Jumat, 21 April 2017

Petunia yang Berguguran di Hati Senja: Sebuah Perjalanan dan Ucapan Terima Kasih



KATA PENGANTAR

            Bismillahirrahmanirrahim.
            Alhamdulillah! Akhirnya rampung juga novel yang kukerjakan penuh sukacita ini. Sebenarnya novel ini merupakan pengembangan dari cerpen berjudul “Noda Kehidupan” yang saya tulis tahun 2009 silam. Cerpen itu sama sekali tidak pernah dipublikasikan. Waktu itu saya berencana menyusun kumcer, yang akhirnya terbengkalai karena suatu kesibukan. Sebelum dikembangkan jadi novel, cerpen itu juga pernah saya adopsi ke bentuk sinopsis FTV (Tabir Kelam di Bibir Senja) untuk mencoba peruntungan baru di tahun ini. Tapi sepertinya gagal. Dari cerpen, sinopsis FTV, hingga novel, terjadi banyak perubahan latar dan nama tokoh. Untuk judulnya sendiri saya sesuaikan dengan tema dan ketentuan lomba di mana saya mengirimkan naskah ini.
            Novel ini bercerita tentang sebuah cacat dalam hidup karena cinta yang membabi buta. Saya mengangkat tema keseharian dengan sedikit sentuhan dramatis untuk membuat cerita lebih menarik.
            Dalam cerita ini ada beberapa pesan moral yang bisa kita petik;
1.      Sudah sewajarnya manusia menanggung semua beban atas kesalahan yang telah diperbuat.
2.      Kenyataan tak selalu sejalan dengan harapan, dan kenyataan terkadang malah lebih indah dari harapan.
            Sekeras apa pun usaha saya menyempurnakan novel ini, pasti masih banyak kekurangan di dalamnya. Meski ini novel kedua saya yang berhasil terbit. Saya mengharapkan kritik dan saran dari Anda selaku pembaca. Semua masukan itu akan saya jadikan pembelajaran untuk lebih baik lagi ke depannya. Akhir kata, tiada kalimat yang lebih pantas saya ucapkan selain rasa terima kasih yang begitu dalam karena telah meluangkan waktu untuk membaca karya sederhana ini.

Salam santun,

Ansar Siri


 -------------------------------------------------------------------------------------

UCAPAN TERIMA KASIH

1.      Tuhan yang Maha Esa, karena telah memberikan kesempatan, kesehatan, serta ilham yang tak pernah putus selama mengerjakan novel ini.
2.      Segenap keluarga—yang saya percaya—selalu mendoakan yang terbaik buat saya. Ibu, Kakak, Ipar, serta Ayah di surga.
3.      Andi Hasnita Naim, istri tercinta, yang telah mengizinkan dan sabar menerima hobi saya ini. Rela dicuekin berjam-jam meski terkadang ngambek juga. Hehehe …
4.      Rina Elfha Magisa, sahabat sejak masa putih abu-abu yang kali ini bertindak selaku proofreader. Berkat ia, plot cerita ini juga jadi lebih manis.
5.      Alfian N. Budiarto, sahabat dumay yang menjadi orang pertama yang mengetahui ide cerita ini. Berawal dari keisengan kami coba-coba belajar nulis sinopsis FTV.
6.      Uda Agus, sahabat, saudara, sekaligus guru yang secara tidak langsung telah membimbing selama penggarapan naskah ini.
7.      Bang Redy Kuswanto, Lae Johanes Gurning, Aris Rahman Yusuf, yang telah sudi berbagi ilmu selama ini. Yunita Chearrish, yang betah aku tanya-tanya seputar agama Kristen. Ahmad Muliono, Syahrian Tanjung, Eric Keroncong Protol, Adon, Rositi, Rokhmat Gioramadhita, Justang Zealotous, Eva Kusmiati, Verry Darmawan, Rahmat Sahri Ramadhani, Aris Andy, Silvhya Grey Vee, Ikhsan Ardiansyah, serta semua teman-teman di dunia maya—tidak sempat saya sebutkan satu persatu—yang telah mengiringi perjalanan ini. Meskipun kita belum pernah bertemu langsung, tapi kalian nyata di hati saya.
8.      Sahabat DCTN, para pembaca “Dawai Cinta Tanpa Nada” yang telah mengutus semangat untuk saya tetap berkarya.
9.      Komunitas UNSA, rumah cerpen “Bau Mayat” yang sukses menyejajarkan saya dengan penulis-penulis beken dalam buku “Kupu-Kupu Kematian”.
10.  Anak-anak G3 LEO, sahabat sekaligus saudara seperjuangan.
11.  Mbak Tiara Purnamasari beserta segenap tim Mazaya Publishing House, yang telah memberikan kesempatan berharga ini, dan telah memoles novel ini sedemikian rupa sehingga lebih layak untuk dinikmati.
12.  Yang terakhir … kamu! Ya, kamu yang sedang memegang buku ini dan sebentar lagi akan menikmati isinya.

Salam santun,

Ansar Siri

Sabtu, 08 April 2017

Review Novel: JUPITER (Sang Pengendali Mimpi)




Judul              : JUPITER (Sang Pengendali Mimpi)

Penulis           : Ragiel JP

Penerbit         : Arsha Teen (Bekerjasama dengan Penerbit Loka Media)

Tebal             : 315 hlm

ISBN            : 978-602-6436-09-2

BLURB:
Namaku Jupiter. Remaja berusia enam belas tahun yang mempunyai kelainan tak biasa. Aku bisa masuk ke dalam mimpi seseorang hanya dengan menyentuh kulit si pemimpi.
Aku sudah terbiasa masuk ke dalam mimpi seseorang. Namun semua itu berubah sejak sekolahku kedatangan siswi baru bernama Anna yang ternyata mimpinya tidak bisa kutembus.
Dari Anna aku tahu bahwa aku seorang Raunt. Di saat bersamaan muncul si penyusup yang selalu menyiksaku lewat alam mimpi—dan untuk pertama kalinya aku bukan hanya sekadar penjelajah mimpi, tapi aku terlibat dengan berbagai fenomena mengerikan tentang misteri mayat-mayat yang terbunuh dengan cara tak wajar.

Saya penyuka genre fantasy yang tidak sepenuhnya menggunakan elemen khayalan. Misal tempat dan kehidupan sehari-hari tokoh masih ada di dunia nyata. Seperti novel ini, memilih Banyuwangi sebagai setting utama yang dipadukan dengan alam mimpi untuk membangkitkan suasana fantasy. Cerita berpusat pada kehidupan remaja SMA berusia 16 tahun (Jupiter) yang memiliki bakat langka.
Dibuka dengan prolog yang langsung mengundang minat baca untuk lekas melahap halaman berikutnya. Deretan kalimat yang sukses memetakan tanya di benak pembaca. Cerita ini mulai hidup sejak kemunculan Anna yang tidak bisa ditembus mimpinya oleh Jupiter. Dari sini romansa percintaan yang melibatkan persahabatan pun mulai memberi warna. Itu hanya awal. Penulis kemudian menggiring kita masuk ke masalah yang dihadapi Jupiter. Mulai dari serentetan mimpi aneh tentang mayat yang digantung terbalik, hingga kemunculan sosok berjubah gelap di sekitarnya.

Sekitar lima meter di belakang mobil, seseorang berjubah gelap sedang berdiri menghadap ke arah kami. Siraman cahaya lampu yang redup menambah kesan mistik sosok berjubah gelap itu. membuatku sedikit merinding. (hal 38-39)

Di tengah ketegangan, ada bagian yang sedikit menggelitik dan membuat saya berpikir, jika saya yang memiliki bakat Jupiter, mungkin benar akan melakukannya. (hehehe … bercanda!)

Aku terus mencoba menebak-nebak sesuatu yang belum pernah kulakukan di dalam mimpi lucid ini, hingga akhirnya aku sampai pada titik di mana sebuah pikiran nakal berkelebat di dalam kepalaku. Namun, sebelum aku menciptakan mimpi sensual itu, aku segera membuang jauh-jauh fantasi itu, mengingat bahwa usiaku belum genap tujuh belas tahun. (hal 242)

Ketegangan mulai meningkat ketika sosok berjubah gelap mendatangi rumah Jupiter.

Pertama-tama aku melihat sosok gelap di luar jendela kamar, dan sekarang sosok gelap itu mendatangi rumahku, berkata bahwa dia ingin bertemu denganku. Aku yakin akan terjadi sesuatu yang buruk dengan semua kejadian demi kejadian yang terjadi beberapa hari ini. (hal 247)

Selain ketegangan yang ditarik ulur, beberapa bagian novel ini cukup informatif. Misal ketika penulis menjabarkan salah satu penyakit otak dan mitologi Yunani.

“Ada istilah Skizofrenia, salah satu penyakit otak yang timbul akibat ketidakseimbangan dopamin. Tapi tenanglah, Jupiter, aku yakin apa yang terjadi padamu bukan karena Skizofrenia. Aku percaya terhadap Anna, jika kamu seorang Raunt.” (hal 108)

“Dalam mitologi Yunani Morfeus diceritakan sebagai pembentuk mimpi, dia adalah pemimpin para Oneroi atau Raunt. Mereka juga diceritakan bisa menjelma menjadi manusia dan memasuki mimpi manusia-manusia yang dikehendakinya.” (hal 264)

Jika Anda tipe orang yang suka menebak-nebak ketika membaca cerita, sebaiknya berhati-hati dengan novel ini. Penulis sangat pandai menyimpan rahasia dan membangun tameng dengan rapi. Saya terkecoh. Larut dalam cerita tanpa sempat memikirkan sedikit pun hal yang disembunyikan penulis di ending. Apa itu? Silakan cari tahu sendiri.
Selain beberapa typo, menurut saya yang kurang dari buku ini adalah pertarungan terakhir Jupiter dengan si penyusup, kurang spektakuler. Saya membayangkannya bisa lebih dari itu. Juga penyebab Jupiter tidak bisa menembus mimpi Anna. Awalnya saya pikir ada sesuatu yang akan berpengaruh besar terhadap cerita, nyatanya tidak ada (atau jangan-jangan saya yang kurang menangkap).
Terlepas dari hal itu, menurut saya novel ini berhasil memberikan warna baru, hidangan segar untuk para pencinta fantasy.

Minggu, 02 April 2017

Review Kumcer: Kupu-Kupu Kematian




 Judul                 : Kupu-Kupu Kematian

Penulis               : Ade Ubaidil, dkk

Penerbit             : UNSA Press

Tebal                 : 194 hlm

ISBN                 : 978-602-74393-2-0

Kupu-Kupu Kematian memberi saya cara pandang yang baru tentang dunia anak-anak yang tidak melulu berupa lugu dan lucu atau hubungannya dengan keluarga dan diri sendiri, tetapi lebih dari itu, banyak pertanyaan yang tidak dapat kita temukan pada diri orang dewasa tetapi memungkinkan pada diri anak-anak.
-Faisal Oddang

Buku dengan sebelas cerpen pilihan ini akan mengantar para pembaca untuk menyelami sedikit di antara ruahan ‘dunia gaib’ anak-anak yang sesekali butuh diziarahi orang-orang dewasa.
-Mashdar Zainal

Membaca buku ini membuat saya tercengang. Bagaimana tidak, kita dihadapkan pada sisi lain anak-anak yang mungkin tak pernah terpikirkan selama ini. Sebelas cerpen pilihan yang disuguhkan buku ini telah melalui proses penjurian yang sangat ketat (lomba yang diadakan oleh Komunitas Untuk Sahabat). Artinya, secara kualitas tidak diragukan lagi. Karena ini antologi bersama, kita dimanjakan dengan gaya penulisan yang beragam.
Sebelas cerpen, sebelas tokoh anak-anak dengan kepribadian dan karakter masing-masing. Nuansa kelam, mistik, saya temukan di cerpen Kupu-Kupu Kematian (Pemenang Utama Cerpen Pilihan UNSA 2016), Bau Mayat, dan Ibu dan Kue Kutu. Sesekali saya bergidik, menyadari kemungkinan yang bisa terjadi pada anak-anak yang sepintas tampak lucu dan baik-baik saja.
Dunia anak yang memang selalu serba ingin tahu dipertegas dalam cerpen Angkasa (Pemenang Runner Up Cerpen Pilihan UNSA 2016). Cerpen ini memaparkan bahwa terkadang pemikiran anak-anak jauh lebih luas dibanding orang dewasa. Sedang dampak keharmonisan keluarga terhadap kepribadian anak sedikit banyak tergambar pada cerpen Istana Boneka dan Buku Gambar Imo.
Selain sebelas cerpen pilihan, buku ini juga dilengkapi lima cerpen pemenang LCPM 1, ditulis oleh mereka yang masih berstatus pelajar dan mahasiswa. Yang muda yang berkarya. Kurang lebih seperti itu. Sangat sayang untuk dilewatkan. Dari keseluruhan cerpen, saya paling terkesan dengan Insomnia (Pemenang Kategori Cerpen dengan Penokohan Terbaik), tokohnya sangat melekat di benak. Tentang bagaimana ia tidak ingin melihat benda sendirian, sukses menghuni ruang kepala saya berhari-hari.
Buku ini sangat cocok untuk Anda yang butuh bacaan dengan nuansa berbeda. Mungkin sesuatu yang tak pernah terpikirkan sebelumnya.

Review Kumcer: Apa yang Terjadi Adalah Sebuah Kisah




Judul                 : Apa yang Terjadi Adalah Sebuah Kisah

Penulis               : Bamby Cahyadi

Penerbit             : UNSA Press

Tebal                 : 141 hlm

ISBN                 : 9786027439344

BLURB
Malam itu pesawat yang saya tumpangi dari Kuala Lumpur menuju Beijing meledak menjadi serpihan debu paling kecil di dunia. Bahkan menjadi kesiur angin laut yang lembab tak terdeteksi radar. Mereka mengatakan pesawat itu hilang. Ini bukan mimpi, saya menyaksikan itu semua sebagai hantu. Apa yang terjadi adalah sebuah kisah. Saya berada dalam pesawat nahas yang kalian nyatakan hilang itu. permainan telah berakhir. Kalian masih terus mencari, mencari hingga kalian lupa apa yang kalian cari. Atau, apakah kalian ingin sepenggal kisah lagi? Bila begitu, cerita ini belum berakhir. Bagian ini sekadar prolog saja.

Jujur, saya belum mengenal Bamby Cahyadi sebelumnya. Entah kudet, atau karena kelana saya di dunia literasi memang masih tergolong baru. Begitu info buku ini segera terbit muncul, saya mulai bertanya ke Mbah Google. Ternyata beliau punya branding yang cukup kuat dan membuat saya langsung tertarik untuk memiliki buku ini.
Sebelum terlalu jauh, izinkan saya memaparkan sebuah puisi (atau entah apa namanya) yang terdapat setelah halaman persembahan.

Wajah yang Tak Kunjung Rampung

Sketsa wajahmu di atas selimut
yang menggigit bibir memeluk lutut
menunduk menangis di sudut
aku menggambar wajahmu berulang-ulang
memakai pensil yang telah kugigit di ujung
wajahmu di atas selimut tak kunjung rampung
(hal iv)

Membaca buku ini, rasanya seperti jalan-jalan ke dunia fantasi. Banyak hal menyenangkan yang bisa ditemui. Tapi, mungkin karena faktor selera, saya kurang menikmati cerpen pertama (Gemerincing Hati). Seorang Bamby Cahyadi tidak mungkin melakukan kesalahan pada tulisannya, terlebih yang sudah terbit. Hanya saja cerpen pertama ini terasa kaku untuk saya pribadi.
Cerpen kedua (Pertaruhan Besar Seorang Suami), saya mulai jatuh cinta dengan gaya bercerita sang penulis. Ketegangan yang dibangun di awal hingga pertengahan cerpen, sukses membuat saya menggenggam buku lebih erat. Lalu menjadi sangat “wow” ketika semua itu malah berakhir lucu. Di sini, saya takjub.
Melangkah lebih jauh, saya kembali dimanjakan dengan pemandangan yang tak biasa. Cerpen “Sepenggal Kisah di Antara Prolog dan Epilog” sebuah ide yang sangat unik dan dieksekusi dengan gaya khas sang penulis. Saya mengulang membacanya hingga tiga kali, saking kagumnya dengan cara penulis menuangkan idenya.
Tak hanya itu. Pada cerpen “Acta Est Fabula” perasaan saya selaku pembaca sukses diaduk-aduk. Tentang siapa yang bercerita, apa yang diceritakan, bagaimana kisah itu diramu, cerpen ini membuat saya terkagum-kagum. Dan, hati saya mendadak gerimis ketika membaca cerpen “Filosofi Ayah”. Seperti biasa, saya teringat oleh almarhum ayah. Terlebih di cerpen ini ada sepenggal nasihat ayah yang cukup menohok.

“Hiduplah apa adanya, hal itu akan menghindarkanmu dari perilaku korupsi!” (hal 83)

Semakin jauh sebelum menandaskan buku ini, saya disuguhkan tata bahasa yang ajaib pada cerpen terakhir, “Tidak Mudah Menjadi Hantu”. Saya belum pernah merasa sehanyut ini ketika membaca cerpen. Hanyut dalam artian, saya menemukan hal baru, sesuatu yang mungkin bisa dipelajari demi kualitas tulisan saya di masa mendatang.
Dan pada akhirnya, dari keseluruhan isi buku, saya justru terkesan dengan sepenggal perjalanan hidup sang penulis yang disuguhkan di bagian akhir. Dari sini saya belajar, bahwa pengalaman merupakan salah satu modal utama untuk menulis. Semakin banyak pengalaman semakin banyak pula ide-ide bermunculan.

Bagi saya menulis adalah semacam terapi dan akan mencegah saya agar tidak terjerumus ke dalam suasana hati yang terkadang cenderung saya masuki. Suasana itu bernama kenangan. (hal 115)

Terlepas dari semua hal manis di atas, terdapat typo dan pengulangan kata di halaman 51 dan 81. Tapi untuk saya pribadi, hal itu sama sekali tidak mengurangi kualitas buku. Sebagai seseorang yang cenderung lebih suka baca novel ketimbang cerpen, buku ini mulai menyetarakan minat saya.