Minggu, 09 Oktober 2016

Cerpen Read Zone: Tradisi Nikah Massal

             Angkot yang kutumpangi ini sebentar lagi akan membawaku tiba di pondok Pesantren Al-Hidayah, tempatku dilahirkan, tumbuh, mengenyam pendidikan dari tingkat paud hingga madrasah aliah. Aku ada di pesantren itu benar-benar hal yang tak bisa ditawar lagi. Kedua orang tuaku alumnus pesantren itu juga, kemudian menikah dan tinggal di sana. Butuh pergolakan batin yang panjang sebelum akhirnya aku memutuskan meninggalkan pondok pesantren yang sudah seperti bagian dari jiwaku itu demi kuliah di Jakarta, masuk ke universitas yang kurasa cocok untuk menunjang cita-citaku menjadi seorang arsitek. Sejak mondok di sana, tak jarang aku kena ta’zir[1], karena saat diminta menyelesaikan hafalan, aku malah sibuk menggambar desain bangunan pencakar langit. Rasanya lucu bila terkenang masa itu. Entah sejak kapan aku tergila-gila dengan dunia arsitek, padahal kurikulum di pesantren tidak mengajarkan itu.

            Aku mengambil napas dalam-dalam, membiarkan aroma khas Gunung Tembak—salah satu pedesaan di kota Balikpapan—memenuhi rongga dada. Senyumku tersungging tipis, rasanya sudah tidak sabar untuk bertemu abi dan umi, serta semua teman-teman dan warga di pesantren. Sibuk mengamati setiap sudut kampung halaman yang telah lama kutinggalkan ini, tiba-tiba pandanganku terpaku pada seorang perempuan yang duduk tepat di belakang sopir.
            “Mondok di Al-Hidayah, Neng?” tanyaku setelah sekilas melihat stiker logo pesantren yang cukup tersohor itu di sampul depan notebook yang dipegangnya.
            Ia hanya tersenyum yang kemudian kuartikan “iya”. Ya, hanya tersenyum. Para santriwati di pesantren itu sepertinya memang sudah terlatih untuk tidak banyak bicara, terlebih terhadap lawan jenis yang bukan mahram. Aku bukan tipe orang yang pandai menggambarkan kecantikan seorang perempuan, hanya saja, seutas senyum tadi mampu membuat jantungku bekerja lebih cepat dari biasanya.
---
            Tak banyak yang berubah dengan pondok pesantren ini. Mungkin yang berubah hanya statusku saja yang tak lagi menjadi santri di dalamnya. Masa-masa indah saat jadi santri yang rada nakal, kini mengundang sekelebat kerinduan. Ghosob[2], gojlogan[3], setoran[4], lengseran[5], aku pernah melalui dan kini merindukan semua itu.
            Seminggu sudah sejak kepulanganku dari Jakarta. Ada hal yang sulit kujabarkan sejak pertemuanku dengan perempuan itu di atas angkot. Hari-hari setelah perjumpaan itu, aku sibuk menerka, bagaimana kuasa Tuhan menyelipkan keindahan pada makhluk bernama perempuan. Bahkan hanya dengan seutas senyum, ia mampu menguasai memori otakku. Senyumnya abadi, membentuk semacam gumpalan mengambang yang hanya berjarak sejengkal dari keningku.
            Umi baru saja keluar dan menutup pintu kamarku setelah menyampaikan hal yang sebenarnya sudah kuprediksi jauh-jauh hari sebelum aku memutuskan untuk kembali ke pondok pesantren ini. Bahkan di hari pertama kepulanganku pun, umi mulai menyelipkan hal itu sebagai wacana tersirat di sela-sela obrolan kami. Dan barusan, mulai ada penekanan di suara umi saat mengutarakannya lagi.
            Karena lahir di lingkungan pesantren, aku dibesarkan dalam naungan ilmu agama yang sangat kental. Wajar jika aku menjadi anak yang penurut dan tidak pernah melalaikan kewajiban sebagai seorang muslim. Tapi akhi-akhir ini, naluri membangkang kurasakan mulai bertunas dalam hati, lebih tepatnya sejak umi menyampaikan hal itu.
            Aku bangga menjadi bagian dari pesantren ini. Aku menyukai alamnya yang masih asri, serta ketentraman warga di dalamnya. Kecuali satu hal, aku benci tradisi nikah massal yang seolah menjadi image pesantren ini. Ya, nikah massal yang tak lama lagi sepertinya akan menjadi cerita tersendiri di hidupku juga. Setiap santri yang telah menyelesaikan pendidikannya dengan baik, akan dinikahkan dengan salah seorang santriwati yang dianggap cocok. Para warga yang tinggal di kawasan pondok pesantren ini adalah pelakon nikah massal itu, termasuk abi dan umi. Bagi mereka, salah satu pilar Pesantren Al-Hidayah adalah menikah dengan sesama kader.
            “Kamu sudah menyelesaikan pendidikan, Nak, apalagi selanjutnya selain menikah?”
            “Bagaimana mungkin aku berumah tangga dengan kondisi seperti ini, Umi? Aku belum siap!” sanggahku dengan nada memelas bercampur kesal.
            “Menikah itu membuka pintu rezeki dan akan menyempurnakan agamamu. Dan yang paling penting, kamu akan terhindar dari niatan zina yang mulai bergejolak di usiamu ini.”
            “Aku masih punya mimpi yang panjang, Umi! Aku tidak ingin hidupku hanya berkutat di sekitaran pesantren ini saja.” Aku memunggungi umi.
            “Apakah dengan menikah lantas memutuskan jalanmu untuk meraih cita-cita? Setelah menikah, kamu masih bisa mengejar apa pun mimpimu itu.”
            Aku memilih diam, aku tidak pernah menang dari umi jika membahas masalah ini. Hanya saja … kurasa abi dan umi paham akan agama, tapi bagaimana mereka mendesak seseorang yang belum siap lahir batin untuk segera menikah? Ini menjadi pemikiran terumit yang menghuni kepalaku saat ini.
            Umi tidak lagi di kamarku, ia pergi setelah kubalas semua ucapannya dengan diam. Tapi kata-kata umi tadi masih betah berputar-putar di benakku. Apa pun yang kujadikan alasan belum ingin menikah, hal yang paling menjurus adalah ketidaksukaanku pada tradisi nikah massal itu. Apa jadinya, momen bersejarah yang diharapkan hanya terjadi sekali seumur hidup itu malah dirayakan ramai-ramai. Membayangkannya saja … aku enggan!
---
            Hari ini ada seminar dari pemerintah setempat yang mengangkat tema “Pentingnya Kepedulian Sosial”. Dari temanya saja, aku sudah bisa menebak akan jadi apa seminar itu. Pasti sangat membosankan untuk orang sepertiku yang memang tidak betah duduk lama-lama. Tapi lagi-lagi karena senyuman itu, aku malah paling semangat mengikuti seminar hari ini. Aku mengambil tempat di tengah-tengah barisan kursi yang telah diatur sangat rapi di aula pesantren. Dulu, jika ada seminar semacam ini, kami artikan sebagai ajang bertemunya para santri dan santriwati dalam satu ruangan. Di hari lain, tembok tinggi pembatas asrama berdiri kokoh, menjadikan kami seolah hidup di dua dunia yang berbeda. Dan hari ini, aku berharap bisa bertemu dengan pemilik senyuman itu.
            Acara akan dimulai lima menit lagi. Aku duduk dengan tenang sambil mengamati para santriwati yang memasuki aula satu persatu. Hingga barisan kursi di zona akhwat terisi penuh, aku mulai mencari sosok yang diinginkan kedua mataku. Tapi … bagaimana mungkin aku mendapati senyuman itu? Mereka kompak mengenakan burqa. Entah sejak kapan adat itu berlaku. Jika ada pertemuan semacam ini para satriwati diwajibkan mengenakan penutup wajah, padahal jika mereka keluar dari lingkungan pesantren tidak sampai segitunya. Aku terus celingukan, hingga tak sadar sang MC sudah membuka acara. Aku lekas merapikan posisi duduk setelah beberapa pasang mata memicing ke arahku.
            “Bismillahirahmanirahim! Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatu!” suara MC yang kemudian disusul riuh ketika para hadirin menjawab salamnya. Detik itulah, ketika aku mengenali sepasang mata milik perempuan yang tengah berdiri di tengah panggung itu. Sepasang mata itulah, yang menemani senyum pelumpuh yang ia arahkan padaku kala itu. Mataku terpasung, tak mau lagi menjamah yang lain, selain sepasang mata itu.
            Setelah selesai membuka acara, ia berjalan pelan hendak turun dari panggung. Sekilas, ia melihat ke arahku. Kantung matanya dihiasi kerutan halus. Detik itu, aku yakin, ada senyum di balik cadarnya.

            Aku merebahkan tubuh yang sebenarnya tak lelah di atas sofa panjang di ruang tamu. Setelah senyuman, kini suaranya. Semakin lengkap untuk memenjarakanku seperti ini. Untuk pertama kalinya, aku berpikir hendak menyetujui keinginan abi dan umi untuk mengikutkanku nikah massal, tapi jika perempuan itu yang dipasangkan denganku. Ah … pikiranku mulai nakal.
            “Sudah selesai seminarnya?”
            Aku lekas bangkit kemudian duduk bersandar ketika abi dan umi menghampiriku. Mereka mengambil posisi di sebelahku. Abi meletakkan map cokelat di atas meja, lebih tepatnya bermaksud diperlihatkan kepadaku. Aku hanya melirik map itu, dan seketika perasaanku jadi tidak enak.
            “Abi sudah mendaftarkanmu ke panitia nikah massal tahun ini.”
            Deg! Sesaat, detak jantungku berhenti, kemudian disusul gemuruh di dada yang mewakili berbagai rasa. Aku mau berontak, tapi seperti apa cara berontak seorang anak yang tetap sopan di depan orangtua yang telah membesarkannya selama ini? Akhirnya aku hanya diam, seolah tak terjadi apa-apa.
            “Kenapa, Nak, kok, murung?” umi menangkap perubahan mimik wajahku.
            “Aku tidak ingin nikah massal, Umi. Aku ingin menikah dengan caraku sendiri,” lirihku.
            “Tapi nikah massal sudah jadi tradisi di pesantren ini. Apa kata orang jika kamu enggan melakukannya?”
            “Memang bukan sekarang, tapi kelak, kamu akan mengerti mengapa kami melakukan ini.” abi menambahkan.
            “Perempuan yang kami pilihkan untukmu adalah perempuan yang diidamkan banyak kaum adam. Kamu beruntung bisa meminangnya. Ia adalah Ustadzah Annisa, putri bungsu Kiai Manshur,” ucap umi setelah hening sesaat.
            “Ustadzah Annisa?” pekikku tak terkontrol.
            “Iya. Kiai Manshur sendiri yang pertama kali mengusulkan perjodohan ini kepada Abi.”
            Aku beranjak ke kamar, meninggalkan abi dan umi. Ini memang tidak sopan, tapi lebih baik daripada aku mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas diperdengarkan seorang anak kepada orangtuanya.
            Kurasakan semakin berat pikiran yang bersarang di kepalaku. Ini bukan lagi sebatas nikah massal, tapi aku dijodohkan dengan Ustadzah Annisa, putri pengasuh pesantren ini. Semasa aku di tahun terakhir madrasah aliah, ia baru pulang dari Cairo setelah meraih gelar S1-nya di sana. Ia kembali dan mengabdikan diri di pesantren ini. Aku banyak mendengar cerita tentangnya. Solehah sudah pasti, baik tidak diragukan lagi, cantik … entahlah, aku belum pernah bertemu langsung. Tapi … bukankah ia lebih pantas jadi kakakku? Entah apa yang ada di benak abi dan umi. Dulu, aku pernah menentang abi dan umi yang menginginkanku kuliah di universitas milik lembaga—masih di bawah naungan Al-Hidayah—yang menurutku kurang sejalan dengan cita-citaku. Entah apa jadinya jika aku terpaksa menentang mereka lagi.
---
            Sudah tiga hari ini aku aktif bantu-bantu ngajar di tingkat tsanawiah sambil menunggu hasil wawancara di sebuah perusahaan ternama di Jakarta yang kulakukan sehari sebelum kembali ke sini.
            “Baiklah, Abi, Umi, aku bersedia menikah dengan Ustadzah Annisa,” ucapku pagi ini sebelum berangkat ngajar. Kalimat itu terlontar setelah aku melakoni salat istiqarah tiga malam berturut-turut. Tentu saja kalimat tadi disambut mereka dengan senyum sumringah.
            “Tapi aku tidak ingin nikah massal. Aku ingin pernikahan itu digelar terpisah,” imbuhku sejurus kemudian dan sukses membuat mereka terkesiap.
            “Aku lebih baik kembali ke Jakarta daripada harus nikah massal,” tandasku mengakhiri percakapan singkat itu lalu beranjak pergi.
            Seminggu kemudian, kami bertandang ke kediaman Kiai Manshur. Persiapan pernikahanku dengan Ustadzah Annisa telah dibicarakan sebelumnya, tentu saja setelah menyetujui ketidakinginanku nikah massal. Hari ini, untuk pertama kalinya, aku akan dipertemukan dengan calon istriku. Sebelum mengucapkan ijab qabul, aku berhak melihat wajahnya secara langsung tanpa balutan cadar. Sumpah, aku belum pernah segugup ini. Telapak tangan serta keningku dirembesi keringat dingin. Terlebih saat Ustadzah Annisa sudah berada di depanku dan sedang ancang-ancang untuk melepas cadarnya.
            Ketika cadar itu tersingkap, aku menemukan cahaya yang lebih lembut dari purnama. Mungkin berlebihan, tapi sudah kukatakan di awal, bahwa aku bukan tipe orang yang pandai menggambarkan kecantikan seorang perempuan.
            “Subahanallah! Alhamdulillah!” hanya dua kalimat itu yang kurasa mampu mewakili gemuruh rasa di dada saat ini. Tidak salah lagi, wajah inilah yang melahirkan senyuman pelumpuh di angkot itu. Dialah yang kuinginkan, Uztadzah Annisa yang sempat kusangsikan.
            Konsep pernikahan yang kurancang matang-matang, serta-merta kubatalkan. Aku lebih memilih nikah massal, bergabung dengan 80 pasangan lainnya yang terdaftar tahun ini. Ustadzah Annisa pun menginginkan itu, sebagai bentuk penyempurnaan kami selaku kader Pesantren Al-Hidayah. Meskipun akhirnya aku juga melakoni nikah massal—tradisi yang tidak kusukai—ini, tapi aku tidak akan memaksakannya kepada anak-anakku kelak. Aku hanya akan menawarkan, lalu membiarkan mereka memutuskan.

            Di malam pertama kami.
            “Aku belum paham bagaimana perjodohan ini terjadi,” ucapku kikuk.
            “Kamu menyesal?” tanyanya pelan.
            “Oh … tidak. Aku hanya ….” Aku tercekat.
            “Karena aku lebih pantas jadi kakakmu?”
            “Bukan, sama sekali tidak seperti itu. Bahkan awalnya aku menolak perjodohan ini karena aku menginginkan perempuan yang kutemui di atas angkot itu,” sanggahku sebelum ia tersinggung.
            “Ya, semua berawal dari angkot itu. Sudah lama abi selalu mendesakku untuk segara menikah, tapi aku tidak mau gegabah sebelum hati menemukan pelabuhan yang tepat. Dan akhirnya kuturuti keinginan beliau setelah bertemu denganmu. Sejak kamu menyapaku di angkot itu, suaramu tak pernah berhenti terngiang di telingaku. Kamu berhasil membuatku merasakan rindu terlarang untuk pertama kalinya.” Ia jeda untuk mengambil napas. Bisa kutangkap, ia yang menginginkan perjodohan ini.
            “Awalnya aku ragu, ketika sadar, kamu lebih pantas jadi adikku. Tapi setelah kupikir, St. Khadijah, pun, umurnya lebih tua 15 tahun dari baginda nabi. Sementara kita, hanya terpaut beberapa tahun.”
            “Sudahlah, aku sama sekali tidak mempermasalahkan itu. Aku benar-benar tulus mencintaimu. Sekalipun kamu bukan perempuan di atas angkot itu, karena sekarang kamu adalah istriku,” ucapku meyakinkan.
            “Bisakah aku minta satu hal?”
            “Tentu, apa itu?”
            “Panggil aku Dek Annisa!”
            Aku tersenyum nakal, kemudian kubalas dengan mengecup keningnya. Sungguh besar kuasa Tuhan mempertemukan dua cinta dengan cara terindah setelah saling meminta dalam doa. Dan untuk pertama kalinya, aku beranggapan, bahwa tradisi nikah massal itu tidak terlalu buruk.
---


[1] Hukuman bagi santri yang melanggar aturan pesantren.
[2] Menggunakan barang orang lain tanpa seijin pemilik.
[3] Istilah yang digunakan ketika mengerjai santri lain.
[4] Kegiatan menyetorkan hafalan nadzaman kitab-kitab.
[5] Makan bersama menggunakan lengser atau nampan.

*Cerpen ini awalnya saya tulis untuk lomba Santri Menulis dengan tema "Sepenggal Cerita di Lorong Pesantren", tapi gagal, hanya lolos seleksi tahap awal (100 besar). Kemudian saya kirim ke Read Zone, dan tayang pada tanggal 08 Oktober 2016. Cerpen ini lahir atas bantuan salah seorang teman facebook (Ahmad Naufal Arsyaf), yang kebetulan seorang santri, dan di pondok pesantrennya itulah tradisi nikah massal ini benar-benar ada.
PROFIL PENULIS
            Ansar Siri, penyuka warna merah ini menghabiskan masa kecil hingga remaja di tanah kelahiran, Bone, Sulawesi Selatan. Cowok Capricorn ini mengemban mimpi untuk mengharumkan nama daerahnya melalui tulisan. Kecintaannya pada dunia menulis berawal dari kebiasaan menulis catatan harian.
Lebih dekat dengan penulis;
Email               : ansarsiri357@gmail.com
Facebook         : Ansar Siri
Twitter             : @SiriAnsar

Selasa, 04 Oktober 2016

Dawai Cinta Tanpa Nada (Menjemput Kebahagiaan)



            Beberapa hari telah terangkai di muara waktu, mulai menyulam sekotak kenangan baru sejak Mia kembali ke rumahnya—di kawasan TPU Islam Nurani. Hari pertama, ia sibuk bersih-bersih. Lantai serta perabotan rumahnya dilapisi debu tipis karena lama tidak tersentuh. Entah kenapa, Mia merasa asing di tempat itu. Tanpa harus menyingkirkan sampah-sampah yang berserakan di TPU, rasanya ada bagian dari hidupnya yang hilang. Kini, pekerjaan Ayahnya yang juga merangkap jadi pekerjaannya itu diambil alih oleh orang lain. Sementara Pak Warto, jadi kurir di perusahaan Pak Andri. Untuk sementara, Pak Andri rasa hanya posisi itu yang paling cocok, karena saat ditawari jadi sopir pribadi, ia sama sekali tidak bisa menyetir.
            Ditinggal kerja sang ayah dari pagi hingga sore, Mia terpaksa menjalani hari-hari yang sepi. Ia merindukan saat-saat kebersamaan mereka dulu, sewaktu masih jadi kuncen. Tapi di balik semua itu, gadis bertubuh ramping itu bersyukur, mengingat pekerjaan ayahnya jauh lebih baik dari sebelumnya.
            Kadang, Mia merindukan keberadaannya di tengah-tengah keluarga Pak Andri beberapa minggu terakhir, terutama saat-saat bersama Evan atau Elen. Pernah terpikir olehnya untuk mengunjungi kediaman mereka sekali lagi, tapi keraguan pekat mengubur keinginannya. Mengingat sikap dingin Evan di perbincangan terakhir mereka—di rumah sakit—beberapa hari yang lalu. Hingga hari ini, Mia tidak pernah mendapatkan kabar tentang Evan. Posisi ayahnya di kantor kurang potensial bisa bertemu dengan Pak Andri untuk sekadar menanyakan keadaan Evan. Tapi Mia yakin, Evan baik-baik saja. Apakah ia sudah mampu terlepas dari kemelut masa lalunya? Itu yang masih jadi pertanyaan.
            Mia banyak menghabiskan waktu di TPU, tempat yang menyimpan sejuta kenangan dirinya bersama Dirga. Setiap kali daun berderik gugur, ia menoleh, disangkanya dawai biola Dirga yang bergetar. Sepanjang waktu, Mia menapaki setapak yang permukaannya tertutupi rumput kering, atau terdiam di balik pohon oak seperti dulu, sebelum dirinya dan pengutus kedamaiannya itu saling bertegur sapa.
            Kadang terlintas pikiran, bahwa dirinya tidak waras lagi. Setiap detik dan di setiap hela napas, Mia merasa ruang hatinya disesaki bayangan Dirga. Sekarang, ia jadi mengerti, bagaimana cinta mengaburkan logika Evan.
            Separuh waktu telah terlewati sejak sepasang liontin merpati itu terpisahkan. Tiga bulan yang dijanjikan—atau lebih lama—segera terangkai. Gadis berbibir mungil itu akan bertahan dalam penantian demi sebuah kepastian.

         

            Mia keluar dari TPU, setelah bosan bercengkrama dengan wajah sore yang enggan menghadirkan sosok Dirga. Gadis yang hari ini mengenakan oblong berwarna merah hati itu terdiam di tepi jalan, menatap lurus ke arah pertigaan. Ia berharap penawar rindunya tiba-tiba muncul di ujung sana. Pandangannya tak teralihkan, sekalipun ia sadar, itu tidak mungkin.
            Berselang beberapa menit, di jalan yang tadinya sepi, meluncur sebuah Jaguar abu-abu keperakan. Mia tak peduli dengan kemunculan Jaguar itu, sebelum akhirnya berhenti tepat di sampingnya. Mia menggeser sedikit posisi dan mengernyit memandangi mobil mewah itu.
            Kemudian seseorang muncul dari pintu depan yang membuka. Sesaat, Mia tak mengenali orang itu, lebih tepatnya, ia tidak yakin dengan dugaannya. Orang dengan setelan berdesain modern itu, kini berdiri tegap di sebelah mobil. Ia menatap Mia dengan mata berbinar-binar dan senyum yang tertata indah.
            Mia tercengang, membalas tatapan orang itu dengan wajah datar yang dipenuhi riak-riak keheranan.
            “Hai, Mia! Apa kabar?”
            Mia tersentak, suara itu meleburkan keraguannya. Sungguh, orang itu adalah Evan. Tidak salah lagi. Sekian detik Mia terperangah. Bagaimana bisa Evan seperti ini? Ia berusaha mengatakan sesuatu, tapi ….
            “Van ….” Hanya potongan nama itu yang mampu terluar dengan nada desahan yang panjang.
            Mia nyaris tak percaya, sosok yang berdiri di hadapannya itu benar-benar Evan. Rambut yang dulunya tak begitu terurus, kini tertata rapi membingkai wajahnya yang berseri. Ia berusaha menemukan kembali kemampuan bicaranya, dan ….
            “Van … ini benar-benar kamu?” akhirnya kalimat itu terucap dengan susah payah, disusul sebuah senyum gugup yang terlihat aneh di wajahnya.
            “Kenapa, nggak percaya? Atau baru sadar, kalau aku seganteng ini?” pungkas Evan dengan nada candaan.
            Kali ini kegantengan Evan memang patut diakui, ia sangat karismatik.
            “Van, aku seperti mimpi,” ucap Mia lebih lepas disertai gelak tawa seadanya.
            “Mimpi bertemu pangeran?”
            Mia mengangguk di balik tawanya yang tertahan, sedikit menanggapi candaan Evan.
            “Ini semua karena kamu,” ucap Evan dengan nada berbeda.
            Mia tersipu.
            “Aku ingin mengajak kamu makan malam.”
            “Apa?” Mia terperanjat.
            “Kenapa, kamu tidak bisa, ya?”
            Sesaat, Mia bengong. Ia masih belum yakin dengan ajakan yang baru saja didengarnya.
            “Ini, kan, masih sore?”
            “Tempatnya lumayan jauh, jadi kita harus berangkat sekarang.”
            “Jauh?” timpal Mia.
            “Ada masalah?”
            “Ayah belum pulang. Aku takut bikin beliau cemas.”
            “Ooo … kalau soal itu tidak perlu khawatir. Tadi sebelum ke sini, aku menemui beliau di kantor dan minta izin untuk mengajakmu makan malam.”
            Hhaa …?” Mia antara terperangah dan tidak percaya. Mungkinkah ini candlelight dinner yang dipersiapkan Evan matang-matang? Sampai segitunya? Tapi, apa maksudnya?
            “Kamu tidak sedang berpikir untuk menolak, kan?”
            “Oh … enggak, kok!” Mia jadi salting. “Kalau begitu, aku ganti baju dulu, ya!” Mia baru saja hendak beranjak, ketika Evan lebih dulu meraih pergelangan tangannya.
            “Tidak usah, begini saja sudah manis, kok. Cantik.” Evan menutup kalimatnya dengan senyum bersungguh-sungguh.
            “Tapi, kan …?” kalimat Mia tenggelam dalam tatapannya memerhatikan penampilan Evan mulai dari ujung kaki hingga pandangan mereka bertemu kembali.
            “Kenapa? Pakaianku terlalu resmi?”
            “Kamu yakin, aku tidak usah ganti baju?”
            Evan mengangguk, kemudian beralih membukakan pintu mobil untuk gadis yang masih memetakan kebingungan di wajahnya.
            Sejenak, Mia menunduk memandangi dirinya, hanya mengenakan kaus longgar dengan bawahan jins pendek—nyaris segaris dengan ujung kausnya—plus sandal jepit yang melekat di telapak kakinya. Ia membayangkan reaksi orang-orang di luar sana melihat mereka jalan berdua. Bisa-bisa, Evan disangka sedang jalan sama pembantunya.
            “Yuk …!” kepala Evan menyentak lemah ke arah mobil saat Mia menatapnya.
            Mia beranjak masuk ke dalam mobil dengan wajah bingung sembari terus menatap Evan. Hingga akhirnya pandangannya mengabur di balik kaca pintu mobil yang tertutup.
            Jaguar abu-abu keperakan itu meluncur membawa Mia dengan serangkum tanda tanya yang teredam, serta berbagai perasaan aneh. Bukan karena risi dengan penampilannya yang sangat tidak sepadan dengan pemuda di sebelahnya, tapi ia masih antara percaya dan tidak. Bagaimana bisa sedrastis itu? Evan yang selama ini terkubur dalam trauma, sekarang dengan santainya mengemudikan mobil menuju suatu tempat yang sedari tadi coba ia terka-terka. Caranya berbicara, bertingkah, benar-benar bukan Evan yang ia kenal selama ini. Evan yang membanggakan itu sepertinya telah kembali.
            Sesekali, Mia mengintai Evan—yang tampak sangat tenang—dari sudut matanya. Mia tersenyum, ia bahagia melihat Evan yang sekarang. Mereka terus meluncur di bawah terpaan sinar matahari yang mulai memudar. Panjangnya perjalanan terasa kaku dengan hadirnya kebisuan. Sesekali, Evan hanya menoleh dengan sebuah senyum, dan detik selanjutnya, ia akan kembali fokus pada jalanan. Sebenarnya ada ribuan topik yang ingin Mia bicarakan, tapi ia tidak tahu bagaimana harus memulainya. Akhirnya hanya deretan nama-nama tempat—yang berkemungkinan mereka tuju—yang hilir mudik di benaknya.
            Suara derik pasir teredam oleh deru mesin yang melemah. Setelah 90 menit perjalanan, mereka tiba di sebuah pantai. Padahal tidak pernah terlintas di benak Mia, Evan akan mengajaknya ke pantai.
            “Pantai?” wajah Mia jelas menyiratkan rasa sukanya dengan tempat itu.
            “Kamu suka, kan?” Evan meleraikan sabuk pengamannya.
            “Wah, suka banget.” Mia yang seolah tak sabaran, cepat-cepat turun dari mobil.
            Mia berlari dengan tangan terentang menghampiri ombak yang pecah. Ia membiarkan angin menyentuh seluruh lekuk tubuhnya, kausnya yang longgar meliuk-liuk mengikuti arah angin. Mia berhenti di atas pasir yang basah, ombak menyisakan buih di punggung kakinya. Ia menoleh dan melambai riang ke arah Evan.
            Evan yang duduk di atas kap depan mobil—dengan kaki terjulur—hanya membalas lambaian gadis yang tampak begitu riang itu, tanpa berniat menghampirinya. Ia membiarkan Mia berekspresi sendiri di sana, dan menjadikannya sebagai tontonan yang menarik.
            Mia puas setelah beberapa kali serpihan ombak menggapai pergelangan kakinya. Ia kembali menghampiri Evan. Mia duduk meringkuk, bersisian dengan pemuda berwajah tirus itu. Sisa-sisa pasir yang melekat di alas kakinya menempel di kap mobil yang tadinya bersih mengkilap.
            “Sudah puas main sama ombak?”
            Mia mengangguk sembari tersenyum.
            “Kamu, kok, diam di sini saja?”
            “Aku lebih tertarik melihat kamu berlarian seperti tadi, daripada pantainya.”
            Mia tersipu. Kenapa Evan menjawab seperti itu?
            Matahari menggantung rendah di kejauhan, nyaris menyentuh punggung laut. Sinarnya yang kian memerah menyepuh awan-awan di sekitarnya, bahkan membias hingga ke wajah mereka.
            “Indah banget, ya?”
            “Iya.” Wajah Mia yang berseri kian merona karena pantulan sinar matahari di seberang laut.
            “Kamu tahu, kenapa aku mengajakmu ke sini?” Evan mengalihkan pandangan ke arah Mia.
            “Karena tempat ini favorit Sandra, kan?” jawab Mia tanpa menoleh.
            Evan mengernyit.
            “Kamu, kok, berpikir seperti itu?” Evan menggeser sedikit posisi, menghadap ke arah Mia.
            “Memang begitu, kan? Dulu juga selalu seperti itu.” Mia membalas tatapan Evan.
            “Sekarang tidak lagi, sekarang sudah beda. Biarkan Sandra mengendap di dasar hatiku, selamanya. Aku tidak ingin ada sesuatu yang memberatkan kepalaku saat hendak ditegakkan dan menatap lurus ke depan, seperti yang pernah kamu katakan.”
            Ini kesekian kalinya Mia tercengang hari ini. Sulit dipercaya, kalimat yang baru saja didengarnya diucapkan oleh Evan.
            Evan menggeser posisi, kembali menghadap laut. Sejenak, kebisuan terjalin di antara mereka. Evan menunduk, memandangi ujung sepatunya sendiri yang dikais-kaiskan di atas pasir.
            “Oh, ya, aku punya sesuatu  buat kamu.” Evan beranjak mengambil sesuatu di jok belakang mobil. Sesaat, ia kembali dengan sebuah bingkisan. Sesuatu berbentuk persegi empat yang cukup besar dan datar, dibungkus kertas tipis berwarna pink yang dipenuhi bercak-bercak hati berwarna merah.
            Evan menyerahkan bingkisan itu dengan sebelah alis terangkat.
            “Apa ini, Van?” Mia menyambutnya dengan tanya.
            “Buka aja!” Evan menyunggingkan seutas senyum.
            Mia mengapit sebagian kecil kertas pembungkus bingkisan itu pada sisi tengah atas dengan salah satu tangannya, kemudian ditariknya ke bawah dan membentuk pola sobekan menyerong. Sebelah mata mengintipnya dari celah sobekan itu. Mia merasa sangat mengenali mata itu. Gegas, ia menyingkirkan semua kertas pembungkus yang masih tersisa. Mia sudah bisa menebak, isi bingkisan itu pasti sebuah lukisan. Tapi yang masih menyita rasa penasarannya, wajah siapa yang tertera dalam lukisan itu? Matanya pun berbinar-binar ketika wajahnya terpatri di permukaan kanvas itu—tersenyum dalam padanan warna yang indah.
            Wow … Van, ini bagus sekali. Kapan kamu membuatnya?” tanya Mia kegirangan. Tatapannya masih lekat pada lukisan itu, ia seolah bercermin pada permukaan kanvas berukuran 40 x 60 cm itu.
            “Selama di rumah sakit.” Evan jeda sejenak, melirik ke arah Mia yang asyik memerhatikan lukisan pemberiannya dari setiap sudut. “Entah sejak kapan bayangan Sandra memudar dalam imajinasiku, yang ada malah senyum dan keceriaanmu. Semula, aku tak mengerti, kenapa? Tapi sekarang aku benar-benar mengerti.” Evan melirik sekali lagi, tepat ketika Mia pun menoleh ke arahnya.
            Bagaimana bisa? Tiba-tiba sebentuk ketakutan menghampiri gadis bermata cokelat bening itu. Mendadak keceriaannya memudar. Ia takut membayangkan kebenaran yang ia pikirkan. Ia berusaha menenggelamkan pikiran itu. Ia mengembalikan pandangan ke dalam lukisan, mencerna senyumnya sendiri.
            Perlahan-lahan, matahari senja mulai menyelam ke dasar lautan. Bentuknya yang sempurna terkikis, hingga kini tersisa hanya setengahnya saja. Menimbulkan efek pendar keemasan pada permukaan air laut di balik siluetnya. Sangat menawan.
            Hingga malam menghadirkan bulan separuh yang pucat, banyak kebisuan yang tercipta di antara mereka. Sesekali, keduanya mencoba menghadirkan bahan obrolan yang akhirnya hanya akan terasa hambar dan kaku. Dalam keremangan, terjadi pergolakan tanya yang memekik dalam diri Mia. Hingga akhirnya, ia menemukan kunci untuk mengakhirinya.
            “Eh … katanya, kita mau makan malam. Kok, malah ke pantai?” Mia meletakkan lukisan itu di belakangnya, bersandar pada kaca depan mobil.
            Evan menanggapi ucapan Mia dengan basa-basi. Di antara cahaya temaram, ia malah tersenyum kemudian menunjuk ke arah selatan. Gadis yang tengah penasaran itu pun menoleh. Tapi tidak ada apa-apa di sana, selain kegelapan yang dilatarbelakangi deru ombak.
            Evan tahu, saat ini, gadis yang diinginkannya itu sedang bingung, berusaha menemukan sesuatu yang ia maksudkan. Evan mengakhiri kebingungan Mia (atau malah menambah) dengan tiga kali tepukan. Kemudian, di jarak sekitar 30 meter dari posisi mereka, lampu-lampu kecil yang bertalian menyala dan berpendar bersama. Seperti bintang-bintang gemerlapan di bawah terpaan cahaya bulan. Tapi jelas tidak ada rasi bintang seperti itu, menyerupai tirai terbuka dengan belahan meruncing. Ada empat tirai yang terbentuk dari pertalian cahaya. Keempatnya masing-masing pada sisi yang berbeda, membentuk semacam ruangan bermandikan cahaya. Meski tak begitu jelas, Mia bisa melihat, di sana ada sebuah meja dan dua buah kursi. Tak hanya itu, beberapa bola lampion yang berpendar kemerahan tergeletak di sekitar tempat itu. Seperti matahari senja kecil yang terbenam di permukaan pasir. Mia takjub. Di sanakah tempat makan malam yang dimaksudkan Evan? Luar biasa!
            Belum sempat Mia menanyakan bagaimana Evan menyiapkan semua itu, seorang laki-laki yang berpakaian senada dengan Evan menghampirinya. Kemudian laki-laki itu dalam posisi setengah membungkuk, menyodorkan seikat mawar merah dalam rangkulan pita warna-warni kepadanya. Mia antara bingung dan tak berdaya menerima buket bunga itu.
            Belum lagi Mia sempat mengatakan apa-apa, Evan sudah meraih jemari tangannya.
            “Yuk!” ajak pemuda berambut cokelat legam itu dengan senyum yang terpatri dalam keremangan cahaya bulan.
            Mia terperanjat, setengah melompat, ia turun dari kap depan mobil.
            Mereka berjalan beriringan menuju tirai cahaya itu sambil bergandengan tangan. Tiba-tiba ketakutan kembali menyeruak dalam diri Mia. Ini bukan candlelight dinner, mereka hanya berteman. Tapi apa kalimat yang tepat untuk suasana seromantis ini? Mia mencoba tetap tenang. Ia berusaha meyakinkan diri, ini hanya cara Evan menghargai kedekatan mereka, atau bentuk lain dari permohonan maaf atas sikap-sikap kurang mengenakkan selama ini.
            Pikiran tak menentu mengiringi langkah Mia hingga tiba di balik tirai-tirai cahaya itu. Bahkan saking kerasnya ia berpikir, sampai-sampai ia tidak menyadari bahwa dirinya sudah duduk di salah satu kursi dan berhadapan dengan Evan. Mereka diantarai meja bundar yang dilapisi kain taplak merah bermotif garis-garis putih. Meja itu masih kosong, sebelum beberapa orang pelayan yang masih berpakaian senada dengan Evan, memasuki tirai cahaya itu. Mereka membawa serangkaian menu makan malam yang langsung disajikan dan ditata dengan rapi.
            Mia meletakkan buket bunga tadi di pangkuannya. Ia merasa jadi ratu sehari diperlakukan Evan seperti itu. Ia berusaha menikmati momen, tapi tidak bisa, jiwanya tidak tenang. Dan semakin keras saja ia berpikir, apa sebenarnya maksud semua ini?
            “Kok, tampangnya seperti orang kebingungan begitu? Lagi mikirin apa?” Evan menangkap ketidaktenangan Mia.
            “Enggak, kok, nggak lagi mikirin apa-apa.”
            “Atau jangan-jangan, kamu lagi kurang enak badan?”
            Mia hanya menggeleng.
            “Tapi, kamu suka, kan, dengan tempatnya?”
            “Ya.” Hanya seperti itu Mia merespon.
            “Ya sudah. Yuk, makan!” Evan terlihat mulai memasukkan beberapa makanan ke dalam piringnya.
            Mia masih terdiam menatap piring kosong yang ada di depannya.
            “Van … sebenarnya apa maksud semua ini?”
            Evan menghentikan aktivitasnya, ia merasa aneh dengan pertanyaan itu.
            “Tadi, kamu bilang suka, kan?”
            “Iya. Suka banget malah. Tapi tetap saja, aku merasa aneh berada di sini. Kita, kan, bisa makan di tempat biasa saja, kamu tidak perlu repot-repot seperti ini.”
            “Aku tidak merasa repot sama sekali.” Evan menggeleng.
            “Tapi … entahlah!” Mia kehabisan kata.
            “Sebenarnya apa, sih, masalahnya?”
            Mia terdiam, karena ia pun tidak tahu. Sikapnya itu hanya dipicu oleh ketakutan yang terus membuntutinya.
            Evan meletakkan sendok dengan sejumput makanan yang belum sempat tiba di mulutnya. Sesaat hening.
            “Sebenarnya, aku mau menyampaikan hal ini setelah kita selesai makan. Tapi … baiklah!” Evan menghela napas panjang. “Aku melakukan semua ini sebagai permohonan maaf atas sikapmu yang seringkali kasar terhadapmu selama ini. Bahkan, aku sama sekali tidak pernah menghargaimu.” Evan jeda sejenak, ia menatap mata Mia yang masih kental menyorotkan kebingungan. “Dan juga untuk menebus sebuah kebodohan,” lanjut Evan dengan nada tertahan.
            “Kebodohan?” Mia mengernyit.
            “Sebenarnya … sejak pertama kali kamu menghampiriku di pojok halaman itu, aku merasakan ada kedamaian dalam dirimu, rasa nyaman, dan terlindungi. Tapi, aku berusaha keras untuk mengingkarinya. Aku membohongi perasaanku sendiri, karena tidak ingin ada orang lain yang bisa menentramkanku selain Sandra. Tapi rangkaian hari yang kita lalui bersama, perlahan-lahan mengikis kemampuanku untuk ingkar. Aku mulai merasa hadirmu berarti di hidupku, dan aku tidak ingin kehilangan kamu. Aku ingin, sepanjang apa pun hariku selanjutnya yang telah digariskan oleh Tuhan, ada kamu di sana.” Suara Evan yang merujuk sendu mendadak mengirimkan hawa dingin di sekujur tubuh Mia.
            “Van, aku tidak akan meninggalkan kamu, kita masih bisa terus sama-sama, kok.”
            “Tapi, aku menginginkan kebersamaan yang lebih dari sekadar kebersamaan kita selama ini. Aku ….” Evan tercekat, ia menelan ludah. Kemudian menarik napas panjang, seperti sedang mengumpulkan seluruh energi yang ada dalam tubuhnya. “Aku sayang sama kamu, aku ingin kamu menjadi pendamping hidupku yang seutuhnya. Selamanya!” Evan menyuguhkan kesungguhan di nada terakhir kalimatnya.
            Mia beku, wajahnya kaku. Ketakutan yang sejak tadi membuntutinya, kini menimpanya seperti reruntuhan bagunan yang dilanda gempa.
            Evan mengeluarkan kotak kecil berwarna merah hati dari balik saku jasnya. Kemudian menyodorkannya kepada Mia setelah membuka tutupnya. Mia melirik isi kotak itu, sebuah cincin berbahan emas putih. Mia masih ingat jelas, itu cincin yang pernah dilihatnya di kamar Evan, malam itu.
            “Aku tidak takut lagi mengejar kebahagiaanku, karena kebahagiaan itu sekarang ada di hadapanku. Jika memang harus ada Sandra yang lain, maka aku telah menemukannya. Aku merasa lahir kembali, dan aku ingin menjalani hari-hari baru bersamamu.” Evan menghela napas panjang, untuk kesekian kalinya. “Hari ini, penantianku akan berakhir jika kamu bersedia memakai cincin ini.” Evan menatap Mia penuh harap.
            “Tapi kenapa, Van? Kenapa harus seperti ini?” tuntut Mia setelah ia mampu terlepas dari kebekuannya.
            “Karena kamu telah mengembalikanku ke kehidupan yang sesungguhnya. Kamu mengobarkan kembali pijar-pijar semangat yang lama redup dalam diriku. Dan karena kamu, aku bisa seperti ini.”
            “Bukan karena aku, Van. Tapi karena niat yang ada dalam diri kamu.”
            “Dan niat itu datang bersamamu.” Evan menodong ucapan Mia.
            Sesaat, Mia bungkam, napasnya terasa sesak. Ini benar-benar sulit baginya.
            “Ini tidak mungkin, Van!” lirih Mia.
            “Kenapa?”
            “Karena kita sahabat. Jadi ….”
            “Itu bagi kamu!” suara tinggi Evan menenggelamkan kalimat Mia. “Apakah perasaanku salah setelah semua yang kamu lakukan untuk hidupku? Laki-laki manapun, pasti akan tersentuh jika kamu perlakukan seperti itu.”
            “Tapi, aku tidak bermaksud ….”
            “Tidak bermaksud untuk membuatku suka sama kamu? Itu yang ingin kamu katakan?” sekali lagi, suara Evan menenggelamkan kalimat Mia.
            Mia sungguh merasa tersudut.
            “Kamu tidak pernah berpikir, betapa berartinya semua yang kamu lakukan selama ini. Di saat aku merasa hidup tak penting lagi, kamu datang mengangkatku dari keterpurukan. Apakah itu belum cukup untuk membuatku suka sama kamu?” mata Evan memancarkan kesungguhan, dadanya bergetar penuh kekhawatiran serta sedikit keputusasaan.
            Mia termenung. Ia menopangkan dahi pada telapak tangannya. Jemari tangannya terbenam di sela-sela helai rambut yang kini gusar, segusar pikirannya. Ia berusaha menjaga perasaan Evan, ia tidak ingin mengacaukan suasana malam ini. Tapi tidak mungkin dengan menerima cinta yang datang begitu mendadak.
            Suara ombak yang pecah berkumandang di sepanjang pantai, seolah-olah memanggil ombak-ombak lain untuk segera berlabuh. Tapi nyanyian ombak kali ini tak mampu memberikan sedikit hiburan untuk Mia. Bahkan cahaya bulan pun sepertinya tak cukup menerangi kebimbangan hatinya, ia merasa sangat tidak nyaman.
            “Aku tidak bisa, Van,” ucapnya kemudian. Lirih. Berat.
            Evan menelan ludah kekecewaan. Untuk pertama kalinya sejak ia tiba di dalam tirai-tirai cahaya itu, ia mengalihkan pandangan dari wajah Mia. Pemilik hidung mancung itu menunduk. Dirasakan semangat hidup yang baru saja tumbuh mendadak layu kembali. Keceriaan yang menemaninya sepanjang sore tadi, kini tak tampak lagi di wahjahnya. Evan mengatupkan kembali kotak kecil itu dan menggenggamnya kuat-kuat. Giginya mengertak.
            “Alasannya?” Evan menghela napas berat, ia mencoba tetap tenang.
            “Karena ….” Mendadak, Mia menelan kembali ucapannya, ia tidak mungkin mengutarakan alasan itu di depan Evan—bahwa ia mencintai orang lain. Kalaupun Evan harus tahu, tidak dengan sepolos itu.
            Evan mengernyit memandang Mia yang kini tergagap tanpa suara.
            “Kamu tidak bisa jawab, kan?”
            Mia bangkit dari tempat duduknya. Buket bunga di pangkuannya jatuh dan berguling di atas pasir.
            “Aku mau pulang, Van.”
            Evan beranjak meraih tangan Mia.
            “Tolong, jangan pulang dengan seperti ini. Kita sudah jauh-jauh ke sini. Setidaknya, selesaikan dulu acara makan malam ini.”
            “Enggak usah, Van. Aku mau pulang!”
            “Kamu kenapa, sih?”
            Mia terdiam, ia membalas tatapan Evan dari sudut matanya.
            “Oke, kamu tidak perlu memberikan alasan apa-apa. Bahkan jika kamu tidak nyaman karena ucapanku tadi, lupakan saja. Anggap saja kamu tidak pernah mendengarnya. Tapi tolong, jangan pulang sekarang.”
            Mia memalingkan wajah, ia menghindar penuh dari tatapan Evan.
            “Mia, aku mohon!”
            Sesaat, tak ada tanggapan dari Mia, tapi kalimat permohonan yang terakhir mampu meluluhkan hatinya. Kemudian dengan enggan, Mia duduk kembali di kursinya. Mia berusaha membuat senyaman mungkin suasana malam yang terlanjur kacau.
            Makan malam yang dibayangkan Mia—sepanjang perjalanan tadi—akan sangat menyenangkan dengan bumbu-bumbu obrolan segar, kini berlangsung penuh kekakuan. Bahkan, ia sama sekali tidak bisa menikmati makanan yang disantapnya, hambar.
            Perjalanan pulang pun tidak kalah kakunya. Mia membuang pandangan ke luar melewati kaca jendela mobil, ia tidak sanggup menoleh ke arah Evan. Lampu-lampu yang menghiasi bangunan di sepanjang jalan memendar di pandangan Mia, mereka seolah bergerak cepat ke arah berlawanan, secepat Evan mengemudikan mobil.
            Sepanjang perjalanan tidak ada percakapan, bahkan sepatah kata pun. Hanya deru mesin yang bergetar lembut, serta hiruk-pikuk jalanan yang menerawang kesunyian di antara mereka. Hingga akhirnya Jaguar itu berhenti tepat di depan pagar rumah Mia yang hanya setinggi pinggang, terbuat dari batangan-batangan besi gepeng yang dicat putih. Mia membungkuk untuk menjejalkan lukisan pemberian Evan dari jok belakang mobil saat si pemberi tiba-tiba bersuara, membuatnya agak tersentak.
            “Terima kasih untuk malam ini.”
            Dari nada suara itu, Mia yakin, Evan tidak sungguh-sungguh berterima kasih, ia pasti sangat kecewa.
            Mia bermaksud mengucapkan selamat malam, tapi Jaguar itu langsung melesat setelah ia mengeluarkan lukisannya. Setelah apa yang terjadi malam ini, Mia pun tidak mengerti, kenapa ia masih harus memiliki lukisan itu. Tapi dengan tidak langsung tancap gas, sepertinya, Evan pun menginginkan Mia mengambil lukisan itu.
            Mia terdiam mengawasi mobil Evan yang semakin jauh. Kini hanya berupa dua titik cahaya di balik keremangan malam. Semakin jauh, dan akhirnya hilang. Mia merasa jatuh begitu dalam di antara rasa bersalah dan tidak ada pilihan.
            Mia melangkah masuk melewati pagar dan halaman, memasuki rumah sederhana itu dengan langkah pelan. Ia menemukan sang ayah sedang duduk bersantai di ruang tengah.
            “Bagaimana makan malamnya?” pandangan Pak Warto tersita oleh lukisan yang ditenteng Mia di sebelah kanan.
            Mia yang bermaksud langsung masuk ke kamarnya, berhenti sejenak.
            “Buruk, Yah!”
            “Lah, kenapa?” Pak Warto mengernyit mendengar jawaban tak terduga itu.
            Mia hanya mengendikkan bahu kemudian menghilang di balik pintu kamarnya, menyisakan tanda tanya besar di benak Pak Warto.
            Mia merebahkan diri di tempat tidur, pikirannya masih terdiam di pantai. Sangat ironis, kejutan tadi sore yang mampu membuatnya sejenak melupakan Dirga, harus berakhir seperti ini. Malam ini pasti sangat menyenangkan jika tanpa adegan Evan memintanya memakai cincin itu, alih-alih menerima cintanya.

         

            Matahari masih bermalas-malasan di balik selimut bintang yang kini berpendar lemah, sinarnya tersembunyi di balik dengkur yang dingin dan beruap. Sama halnya dengan Mia, ia masih meringkuk di balik selimut bulunya. Dengan posisi miring, Mia menghadap ke sisi kanan kamarnya, menatap lukisan pemberian Evan yang digantungnya di sana sebelum ia terlelap tadi malam. Senyumnya di lukisan itu berkilauan di bawah penerangan lampu kamar yang cahayanya menyerupai senja. Mia memang bahagia melihat sosok Evan yang sesungguhnya telah kembali dengan wajah yang belum pernah ia lihat secerah kemarin sore. Ia lega, akhirnya Evan bisa lolos dari kemelut masa lalunya, tapi tidak dengan Evan harus berbalik mencintainya. Bagaimanapun juga, saat ini yang ada di hati Mia hanyalah Dirga, mustahil untuk mengalihkan perasaannya secepat itu. Mia membatin, entah bagaimana ia harus melewati hari-hari selanjutnya dengan kondisi seperti ini, sebelum akhirnya ia sadar dan bangkit dari pembaringan. Ia harus melaksanakan tugas paginya: menyiapkan sarapan untuk sang ayah.
            Mia merasa hari ini jauh lebih buruk dari sebelumnya sejak ia kembali ke tempat itu. Sama halnya dengan bayangan Dirga dan Evan yang hilir mudik di pikirannya, sepanjang hari, Mia hanya hilir mudik dari TPU ke telaga, atau dari telaga ke kamarnya. Kadang, ia hanya terdiam menatap potret dirinya yang terlahir dari kreatifitas jemari tangan Evan. Lukisan itu merupakan bukti nyata, betapa Mia telah hidup dalam imajinasi Evan. Di saat yang bersamaan, wajah Evan akan terpatri menemani lukisan itu dengan segenap kekecewaan dan sedikit sorot kebencian. Terkadang terjadi benturan antara bayangan Evan dengan bayangan Dirga di pikiran Mia, saat ia tiba pada puncak kebingungan yang membuatnya ingin teriak. Betapa tersiksanya ia dalam situasi seperti itu.
            Mia tak ingin melihat sorot kebencian di mata Evan, tapi ia tak mungkin meredakannya dengan memberikan cinta yang sepenuhnya sudah tercurahkan untuk Dirga. Semuanya akan baik-baik saja seandainya Sandra benar-benar kembali, atau tiba-tiba dawai-dawai biola Dirga kembali menggetarkan sore hari di TPU. Keduanya sangat tidak mungkin, itu hanya gambaran dari kekalutan yang mendera Mia.

         

            Mia sedang membereskan meja makan selepas makan malam bersama sang ayah, ketika seseorang mengetuk pintu rumah mereka. Pak Warto beranjak ke depan untuk membukakan pintu. Dengan jelas, Mia bisa mendengar percakapan ayahnya dengan tamu mereka malam ini. Terdengar suara berat nan beribawa seorang laki-laki, serta suara perempuan yang nyaring dan lembut, keduanya tak asing di pendengaran Mia. Cepat-cepat, Mia menyelesaikan pekerjaannya dan beranjak ke ruang tamu. Mia muncul dari balik gorden lusuh bermotif batik yang melapisi pintu ruang tengah.
            “Eh … Om, Tante!” Mia duduk bersisian dengan sang ayah.
            Pak Andri dan Bu Anggi melepas senyum.
            “Kalau begitu, saya ke belakang dulu, Pak, Bu!” pamit Pak Warto dengan kepala merunduk.
            Pak Warto bangkit dari sisi Mia yang sedang menerka-nerka maksud kedatangan orangtua Evan malam-malam begini.
            “Om, Tante, saya ambil minum dulu, ya!” Mia hendak beranjak.
            “Eh, nggak usah. Kamu tidak perlu repot-repot,” cegah Bu Anggi.
            Mia kembali merapikan posisi duduknya.
            “Maaf, ada apa, ya, Om, Tante? Kok, tumben Anda datang malam-malam begini?” tanya Mia sesopan mungkin.
            “Sebelumnya maaf, sepertinya kami mengganggu. Tapi kami benar-benar perlu bicara sama kamu.”
            “Kami mau bicara soal Evan,” timpal Bu Anggi.
            Tiba-tiba sejuta kemungkinan berkelebat di benak Mia, entah ada apa lagi dengan Evan.
            “Ada apa dengan Evan, Tante?” Mia berusaha meredam kekhawatirannya.
            Bu Anggi tidak menjawab. Ia malah menoleh ke arah suaminya, kemudian menunduk. Alih-alih memberi isyarat, agar Pak Andri yang bicara.
            “Kamu lihat sendiri, kan, bagaimana keceriaan Evan saat menjemputmu kemarin sore?”
            Mia mengangguk pelan dengan keyakinan yang tiba-tiba memberatkan kepalanya. Ini pasti ada kaitannya dengan kejadian di pantai.
            “Bagaimana tanggapan kamu melihat ia seperti itu?”
            “Saya nyaris tidak percaya, Om, kalau dia itu Evan.”
            “Begitupun dengan kami,” sela Bu Anggi.
            “Sejak keluar dari rumah sakit, Evan membawa sebuah keajaiban. Keajaiban yang selama ini nyaris kami lupakan. Tiba-tiba ia ceria, dan tidak lagi selalu menyendiri atau terus-terusan mengurung diri di dalam kamar. Meski Om masih bertanya-tanya, tapi Om yakin, bahwa Evan kami telah kembali. Ia telah menemukan dirinya yang utuh.”
            “Beberapa hari yang lalu, untuk pertama kalinya sejak dua tahun terakhir, keluarga kami utuh kembali di meja makan. Evan bercerita tentang apa yang sebenarnya terjadi padanya selama ini, kemudian bagaimana akhirnya ia bisa terbebas dari belenggu itu, dan karena siapa.”
            “Bahkan, Evan meminta Om untuk mengurus segala sesuatunya agar ia bisa segera bergabung di perusahaan kami.”
            “Tante sangat bahagia dan terharu. Tante peluk ia erat-erat, Tante ciumi ia berkali-kali. Tuhan telah mengembalikan keutuhan keluarga kami, tak henti-hentinya Tante berucap syukur atas kemuliaan-Nya!” Bu Anggi tersenyum lemah dengan mata berkaca-kaca, berusaha menggambarkan perasaannya.
            Mia menatap Pak Andri dan Bu Anggi bergantian selama mereka bercerita. Tanda tanya besar menggelayuti pikirannya. Ia belum bisa menyimpulkan apa-apa.
            “Dan kemarin sore, Evan menemui kami di kantor dengan wajah berseri-seri, hanya untuk mengatakan bahwa ia akan menjemput kebahagiaannya. Dan Tante yakin, itu adalah kamu.”
            Mia mulai mengerti arah pembicaraan itu.
            “Penampilannya pun tak kalah membuat kami tercengang. Tante kembali merasakan sebuah kedamaian yang selama ini hilang. Tapi….” Tiba-tiba suara Bu Anggi tertahan. “Sekarang, kebahagiaan itu kembali hilang,” lanjutnya dengan suara bergetar.
            “Hilang?” Mia tercekat.
            “Evan pulang dengan wajah murung bercampur kemarahan yang sudah cukup melukai kami selama ini. Ia langsung masuk ke kamar dan membanting pintu sekuatnya.” Pak Andri jeda sejenak. “Om tidak tahu pasti apa yang terjadi di antara kalian. Tapi sepertinya, Evan kecewa sama kamu.” Tatapan Pak Andri menginginkan lawan  bicaranya segera bicara, dan Mia menyadarinya.
            “Maafkan saya, Om, Tante. Saya bingung harus berbuat apa.”
            “Kamu tidak perlu minta maaf, karena kami ke sini bukan untuk menyalahkan kamu. Tapi … tak bisakah kamu belajar untuk mencintai Evan? Kasihan dia.” Bu Anggi memelas.
            “Sekali lagi maaf, Tante, sepertinya saya tidak bisa. Ini soal perasaan, dan saya terlanjur mencintai orang lain.” Mia memantapkan kalimatnya. Tanpa sadar, Mia memainkan jemari tangan di pangkuannya, seolah kehabisan tingkah dalam upayanya untuk tetap terlihat sopan.
            “Om mengerti, perasaan tidak bisa diingkari, terlebih untuk dipaksakan. Tapi, bisakah kamu mengerti perasaan kami selaku orangtua? Kami baru saja melihat anak kami menemukan kembali semangat hidupnya, haruskah kami melihatnya terpuruk lagi?”
            Ucapan Pak Andri bertalu-talu di benak Mia. Seketika, ia serasa menyelami hati pasangan suami istri itu, ikut merasakan apa yang mereka rasakan.
            “Setelah semua yang kamu lakukan untuk mengembalikan semangat hidup Evan, sekarang, semudah ini kamu membiarkannya kembali hilang begitu saja?” Bu Anggi terisak, ia tak mampu lagi mengontrol, apakah kalimat itu pantas diucapkan atau tidak.
            Pak Andri merangkul istrinya.
            “Tentu saja tidak, Tante. Tapi saya tidak bisa berbuat apa-apa.” Suara Mia tertahan.
            “Hanya kamu yang bisa membantu kami,” pungkas Bu Anggi.
            Mia terdiam dalam usahanya berpikir keras, ia benar-benar berada di posisi yang sulit. Ini antara cintanya kepada Dirga, dan cinta kedua orangtua kepada anaknya. Tapi, haruskah ia mengorbankan perasaannya?
            Bu Anggi tiba di titik perjuangan terakhir, ia bersimpuh di hadapan Mia. Perempuan berwajah bulat itu menggenggam kedua tangan Mia, kemudian membenamkan tangisnya.
            “Mia, Tante mohon sama kamu, tolong kembalikan senyum Evan untuk kami.” Bu Anggi berucap dalam sedu-sedan.
            Isak tangis Bu Anggi memekik di telinga Mia, ia nyaris tak sanggup mendengarnya. Hal ini membuatnya semakin serba salah.
            Selama sekian detik, Pak Andri harus menyaksikan adegan memilukan. Ia tidak kepikiran istrinya akan bertindak sejauh itu.
            “Tante, tolong jangan lakukan ini.” Mia meleraikan tangannya dari genggaman Bu Anggi, kemudian ia mengangkat Bu Anggi pada kedua bahunya dan menuntunnya duduk bersisian. Mia bisa melihat dengan jelas kedua mata itu merah padam dibanjiri air mata, menyiratkan pengharapan seorang ibu.
            Sejenak hening. Mia semakin gesit memainkan jemari tangannya dengan gerakan-gerakan tak terkontrol.
            “Om sadar sepenuhnya, tindakan kami malam ini memang sedikit keluar koridor. Tapi, seperti inilah ketika orangtua mengkhawatirkan anaknya, jalan apa pun akan ditempuh.” Pak Andri menghela napas berat. Kemudian ia beralih menatap istrinya. “Ma, sebaiknya kita pulang saja. Kita sudah mendengar jawaban Mia, dan tidak sepantasnya kita memaksakan kehendak. Mia berhak menentukan apa pun keputusannya.”
            Sekali lagi Bu Anggi menanamkan tatapan penuh arti di kedua bening mata Mia.
            “Mia, Tante mohon!” ucapnya sendu, kian memberatkan napas Mia.
            Begitu berat dan dipenuhi rasa bersalah, namun akhirnya, Mia menunduk.
            Penolakan halus itu mengakhiri permohonan Bu Anggi, ia beranjak ke ambang pintu mendahului sang suami. Bu Anggi tak menoleh lagi ketika Pak Andri pamit.
            “Kalau begitu, kami permisi dulu! Maaf sudah mengganggu, dan terima kasih atas waktunya.”
            Mia tak begitu menghiraukan Pak Andri, tatapannya tertuju pada Bu Anggi yang seolah-olah enggan melihatnya lagi. Kekhawatiran kalau Bu Anggi merasa tersinggung dengan sikapnya malam ini, tiba-tiba mencekam.
            Mia hanya bisa menatap lirih sepasang suami istri itu meninggalkan ruang tamu rumahnya. Padahal, ia sangat ingin menjelaskan ketidakberdayaannya untuk memenuhi kehendak mereka. Mia beranjak ke depan pintu. Pandangannya membuntuti Pak Andri dan Bu Anggi hingga mereka masuk ke dalam mobil. Ingin rasanya Mia memanggil salah satu di antara mereka dan mengucapkan sesuatu, tapi rasanya sangat sulit.
            Mia menutup pintu dengan penuh kekalutan. Ia melangkahkan kaki yang terasa berat hingga ia menemukan sang ayah sedang beristirahat di kursi panjang, setelah ia menyibak gorden yang melapisi pintu ruang tengah.
            “Kamu yakin tidak ingin cerita apa-apa sama Ayah?”
            Mia yang hendak beranjak ke kamar, tiba-tiba menghentikan langkah mendengar perkataan sang ayah. Detik selanjutnya, gadis yang berusaha terlihat baik-baik saja itu menghambur dan merebahkan kepala di pangkuan sang ayah. Tangisnya pecah.
            “Menangislah jika setelahnya kamu akan merasa lebih baik, alirkan semua perasaanmu bersama air mata itu.” Pak Warto membelai rambut putri tunggalnya. “Kamu tidak perlu menjelaskan apa-apa, Ayah tahu persis maksud kedatangan mereka.”
            Cukup lama Mia terdiam, hanya terdengar sisa-sisa isakan yang berusaha ia redam.
            “Ayah tidak bermaksud kian memeberatkanmu, tapi, apakah tidak sebaiknya kamu mempertimbangkan permohonan mereka?”
            “Maksud Ayah?” suara Mia bergetar.
            Pak Warto menarik napas panjang.
            “Ayah ini, kan, sudah tua, sakit-sakitan. Ayah takut tidak punya banyak waktu lagi untuk menjagamu.”
            Seketika, Mia bangkit dari pangkuan sang ayah. Ditatapnya wajah yang ia jadikan panutan selama ini lekat-lekat. Sejenak mengabur karena sisa-sisa air mata yang masih bertengger di tepian kelopak matanya. Keningnya mengerut.
            “Ayah jangan bicara seperti itu, Mia tidak suka!”
            Pak Warto tersenyum lemah, ia kembali mengelus kepala putrinya.
            “Alangkah leganya, jika sebelum waktu itu tiba, Ayah bisa melepasmu ke seseorang yang benar-benar bisa menggantikan posisi Ayah untuk menjagamu.”
            Tak terdengar tanggapan dari Mia, ia menunduk.
            “Ayah ingin menjalani sisa hidup ini dengan tenang, dengan melihat kamu menemukan pendamping hidup. Lagipula, gadis seusia kamu sudah sepantasnya menikah.”
            Setelah Pak Andri dan Bu Anggi, kini giliran Pak Warto yang sepertinya akan mengajukan permohonan yang sama.
            “Kamu mau, kan, melihat Ayah bahagia?”
            Mia tersentak, ini pertama kalinya sang ayah bertanya seperti itu. Dan sesungguhnya, jawaban atas pertanyaan itulah yang jadi impian terbesarnya selama ini.
            “Evan itu anak yang baik, laki-laki bertanggung jawab. Ayah yakin, ia bisa membahagiakanmu.”
            “Apa yang mendasari keyakinan Ayah?”
            “Ayah tidak perlu munafik di hadapan kamu, Ayah lihat dari latar belakang keluarganya. Tentunya, kamu tidak ingin, kan, selamanya hidup seperti ini?”
            “Mia cukup bahagia bersama Ayah di sini, di rumah kita.”
            “Ayah paham. Tapi seperti yang Ayah bilang tadi, tidak selamanya Ayah mampu menjagamu.”
            “Tapi bagaimana bisa, Yah, Mia tidak pernah mencintai Evan.”
            “Cinta itu bisa tumbuh setelah pernikahan, seperti Ayah dan Alm. Ibu kamu dulu. Dan ternyata kami bisa, kan, menjalaninya dengan baik?”
            Sedikit riak haru di hati Mia, mengenang wajah sang ibu yang lama memudar di pelupuk matanya.
            “Tidakkah Ayah mengerti betapa sulitnya semua ini bagi Mia?” Mia memelankan suaranya.
            “Apa yang menyulitkanmu?”
            Mia terdiam.
            “Laki-laki yang sering memainkan biola di TPU itu?” dugaan Pak Warto tepat sasaran.
            Mia mencelus, mendadak menemukan bayangan Dirga dalam kegamangan hatinya.
            “Di mana ia sekarang? Apakah kamu yakin, ia memiliki jawaban atas penantianmu? Kepastian yang benar-benar kamu harapkan?”
            Seketika, kebimbangan kembali memadati hati Mia.
            “Terkadang, kesulitan itu timbul dari pemikiran kita sendiri. Berpikirlah bahwa semua ini tak sesulit yang kamu bayangkan, maka pintu-pintu kemudahan akan terbuka lebar di hadapanmu.”
            Mia merasakan makna yang sangat dalam di kalimat itu.
            “Lebih baik, sekarang kamu tidur, tenangkan pikiranmu. Dan ingat, apa pun yang Ayah katakan tadi, sama sekali bukan untuk menekanmu. Bagaimanapun juga, ini hidupmu, kamu yang akan menjalaninya. Ayah hanya berharap kamu bisa memandang sesuatu bukan hanya berdasarkan apa yang kamu rasakan sekarang ini, turutkan logika.” Pak Warto berusaha melebur kekalutan yang kian pekat di wajah Mia—dengan senyum penuh kehangatan seorang ayah.
            Senyuman itu mengantarkan Mia beranjak ke kamarnya.

            Malam ini, Mia nyaris tidak bisa tidur, ia benar-benar gelisah. Hampir setiap detik ia menggeser posisi dan meliuk-liuk di balik selimut. Sesekali, Mia menatap lekat-lekat lukisan pemberian Evan dan liontin merpati yang menggantung di lehernya secara bergantian. Di saat yang bersamaan, Mia mencoba mencerna perkataan Pak Andri, Bu Anggi, dan juga ayahnya yang masih terngiang jelas di telinganya. Mia berusaha untuk tetap yakin, bahwa Dirga pasti akan kembali membawa kepastian cinta yang ia dambakan selama ini. Tapi, ia juga tak bisa melupakan bagaimana Bu Anggi dengan segenap harapan bersimpuh di hadapannya. Ia benar-benar berada di posisi yang sulit.

         

            Evan merana. Tatapannya yang hampa dipaksakan membentur ke sisi kamar yang dipadati lukisan-lukisan Sandra dalam berbagai ukuran. Tapi kali ini, bukan lagi orang dalam lukisan itu yang membuatnya tak berdaya. Evan melangkah ke ambang jendela, ia mengamati awan-awan yang menari di hamparan langit sore nan cerah. Di sanalah terselip serpihan-serpihan kekecewaan. Betapa Evan tidak pernah menduga sebelumnya, ia akan menerima penolakan dari Mia.
            Evan menyadari seseorang sedang memasuki kamarnya ketika pintu berderik. Pasti Bi Asih yang sedang mengantarkan makanan, pikirnya.
            “Makanannya dibawa keluar lagi saja, Bi! Aku belum lapar.”
            “Ini aku, Van …!”
            Evan terperanjat, ia sangat mengenali suara itu. Tapi itu tak lantas membuatnya menoleh.
            “Untuk apa lagi kamu datang ke sini?”
            “Untuk menjelaskan sesuatu yang belum jelas.”
            “Bukankah semuanya sudah jelas?”
            “Kurasa belum.”
            “Aku tak butuh lagi alasan penolakan kamu.”
            “Dan aku memang tidak punya alasan untuk menolak, karena ternyata, aku pun butuh kamu.”
            Evan baru saja mendengar kalimat yang mugkin tidak didengarnya secara seksama, seperti ada yang ganjal di kalimat itu.
            “Semudah itu kamu mengatakannya? Setelah kemarin kamu bungkam dengan ketidakbisaanmu?”
            “Maafkan aku, Van. Aku butuh waktu untuk menyadari perasaanku yang sesungguhnya.”
            “Lupakan saja, jika itu berbentuk belas kasihan. Aku tidak butuh cinta pengabdian darimu. Yang kubutuhkan ketulusan.”
            Mia tak tahu lagi bagaimana harus meyakinkan Evan akan ketulusan yang memang tak sungguh-sungguh itu. Ia menghambur dan mendekap tubuh kekar itu dari belakang.
            “Ini sugguh, Van!” lirih Mia dengan tangis tertahan.
            Tak bisa dipungkiri, matahari baru saja terbit di relung hati Evan, meski ia belum bisa menyakini hal itu benar-benar didasari ketulusan. Air mata bahagia mengaburkan pandangannya. Ia merasakan kehangatan dekapan Mia mampu melumpuhkan sel-sel keangkuhannya.
            Selama beberapa menit, Evan tetap di posisi itu, membelakangi Mia. Sebelum akhirnya ia meleraikan tangan mungil yang melingkar di pinggangnya. Evan berbalik, memperlihatkan sepasang bening berkaca-kaca. Ia menggenggam kedua tangan Mia, tatapan mereka beradu.
            “Maukah kamu menikah denganku?” suara Evan yang mengalun lembut merayapi sisi-sisi keraguan Mia.
            Mia mengangguk di sela isak tangisnya.
            Senyum Evan melebar. Ia menarik Mia ke dalam peluk hangatnya.
            “Terima kasih!” bisik Evan. Jelas saja rona bahagia meletup-letup di wajahnya.
            Inilah akhir pemikiran panjang Mia, tapi ini bukan soal bagaimana ia bisa mengalihkan perasaannya. Sosok Dirga sama sekali tidak bergeser di hatinya. Ia tetap ada di sana, kekal selamanya.
            Mia berusaha menepis hal  buruk apa pun yang telah dilakukannya. Sekarang, ia ada di sini bukan hanya demi Evan ataupun kedua orangtuanya, tapi juga demi kebahagiaan sang ayah.

         

            Akhirnya, pernikahan yang menandakan babak baru dalam kehidupan Evan dan Mia diselenggarakan sebulan kemudian. Tiga hari sebelumnya, mereka berziarah ke makam Sandra. Evan memperkenalkan Mia, serta meminta izin untuk memilih gadis itu menggantikan posisinya.
            Hari bahagia itu tiba juga di kehidupan Evan, meskipun dengan cerita yang sudah berbeda. Tak henti-hentinya senyum pemuda berkulit putih itu bertebaran di antara tamu undangan yang membanjiri gedung resepsi. Tunas-tunas kebahagiaan tumbuh subur di hatinya.
            Sementara Mia, sekuat tenaga ia memaksakan senyumnya turut melengkung, meski kadang selaput air mata berkilauan di sudut matanya. Sesekali senyum itu bergetar menahan sesuatu yang perih, sesuatu yang tidak ia mengerti. Mia berharap tak seorang pun yang menyadari, betapa deras hatinya menangis saat ini. Mia melontarkan cacian kepada dirinya sendiri. Bodoh! Tolol! Namun itu tak cukup untuk ia bisa menyadari tindakannya.
            Tak ada lagi yang bisa dilakukan Mia selain berusaha meyakini perkataan sang ayah, bahwa cinta itu bisa tumbuh setelah pernikahan. Semoga saja. Karena jika tidak, entah berapa lama ia mampu bertahan dalam buruan penyesalan.
            Mia sama sekali tak ingin melepas kalung yang mengikat jiwanya dengan Dirga, meskipun pada hari ini terlihat sangat ganjil menjuntai pada leher kebaya glamor yang dikenakannya. Mia mencengkram liontin merpati itu di dalam tangan yang di jari manisnya tersemat cincin pengikat cinta dari Evan. Saat ini, tak ada yang lebih diinginkan Mia selain Dirga bisa mendengar bisikan hatinya. 
Dirga … maafkan aku!
 -------------------------------------------------------------------------------
*Terima kasih sudah membaca sampel novel "Dawai Cinta Tanpa Nada". Nah, jika berminat menikmati isi cerita secara utuh, bisa langsung hubungi saya. Inbox akun facebook "Ansar Siri", atau bisa langsung pesan sesuai format berikut: