Selasa, 08 Agustus 2017

Review Kumcer: Suatu Pagi di Dermaga




Judul             : Suatu Pagi di Dermaga

Penulis          : Khairani Piliang

Penerbit        : LovRinz Publishing

Tebal             : 169 hlm

ISBN            : 978-602-6652-25-6

BLURB
“Nak apa ke sini, Pipit kecil?” Randu berkata seolah suaranya adalah angin. Setengah menyipit, mata indah Lintang yang berbulu panjang dan lentik menatap tajam Randu.
“Masih bertanya setelah ingin meninggalkanku tanpa pamit, maksudnya apa, hah?” sergah Lintang sengit.
Randu hanya berdiri mematung sesaat. Sedetik kemudian tangannya mulai terangkat meraih jari-jemari Lintang, lalu menyelipkan sesuatu di baliknya.
“Aku tahu kau akan ke sini. Segera simpan dan buka nanti di benteng, aku akan menyuratimu selanjutnya.”
(Suatu Pagi di Dermaga)

Bagi kalian berdiri di tengah keluarga yang masih utuh, mungkin sangat menyenangkan. Tapi kesenangan bagiku adalah ketika aku bisa menghitung jumlah bintang saat langit sedang cerah., meskipun mataku akan berair karenanya. Dan itu sudah kelakukan sejak lama. Sejak aku bisa menggambar wajah kedua orangtuaku dengan kerlip cahayanya. Walau tak sebagus lukisan di kanvas.
(Bukan Cinta Biasa)

Sudah gelas kesekian, kembali kau seduh. Matamu masih nyalang karenanya. Berpuluh puntung beracun masih saja tak henti-henti kau hisap, serupa asap kereta uap yang berjalan di atas rel yang tak putus-putus. Pikiranmu terus saja menerawang dalam malam yang bisu. Ada sebilah rasa sakit di sana. Belum bisa kau urai, namun keangkuhanmu mematikannya.
(Pagi Tanpa Hujan di Musim Hujan)

Cerpen-cerpen Khairani Piliang mengeksplorasi berbagai permasalahan dalam relasi antar manusia; cinta, pengkhianatan, kemarahan—dan nyaris semuanya bernada getir.
(Yetti A.KA, Penulis)

Saya memang tidak terlalu menggilai cerpen sebagaimana menggilai novel, tapi beberapa buku kumpulan cerpen sudah saya khatamkan. Dan menurut saya cerpen-cerpen dalam buku ini tergolong pendek dibanding cerpen pada umumnya. Penulis banyak bermain dengan luka-perih pengkhianatan, disampaikan dengan bahasa yang sederhana namun berbobot. Cerpen “Bukan Cinta Biasa” dan “Dalam Balutan Usia” sepertinya jadi cerpen favorit saya dalam buku ini. Keduanya menghanyutkan. Sebenarnya secara gagasan ada yang lebih keren, tapi kebetulan kedua cerpen itu sesuai dengan selera bacaan saya.
Meski beberapa cerpen terkesan datar dan alurya mudah ditebak, buku ini cukup berwarna karena penulis berani mengeksplor berbagai genre. Mulai dari yang melow, berbau mistis, hingga fantasy. Ada bagian-bagian yang terkesan “aneh”, sehingga untuk memahaminya tak cukup hanya sekali baca.

Wanita itu perlahan melepaskan kendi itu dari tangan, lali mulai menari mengikuti alunan musik yang tercipta. Kendinya tidak jatuh meski wanita tadi tak lagi memegangnya, dan air masih saja mencipta irama pengiring tarian itu. Tangan wanita itu begitu lentik dan mahir dengan lenggak-lenggok seperti seorang penari profesional. Aku tertegun sesaat, gerakan gemulai dengan kecantikan sempurna memancar dari wajahnya. Yah, patung tadi kini menjelma wanita seutuhnya. (kutipan cerpen “Patung Tangan” hal 33)

Yang saya rasakan, penulis berusaha menunjukkan totalitasnya, meski tak sepenuhnya berhasil. Di samping itu, penulis cukup peka dalam mengangkat tema cerita. Terbukti dengan diceritakannya kembali kisah Pinokio dalam versi baru berjudul sama yang lagi-lagi berbau pengkhianatan. Cerpen yang satu ini alurnya cukup mengecoh, dan menurut saya sangat unik.
Saya juga sangat terkesan dengan cerpen “Gaun Merah”, sebuah kerumitan yang dieksekusi secara cerdas. Mantap! Meski beberapa cerpen lainnya masih lemah, seperti ada yang mengganjal, bahkan terkesan belum kelar. Sah-sah saja jika itu salah satu siasat penulis untuk membangun ceritanya, hanya saja saya gagal menikmatinya. Mungkin balik lagi ke selera masing-masing.
Salah satu keunikan buku ini, hampir semua cerpen diawali sealenia kalimat pembuka yang mengundang minat baca. Semacam prolog, yang susunan tiap katanya dipertimbangkan matang-matang.

Merpati itu terbang membawa pesan yang kutitip kemarin. Berisi potongan kata, irisan pelangi, seikat bintang dan beberapa pucuk rindu untuk kekasihku. Tapi bukan potongan senja milik Seno Gumira, karena aku benci senja. Sebab dia telah menenggelamkan mentari dari matanya. (Kutipan cerpen “Kantung Cinta Untukmu” hal 143)

Sebagai penutup, penulis menyajikan intuisi yang dipersembahkan spesial untuk hubby-nya. Kata-kata yang tersusun di sana bikin mata tak berkedip sepanjang membacanya. Saya sedikit kecanduan, hingga mengulang tiga kali membacanya. Memang tidak begitu puitis, tapi makna di setiap kalimatnya begitu dalam.

Aku melukismu di secangkir kopi hitamku yang nyaris tandas. Kopi pahit tanpa gula, tapi kusuka. Kepulan hangatnya menyelimutiku dari gigil suasana. Dan manis yang tersirat setelah pahit yang kutelan mengajarkanku untuk bisa sedikit lebih lama mempermainkan rasa. (Kutipan intuisi 1 hal 163)

Terakhir, buku ini cocok untuk kamu penikmat cerpen yang ingin menyesapi banyak genre dalam satu genggaman.

Jumat, 04 Agustus 2017

Review Novel: Prince Blue Safir




Judul             : Prince Blue Safir

Penulis          : Angel El Cherid

Penerbit        : Histeria

Tebal             : 218 hlm

ISBN            : 978-602-6595-89-8

BLURB
Prince Blue Safir mengisahkan tentang seorang pemuda yang kembali dari California setelah sepuluh tahun menimba ilmu. Ia membuktikan bahwa waktu bisa merubah segalanya, termasuk sifat. Ia yang saat kecil dikenal dengan kebaikan dan kelembutan, kini kembali dengan keangkuhan dan kesombongan. Menjadi pengusaha kerajaan bisnis di usia muda membuat pemuda berparas rupawan itu menjadi sangat dingin dan semaunya sendiri.

Safir tidak dekat dengan siapa pun kecuali Alfa, sahabatnya sejak kecil sekaligus rekan bisnisnya. Hanya bersama Alfa, ia bisa tertawa dan bersifat konyol. Hingga suatu ketika, takdir mempertemukannya dengan Chaty, putri mantan rekan bisnis ayahnya yang bangkrut. Sikap Chaty yang berani mempermalukannya di depan semua orang, membuat Safir berang. Pemuda itu menginginkan Chaty menjadi pelayan pribadinya, dan dengan segala cara, akhirnya keinginannya terwujud. Tapi, dari situlah kisah ini bermula. Pertengkaran konyol mereka, sikap jaim dan keras kepala yang mereka miliki perlahan tumbuh menjadi perasaan yang sulit diartikan. Diam-diam mereka saling menyukai, hanya saja, Safir terlalu angkuh untuk mengutarakan perasaannya. Chaty merasa tersiksa dengan sikap Safir yang terkadang sangat manis, tapi juga temperamen, seolah ia memiliki kepribadian ganda. Safir selalu marah berlebihan jika Chaty dekat dengan Alfa dan Safir tidak segan memperlakukannya dengan kasar. Sikap itulah yang membuat Chaty memilih pergi dari rumah itu dan menetap bersama Alfa sementara waktu.

Tapi malang, ternyata Alfa tidak sebaik yang ia kira. Nasib Chaty justru berakhir di tangannya. Gadis malang itu meninggal setelah mengalami pemerkosaan keji dan siksaan bertubi-tubi. Tubuhnya bahkan dibuang begitu saja. Alfa ingin menghancurkan semua yang dekat dengan Safir karena dendam masa lalu. Sayangnya, Safir sangat percaya padanya.

Waktu pun melompat jauh. Empat tahun kemudian, tidak disangka ternyata Safir benar-benar mencintai Chaty. Ia mencari Chaty sepanjang waktu dan menyesali semua perbuatannya. Safir bahkan seolah lalai dalam bisnis hingga akhirnya perusahaannya mengalami masa sulit. Safir meminta bantuan pada Damitri Company, perusahaan yang dimiliki seorang gadis bernama Aleya Damitri. Gadis arogan, berkuasa, dan sangat dihormati, yang membuat Alfa dan Safir tercekat karena ia sangat mirip dengan Chaty.
Mungkinkah ia Chaty?

-*-

Di perjumpaan pertama, saya pikir ini novel terjemahan fantasy, nyatanya salah besar. Sebelum membahas isi novel ini secara keseluruhan, pertama-tama saya mau bilang bahwa saya suka cara penulis memberikan kata pengantar. Bahasa yang digunakan cukup puitis dan manis untuk ukuran kata pengantar. Kita seolah dijanjikan sesuatu yang menarik, membuat tak sabar untuk lekas menikmati sajian ceritanya.

Seperti hujan yang menyatukan langit dan bumi
Cinta ibarat napas yang mengikat ….
Melebur di setiap nama, dan hilang menjadi rasa ….
Rasa yang tak pernah menua, ataupun binasa
Yang menyatukan … setiap kisah yang berbeda …. (hal 1)

Bab pertama dibuka dengan sebait puisi yang manis, berlanjut dengan kepulangan Safir, seorang pemuda berparas rupawan selepas menimba ilmu di Standford University, California. Meski memiliki tampilan fisik yang nyaris sempurna, tapi hati Safir tak demikian. Ada sebuah rahasia yang membuatnya bersikap dingin. Rahasia apa itu? Tentu tidak akan saya bongkar di sini. Silakan baca dan temukan sendiri. Hehehe ….
Awal-awal membaca novel ini saya tidak mendapatkan ruhnya. Saya tidak merasa terlibat dalam cerita, serta kurang bisa membayangkan di mana tempat kejadian. Mungkin karena penulis terlalu fokus menggambarkan sosok Safir yang teramat sempurna, hingga lupa mengeksplor bagian lain. Terus terang, ketampanan Safir yang dipaparkan berkali-kali menurut saya berlebihan.
Di malam launching perusahaan baru milik Alfa, teman masa kecil sekaligus rekan bisnisnya, Safir tak sengaja bertemu dengan Chaty, gadis yang berani melawan dan mempermalukannya di depan umum. Sial, selama ini tak ada gadis yang berani bersikap demikian, bahkan mereka rela diapakan saja. Hal itu membuat Safir berang dan diam-diam ingin tahu apa pun tentang Chaty.
Karena tidak terima dipermalukan di depan umum, singkat cerita Safir menjadikan Chaty pelayan pribadi. Tentu saja setelah mendapatkan kartu mati yang membuat Chaty tak mampu berkutik. Di sinilah hubungan yang motifnya banyak juga kita temukan di film India dan drama Korea bermula. Penulis menggambarkan sosok Chaty yang terpaksa menjalani perannya, ingin melawan namun tak berdaya, bahkan diam-diam mulai mencintai pemuda yang memperlakukannya semaunya. Hal ini sukses membuat saya muak dengan sosok Chaty, beberapa bagian membuat saya tak habis pikir.

Sementara Chaty mengutuk dirinya sendiri. Bisa-bisanya ia hanyut dalam permainan Safir yang memalukan. Walaupun tak bisa ia pungkiri ada sesuatu dalam dirinya yang begitu menginginkan Safir. Bukan seperti perasaannya pada mantan pacarnya selama ini, tapi jauh seperti rasa bahagia. Benar-benar perasaan yang aneh. (hal 32)

Setelah tidak tahan dengan semua perlakuan Safir, pada akhirnya Chaty memilih kabur, mencoba mencari perlindungan pada Alfa. Nahas, pemuda itu menyimpan dendam berkarat pada Safir yang memicu berbagai perbuatan keji hingga tega menghabisi nyawa Chaty. Di sinilah Safir mulai luluh, ketika ia merasa kehilangan. Kehilangan yang memaksanya mengakui sebuah perasaan yang tanpa sepengetahuannya telah merumpun dalam hatinya.

“Chaty, mengapa aku merasa ada yang salah denganmu, tak seharusnya kau menyiksaku seperti ini. Mengapa kau tak pernah pulang padaku. Jangan membuatku cemas,” bisik hati Safir. Bayangan Chaty seolah menari-nari di pelupuk matanya. (hal 89)

Menurut saya beberapa plot novel ini terkesan buru-buru, menyisakan bagian-bagian yang seolah tidak tuntas. Selain itu perpindahannya juga agak kaku. Ditambah penggunaan banyak sudut pandang dengan sesekali memunculkan sudut pandang para tokoh yang menurut saya kurang pas.
Empat tahun setelah Safir kehilangan Chaty, ia terus mencari. Hal itu membuat konsentrasi kerjanya berkurang hingga membawa kerajaan bisnisnya di ambang kebangkrutan. Di sinilah takdir mempertemukan Safir dengan Aleya, gadis pemilik Damitri Company yang diharapkan bisa menyelamatkan perusahaannya. Bukan sikap arogan Aleya yang membuat Safir tercengang, tapi wajahnya yang sangat mirip dengan Chaty. Di awal-awal Safir sempat sangat yakin bahwa ia memang Chaty.
Kali ini Safir seolah menghadapi karmanya, menempati posisi Chaty dulu ketika ia memperlakukannya semena-mena. Ia membiarkan Aleya menginjak-injak harga dirinya demi sebuah perjanjian kerjasama. Bahkan menyeretnya masuk dalam permainan yang sepenuhnya dikendalikan oleh Aleya. Dari sinilah hubungan rumit selanjutnya bermula. Safir hanya tidak tahu, di balik semua itu ada dendam yang terbalut dengan rapi.

Kematian tak harus dibayar dengan kematian
Tapi cukup dengan memberikan tekanan dan luka yang membuatmu bahkan tak ingin hidup lagi, Safir Alvaro. (hal 109)

Baik Safir ataupun Aleya, hubungan tak jelas mereka pada akhirnya menyadarkan keduanya akan hal besar yang selama ini membuat mereka salah langkah. Di bagian ini cerita semakin dramatis dan agak melow. Terlebih setelah Safir sadar sepenuhnya akan semua kesalahannya selama ini.

Safir benar-benar hancur, bahkan ia tidak peduli pandangan orang-orang yang berbisik melihat seorang Safir Alvaro terduduk lemah tak berdaya dan menangis karena seorang wanita. (hal 193)

Terlepas dari beberapa kekurangan, membaca novel ini cukup menegangkan. Konfliknya cukup tajam dan menanamkan rasa tak sabar untuk mengungkap misteri yang ditanam penulis di setiap bab. Meski kehadiran tokoh Karina menurut saya tidak penting. Dihilangkan pun sepertinya tidak terlalu berpengaruh pada cerita.
Terakhir, sebaiknya novel ini diberi label “Dewasa”. You know-lah! Hehehe ….