Dulu, aku
pernah sangat kagum sama orang yang bisa bermain biola, meskipun sampai
sekarang belum pernah berkesempatan untuk mempelajarinya (mungkin memang tidak
niat). Dari situ, aku ingin menuliskan cerita yang salah satu tokohnya seorang
violis. Lahirlah sosok Dirga di benakku, disusul bermunculan ide-ide yang
saling terangkai dan menjadi satu alur cerita.
Novel ini
saya tulis 10 tahun silam. Waktu itu belum punya laptop, aku menulis di atas
kertas HVS yang kemudian kujilid sendiri menggunakan paku buku. Desain kovernya
pun hasil karya sendiri (lumayan ada bakat juga di bidang seni lukis). Hehehe ….
Aneh? Memang! Tapi itulah aku, dengan hasrat menulis yang
begitu menggebu-gebu di tengah keterbatasan kala itu. Dulu, ketika menulis, aku
suka gambar tokoh-tokohnya. Hanya sekadar pemanis sekaligus menyalurkan bakat
terpendam lainnya. Hehehe …. Penasaran?
Berikut mereka:
Mia
Dirga
Evan
Sandra
Wawan
Setelah tamat
SMA, karena keterbatasan ekonomi, aku tidak bisa melanjutkan pendidikan. Hari-hariku
disibukkan dengan melamar pekerjaan ke sana-sini. Setelah berhasil mendapatkan
pekerjaan, dunia menulis benar-benar kutinggalkan. Tapi hasrat untuk menjadi
seorang penulis terkenal tidak pernah redup. Naskah “Dawai Cinta Tanpa Nada”
yang dulunya berjudul “Cinta Tak Berdawai”, mengendap selama bertahun-tahun.
tertidur lelap di dalam lemari dan mulai berdebu. Hingga akhirnya, Februari
2016, istri saya memberitahukan info lomba menulis yang diadakan oleh Asma
Nadia di group facebook “Komunitas Bisa Menulis”. Mendadak, saya teringat
dengan naskah itu. Sumpah, niatnya bukan untuk menang, cuma untuk mengobarkan
kembali semangat menulis yang sudah terlalu lama redup. Dengan penuh keyakinan,
kubangunkan naskah itu dari tidur panjangnya.
Di sela-sela
rutinitas pekerjaan yang lumayan padat juga, aku mulai mengadaptasi naskah
bertulis tangan itu ke word. Alhasil, berhasil selesai tepat waktu. Tapi setelah
membaca ulang persyaratan lomba itu, ternyata hanya untuk cerpen dan novelet,
bukan novel. Otakku berputar cepat. Akhirnya, kuputuskan untuk mengirimkan
bagian terakhirnya saja, kisah yang terjadi setelah 20 tahun berlalu dari kisah
inti. Tentu saja kuedit terlebih dahulu agar bisa berdiri sendiri, kemudian
kuberi judul “Ada apa dengan Mama dan Ustadz?”. Sesuai dugaan, aku gagal di
lomba itu.
Kemudian ada
salah satu penerbit yang membuka peluang terbit mayor, aku langsung tancap gas.
Demi memenuhi syarat jumlah halaman yang mereka ajukan, aku melakukan revisi
besar-besaran. Memangkas puluhan halaman narasi yang tidak terlalu penting. Tidak
hanya itu, aku juga minta bantuan teman-teman di facebook untuk dibantu memilih
judul. Alhamdulillah, direspon cukup baik. Terima kasih yang sudah membantu waktu itu.
Sesuai voting, maka terpilihlah judul yang sekarang (Dawai
Cinta Tanpa Nada). Meskipun sudah kupersiapkan matang-matang dan rela tidak
pernah tidur siang, nahas, gagal.
Sebenarnya
naskah ini bisa saja langsung kuterbitkan di jalur indie dengan membayar biaya
paket peneritan yang lumayan terjangkau. Tapi, aku tidak ingin seperti itu. aku
ingin naskah ini terbit melalui seleksi, biar ketahuan kelayakannya. Kalau memang
tidak layak, lebih baik jangan. Aku tidak ingin ia malu-maluin di tangan
pembaca. Setelah gagal di peluang terbit mayor itu, naskah ini kembali
mengendap beberapa bulan.
Kemudian,
pada bulan Juli 2016, Mazaya Publishing House mengadakan lomba menulis novel
bertemakan “CINTA”. Aku tergerak, mungkin di sinilah jodohnya. Aku edit lagi,
dan lagi-lagi terkendala soal jumlah halaman. Daripada merusak alur cerita,
kuputuskan tetap kirim meskipun melanggar salah satu poin ketentuan naskah. Selama
sebulan, harap-harap cemas menanti pengumuman. Dan alhamdulillah, terpilih
sebagai juara favorit 3. Tidak sesuai harapan, tapi tidak buruk. Setidaknya,
naskah itu berhasil menunjukkan kelayakan setelah menyisihkan puluhan naskah
lainnya.
Selama proses pengerjaan, aku mulai melalukan pengenalan
secara tidak langsung di facebook. Tak jarang aku mendapatkan komentar pedas. Komentar
paling pedas ketika aku memosting screenshot
berikut.
Tapi alhamdulillah, komentar-komentar itu jadi bahan untuk
melakukan revisi lebih detail. Beruntunglah, pimred Mazaya Publishing House
sangat bisa diajak bekerjasama. Bahkan, setelah dilayout, pun, masih ada aja
bagian keliru. Revisi lagi.
Kemudian,
aku dimintai gambaran untuk desain cover. Aku kirim foto ini sebagai acuan. Ini
hasil coretanku sendiri. Hehehe ….
Hasil pertama seperti ini.
Aku kurang suka dengan gambar pohonnya yang terlalu
mendominasi. Akhirnya minta direvisi dan fix
seperti ini.
Sekali lagi, pimred Mazaya Publishing House sangat bisa
diajak bekerjasama. Begitu sabar menghadapiku yang banyak maunya. Hehehe ….
Sekarang,
alhamdulillah, novel perdanaku ini sudah bisa dinikmati setelah melalui
perjalanan panjang dan proses editing berkali-kali.
Saya tidak bisa menjanjikan sesuatu yang wow,
tapi kurasa novel ini lumayan pantas untuk kubanggakan. Jadi, bila anda
berminat memilikinya, bisa langsung inbox saya di akun facebook “Ansar Siri”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar