Rabu, 24 Mei 2017

Review: Keringat Tak Pernah Berkhianat




Judul             : Keringat Tak Pernah Berkhianat

Penulis          : Ahmad Muliono

Penerbit        : Elex Media Komputindo

Tebal             : 150 hlm

ISBN            : 978-602-04-1233-7

“Pelecut Asa Ketika Anda Hampir Putus Asa”
Buku “Keringat Tak Pernah Berkhianat” ini menjelaskan alasan mengapa dalam hidup ini kita harus sukses, apa makna sukses yang sesungguhnya, serta langkah-langah konkrit apa saja yang dapat kita lakukan agar berhasil meraih kesuksesan. Semuanya dijelaskan secara gamblang dan nyata oleh penulis dalam buku ini dengan bahasa yang ringan dan mengalir sehingga sangat mudah dibaca dan diambil hikmahnya untuk kita jalankan dalam kehidupan sehari-hari.

“Setiap tulisan dalam buku “Keringat Tak Pernah Berkhianat” ini akan memotivasi Anda yang membacanya bahwa sukses adalah sebuah hal yang sangat bisa diraih selama Anda terus mau berjuang mewujudkannya dan akan menumbuhkan keyakinan bahwa setiap keringat Anda akan berbuah kesuksesan.”
EDVAN M. KAUTSAR
Motivator-Pengusaha-Penulis

“Membaca buku ini membuat saya merasa membaca banyak sekali buku. Penulisnya mampu mencampurkan kisah dari buku-buku yang dibacanya menjadi sebuah kisah baru penuh motivasi. Terlihat jelas bahwa penulisnya suka membaca. Dan salah satu ciri orang sukses adalah kecintaannya pada membaca. Jika Anda mempunyai mimpi untuk sukses maka bacalah buku ini. Nikmati setiap halamannya, dan temukan kisah-kisah inspiratif yang aplikatif untuk dijalankan dalam kehidupan sehari-hari.”
DEASSY M. DESTIANI
Penulis Buku Best Seller Bukan untuk Dibaca jilid 1 dan 2

“Tak hanya mencerahkan pikiran, kisah-kisah dan ikatan hikmah dalam buku ini mampu menguatkan mental. Kita pun akan tampil menjadi pribadi yang pemberani. Butikan!”
DWI SUWIKNYO
Penulis Buku Laris Jangan Mudah Menyerah dan Ubah Lelah Jadi Lillah

“Berani bermimpi itu adalah sebuah langkah maju. Tetapi mewujudkan mimpi menjadi nyata, itu urusan berbeda. Berani bermimpi, harus berani pula bertanggung jawab untuk mewujudkannya. Dalam buku ini, penulis memberikan pencerahan kepada kita mengenai prosesnya. Ah, membaca buku ini saya jadi teringat akan guru favorit saya dulu di sekolah yang selalu membuat saya kangen kelasnya. Terima kasih Pak Ahmad Muliono yang sudah menuliskan buku ini.”
@BRILIAGUNG
CEO Inspirator Academy, Penulis 25 Buku

Baru baca judulnya saja sudah menimbulkan hentakan, bahwa usaha sekecil apapun tidak ada yang sia-sia, setiap tetes keringat akan membuahkan hasil. Membaca buku ini seperti sedang mengunjungi pameran kuliner nusantara, tanpa perlu keliling Indonesia, kita bisa mencicipi berbagai jenis makanan dari pelosok tanah air. Buku ini merangkum banyak hal, benar-benar cocok sebagai panduan untuk Anda yang tengah meniti tangga kesuksesan. Setelah membaca buku ini Anda akan mengerti lebih jauh makna sukses sesungguhnya, yang mungkin berbeda dengan konsep yang tertanam di kepala Anda selama ini. Buku ini tidak mungkin lahir jika penulisnya tidak suka membaca. Saya bisa membayangkan berapa banyak koleksi bacaan yang ia punya.
Tak perlu jauh melangkah, di halaman tiga kita disuguhkan sebuah gambaran yang memaparkan betapa penting keberanian untuk mencoba hal baru. Penulis memaparkan kisah anak singa yang dipelihara seekor kucing. Alhasil, ketika sudah dewasa singa itu tidak bisa mengaum. Padahal jika ia punya keberanian untuk mencoba, ia pasti bisa melakukannya, karena sudah ditakdirkan kemampuan itu ada dalam dirinya. Singa tadi gambaran sebagian dari kita yang selalu beranggapan tidak bisa sebelum mencoba dan berusaha.
Proses menuju sukses pun tentu ada-ada saja rintangan yang tak jarang membuat kita putus asa lalu beranggapan, sepertinya saya memang tidak bisa. Padahal jika kita pandai bersyukur, rintangan seberat apapun selalu punya hikmah positif di masa mendatang. Tuhan tak pernah salah menurunkan takdirnya. Intinya, nikmati proses.

Kelapa tidak akan menghasilkan sari pati bila prosesnya berhenti di tengah jalan. Kita pun tidak akan menemukan sari pati kehidupan apabila kita tidak sabar saat menghadapi proses kehidupan ini. Maka, mari kita nikmati proses meraih kesuksesan itu! (hal 13)

Sepanjang berusaha diharapkan agar kita jangan mudah iri terhadap pencapaian orang lain. Sekadar mengagumi boleh, tapi jangan sampai membuat kita lupa bersyukur atas apa yang kita punya sekarang.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering melihat orang-orang yang berada di atas kita untuk mengukur status sosial dan kekayaan. Lantas, orang yang berlebih ini kita anggap lebih beruntung dan lebih nikmat hidupnya. Padahal, kenyataannya tidak selalu demikian. Belum tentu yang kaya itu enak tidur. Apalagi kalau kekayaannya didapatkan dengan cara yang tidak benar. Belum tentu kedudukan yang tinggi membuat seseorang menjadi nyaman. Apalagi kedudukannya itu didapat lewat cara-cara yang kotor dan dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi. (hal 31)

Seburuk apapun kehidupan kita sekarang, percayalah, itu hanya ada di pikiran kita dan sesungguhnya Allah selalu bersama kita.

Di dalam Alquran telah dijelaskan bahwa orang beriman itu tidak bersedih hati dan tidak pula berduka cita. Kita punya Allah untuk menggantungkan segala mimpi, harapan, dan cita-cita melalui doa-doa yang selalu kita panjatkan kepada-Nya. (hal 18)

Dalam buku ini kembali ditegaskan bahwa shalat adalah amalan yang paling penting untuk diperbaiki. Jika ada di antara Anda, termasuk saya, yang hidupnya terus-terusan menemui kesusahan, bisa jadi shalatnya belum baik, atau bahkan belum didirikan sama sekali.

Jika ditanya, “apa yang perlu aku perbaiki jika hidupku begini-begini saja?” Maka perbaikilah shalat kita dulu. Selalu ingat bahwa bila baik shalat kita, maka baik pula semua amal kita. (hal 29)

Jika selaku hamba kita telah menjalankan kewajiban dengan baik, sesungguhnya kita bisa bermitra dengan Allah, yang mana tidak akan menemui kerugian, penipuan, atau hal lain seperti saat bermitra dengan manusia. Ada pun keempat caranya dijabarkan dalam buku ini mulai dari halaman 38. Apa sajakah itu? Tentu tidak akan saya beberkan di sini. Silakan cari bukunya dan baca sendiri. Hehehe ….
Awalnya saya pikir buku ini murni membahas seputar dunia bisnis, nyatanya tidak. Karena sukses tidak hanya diukur dari materi, maka dari itu buku ini menyentuh seluruh aspek kehidupan. Sangat komplit. Contohnya, dari judulnya tentu Anda tidak akan menyangka bahwa buku ini juga menyinggung cara mengendalikan nafsu syahwat. Khususnya para pemuda. Nah, loh? Kalau tidak percaya, segera miliki bukunya dan baca sendiri di halaman 48-49. Artinya, buku ini juga cocok untuk muda-mudi. Bukankah sukses harus dirancang sejak dini? Sukses skala besar dimulai dengan sukses mengendalikan diri sendiri.
Anda yang sedang bimbang dalam mengambil keputusan untuk menikah, tenang, buku ini juga mungkin bisa jadi solusi. Seperti yang saya katakan tadi, buku ini sangat komplit, pentingnya pernikahan pun tak lepas dari pembahasan.

Kita tidak akan pernah tahu manisnya madu sebelum meminum madu itu. Kita juga tidak pernah tahu pedasnya cabe sebelum memakannya. Begitu juga kita tidak akan pernah tahu betapa bahagianya hidup setelah menikah, sebelum kita menikah. Maka menikahlah! (hal 61)

Yang paling saya suka dari buku ini adalah bagian yang mengingatkan kita untuk mencintai orangtua, khususnya ibu, dari sekarang. Karena memang tidak bisa dipungkiri bahwa di balik cerita sukses seseorang, selalu ada peran ibu di sana. Alangkah celakanya bila kesuksesan itu kemudian tidak menyisakan waktu untuk menemui ibu, atau sekadar menghubunginya lewat telepon. Jangan sampai penyesalan datang setelah beliau tiada.

Kembalilah segera, peluklah ibu yang selalu menyayangimu, ciumlah kaki ibu yang selalu merindukanmu dan berikanlah yang terbaik di akhir hayatnya. Berdoalah untuk kesehatannya dan rasakanlah pelukan cinta dan kasih sayangnya, jangan biarkan engkau menyesal di masa datang, kembalilah pada ibu yang selalu menyayangimu. (hal 142)

Kawan, ingatlah selalu keridhaan Allah ada pada keridhaan orangtua dan murkanya Allah ada pada murkanya orangtua. Berbaktilah kepada mereka, kebahagiaan dan kesuksesan yang sesungguhnya sudah tidak lagi sabar menanti kedatangan kita. Insya Allah. (hal 146)

Dari hal-hal di atas, buku setebal 150 halaman ini menurut saya penuh gizi. Pembahasannya tidak bertele-tele dan sangat mudah dipahami untuk kemudian diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Secara garis besar buku ini mengajak kita untuk lebih dekat kepada Allah dengan menjalankan ibadah-ibadah sunnah yang mungkin terlupakan karena kesibukan duniawi. Jika kita sudah bisa mengendalikan diri sendiri, mencintai orangtua, memperbaiki hubungan dengan sesama dan Sang Pencipta, maka kesuksesan akan datang dengan sendirinya. Insya Allah.

Jika saat ini kita masih menjadi seorang pemotong rumput, pencuci piring, atau petugas parkir maka jangan pernah berhenti bermimpi. Mereka yang sukses adalah mereka yang melalui proses berkali-kali, bukan hanya sekali raih. Kerja keras dan mimpi menjadi tujuan dan semangat hidup yang tak pernah padam, teruslah bermimpi dan wujudkanlah! (hal 126)

Rabu, 03 Mei 2017

Review Kumcer: Kumpulan Budak Setan




Judul             : Kumpulan Budak Setan

Penulis          : Eka Kurniawan, Intan Paramaditha, Ugoran Prasad

Penerbit        : Gramedia Pustaka Utama

Tebal             : 174 hlm

ISBN            : 978-602-03-3364-9

BLURB
Kumpulan Budak Setan, kompilasi cerita horor Eka Kurniawan, Intan Paramaditha, dan Ugoran Prasad, adalah proyek membaca ulang karya-karya Abdullah Harahap, penulis horor populer yang produktif di era 1970-1980-an. Dua belas cerpen di dalamnya mengolah tema-tema khas Abdullah Harahap—balas dendam, seks, pembunuhan—serta motif-motif berupa setan, arwah penasaran, obyek gaib (jimat, topeng, susuk), dan manusia jadi-jadian.

***

Kupejamkan kembali mataku dan kubayangkan apa yang dilakukannya di balik punggungku. Mungkin ia berbaring terlentang? Mungkin ia sedang memandangiku? Aku merasakan seembus napas menerpa punggungku. Akhirnya aku berbisik pelan, hingga kupingku pun nyaris tak mendengar: “Ina Mia?”
(Riwayat Kesendirian, Eka Kurniawan)

Jilbabnya putih kosong, membingkai wajahnya yang tertutup bedak putih murahan—lebih mirip terigu menggumpal tersapu air—dan gincu merah tak rata serupa darah yang baru dihapus. Orang kampung tak yakin apakah mereka sedang melihat bibir yang tersenyum atau meringis kesakitan.
(Goyang Penasaran, Intan Paramaditha)

“Duluan mana ayam atau telur,” gumam Moko pelan. Intonasinya datar sehingga kalimat itu tak menjadi kalimat tanya. Laki-laki yang ia cekal tak tahu harus bilang apa, tengadah dan menatap ngeri pada pisau berkilat di tangannya. Moko tak menunggu laki-laki itu bersuara, menancapkan pisaunya cepat ke arah leher mangsanya. Sekali. Sekali lagi. Lagi. Darah di mana-mana.
(Hidung Iblis, Ugoran Prasad)

Saya suka nonton film horor, tapi untuk bacaan belum terlalu. Hanya saja saya memilih buku ini karena latar belakang penyusunannya yang tak biasa dan sepertinya butuh perjuangan ekstra. Ada rasa penasaran tersendiri setelah buku ini jadi bahan perbincangan di mana-mana. Terlepas dari itu, jujur, untuk keperluan mengikuti “Undangan Menulis Kumpulan Budak Setan 2”.
Bagian awal kita disambut kata pengantar, “Para Budak yang Penasaran”, yang membeberkan asal muasal terbentuknya buku ini. Bahkan proses pemilihan judul pun dipaparkan di sini. Secara tidak langsung bagian ini juga seolah meyakinkan pembaca bahwa buku ini akan menyajikan sesuatu yang tak biasa. Benar saja, horor yang awalnya saya pikirkan berbeda dengan yang tersaji di sini. Unsur seramnya tidak dipaksakan, banyak penggambaran sosok hantu yang baru (bukan hantunya yang baru, tapi cara penyampaiannya).
Sepanjang membaca buku ini tak jarang saya bergidik, karena narasi yang saya baca seolah langsung terjadi di depan mata. Tema yang diangkat secara umum berupa isu yang beredar di masyarakat luas, tentu saja dengan kemisteriusannya yang seolah tak ada habisnya untuk dibahas. Misal soal ilmu kebal pada cerpen “Jimat Sero”. Cerpen ini dibumbui adegan panas penuh mistis. Setelah menandaskannya, tanpa sadar saya membenarkan, karena cerita serupa pernah beredar di kampung saya.

Yang tidak biasa, ia di sana tidak sendirian. Ia bersama seorang lelaki, juga telanjang. Mereka bergumul, dan aku hanya duduk di sofa, sambil memandang mereka melalui pintu kamar yang terbuka. Aku merasa ikut terangsang. Kepalaku melayang-layang.
Aku mencopot sepatu, melepas kaus kaki. Kupandangi tanganku yang penuh noda darah. Kuintip kembali Raisa dengan lelaki itu. Kudengar desahan suara Raisa yang sangat kukenal. Sebentar lagi aku akan orgasme, pikirku. (hal 40)

Bahaya zina mata dipaparkan pada cerpen “Goyang Penasaran”. Di sini lagi-lagi sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari. Orang yang tampak sempurna di luar belum tentu dalamnya, bisa jadi penuh borok. Bahkan jika seseorang sudah sangat ambisisus pada sesuatu, tanpa sadar segala cara akan ditempuh, salah sekali pun. Misal dalam cerpen ini, kita dihadapkan pada tokoh yang akhirnya menjadi abdi setan demi mencapai tujuan semu. Aroma dendam sangat kuat membaluri cerpen ini.

Solihin terluka parah, namun terselamatkan dan diarak ke kantor polisi. Salimah tak bertahan. Kemarahan massa meluap-luap ketika melihat perempuan itu memeluk kepala Haji Ahmad dengan tubuh berlumuran darah. Rambutnya yang semrawut dan matanya yang jalang membuat darah warga kampung mendidih. Pentungan berkali-kali menghantam kepalanya. Ia tersungkur, mati dengan tubuh lebam, namun tangannya tetap mendekap kepala. Mereka yang iba menutup matanya yang mendelik. Bulan mati pucat, dingin telanjang. (hal 57)

Cerpen “Pintu” adalah yang paling ajaib sekaligus menjadi cerpen favorit saya di buku ini. Alurnya berliku-liku dan cukup membingungkan di awal. Ada bagian yang ambigu, yang mungkin akan ditafsirkan berbeda oleh masing-masing pembaca. Semakin ke belakang semakin banyak hal tak terduga yang terkuak. Tema yang diangkat masih lekat dengan kehidupan sehari-hari, bahkan tak jarang mewarnai siaran berita di layar kaca.

