Minggu, 01 Oktober 2017

Review Kumsi: Bukan Artefak Mantan



Judul           : Bukan Artefak Mantan

Penulis       : Lacahya

Penerbit     : Mazaya Publishing House

Tebal           : 116 hlm

ISBN            : 978-602-6362-50-6

Blurb:
Jika detik ini kamu masih diberi kesempatan, setidaknya berbaik-baiklah dengan diri sendiri untuk satu menit ke depan dan seterusnya.

Semua orang berhak bahagia.

Semua orang bisa memilih bahagia.

Isi Buku:
“Jangan menaruh harapmu pada orang lain.
Jangan menggantung bahagiamu pada orang lain.
Jangan meletakkan dua hal itu kecuali pada dirimu sendiri.”_(Artefak 5_hal 9)

Sederet kalimat yang berhasil menggiring saya pada titik perenungan. Pada bagian lain, penulis mengajak kita untuk melihat apa-apa yang tidak terlihat, dalam kemasan perumpamaan yang memang sepatutnya ada dalam buku macam ini.

“Kamu jangan khawatirkan luka yang terlihat
Dia bisa sembuh dan hilang seiring waktu berjalan
Khawatirkan luka yang tidak terlihat
Apa dia makin bernanah?”_(Artefak 2_hal 4)

Ungkapan jangan menilai seseorang dari penampilan, mungkin bisa juga berlaku pada buku. Setidaknya itulah yang saya rasakan pada buku ini. Kata "Mantan" pada judul cukup mengecoh. Nytanya isinya tak melulu soal makhluk itu, tapi lebih kepada diri sendiri, hubungan antara orang sekitar, keluarga, dan Sang Pencipta.

“Seseorang yang selalu dan selalu menjadi kesayangan saya. Dan selamanya akan tetap begitu. Seseorang yang tidak mungkin bisa saya balas cintanya dengan sempurna. Seorang lelaki yang saya panggil dengan sebutan Ayah.”_(Artefak 3_hal 6)

Sampai di sini saya harus jujur, saya dilumat nyaris tak tersisa oleh buku ini. Selain pikiran sehat, kemampuan mengingat keberadaan Tuhan, semua menguap dengan senang hati, patuh pada keliaran dunia yang diciptakan penulis dalam buku ini.

Semakin jauh menjelajahi buku ini, saya menemukan cukup banyak bias luka yang coba disuguhkan penulis. Amarah-amarah yang teredam, meski riaknya jelas terngiang.

“Sesekali, jenguklah rinduku yang mengering padam ini. Basahi ia dengan tawamu. Tengok juga luka-luka itu. Mungkin mereka akan membaik. Atau bisa jadi malah membusuk karena hadirmu. Kemudian perlahan sembuh karena tiadamu.”_(Artefak 17_hal 26)

Memang banyak media untuk mengungkapkan perasaan, tapi tulisan sejatinya selalu ampuh menyuarakan apa-apa yang sulit terjamah lisan.

“Kau tahu, ada yang mengatakan bahwa daun yang jatuh tak pernah membenci angin. Namun sayang, pada kenyataannya aku bukanlah daun dan kamu pun bukanlah angin. Kamu menjatuhkanku, dan aku boleh saja membencimu, akhirnya. Jangan tanya kenapa. Harusnya kamu yang lebih memahami perihal kenapa.”_(Artefak 20_hal 30)

76 artefak dalam buku ini dihaturkan dalam berbagai sudut pandang, jua rasa yang terkadang begitu lancang menyentuh sisi terlemahmu tanpa permisi. Bila ingin menikmati keseluruhan, lekas hubungi penulis atau penerbit. Hehehe ....

Review:
Pertama-tama, salut akan keunikan yang diterapkan penulis pada buku ini. Kata "Mantan" sukses menyedot perhatian. Bukankah hal-hal yang berkaitan dengan mantan memang punya 1001 macam pembahasan? Namun sayang sekali, isi buku ini sama sekali tak berkaitan dengan mantan. Kecewa? Awalnya saya pun demikian. Namun pada setiap jengkal aksara yang tergores, sedikit banyak membuat saya mengangguk. Tak ada yang salah dengan judul, dan ini malah keren.

Terlebih di awal, penulis memang menjabarkan asal muasal judul, cover, saat menuangkan kata pengantar. Dari situ kita seolah dijanjikan tulisan-tulisan yang tak biasa, kelihatan dari cara bertutur.

Yang saya rasakan di awal, buku ini mengandung unsur mistik. Bukan karena adanya batu nisan pada cover, melainkan anggapan ini timbul dari hasil penyelusuran saya yang berujung pada--saya sendiri bingung membahasakannya. Mungkin hanya perasaan saya. Sejatinya, buku ini merupakan kumpulan puisi/prosa yang terukir dalam periode tiga tahun terakhir. Serpihan keresahan-keresahan yang dibangkitkan dalam wujud cantik. Oleh penulis dipunguti, didudukkan manis pada tempat seharusnya. Lalu ditakdirkan membuatmu menyukainya.

Beberapa bagian maknanya memang ambigu, susah dimengerti bila otak masih diisi perihal tagihan cicilan yang nunggak. Hehehe .... Untungnya penulis tidak memaksakan unsur puitis dalam tulisannya, kebaperan demi kebaperan terjadi secara alami. Saya menyebutnya elegan.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan buku berjudul "horor" ini, tapi selaku pembaca saya ingin lebih, ingin sesuai maunya hati. Saya paham, tulisan di buku ini diurut berdasar tanggal lahir, tapi menurut saya, mungkin lebih enak dibaca bila dikotakkan berdasar tema. Atau bentuk. Dengan begitu taste per bagiannya mungkin lebih melumat. Tapi seperti ini juga sudah oke, kok. Balik lagi soal selera.

Sejauh ini entah saya berhasil meracunimu atau tidak. Setidaknya membuat pola di kepalamu, akan kelenjar baper yang memenuhi buku ini. Buku ini cocok banget buat kamu yang kadang sulit menemukan pelabuhan untuk apa-apa yang tengah merajai hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar