesuatu yang terindah dalam hidupku

Kau telah menggoreskan ribuan kenangan indah
Kau telah menghadirkan ratusan hari yang berkesan
Kau telah memberikan puluhan minggu untukku menunggu

Mendapatkan kejutan terindah dalam hidupku
Hari di mana kau merengkuhku menjadi pendamping seumur hidupmu
(hal 113)

Apa pun itu, pasti punya titik jenuh, terlebih hubungan. Untunglah, buku ini memberikan cara-cara untuk mengatasi kejenuhan tersebut.

Kejenuhan bisa memicu konflik dari berbagai sisi, seperti yang tertulis dalam buku ini. Setiap konflik ambil sisi positifnya. Biasanya setelah berselisih, sikap saling memahami dan mau mendengarkan tumbuh dengan sendirinya. Tapi bukan berarti konflik itu dicari-cari, ya. Hehehe ....

Untuk membina hubungan yang selalu hangat, sering-seringlah bersedekah kepada pasangan. Bisa berupa hadiah-hadiah kecil kesukaan pasangan, atau hal yang paling sederhana adalah senyuman.

Buku ini tak melupakan pentingnya menjalin hubungan akrab dengan mertua. Sebab tak jarang perselisihan juga terjadi akibat tak adanya kecocokan dengan mereka. Tips-tips agar bisa bersahabat dengan mertua lengkap banget di sini.

Masih banyak hal penting lain yang dibahas tuntas dalam buku ini. Segera miliki, baca, pahami dan terapkan. Inshaa Allah, hubungan bersama pasangan jadi lebih baik.

_*_

Review:
Pertama buka buku ini langsung jatuh cinta sama layoutnya yang manis banget. Penggunaan beragam font untuk segmen tertentu bikin gak bosan.

Setiap awal bab disertai puisi/prosa yang maknanya sangat dalam. Macam baca surat cinta saja. Hehehe ....

Disertai pula beberapa kisah atau curhatan yang merupakan hasil survei penulis terhadap beberapa kenalan. Kisah/keluhan mereka bisa jadi cerminan agar kita tidak berbuat hal serupa. Kalau pun telanjur terjadi pula sama kita, buku ini punya solusinya--yang inshaa Allah efektif.

Setiap pokok pembahasan dipaparkan secara cepat dan penuh semangat. Setiap kalimat mengandung ilmu, sama sekali tidak ada goresan yang mubazir. Intinya, ini benar-benar buku panduan agar sukses menjalin hubungan dengan pasangan yang komplit. Semua sisi dibahas sampai ke akar-akar. Selesai membacanya tak meninggalkan pertanyaan di benak, melainkan anggukan pelan untuk apa-apa yang belum benar-benar kita pahami selama ini.

Buku ini cocok banget dijadikan kado pernikahan teman atau kerabat.

Rabu, 11 Oktober 2017

Review Cernak: 101 Dongeng Sebelum Tidur



Judul            : 101 Dongeng Sebelum Tidur

Penulis        : Redy Kuswanto

Penerbit      : Laksana Kidz

Tebal            : 172 hlm

ISBN             : 978-602-407-132-5

Blurb:
Anak-anak suka sekali dengan cerita dongeng. Buku ini berisi 101 dongeng dari seluruh provinsi di Indonesia ditambah beberapa dongeng dari mancanegara. Setiap cerita ditulis secara menarik dan singkat, namun anak-anak dipastikan akan cepat memahami nilai positif yang terkandung di dalamnya.

Ada kisah Putri Tangguk dari Jambi, Danau Lipan dari Kalimantan Timur, Calonarang dari Jawa Timur, Neera dari Papua Barat, Bola Kristal dari Jerman, Kotak Pandora dari Yunani, dan masih banyak kisah lainnya yang pasti sangat menarik untuk dibaca. Dengan dilengkapi ilustrasi penuh warna, buku ini sangat tepat dijadikan bahan bacaan menjelang anak-anak tidur.

_*_

Isi Buku:
Di perjumpaan pertama, saya disambut dongeng-dongeng dari provinsi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Riau dan Kepulauan Riau, Jambi, Sumatera Selatan, dan Lampung. Ceritanya sangat beragam, dikisahkan sesederhana mungkin namun mengandung pesan moral yang sangat kuat.

"Sudah seharusnya ilmu menjadikan kita lebih bijak. Ilmu yang kita miliki harus digunakan untuk membantu sesama."_(Pesan moral dari cerita Si Pahit Lidah_hal 34)

Saya dikenalkan asal-usul Danau Toba, asal mula Danau Maninjau, asal-usul Kota Dumai, dan asal-usul Lampung. Di samping itu, dikisahkan juga seorang gadis yang celaka karena tidak mematuhi perkataan orangtua. Ada pula seorang anak yang berhasil membuat orangtuanya saling memaafkan. Ada seorang putri yang terpaksa kehilangan kecantikan karena tidak pernah mensyukurinya. Ada juga dua sahabat yang sama-sama celaka karena serakah. Tak ketinggalan kisah anak yang durhaka pada orangtuanya.

Memasuki pertengahan, saya disuguhkan cerita-cerita dari Bangka Belitung, Kep. Bangka Belitung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, dan Kalimantan Barat.

Saya jadi tahu asal mula Sungai Jodoh, asal usul Tanjung Lesung, asal mula huruf Jawa, asal mula nama Surabaya, dan Banyuwangi.

Di samping itu, dikisahkan pula pemuda buruk rupa yang berhasil mempersunting putri raja karena mau berusaha.

“Jangan menilai orang dari penampilan fisik saja. Dengan usaha dan doa, seseorang bisa menjadi sukses.”_(Pesan moral dari cerita Bujang Katak_hal 41)

Ada pun kisah malang penantian seorang gadis terhadap pujaan hati yang tak kunjung datang. Tak ketinggalan pula kisah orang-orang yang celaka karena suka meremehkan orang lain.

Semakin jauh menjelajahi buku ini, saya disuguhkan cerita-cerita dari Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Bali, NTB, NTT, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Gorontalo.

Ceritanya semakin beragam dengan warna-warna khas sesuai daerah asal.

Saya jadi tahu asal-usul Selat Bali dan Kampung Paummisang.

“Mengingkari janji hanya akan merugikan diri sendiri dan orang lain.”_(Pesan moral dari cerita Legenda Ikan Patin_hal 80)

Beberapa cerita di bagian tengah menuju akhir bertemakan ingkar, seolah menegaskan betapa celakanya orang-orang yang sering mengingkari janji. Selain itu, dikisahkan pula seorang raja yang selalu menepati janji. Ada juga kisah pahlawan yang berani membela kebenaran demi kepentingan orang banyak. Serta seorang gadis yang selalu ingin berguna bagi orang lain, bagaimana pun kondisinya.

Bukan cuma itu, masih banyak cerita lainnya, bahkan dari mancanegara. Segera miliki buku ini dan pastikan anak, adik, ponakan Anda membacanya. Inshaa Allah bermanfaat.

_*_

Review:
Seperti halnya bacaan anak-anak pada umumnya, semua unsur buku ini didesain khusus untuk memanjakan mereka. Saya suka banget ilustrasinya yang full colour, bikin mata terus strong dan antusias untuk membalik halaman selanjutnya.

Dituturkan dengan gaya dongeng pada umumnya, disertai bahasa yang sangat ringan, tanpa melemahkan pesan moral di dalamnya. Poin ini kembali dipertegas penulis melalui coretan pesan moral di setiap akhir cerita dalam bingkai layout yang sangat cantik.

Mengkhatamkan buku ini serupa telah menjelajah ke seluruh pelosok nusantara dan beberapa belahan dunia. Ini memang dongeng lama yang dikisahkan ulang, tapi penulis berhasil mengemasnya lebih fresh. Pasti butuh riset besar-besaran untuk menulis buku ini. Saya kagum.

Jumat, 06 Oktober 2017

Review Novel: Slammed (Cinta Terlarang)



Judul           : Slammed (Cinta Terlarang)

Penulis       : Collen Hoover

Penerbit     : Gramedia Pustaka Utama

Tebal           : 335 hlm

ISBN            : 978-979-22-9518-4

Blurb:
Layken harus kuat demi ibu dan adiknya. Kematian mendadak sang ayah, memaksa mereka untuk pindah ke kota lain. Bayangan harus menyesuaikan diri lagi dengan lingkungan baru sungguh menakutkan Layken. Namun semua berubah, begitu ia bertemu dengan Will Cooper, tetangga barunya.

Will memang menarik. Dengan ketampanan dan senyum memikat, pemuda itu menularkan kecintaannya pada slams--pertunjukan puisi. Perkenalan pertama menjadi serangkaian hubungan intens yang membuat mereka semakin dekat, hingga keduanya bertemu lagi di sekolah ....

Sayangnya, hubungan mereka harus berakhir. Perasaan yang mulai tumbuh antara Will dan Layken harus dihentikan. Pertemuan rutin mereka di kelas tak membantu meniadakan perasaan itu. Dan puisi-puisi menjadi sarana untuk menyampaikan suara hati. Tentang sukacita, kecemasan, harapan, dan cinta terlarang mereka.

_*_

Alur Cerita:
Kematian Ayah menjejalkan banyak perubahan di hidup Layken. Bahkan, ia beserta ibu dan adik lelakinya harus pindah, meninggalkan Texas demi menghemat biaya hidup. Minggu-minggu pertama kehilangan Ayah tentu sangat berat bagi Layken. Kenangan manis bersama Ayah terputar tanpa jeda. Layken berusaha keras menerima kenyataan. Ia harus baik-baik saja demi ibu dan adiknya.

Mereka menempati rumah baru di Michigan yang jauh lebih kecil dibanding rumah sebelumnya. Pekarangannya serba beton, sangat timpang dengan pekarangan rumah lamanya yang berkonsep peternakan. Sepertinya tidak ada apa-apa yang menarik di sini, selain Will, pemuda jangkung yang menjadi tetangga barunya.

Perkenalan mereka cukup unik, berawal dari permainan yang diciptakan oleh adiknya dan adik pemuda itu yang langsung akrab. Selanjutnya, sikap Will sebenarnya biasa-biasa saja, tapi di mata Layken selalu istimewa. Rasanya terlalu cepat, tapi keduanya sedang merasakan hal yang sama.

“Aku masih berusaha membiasakan diri terhadap reaksi yang kurasakan saat berada di dekatnya. Sentuhan sekecil apa pun dan sikapnya yang paling sederhana sekali pun menimbulkan efek yang begitu mendebarkan pada indraku.”_(hal 36-37)

Suatu malam Will mengajak Layken berkencan, kencan pertama. Dan malam itu Layken lagi-lagi menemukan sisi lain pemuda itu yang membuatnya kian terhanyut. Will menyukai, atau lebih tepatnya menggilai puisi. Sulit dipercaya, pemuda yang suka bertingkah seenaknya itu ternyata menyukai hal-hal puitis, tapi itulah kenyataannya.

Namun, babak baru hubungan mereka bermula, secepat mereka menafsirkan perasaan masing-masing secara lugas. Mereka bertemu di sekolah baru Layken. Will menunjukkan reaksi aneh, sementara Layken beku pada kebingungannya. Kebodohan lebih tepatnya.

“Bagaimana sampai aku tidak menyadari ini? Kau masih SMA?”_(hal 77)

Will frustrasi mendapati kenyataan, Layken adalah salah satu murid di kelas puisi yang dibawakannya. Demi alasan profesionalitas, mereka pura-pura tidak saling kenal untuk sementara waktu, sampai mereka menemukan waktu yang tepat untuk membahas lebih lanjut.

Sejak pertemuan pertama hingga kencan di suatu malam, keduanya sadar, ada sesuatu yang telanjur dalam di antara mereka. Namun Will berusaha tetap logis, mengedepankan kedewasaannya. Ia punya beban tanggung jawab yang mengharuskannya untuk tetap bekerja. Dan Layken berusaha memahami.

“Tanggung jawabmu memang harus kaudahulukan, itu sebabnya aku bersedia menunggumu, Will. Kau orang baik. Situasimu ini, yang kauanggap sebagai cacat--justru menjadi alasan aku jatuh cinta padamu.”_(hal 137)

Tidak. Tidak bisa seperti itu. Will tidak ingin mengambil risiko. Ini bukan hanya tentang dirinya, tapi juga masa depan Caulder, adiknya.

Keputusan untuk meredakan apa-apa yang tengah berkobar, nyatanya tidak berjalan mulus. Bayangkan, setiap hari mereka berada di dalam kelas sebagai murid dan guru. Sepulangnya, rumah mereka berdampingan, tanpa perantara apa pun.

Ada kalanya Will kembali menjadi Will yang seharusnya, melupakan profesinya sebagai guru, ketika Layken dengan latar belakang keluarga yang cukup buruk benar-benar membutuhkannya.

Di tengah kerumitan hubungannya dengan Will, Layken mulai mencium keganjalan pada sikap ibunya. Ia sering ke suatu tempat tanpa mau menyebutkannya, bahkan pernah mendengarnya bilang "sayang" pada seseorang di telepon. Layken merasa, ibunya sudah bangkit dari rasa kehilangan, ia mulai menjalin hubungan dengan laki-laki lain. Mengingat kematian ayahnya baru tujuh bulan, Layken sedikit tidak terima.

Ia mulai melakukan penyelidikan, memeriksa apa saja ketika ibunya tidak di rumah. Pencarian bukti menuntunnya pada selembar kertas bertuliskan puisi, dan nama ibunya, Julia, jelas-jelas tertera di sana.

Julia sudah merencanakan makan malam bersama kedua anaknya untuk membahas hal yang telanjur lebih dulu diketahui Layken. Mau tidak mau Julia harus menjelaskannya tanpa acara makan malam lagi. Dan penjelasan itu pun, ketika fakta baru yang sama sekali di luar perkiraan Layken terkuak, membuat situasi semakin rumit. Layken depresi, ia hampir kehilangan akal sehat.

Ada apa sebenarnya? Apa yang belum diketahui Layken? Jika penasaran, segera miliki bukunya dan baca sendiri, ya. Percayalah, ini tak seperti yang kau pikirkan. Hehehe ....

_*_

Review:
Menarik, setiap awal bab novel ini selalu ada kutipan dari lirik-lirik lagu "The Avett Brothers". Bukan asal tempel, tapi benar-benar melatarbelakangi konflik demi konflik. Meski tidak kenal bandnya, saya berhasil dibikin suka sama lagunya--dari segi untaian kata

Untuk novel setebal ini sebenarnya konfliknya terbilang datar, hampir tidak ada kejutan berarti. Untung penulis pandai mewarnainya. Dari situlah saya kagum, penulis menuturkan setiap adegan sangat terperinci tanpa membuat saya bosan untuk mengikutinya. Plotnya memang lambat, sangat lambat malah. Tapi jika dicermati baik-baik, ada unsur kekuatan di balik itu. Penulis pandai menopang ceritanya dengan hal-hal kecil agar selamat sampai tujuan tanpa dicampakkan pembacanya.

Saya suka hubungan Layken dengan ibunya. Peran orangtua dan anak benar-benar ditonjolkan di sini. Yang unik adalah Will, penulis tidak pernah secara khusus menjabarkan sosoknya, tapi melalui kalimat-kalimat sederhana saya yakin, ia pribadi yang menawan. Penulis punya cara tersendiri menghidupkan tokohnya tanpa memaksa pembaca meneliti setiap inci anggota tubuhnya.

Penulis tidak sekadar mengarang cerita ini, tapi juga memasuki dan terlibat di dalamnya. Tak ada satu bagian kecil pun yang ia munculkan hanya sepintas, semua akan diungkit lagi dan menjadi untaian peristiwa menarik hingga akhir.

Membaca novel ini saya jadi mengenal slams--seni pertunjukan puisi. Selingan beberapa puisi cukup menghibur, serupa jeda dari pekikan konflik.

Dalam sebuah cerita ada kalanya tokoh pendamping lebih menarik daripada tokoh utama. Itulah yang saya rasakan pada sosok Eddie. Di tengah masalah hidupnya yang tak kalah hebat dari tokoh utama, ia berhasil mencuri perhatian. Darinya kita bisa belajar banyak atas penerimaan terhadap takdir.

Selain plot yang agak lambat, tidak ada yang kurang dari novel ini. Tapi karena terjemahan, saya butuh waktu lama untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan, gaya hidup, terlebih sekolahnya yang beda banget dengan Indonesia. Konflik utamanya pun, kalau itu di Indonesia, pasti tidak perlu dibesar-besarkan.

Novel ini cocok banget untuk para remaja yang tengah beranjak dewasa. Bahwa ada hal yang harus diutamakan daripada cinta--tanpa mematikan cinta itu sendiri. Bahwa kepala dan hati harus berimbang. Dan keterbatasan harus dilampaui, sebab ia ada memang untuk dilampaui.

Minggu, 01 Oktober 2017

Review Kumsi: Bukan Artefak Mantan



Judul           : Bukan Artefak Mantan

Penulis       : Lacahya

Penerbit     : Mazaya Publishing House

Tebal           : 116 hlm

ISBN            : 978-602-6362-50-6

Blurb:
Jika detik ini kamu masih diberi kesempatan, setidaknya berbaik-baiklah dengan diri sendiri untuk satu menit ke depan dan seterusnya.

Semua orang berhak bahagia.

Semua orang bisa memilih bahagia.

Isi Buku:
“Jangan menaruh harapmu pada orang lain.
Jangan menggantung bahagiamu pada orang lain.
Jangan meletakkan dua hal itu kecuali pada dirimu sendiri.”_(Artefak 5_hal 9)

Sederet kalimat yang berhasil menggiring saya pada titik perenungan. Pada bagian lain, penulis mengajak kita untuk melihat apa-apa yang tidak terlihat, dalam kemasan perumpamaan yang memang sepatutnya ada dalam buku macam ini.

“Kamu jangan khawatirkan luka yang terlihat
Dia bisa sembuh dan hilang seiring waktu berjalan
Khawatirkan luka yang tidak terlihat
Apa dia makin bernanah?”_(Artefak 2_hal 4)

Ungkapan jangan menilai seseorang dari penampilan, mungkin bisa juga berlaku pada buku. Setidaknya itulah yang saya rasakan pada buku ini. Kata "Mantan" pada judul cukup mengecoh. Nytanya isinya tak melulu soal makhluk itu, tapi lebih kepada diri sendiri, hubungan antara orang sekitar, keluarga, dan Sang Pencipta.

“Seseorang yang selalu dan selalu menjadi kesayangan saya. Dan selamanya akan tetap begitu. Seseorang yang tidak mungkin bisa saya balas cintanya dengan sempurna. Seorang lelaki yang saya panggil dengan sebutan Ayah.”_(Artefak 3_hal 6)

Sampai di sini saya harus jujur, saya dilumat nyaris tak tersisa oleh buku ini. Selain pikiran sehat, kemampuan mengingat keberadaan Tuhan, semua menguap dengan senang hati, patuh pada keliaran dunia yang diciptakan penulis dalam buku ini.

Semakin jauh menjelajahi buku ini, saya menemukan cukup banyak bias luka yang coba disuguhkan penulis. Amarah-amarah yang teredam, meski riaknya jelas terngiang.

“Sesekali, jenguklah rinduku yang mengering padam ini. Basahi ia dengan tawamu. Tengok juga luka-luka itu. Mungkin mereka akan membaik. Atau bisa jadi malah membusuk karena hadirmu. Kemudian perlahan sembuh karena tiadamu.”_(Artefak 17_hal 26)

Memang banyak media untuk mengungkapkan perasaan, tapi tulisan sejatinya selalu ampuh menyuarakan apa-apa yang sulit terjamah lisan.

“Kau tahu, ada yang mengatakan bahwa daun yang jatuh tak pernah membenci angin. Namun sayang, pada kenyataannya aku bukanlah daun dan kamu pun bukanlah angin. Kamu menjatuhkanku, dan aku boleh saja membencimu, akhirnya. Jangan tanya kenapa. Harusnya kamu yang lebih memahami perihal kenapa.”_(Artefak 20_hal 30)

76 artefak dalam buku ini dihaturkan dalam berbagai sudut pandang, jua rasa yang terkadang begitu lancang menyentuh sisi terlemahmu tanpa permisi. Bila ingin menikmati keseluruhan, lekas hubungi penulis atau penerbit. Hehehe ....

Review:
Pertama-tama, salut akan keunikan yang diterapkan penulis pada buku ini. Kata "Mantan" sukses menyedot perhatian. Bukankah hal-hal yang berkaitan dengan mantan memang punya 1001 macam pembahasan? Namun sayang sekali, isi buku ini sama sekali tak berkaitan dengan mantan. Kecewa? Awalnya saya pun demikian. Namun pada setiap jengkal aksara yang tergores, sedikit banyak membuat saya mengangguk. Tak ada yang salah dengan judul, dan ini malah keren.

Terlebih di awal, penulis memang menjabarkan asal muasal judul, cover, saat menuangkan kata pengantar. Dari situ kita seolah dijanjikan tulisan-tulisan yang tak biasa, kelihatan dari cara bertutur.

Yang saya rasakan di awal, buku ini mengandung unsur mistik. Bukan karena adanya batu nisan pada cover, melainkan anggapan ini timbul dari hasil penyelusuran saya yang berujung pada--saya sendiri bingung membahasakannya. Mungkin hanya perasaan saya. Sejatinya, buku ini merupakan kumpulan puisi/prosa yang terukir dalam periode tiga tahun terakhir. Serpihan keresahan-keresahan yang dibangkitkan dalam wujud cantik. Oleh penulis dipunguti, didudukkan manis pada tempat seharusnya. Lalu ditakdirkan membuatmu menyukainya.

Beberapa bagian maknanya memang ambigu, susah dimengerti bila otak masih diisi perihal tagihan cicilan yang nunggak. Hehehe .... Untungnya penulis tidak memaksakan unsur puitis dalam tulisannya, kebaperan demi kebaperan terjadi secara alami. Saya menyebutnya elegan.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan buku berjudul "horor" ini, tapi selaku pembaca saya ingin lebih, ingin sesuai maunya hati. Saya paham, tulisan di buku ini diurut berdasar tanggal lahir, tapi menurut saya, mungkin lebih enak dibaca bila dikotakkan berdasar tema. Atau bentuk. Dengan begitu taste per bagiannya mungkin lebih melumat. Tapi seperti ini juga sudah oke, kok. Balik lagi soal selera.

Sejauh ini entah saya berhasil meracunimu atau tidak. Setidaknya membuat pola di kepalamu, akan kelenjar baper yang memenuhi buku ini. Buku ini cocok banget buat kamu yang kadang sulit menemukan pelabuhan untuk apa-apa yang tengah merajai hati.