Ia tengah berbicara dengan penumpang di jok belakang. Seorang lelaki muda berjaket hitam dengan mata besar terbelalak dan seutas tali melilit di leher. Lelaki yang tahu rasanya membuka pintu mobil, bercinta di jok kulitnya yang dingin, mengamati dunia lewat kaca film. Ia tak ingin pergi terlalu lekas. (hal 88)

Sedang untuk penggambaran sosok hantu paling menyeramkan saya jumpai di cerpen “Hantu Nancy”. Coba bayangkan, jika di waktu dan tempat yang tak terduga tiba-tiba di hadapanmu muncul sosok perempuan botak, mata melotot, serta mulut tersumpal rambut. Sosok Hantu Nancy sempat berdiam di kepalaku selama beberapa hari.

Di cermin, Nancy tersenyum padanya. Zulfikar tahu saatnya sudah dekat. Ia telah mematuhi seluruh perintah Nancy tapi masih ada satu lagi. Dengan tenang Zulfikar mulai memotong rambutnya sendiri, meletakkan potongan-potongan rambut itu di pangkuannya. Senyum Nancy semakin mengembang, menyemangatinya. Tak berapa lama rambut di kepalanya mulai tercukur habis. (hal 132)

Terakhir, buku ini sangat cocok untuk para pencinta genre horor yang mungkin mulai jenuh dan butuh suasana berbeda. Bagi Anda yang penakut tapi penasaran ingin membacanya, sebaiknya baca di waktu siang. Jangan di malam hari, terlebih saat sendiri. Bisa jadi salah satu dari mereka malah menghampiri untuk menemani.

Petunia yang Berguguran di Hati Senja




Prolog
Kau boleh tak mencintaiku, tapi kau tak akan sanggup menghalangiku mencintaimu. Cinta membabi buta yang pada akhirnya mengajarkanku banyak hal. Membuatku mengenal sisi ketulusan.

            Sakit tak selalu pada luka yang berdarah. Sakit yang tak pernah kau bayangkan bisa jadi bersemayam pada raga yang tampak baik-baik saja. Ini tentang hati yang merapuh oleh kenangan. Senyum palsu serta tatapan yang berpura-pura tegar setia menemani. Kau harus bangun di pagi hari dengan napas baru, memastikan dadamu cukup tangguh untuk menampung gemuruh yang merangsek dari segala arah. Kemudian menikmatinya sendiri.
            Aku menyukai bagaimana pun wajah hari. Sebab Tuhan melukiskannya dengan tujuan masing-masing. Meski aku memiliki rasa suka berlebih terhadap kabut. Entahlah. Aku menyukai cuaca yang justru tak disenangi banyak orang. Menurut mereka, kabut selalu mengutus hawa dingin berlebih, serta membatasi pandangan. Ada sisi lain dalam kabut yang kusuka, kuuraikan dengan caraku sendiri. Bagiku, kabut mengandung jutaan partikel warna yang memancar dari rasa kecewa, kehilangan, pengkhianatan, dan apa pun yang membawa diri bertemankan pilu. Meskipun semuanya bernada sendu, justru di situlah letak alasanku menyukainya. Sebab Tuhan mengutus kabut untuk menutupi semua luka di muka bumi. Termasuk lukaku. Luka abadi yang tak ditakdirkan berjodoh dengan penawar mana pun. Meski hanya sesaat dan akan kembali berdarah ketika kabut berlalu tersapu mentari.
            Aku bukan manusia super yang kebal luka dan betah menyimpannya dalam diam. Aku pun tak pernah memilih untuk ada di takdir ini. Aku hanya bertahan agar tak banyak luka yang bermekaran. Meski dengan begini, aku akan mati perlahan-lahan.

***


BAB 1
Cinta Laki-Laki Tangguh
            Namaku Senja. Bukankah senja itu ketika warna jingga transit di langit sore untuk menyambut malam? Setahuku begitu. Entah sebab apa orangtuaku memberikan nama itu. Awalnya kupikir karena aku lahir di waktu senja, nyatanya tidak. Aku pernah tak menyukai nama yang kusandang sejak lahir ini. Menurutku, senja berarti sesaat. Apa yang bisa dibanggakan dari sesaat?
            Waktu itu umurku 10 tahun, ketika kami sekeluarga berlibur ke pantai. Tangan lembut mama mendarat di pundakku ketika lena mengamati hamparan laut yang seolah bergandengan tangan dengan langit. Tengadah, kutemukan senyum mama yang selalu menenangkan.
            “Kamu tahu, pertemuan mama dan papa terjadi ketika senja. Senja selalu membawa getar halus pada hati yang bahagia, serta sekuntum damai untuk hati yang gelisah. Kami menamaimu “Senja” karena kamu adalah anugerah terindah dari Tuhan, sama seperti senja yang mempertemukan kami.” Suara mama pelan dan berbobot.
            Sejak saat itu, kutemukan hal ajaib di balik namaku. Persis ketika jingga keemasan berlaga di langit. Senja.
            Sekali lagi, apa yang bisa dibanggakan dari sesaat? Nyatanya, aku menyukai bunga petunia yang keindahannya tak mampu berlama-lama menemaniku. Terlebih pada variant ungu. Pada senja yang sesaat, pada bunga petunia yang tak tahan lama, sungguh bukan hal yang direncanakan.
            Orang dengan mudah tahu bahwa aku penyuka petunia, sekali pun baru kenal. Termasuk Ruwanta, lelaki bermata elang yang berhasil menabur rindu di hati sejak percakapan pertama kami.
            “Kenapa kamu suka petunia?” tanyanya ketika menghampiriku yang sedang menyendiri di taman. Waktu itu kami sedang menjalani masa ospek, belum banyak yang kukenal.
            “Kok, tahu?” setelah pertanyaan itu terlontar, aku disadarkan oleh notebook, pulpen, hingga jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiri, semuanya bermotif petunia ungu. Kalau untuk hal ini aku sengaja. Selain memelihara petunia di beranda, mengoleksi benda-benda bermotif bunga kecil itu juga salah satu kesenangan.
            Ruwanta entah orang keberapa yang langsung menebak kesukaanku pada bunga petunia di perjumpaan pertama, aku tak peduli. Sudah terlalu banyak. Yang lebih kupedulikan adalah senyumnya. Serupa kelopak petunia diterpa cahaya sore. Lebih dari sekadar indah, menenangkan.
            Berawal dari percakapan singkat yang terkesan sok kenal sok dekat itu otakku selalu berproses, mencari tahu lebih jauh apa pun tentang Ruwanta.

***

            Matahari tampak ceria. Sinarnya yang serupa mengandung bara serta-merta memenuhi kawasan Universitas Advent Indonesia. Jam kuliah baru saja berakhir. Aku mempercepat langkah menunju mobil. Bukan karena kepanasan, tapi karena melihat orang itu. Yudit, lelaki yang telah menjelma sebagai pejuang cinta paling tangguh di mataku sejak kami masih sama-sama mengenakan seragam putih abu-abu. Tiga tahun di SMA, hari-hariku tak pernah lepas darinya. Menurut pengakuannya, ia jatuh cinta padaku sejak hari pertama masuk sekolah dan menempati kelas yang sama. Awalnya kupikir berlebihan dan hanya perasaan sesaat. Ternyata ia berhasil membuktikannya hingga saat ini. Bahkan, ia menolak keinginan orangtuanya untuk menyekolahkannya di luar negeri demi tetap besamaku. Melanjutkan perjuangan lebih tepatnya.
            Yudit berasal dari keluarga berada. Papanya pengusaha tambang minyak yang memiliki jaringan hingga ke luar negeri. Tak heran jika banyak perempuan yang meleleh dibuatnya. Entah naksir orangnya atau malah kepincut sama mobil sport keluaran terbaru yang selalu menemani kesehariannya. Di samping kekayaan yang sering jadi buah bibir di kalangan penggemarnya, secara fisik, dia lumayan tampan. Rambut cepak, hidung mancung, alis tebal, kulit putih bersih, badan tegap berotot. Belum lagi nilai akademiknya yang selalu gemilang. Di SMA, juara umum tidak pernah lepas dari genggamannya. Perilakunya juga sangat sopan, beda jauh dengan lelaki kaya yang sok ganteng pada umumnya. Karena itu, sesekali menurutku ia teramat sempurna.
            Yang mampu merasa di dalam dadaku adalah hati, bukan batu yang tak bisa Yudit taklukkan bagaimana pun keras usahanya selama bertahun-tahun. Tapi, aku terlanjur menganggapnya sebatas teman. Bukankah sejak dulu perasaan memang tidak bisa dipaksakan? Cinta bukan perkara benda yang bisa dilepas pasang seenaknya.
            Entah berapa banyak hadiah yang kuterima—secara terpaksa—darinya. Entah berapa banyak usahanya untuk memenangkan hatiku yang sesekali membuatku takjub. Ajaib. Untuk perhatian-perhatian kecil tak terhitung lagi. Jumlahnya mungkin sudah melebihi bintang yang menghiasi langit malam. Semua itu membuat para penggemarnya membenciku. Di saat mereka tengah berjuang mendapatkan perhatian Yudit, aku malah menghindar. Mengabaikannya. Meski di beberapa kesempatan aku memang memanfaatkannya. Ketika mobil masuk bengkel dan butuh tumpangan misalnya, ketika ada tugas rumit yang kejar deadline, dan berbagai hal yang tak perlu kusebutkan. Bukan Yudit namanya bila tak membantu sukacita. Meski ia sadar, aku hanya memanfaatkannya.
            Cinta lelaki tangguh itu tiba pada klimaks. Perkara aku mau menerima atau tidak, baginya sudah tidak terlalu penting. Ia hanya ingin selalu membahagiakanku. Kurang lebih seperti itu.
            “Senja …!” suaranya hinggap di telinga ketika tanganku baru saja meraih dan membuka pintu mobil.
            Aku menoleh dengan ekspresi yang selalu sama setiap kali berhadapan dengannya. Tidak berselera. Bergegas masuk dan mengabaikannya sepertinya terlalu kejam. Bagaimana pun, tidak bisa dipungkiri, ia sering membantuku dalam banyak hal.
            “Minggu depan, kan, sudah musim liburan, aku dan keluarga berencana ke Bali. Kamu ikut, ya!” Lelaki beraroma vanilla itu berucap penuh semangat. Wajah cerianya pulih kembali setelah kuremukkan berkali-kali. Sejak pertama kenal, ia tidak pernah ganti parfum. Selalu aroma itu yang melekat di tubuhnya. Aku sudah hafal. Konon, ia membelinya secara khusus di online shop yang berpusat di Prancis.
            “Aku sudah bilang sama papa dan mama,” imbuhnya ketika otakku sibuk merancang kalimat penolakan.
            Aku jadi teringat sama kedua orangtuanya. Meskipun super sibuk, mereka tidak pernah lupa memerhatikan anak-anaknya—Yudit dan Yunit, sang adik yang masih duduk di bangku SMP. Aku mengenal mereka setelah secara terpaksa ke rumah Yudit, demi kelancaran tugas makalah sejarah yang membuatku mual sewaktu SMA dulu. Di lingkungan tempat tinggalnya, mereka dikenal sosok yang dermawan. Tak jarang nama mereka tampil sebagai donatur untuk berbagai kegiatan sosial dan aksi kemanusiaan. Pak Bara dan Bu Wina, sosok orangtua yang sempurna menurutku. Mereka sangat baik terhadapku.
            “Aku sudah ada rencana sama mama,” kilahku kemudian.
            Gitu, ya?” pancaran matanya perlahan-lahan meredup.
            “Ya sudah, aku duluan, ya!” aku masuk ke dalam mobil dan lekas meninggalkan pelataran parkir. Dari kaca spion, kulihat ia masih mematung di tempat semula, memantulkan pandangan ke lantai beton yang mungkin di benaknya serupa kerasnya pendirianku. Tuhan … setangguh apakah hati lelaki itu?

***