Minggu, 10 September 2017

Review Novel: Gadis Pembungkam Dusta




Judul          : Gadis Pembungkam Dusta

Penulis        : Kusmia Az-Zahra

Penerbit      : Ujwart Media Publisher

Tebal          : 121 hlm

ISBN          : 978-602-60524-1-4

BLURB
Bagaimana mungkin seorang pria populer di kampus terseret kasus kriminal, terlebih menghilangkan nyawa saudaranya sendiri.
Faizal meronta dan menegaskan bahwa dia bukan pelakunya. Namun telinga dan kepercayaan mulai roboh, tak seorang pun yang ingin mendengar. Seorang ibu yang ia hormati, justru dialah yang menyeret putranya ke dalam sel, tanpa belas kasih. Hanya gadis berjilbab misterius yang selalu menundukkan pandangannya hingga tak tampak sosoknya, kini malah hadir dengan identitas baru.

Ya, dia bukan gadis biasa. Dia mampu menghipnotis dan mematahkan analisa penggugat dalam hitungan detik. Lantas, siapakah gadis itu?
_*_

Cerita ini berfokus pada kasus pembunuhan misterius yang melibatkan Faizal sebagai tersangka. Yang terbunuh adalah Faris, adiknya. Ia yang pertama kali menemukan mayat sang adik di ruang dapur rumah mereka, lalu disusul sang ibu, tepat ketika posisi Faizal memungkinkan tuduhan melayang padanya. Maka di sinilah awal musibah di hidup Faizal bermula.
Beruntung ia punya teman baru seperti Khadijah, gadis yang siap membantunya untuk mengungkap kebenaran. Khadijah adalah mahasiswi baru yang dikenalnya semasa ospek. Kebetulan ia tergabung dalam panitia kala itu. Saya suka sosok Khadijah yang misterius dan memiliki kecerdasan di atas rata-rata.
Di tengah rumitnya masalah yang menimpa Faizal, terkuak fakta baru yang membuatnya semakin tak keruan. Ia mulai frustrasi. Masalah seolah menarik masalah lainnya. Di dalam sel, ia bertemu orang-orang yang menyadarkannya banyak hal. Diam-diam saya turut mengambil banyak pelajaran dari konflik cerita ini.

“Kalau pun aku membusuk dalam penjara itu, hanya ragaku, kebenaran akan tetap hidup. Jika aku dihukum mati, itu hanya ragaku, kebenaran tidak akan mati.” (hal 85)

Secara gagasan novel ini kuat. Meski bukan sesuatu yang baru, saya suka idenya. Cara Khadijah mengungkap kasus pembunuhan itu cukup membuat saya terkesan. Sayangnya tidak ditunjang dengan hal lainnya. Penulis seakan mengabaikan tanda baca, bahkan ada penulisan nama yang tidak diawalai kapital. Ini cukup fatal menurut saya. Cara bertuturnya juga masih kaku, banyak pengulangan kata yang tidak perlu. Dan yang paling saya soroti, terlalu banyak opening yang menampilkan kalimat ini, “angin menerbangkan daun kering”. Setiap penulis punya cara penyampaian tersendiri, tapi menurut saya kurang masuk dengan susunan kalimat selanjutnya.
Tapi terlepas dari catatan di atas, saya salut keberanian penulis menyuarakan hukum, membuat cerita ini berbobot.

“Begitulah, Nak, negara ini seperti monopoli. Siapa yang banyak uang, maka dia yang bebas hukuman dan berhak mengocok dadu lagi. Atau bisa saya katakan hukum ini mirip jarum, semakin ke bawah maka semakin tajam. Maksudnya, semakin hukuman itu dijatuhkan pada rakyat bawah, maka hukumannya semakin tajam juga.” (hal 69-70)

Meski menurut saya masih bisa dieksplor, suasana persidangan Faizal beserta dua tersangka lainnya cukup menegangkan. Penulis menggiring kita ikut menduga-duga pelaku sebenarnya. Dan pada akhirnya kebenaran selalu menang, meski sempat tertatih-tatih. Dari alasan pelaku melakukan pembunuhan itu, lagi-lagi kita bisa mengambil pelajaran.

Berdoalah kepada-Ku, maka Aku akan mengirimkan bantuan seribu kekuatan malaikat kepadamu. (hal 115)

3 komentar: