Judul : Suatu Pagi di Dermaga
Penulis : Khairani Piliang
Penerbit : LovRinz Publishing
Tebal : 169 hlm
ISBN : 978-602-6652-25-6
BLURB
“Nak apa ke sini, Pipit
kecil?” Randu berkata seolah suaranya adalah angin. Setengah menyipit, mata
indah Lintang yang berbulu panjang dan lentik menatap tajam Randu.
“Masih bertanya setelah
ingin meninggalkanku tanpa pamit, maksudnya apa, hah?” sergah Lintang sengit.
Randu hanya berdiri
mematung sesaat. Sedetik kemudian tangannya mulai terangkat meraih jari-jemari
Lintang, lalu menyelipkan sesuatu di baliknya.
“Aku tahu kau akan ke
sini. Segera simpan dan buka nanti di benteng, aku akan menyuratimu
selanjutnya.”
(Suatu Pagi di Dermaga)
Bagi kalian berdiri di
tengah keluarga yang masih utuh, mungkin sangat menyenangkan. Tapi kesenangan
bagiku adalah ketika aku bisa menghitung jumlah bintang saat langit sedang
cerah., meskipun mataku akan berair karenanya. Dan itu sudah kelakukan sejak
lama. Sejak aku bisa menggambar wajah kedua orangtuaku dengan kerlip cahayanya.
Walau tak sebagus lukisan di kanvas.
(Bukan Cinta Biasa)
Sudah gelas kesekian,
kembali kau seduh. Matamu masih nyalang karenanya. Berpuluh puntung beracun
masih saja tak henti-henti kau hisap, serupa asap kereta uap yang berjalan di
atas rel yang tak putus-putus. Pikiranmu terus saja menerawang dalam malam yang
bisu. Ada sebilah rasa sakit di sana. Belum bisa kau urai, namun keangkuhanmu
mematikannya.
(Pagi Tanpa Hujan di Musim Hujan)
Cerpen-cerpen Khairani
Piliang mengeksplorasi berbagai permasalahan dalam relasi antar manusia; cinta,
pengkhianatan, kemarahan—dan nyaris semuanya bernada getir.
(Yetti A.KA, Penulis)
Saya memang tidak
terlalu menggilai cerpen sebagaimana menggilai novel, tapi beberapa buku
kumpulan cerpen sudah saya khatamkan. Dan menurut saya cerpen-cerpen dalam buku
ini tergolong pendek dibanding cerpen pada umumnya. Penulis banyak bermain
dengan luka-perih pengkhianatan, disampaikan dengan bahasa yang sederhana namun
berbobot. Cerpen “Bukan Cinta Biasa” dan “Dalam Balutan Usia” sepertinya jadi
cerpen favorit saya dalam buku ini. Keduanya menghanyutkan. Sebenarnya secara
gagasan ada yang lebih keren, tapi kebetulan kedua cerpen itu sesuai dengan
selera bacaan saya.
Meski beberapa
cerpen terkesan datar dan alurya mudah ditebak, buku ini cukup berwarna karena
penulis berani mengeksplor berbagai genre. Mulai dari yang melow, berbau
mistis, hingga fantasy. Ada bagian-bagian yang terkesan “aneh”, sehingga untuk
memahaminya tak cukup hanya sekali baca.
Wanita itu perlahan melepaskan kendi itu
dari tangan, lali mulai menari mengikuti alunan musik yang tercipta. Kendinya tidak
jatuh meski wanita tadi tak lagi memegangnya, dan air masih saja mencipta irama
pengiring tarian itu. Tangan wanita itu begitu lentik dan mahir dengan
lenggak-lenggok seperti seorang penari profesional. Aku tertegun sesaat,
gerakan gemulai dengan kecantikan sempurna memancar dari wajahnya. Yah, patung
tadi kini menjelma wanita seutuhnya. (kutipan cerpen “Patung Tangan” hal 33)
Yang saya
rasakan, penulis berusaha menunjukkan totalitasnya, meski tak sepenuhnya
berhasil. Di samping itu, penulis cukup peka dalam mengangkat tema cerita. Terbukti
dengan diceritakannya kembali kisah Pinokio dalam versi baru berjudul sama yang
lagi-lagi berbau pengkhianatan. Cerpen yang satu ini alurnya cukup mengecoh,
dan menurut saya sangat unik.
Saya juga sangat
terkesan dengan cerpen “Gaun Merah”, sebuah kerumitan yang dieksekusi secara
cerdas. Mantap! Meski beberapa cerpen lainnya masih lemah, seperti ada yang
mengganjal, bahkan terkesan belum kelar. Sah-sah saja jika itu salah satu
siasat penulis untuk membangun ceritanya, hanya saja saya gagal menikmatinya. Mungkin
balik lagi ke selera masing-masing.
Salah satu
keunikan buku ini, hampir semua cerpen diawali sealenia kalimat pembuka yang
mengundang minat baca. Semacam prolog, yang susunan tiap katanya dipertimbangkan
matang-matang.
Merpati itu terbang membawa pesan yang
kutitip kemarin. Berisi potongan kata, irisan pelangi, seikat bintang dan
beberapa pucuk rindu untuk kekasihku. Tapi bukan potongan senja milik Seno
Gumira, karena aku benci senja. Sebab dia telah menenggelamkan mentari dari
matanya. (Kutipan cerpen “Kantung Cinta
Untukmu” hal 143)
Sebagai penutup, penulis
menyajikan intuisi yang dipersembahkan spesial untuk hubby-nya. Kata-kata yang
tersusun di sana bikin mata tak berkedip sepanjang membacanya. Saya sedikit
kecanduan, hingga mengulang tiga kali membacanya. Memang tidak begitu puitis,
tapi makna di setiap kalimatnya begitu dalam.
Aku melukismu di secangkir kopi hitamku yang
nyaris tandas. Kopi pahit tanpa gula, tapi kusuka. Kepulan hangatnya
menyelimutiku dari gigil suasana. Dan manis yang tersirat setelah pahit yang
kutelan mengajarkanku untuk bisa sedikit lebih lama mempermainkan rasa. (Kutipan
intuisi 1 hal 163)
Terakhir, buku
ini cocok untuk kamu penikmat cerpen yang ingin menyesapi banyak genre dalam
satu genggaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar