Senin, 03 Oktober 2016

Perjalanan Dawai Cinta Tanpa Nada


            Dulu, aku pernah sangat kagum sama orang yang bisa bermain biola, meskipun sampai sekarang belum pernah berkesempatan untuk mempelajarinya (mungkin memang tidak niat). Dari situ, aku ingin menuliskan cerita yang salah satu tokohnya seorang violis. Lahirlah sosok Dirga di benakku, disusul bermunculan ide-ide yang saling terangkai dan menjadi satu alur cerita.
            Novel ini saya tulis 10 tahun silam. Waktu itu belum punya laptop, aku menulis di atas kertas HVS yang kemudian kujilid sendiri menggunakan paku buku. Desain kovernya pun hasil karya sendiri (lumayan ada bakat juga di bidang seni lukis). Hehehe ….

 
Aneh? Memang! Tapi itulah aku, dengan hasrat menulis yang begitu menggebu-gebu di tengah keterbatasan kala itu. Dulu, ketika menulis, aku suka gambar tokoh-tokohnya. Hanya sekadar pemanis sekaligus menyalurkan bakat terpendam lainnya. Hehehe …. Penasaran? Berikut mereka:

Mia


Dirga


Evan


Sandra

Wawan


            Setelah tamat SMA, karena keterbatasan ekonomi, aku tidak bisa melanjutkan pendidikan. Hari-hariku disibukkan dengan melamar pekerjaan ke sana-sini. Setelah berhasil mendapatkan pekerjaan, dunia menulis benar-benar kutinggalkan. Tapi hasrat untuk menjadi seorang penulis terkenal tidak pernah redup. Naskah “Dawai Cinta Tanpa Nada” yang dulunya berjudul “Cinta Tak Berdawai”, mengendap selama bertahun-tahun. tertidur lelap di dalam lemari dan mulai berdebu. Hingga akhirnya, Februari 2016, istri saya memberitahukan info lomba menulis yang diadakan oleh Asma Nadia di group facebook “Komunitas Bisa Menulis”. Mendadak, saya teringat dengan naskah itu. Sumpah, niatnya bukan untuk menang, cuma untuk mengobarkan kembali semangat menulis yang sudah terlalu lama redup. Dengan penuh keyakinan, kubangunkan naskah itu dari tidur panjangnya.
            Di sela-sela rutinitas pekerjaan yang lumayan padat juga, aku mulai mengadaptasi naskah bertulis tangan itu ke word. Alhasil, berhasil selesai tepat waktu. Tapi setelah membaca ulang persyaratan lomba itu, ternyata hanya untuk cerpen dan novelet, bukan novel. Otakku berputar cepat. Akhirnya, kuputuskan untuk mengirimkan bagian terakhirnya saja, kisah yang terjadi setelah 20 tahun berlalu dari kisah inti. Tentu saja kuedit terlebih dahulu agar bisa berdiri sendiri, kemudian kuberi judul “Ada apa dengan Mama dan Ustadz?”. Sesuai dugaan, aku gagal di lomba itu.
            Kemudian ada salah satu penerbit yang membuka peluang terbit mayor, aku langsung tancap gas. Demi memenuhi syarat jumlah halaman yang mereka ajukan, aku melakukan revisi besar-besaran. Memangkas puluhan halaman narasi yang tidak terlalu penting. Tidak hanya itu, aku juga minta bantuan teman-teman di facebook untuk dibantu memilih judul. Alhamdulillah, direspon cukup baik. Terima kasih yang sudah membantu waktu itu.


Sesuai voting, maka terpilihlah judul yang sekarang (Dawai Cinta Tanpa Nada). Meskipun sudah kupersiapkan matang-matang dan rela tidak pernah tidur siang, nahas, gagal.
            Sebenarnya naskah ini bisa saja langsung kuterbitkan di jalur indie dengan membayar biaya paket peneritan yang lumayan terjangkau. Tapi, aku tidak ingin seperti itu. aku ingin naskah ini terbit melalui seleksi, biar ketahuan kelayakannya. Kalau memang tidak layak, lebih baik jangan. Aku tidak ingin ia malu-maluin di tangan pembaca. Setelah gagal di peluang terbit mayor itu, naskah ini kembali mengendap beberapa bulan.
            Kemudian, pada bulan Juli 2016, Mazaya Publishing House mengadakan lomba menulis novel bertemakan “CINTA”. Aku tergerak, mungkin di sinilah jodohnya. Aku edit lagi, dan lagi-lagi terkendala soal jumlah halaman. Daripada merusak alur cerita, kuputuskan tetap kirim meskipun melanggar salah satu poin ketentuan naskah. Selama sebulan, harap-harap cemas menanti pengumuman. Dan alhamdulillah, terpilih sebagai juara favorit 3. Tidak sesuai harapan, tapi tidak buruk. Setidaknya, naskah itu berhasil menunjukkan kelayakan setelah menyisihkan puluhan naskah lainnya.


         Pimred Mazaya Publishing House (Tiara Purnamasari) kemudian mengirimiku MOU. Penggarapan naskah pun dimulai.


Selama proses pengerjaan, aku mulai melalukan pengenalan secara tidak langsung di facebook. Tak jarang aku mendapatkan komentar pedas. Komentar paling pedas ketika aku memosting screenshot berikut.


Tapi alhamdulillah, komentar-komentar itu jadi bahan untuk melakukan revisi lebih detail. Beruntunglah, pimred Mazaya Publishing House sangat bisa diajak bekerjasama. Bahkan, setelah dilayout, pun, masih ada aja bagian keliru. Revisi lagi.


            Kemudian, aku dimintai gambaran untuk desain cover. Aku kirim foto ini sebagai acuan. Ini hasil coretanku sendiri. Hehehe ….


Hasil pertama seperti ini.


Aku kurang suka dengan gambar pohonnya yang terlalu mendominasi. Akhirnya minta direvisi dan fix seperti ini.


Sekali lagi, pimred Mazaya Publishing House sangat bisa diajak bekerjasama. Begitu sabar menghadapiku yang banyak maunya. Hehehe ….
            Sekarang, alhamdulillah, novel perdanaku ini sudah bisa dinikmati setelah melalui perjalanan panjang dan proses editing berkali-kali. Saya tidak bisa menjanjikan sesuatu yang wow, tapi kurasa novel ini lumayan pantas untuk kubanggakan. Jadi, bila anda berminat memilikinya, bisa langsung inbox saya di akun facebook “Ansar Siri”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar