Sabtu, 25 November 2017

Review Novel: Autumn Rhapsody


Judul            : Autumn Rhapsody

Penulis        : Amarissa

Penerbit      : Kata Depan

Editor          : Adhista dan Gita Romadhona

Tata Letak  : Wahyu Suwarni

Kover           : Dwi Annisa Anindhika

Cetakan       : Pertama, 2017

Tebal            : 338 hlm

ISBN             : 978-602-6475-39-8

Blurb:
Bagian paling sulit dari mencintai adalah meyakinkan orang yang kau cintai bahwa cinta yang kau miliki benar-benar nyata.

Sepuluh tahun lalu, Keira Schward, gadis rapuh yang kesepian, jatuh cinta pada seorang Damian Alberhart. Pertemuan yang cuma sehari itu, membekas lama, lalu menumbuhkan cinta yang tidak sekadarnya.

Tiba-tiba saja, Damian datang, melamar Keira. Cinta masa remaja yang melekat, membuat Keira langsung menerima lamaran itu. Padahal, dia tidak tahu siapa Damian yang sebenarnya. Dia tidak tahu apa alasan laki-laki itu menikahinya. Dia hanya percaya, cinta yang dia punya tidak akan mengkhianatinya.

Namun, benarkah itu? Benarkah cinta tidak akan membuatmu kecewa, dan justru membuatmu menangis dalam luka? Damian yang dingin, ketus, dan tak berperasaan membuat perempuan itu pelan-pelan kehilangan harapan. Cukup kuatkah cinta yang dia bawa? Atau, memang sedari awal, dirinyalah yang salah menilai cinta.

_*_

Nikmati Autumn Rhapsody, sebuah cerita yang akan membawamu berkelana ke setiap sudut Frolonberg, sebuah kota yang dipenuhi jingganya dedaunan maple pada musim gugur. Cerita yang membuatmu bertanya-tanya lagi tentang pengkhianatan, permusuhan, dan keberanian untuk terus percaya dan memperjuangkan cinta yang sebenarnya.

_*_

Alur Cerita:
Agak aneh memang, gadis berusia 24 tahun tapi belum pernah sekali pun punya kekasih. Bagaimana bisa punya kekasih, keluar rumah saja sangat jarang. Hal ini tentu saja membuat kedua orangtua Keira khawatir. Mereka ingin putri mereka segera menikah dan bahagia.

Meski jarang keluar rumah, namun kecantikan Keira tersiar ke mana-mana. Semua kolega bisnis papanya tahu. Mereka pun bergiliran mengajukan lamaran untuk menjadikan Keira menantu. Di samping tertarik dengan kecantikan Keira, bermenantukan putri keluarga Schward dapat memperkuat bisnis mereka.

Namun sayang, Keira tak sekali pun tertarik. Ia menolak semua lamaran yang datang, bahkan sebelum bertemu laki-laki yang hendak melamarnya.

Keira tak pernah bermaksud menutup diri, cintanya hanya telanjur tertawan sepenuhnya di masa remaja. Semua berawal dari kenekatannya ikut outbound yang sebenarnya tidak diperkenankan untuk penderita asma sepertinya. Kenekatan itu berujung di tepi jurang, tempat hidupnya nyaris berakhir dengan cara mengerikan. Untung ada Damian, cowok bermata hazel yang sejak pandangan pertama berhasil menghangatkan hati Keira. Cowok itu bahkan mempertaruhkan nyawanya demi menyelamatkan Keira. Memberi semangat ketika Keira hampir menyerah. Juga bersedia menggendong ketika Keira tak kuat berjalan akibat kakinya dirobek akar pohon.

“Entah mengapa, hangatnya punggung Damian membuatnya nyaman. Samar-Samar, ia menghirup wangi tubuh Damian, lalu menyandarkan wajahnya pada punggung kokoh milik cowok itu. Rasanya, ia sangat terlindungi.”_(hal 23)

Jika sudah seperti itu, gadis mana yang tidak jatuh hati? Keira mulai merasakan sesuatu tumbuh di hatinya dengan cara paling ajaib.

Rasa itu bertahan, meski bertahun-tahun Keira tak pernah lagi melihat pemilik mata hazel itu. Setiap malam ia berdoa, agar suatu saat mereka dipertemukan lagi.

Doa Keira terjawab setelah sepuluh tahun, ketika seorang pria misterius tiba-tiba datang melamarnya. Meski penampilannya jauh lebih dewasa dibanding ketika ia menyelamatkan Keira di tepi jurang waktu itu, tapi Keira sangat mengenali mata hazelnya.

Berbagai pertanyaan berkecamuk di benak Keira. Untuk apa Damian melamarnya? Jika benar ia juga menyimpan perasaan serupa yang dipelihara Keira, ke mana ia sepuluh tahun ini?

Keira menerima lamaran Damian tanpa pertimbangan apa pun. Yang ia tahu, laki-laki itu telah menyelamatkan nyawanya sepuluh tahun silam. Tentu saja hal ini membuat kedua orangtuanya terenyak. Mereka berkali-kali mengenalkan laki-laki yang latar belakangnya lebih jelas, tapi ditolak mentah-mentah. Laki-laki yang entah siapa ini, malah diterima Keira.

Pernikahan pun dilangsungkan tak lama setelahnya. Namun, entah kenapa Keira tak menemukan Damian yang sehangat dulu.

“Keira melirik sosok tampan yang berdiri di sampingnya. Orang yang telah dia rindukan selama sepuluh tahun itu sekarang benar-benar sudah menjadi suaminya. Namun, entah mengapa, sosoknya terasa asing dan jauh. Sekelebat ragu menyusup di hati Keira, benarkah keputusan yang sudah ia ambil?”_(hal 40)

Setelah menikah, Damian membawa Keira ke kediamannya di Frolenberg. Di rumah mewah itu, Keira sungguh merasa asing. Terlebih sikap Damian yang dingin, cuek, bahkan sama sekali tak memosisikannya sebagai istri. Sosok Damian menjadi sangat misterius.

Beruntung ada Margareth, pelayan pribadi Damian, yang sedikit banyak mengusik kesepian Keira. Selain perempuan paruh baya itu, ada juga Daniel, sahabat sekaligus rekan bisnis Damian. Ketika Damian terasa asing dan jauh, Daniel justru lebih cair dan bersahabat. Bersamanya, Keira merasa lepas, nyaman, dan lebih leluasa berekspresi. Sedang Daniel, merasakan hatinya mulai menghangat saat bersama Keira.

Berawal dari album foto keluarga yang tidak sengaja ditemukan Keira, juga cerita singkat dari Daniel, misteri kehidupan Damian perlahan-lahan terkuak.

Terjadi hal buruk kepada Margareth yang membuat Damian sangat terpukul. Sepi dan kehilangan menghimpit di saat bersamaan. Bagi Damian, Margareth bukan sekadar pelayan, melainkan ibu. Ketika ia tak mendapatkan kasih sayang dari ibu yang sesungguhnya, Margareth memberikannya dengan tulus.

Keira terjebak antara bayangan cinta masa lalu dan kepicikan watak Damian. Orang yang ia rindukan selama sepuluh tahun, kini menempatkannya pada situasi yang rumit. Keinginannya mendapatkan kepastian berbuah pengakuan yang sungguh di luar dugaan. Kini Keira harus bertahan agar situasi tidak semakin kacau.

“Keira melepaskan cincin yang melingkar di jari manisnya, lalu meletakkannya di atas meja. Refleksi dari rasa putus asa terhadap pernikahannya yang semu belaka.”_(103)

Seiring berjalannya waktu, Keira merasa mulai mendapatkan perhatian dari Damian. Bahkan lelaki itu memanggilnya dengan nama kecil. Tapi Keira tidak begitu menanggapi, sebab ia paham betul bagaimana Damian merancang pernikahan mereka.

Bagaimana kelangsungan hubungan mereka? Apa yang direncanakan Damian sesungguhnya? Segera miliki bukunya dan baca sendiri, ya. Penulis punya kejutan besar untukmu. Hehehe ....

_*_

Review:
Tampilan novel ini teramat manis. Mulai dari kover, layout, hingga bookmark. Dan sejujurnya saya penasaran dengan wajah si model perempuan yang hanya terlihat setengah. Hehehe ....

Menurut saya novel ini menduduki zona aman, dalam artian berpotensi disukai oleh pembaca penyuka genre apa pun. Cara bertutur penulis berada di titik tengah, kadang terasa populer, kadang juga agak puitis. Penulis pandai mengajak pembaca berkelana dalam ceritanya dengan penggambaran suasana yang teramat jelas namun tidak membosankan. Setting LN natural dan sungguh hidup dengan sentuhan perkebunan gandum dan peternakan kuda di salah satu bagian.

Dari awal yang menjadi daya pikat novel ini adalah sikap dingin Damian yang seolah menyimpan sejuta misteri, yang pada akhirnya begitu menarik untuk dicari tahu dan memang berhasil menaik-turunkan suhu cerita. Diimbangi dengan kepolosan Keira yang teramat yakin dengan cinta yang menguasai hatinya selama bertahun-tahun. Selain itu, penulis jeli menebar poin-poin manis yang diam-diam saling terangkai dan menjadi pembangun cerita, memastikan pembaca membaca hingga akhir.

Saya juga suka kemunculan flash back yang bikin makin gemas, menjadikan konflik cerita semacam kepingan puzzle yang berserakan lalu tersatukan perlahan-lahan. Meski terkesan lompat-lompat, tapi penulis berhasil menarik ulur rasa penasaran dari situ. Semua kerumitan yang begitu menyesakkan terselesaikan dengan baik dalam bingkai twist yang sungguh di luar dugaan. Saya sampai melongo. Begitu banyak kejutan yang disembunyikan penulis. Pokoknya, saya suka banget.

Menurut saya kekurangan novel ini hanya pada pemborosan kata di beberapa bagian. Biasanya di narasi opening bab.

Overall, novel ini cocok banget untuk kamu yang mencari kisah rumit bersetting LN namun ditulis oleh penulis Indonesia. Bertabur quote ringan, manis, namun membekas. Yang paling penting, novel ini akan memperlihatkan bagaimana ketulusan akan meruntuhkan dinding sekuat baja sekali pun.

Kamis, 23 November 2017

Review Novel: Dream If



Judul            : Dream If

Penulis        : RedyKuswanto

Penerbit      : Diva Press

Editor           : Muhajjah Saratini

Kover           : Amalia

Cetakan       : Pertama, November 2017

Tebal            : 268 hlm

ISBN             : 978-602-391-467-8

Blurb:
Mimi Tarmiyah memang sok cantik. Sejak kecil dia ingin menjadi artis. Alasannya cukup sederhana; ingin terkenal, memiliki banyak uang, hidup mewah, serta memiliki seabrek fan yang memuja-mujanya. Kini, usia Mimi sudah mendekati tujuh belas tahun. Ini waktu yang tepat untuk mewujudkan mimpi, menjadi artis. Seperti idolanya, Titin Tumina Hona.

Valdo melihat kesempatan saat melihat ambisi Mimi. Bersama Brian, ia memberi kesempatan Mimi untuk mrngejar impiannya di Jakarta. Mimi bersedia ikut, mengabaikan nasihat ibunya; kekasihnya Engkos; dan sahabat-sahabatnya.

Mimi si gadis desa, harus mengakui kerasnya perjuangan di ibu kota. Menghadapi kegagalan dua kali, Mimi jadi ragu. Apakah ia akan melupakan mimpinya dan kembali ke desa, atau tetap bertahan karena impian harus diperjuangkan?

_*_

Alur Cerita:
Setelah memenangkan sebuah kuis, Mimi berkesempatan bertemu dengan artis idolanya, Titin Tumina Hona. Di hari pertemuan, sejak subuh ia sudah heboh mempercantik penampilan.

“Sejak subuh, entah sudah berapa puluh kali dia berkaca mematut diri. Dia tak sadar, berapa banyak waktu yang terbuang hanya untuk penampilan yang sempurna. Entah sudah berapa puluh kali ia berganti pakaian. Dari hitam hingga merah. Dari bunga-bunga hingga garis-garis. Dari celana jin hingga rok panjang. Dari kebaya hingga yukensi. Semua belum ada yang dirasa pas di badannya.”_(hal 25)

Belakangan ini Mimi suka meniru Titin. Dari model busana hingga gaya rambut semua ia copy paste. Alasannya sederhana, agar bisa tampil secantik artis pendatang baru itu. Syukur-syukur ketularan nasib baiknya.

Padahal tidak semua yang dikenakan Titin yang memang sudah cantik dari sananya, cocok untuk Mimi. Hal ini sering dikeluhkan Engkos, pacar Mimi, tapi tidak diindahkan.

Saat ini fokus Mimi hanya satu, ingin seperti Titin, yang tampak sangat mudah jadi artis. Hanya berawal dari youtube, tiba-tiba ia jadi idola baru yang dibicarakan semua orang. Mimi hanya tidak tahu, di samping faktor luck, Titin memang punya bakat emas. Sedang ia, sama sekali tidak memiliki sesuatu yang mumpuni untuk merambah dunia entertainment.

Setelah bertemu dan bercengkerama langsung dengan Titin, Mimi tak pernah bosan menceritakan pengalaman berharganya itu ke teman-teman di sekolah. Dari sana pun ia semakin berambisi untuk bisa seperti Titin. Dalam hati Mimi bertekad, akan melakukan apa pun demi mewujudkan impiannya.

Dan tiba-tiba impian itu terasa semakin dekat ketika laki-laki bernama Valdo muncul dan mengajukan tawaran istimewa untuk Mimi. Ia mengenalkan diri sebagai agen artis dan pemilik manajemen yang khusus mengorbitkan artis-artis pendatang baru.

Tanpa Mimi tahu, Valdo memang sudah mengamatinya di hari kedatangan Titin.

“Dia adalah lahan baru yang tak boleh diabaikan. Harus ada yang membantu mewujudkan keinginan cewek kampung yang ambisius itu.”_(hal 60)

Tapi sayang, tak seorang pun yang mendukung keinginan Mimi untuk berangkat ke Jakarta menuruti ajakan Valdo. Termasuk Amah dan Engkos. Mimi jadi kesal bercampur sedih. Menurutnya, tawaran istimewa dari Valdo adalah kesempatan emas yang tidak boleh disia-siakan.

Valdo mengutus Brian, pemuda tampan dan terlihat santun, untuk menjemput Mimi. Pada akhirnya Mimi berangkat ke Jakarta, mengabaikan nasihat Amah, Sahabat, terlebih Engkos.

Setibanya di Jakarta, Mimi tak berkedip memandang suasana kota yang sangat berbeda dengan desanya. Mulai dari tugu, air mancur, gedung-gedung tinggi, semua tampak indah di mata Mimi. Meski masih ada sedikit rasa takut dan keraguan, namun Mimi merasa impiannya semakin dekat.

“Jujur, Mimi merasa ragu dan takut. Namun impian untuk menjadi cewek terkenal, kaya, dan dielu-elukan banyak orang begitu menguasai pikirannya. Ini semua membuat tekadnya semakin kukuh dan bulat. Pergi dari Baranangsiang adalah satu-satunya cara untuk meraih semua mimpi.”_(hal 90)

Brian mengantar Mimi menempati salah satu kamar di Guest House Bima Sakti. Setelah beberapa hari tanpa kabar dari Valdo, Mimi mulai merasa bosan dan kesepian. Untung ada Brian yang sesekali mengajaknya jalan-jalan. Di sinilah kesetiaan Mimi kepada Engkos diuji, sebab Brian terang-terangan mengaku suka padanya.

Hingga suatu hari, tiba saat yang dinantikan Mimi. Brian mengajaknya bertemu dengan Pak Alex, salah seorang agen artis kelas kakap. Namun sebelum itu, Mimi harus mengubah penampilan biar lebih menarik dan meyakinkan.

Bagaimana hasil pertemuan itu? Benarkah Pak Alex akan mengorbitkan Mimi? Segera miliki bukunya dan baca sendiri, ya. Hehehe ....

_*_

Review:
Membaca novel ini berasa menikmati air pegunungan langsung dari sumbernya. Dalam artian, kita sebagai pembaca dimanjakan dengan tulisan yang rapi, tertata, terpola, pokoknya nggak ada yang bikin kening berkerut tiba-tiba. Suasananya benar-benar hidup.

Meskipun agak spoiler, saya suka prolognya yang menghentak dan memicu rasa ingin tahu konflik utama dalam cerita ini.

Cerita ini berangkat dari Desa Baranangsiang tempat Mimi dengan segudang impiannya berada. Menonjolkan sisi pedesaan yang kental, dibalut pribadi Mimi yang unik dan agak kocak, membuat novel ini cukup menghibur.

Saya kagum dengan keberanian penulis mengusung cerita ini di tengah maraknya novel-novel remaja ber-setting luar negeri. Konfliknya pun sangat natural, logis, sama sekali tidak ada yang dipaksakan.

Menurut saya, ini novel teenlit yang sangat timpang dengan yang lainnya. Jika kebanyakan teenlit isinya terasa cengeng dengan pembahasan seputar cinta yang gitu-gitu aja, novel ini justru menebar pesan moral di setiap babnya. Banyak sekali, tergantung kejelian kita memaknai cara penulis bertutur. Misal, pentingnya mendengarkan nasihat orangtua. Terlebih dengan kemunculan Pak Jaka dan petuahnya di bagian akhir, semacam penegasan bahwa di tengah kehidupan yang semakin liar, masih ada segelintir orang berhati malaikat.

Oh ya, meski tidak begitu dominan, saya suka persahabatan yang ditunjukkan Engkos dan Badot, bahwa di sisi tertentu kehidupan seseorang, selalu ada peran sahabat di sana.

Sayangnya, alurnya agak mudah ditebak dan kemasannya kurang fresh untuk kalangan remaja. Contoh kecil, menjadikan Evan Sanders sebagai perumpamaan yang mirip Brian, padahal banyak idola remaja yang lebih kekinian. Maksudnya gini, saya menyayangkan jika novel ini gagal menembus remaja-remaja yang merupakan target pembaca utamanya, karena inti sarinya mantap jiwa, benar-benar alarm yang dibutuhkan kid zaman now.

Overall, novel ini cocok banget untuk siapa pun yang haus ketenaran. Untuk jadi terkenal, ternyata nggak harus cantik/tampan, terlebih sampai meniru gaya orang lain. Dan yang paling penting, impian harus diwujudkan dengan cara berjuang sungguh-sungguh, tidak instan.

Minggu, 19 November 2017

Review Kumsi: Nyanyian Ranting Kayu



Judul            : Nyanyian Ranting Kayu

Penulis        : Sahyul Padarie

Penerbit      : Guepedia

Editor           : Guepedia

Kover           : Guepedia

Tebal            : 207 hlm

ISBN              : 978-602-443-058-0


Blurb:
Aku takut bila air mata Ibu menetes dunia ini akan harum selamanya
"Berhentilah menangis, Bu,"
Ibu menimba kembali air matanya yang telah tumpah
"Bu, bukankah engkau yang pernah mengatakan kepadaku, bahwa ilmu itu cahaya, jadi, tak selamanya kan cahaya itu bersinar di gedung sekolah, bisa jadi di tempat sampah."

Pelukan erat langsung hinggap di tubuhku
Ternyata itu pelukan Ibu.
(Dalam puisi Kutenteng Sepatuku Pulang)

_*_

Oh, pelitaku sekarang
Kuakan menjadi pengganti sumbumu
Janganlah engkau menyala tanpa bercahaya
Karena akulah yang akan menjelma menjadi sinarmu
Dikala pelita lain lebih terang darimu
(Dalam puisi Baktiku Wahai Pelita)

_*_

Jika masih ada cinta yang bercahaya di jiwa ini
Kenapa tidak mengubur saja benci yang menggelapkannya?
Kenapa? Kenapa? Kenapa?
(Dalam puisi Jika dan Kenapa)

Terkadang ranting-ranting kayu hanya bergelantung di dahan pohon, kemudian patah dihempas angin rindu, ranting-ranting itu pun tergeletak di tanah. Sampailah pada akhirnya embun menemani dan memungutinya, menjadi puisi-puisi yang terhimpun dalam buku ini.

_*_

Nukilan:
Sebagai awalan, saya disajikan puisi-puisi bertema sosial yang disampaikan dengan lantang, berani, dan jujur.

"Kenapa tidak dinaikkan juga
Harga tiket pesawat
Agar penyelundup narkoba
Perlu berpikir untuk masuk ke negeri ini?
Kenapa tidak dinaikkan juga harga minuman keras
Agar pemabuk perlu berpikir untuk meminumnya?
Aku hanya bertanya
Namun bukan pemabuk
Dan penyelundup narkoba"_(Dalam puisi Seorang Perokok Awam_hal 16)

Namun di samping itu, buku ini juga tak luput dari nuansa romantis.

"Akulah yang menjadi kekeringan itu
Aliri aku dengan lembutmu
Basahi aku dengan kecupmu
Biar aku sendiri yang meresapkannya
Ke dalam hatiku pun sanubariku"_(Dalam puisi Hanyut dalam Bening_hal 22)

Sejauh ini saya cukup terhibur. Namun, ini baru lapisan luarnya. Perjalanan kita masih panjang.

Sampai di sini saya merasakan segumpal keresahan yang coba disuarakan penulis. Mungkin semacam kejenuhan akan hal yang terus menerus berotasi di poros yang sama, atau hal lain yang hanya ia yang tahu.

"Kumeminumnya
Namun tak menghabiskannya
Agar pahit itu akan tetap kucoba
Sampai akhirnya akan kuhabiskan
Beriringan habisnya hidupku juga"_(Dalam puisi Masih Ada Kopi yang Tersisa_hal 26)

Pada buku beraroma kayu ini penulis benar-benar menuhankan keleluasaan, berekspresi seliar mungkin. Tapi tetap, nadanya tak jauh-jauh dari kehidupan sehari-hari.

"Apa dan siapa
Yang melarangku mengarang bahagia
Bersajak-sajak indah
Menghapus ingatan duka
Apa dan siapa sebenarnya"_(Dalam puisi Kepada Apa dan Siapa Kuresah_hal 59)

Buku ini semakin menarik saja. Hanya melalui bait-bait puisi, ada kiasan cerita yang mengalun nyata.

Meski puisi yang termaktub dalam buku ini mencakup beragam tema, yang saya rasakan tetap keresahan sosial sebagai pilar utama.

"Tertulis di baliho itu
"Rapat kerja pemberdayaan pedagang kecil"
Aku membacanya terbata-bata
Tulisan itu tak membuat gerobakku menjadi mobil
Sudahlah....
Yang penting aku tak kedinginan lagi"_(Dalam puisi Penjual Air Tahu Depan Kantor Gubernur_hal 146)

Di bagian-bagian akhir ternyata penulis menyediakan beberapa ruang untuk menuang quotes yang sayang banget untuk dilewatkan.

"Bukalah lembaran-lembaran kenangan malam ini, masih ada harapku yang tertulis di lembaran terakhir"

"Yang terlihat dalam khayalan hanyalah susunan harapan, membentuk tembok penghalang ketidaksepadanan"

"Pulanglah ke dalam lamunan kenangan, di sana mengalir sejuknya harapan"

"Harapku hanya mencoba membalut khayalan dengan keindahan, sebagai cara menyembunyikan ungkapan"

(Serangkum quote penulis_hal 161)

Unik, ya, buku ini? Segera miliki saja untuk menikmati keseluruhan isinya.

_*_

Review:
Ketika sebuah tulisan lahir dalam bentuk buku, tentu saja tampilan fisik memegang peranan penting. Menurut saya, desain kover, judul, dan isi buku ini sangat mecing. Terlebih setelah membaca filosofi judul yang tersirat di back kover. Kata penulis, kalimat puisinya dipungut dari ranting kayu yang jatuh ke tanah, atau pun ilalang layu, wajar jika temanya tak jauh-jauh dari ruang lingkup sosial.

Puisi pertama langsung menohok, ada nada haru di sana. Ditempatkan paling depan mungkin sebagai booster, agar pembaca penasaran dengan puisi-puisi selanjutnya.

Diksi yang digunakan sederhana, saya tidak menemukan banyak hal baru, tapi oleh penulis dikawinkan dengan kondisi real di sekeliling kita hingga melahirkan bait-bait yang aduhai maknanya.

Namun terlepas dari semua itu, keasyikan saya berselancar menerjemahkan maksud tiap-tiap puisi agak terganggu dengan typo yang nyempil di beberapa bagian. Selain itu penggunaan "ke" dan "di" sebagai kata depan maupun imbuhan juga harus lebih diperhatikan.

Overall, buku ini cocok buat penikmat puisi yang menginginkan pementasan sosial di dalamnya.

Rabu, 15 November 2017

Review Novel: Rainbow After The Rain (Love in Moscow)



Judul            : Rainbow After The Rain (Love in Moscow)

Penulis        : Angelique Puspadewi

Penerbit      : Gramedia Pustaka Utama

Kover           : Orkha Creative

Cetakan       : Pertama, 2017

Tebal            : 218 hlm

ISBN             : 978-602-03-7810-7

Blurb:
Arabel adalah korban terorisme yang mendendam. Suatu hari, gadis yang berprofesi sebagai penulis ini ditantang editornya menulis kisah bertema terorisme.

Semua berawal dari kedatangan sepupu Arabel, Reno dan Sarah, untuk bulan madu di Rusia. Reno membawa sahabatnya, Dimitri, yang perlahan tapi pasti membuat Arabel sadar bahwa teror adalah sifat manusia yang tidak terkait agama mana pun.

Seiring waktu, Arabel jatuh cinta pada Dimitri. Pria itu dan riset penulisan menjadi alasannya datang ke Bali. Padahal sejak kejadian Paddy's, Arabel bersumpah tidak akan menginjakkan kaki ke Pulau Dewata. Di tempat itu pula semua kesakitan kembali datang. Dimitri membongkar rahasia besar yang menjungkir-balikkan dunia Arabel.

Akankah Arabel menerima Dimitri dan masa lalunya seperti pelangi yang datang setelah hujan?

_*_

Alur Cerita:
Masa lalu membuat Arabel tumbuh jadi gadis pendendam pada apa yang seharusnya ia yakini. Ia kecewa pada Tuhan, sebab merasa doanya diabaikan. Ia memilih mangkir dari kewajibannya sebagai muslim, bahkan hendak berpindah keyakinan kalau saja Mom tidak kukuh mencegahnya. Jalan satu-satunya adalah menemukan pria non muslim religius yang bisa meyakinkan Mom. Sayang, sejauh ini pria-pria yang dipacarinya ilmu agamanya sangat dangkal.

Di tengah usaha Arabel untuk pindah keyakinan, sepupunya, Reno dan Sarah, datang ke Moscow dalam rangka bulan madu. Mereka tidak hanya berdua, Dimitri bersama mereka, pria alim yang mampu menarik perhatian Arabel di menit pertama. Arabel harus mengakui daya pikat pria melayu tapi bernama ala-ala Rusia itu. Tapi saat dia hanya menangkupkan tangan di depan wajah ketika Arabel mengajaknya bersalaman, juga saat bertanya arah kiblat di luar waktu shalat wajib, membuat Arabel risi. Menurutnya terlalu alim.

Tidak cukup hanya Dimitri, Sarah pun yang merupakan muslimah sejati membuat Arabel gerah. Bahkan sekadar melihat penampilannya yang berhijab mengingatkannya pada peristiwa kelam belasan tahun silam. Melalui dua tamu alimnya itu, perlahan-lahan Arabel mendapatkan pencerahan tentang apa yang salah di pandangannya selama ini.

“Kita boleh berkelana ke mana saja. Menjelajah bangunan-bangunan bersejarah di muka bumi, tetapi kita tetap harus pulang ke rumah Allah. Masjid adalah rumah batin kita meminta makan. Agar tidak lapar, kita harus melakukannya lima kali sehari. Jadi lahir sehat, batin pun sehat.”_(hal 18)

Sejujurnya Arabel tidak suka apa pun yang coba diterangkan Sarah dan Dimitri. Ia tidak butuh, kecuali untuk keperluan riset novelnya. Sebagai seorang penulis, kali ini Arabel menerima tantangan dari editornya untuk menulis novel bertema terorisme. Bagi Arabel, hal ini sama saja mengulik luka lama.

Arabel merasa aneh ketika hatinya bergetar saat lamat-lamat mendengar Dimitri melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran. Bahkan saat melihat pria itu mengimami keluarganya shalat berjamaah, Arabel sampai mengeluarkan air mata tak keruan.

"Hati Arabel tergetar. Rasa hangat menjalar hingga kerongkongan dan kelenjar air matanya. Setetes air mata menitik tanpa Arabel sadari. Ada kerinduan yang mendadak hinggap dan meremas hati, namun Arabel tidak tahu kepada siapa."_(hal 43)

Perkataan Dimitri, masa lalu bersama Dad, hingga ketakutan dan kebencian itu berkejar-kejaran di kepala Arabel. Untunglah, pada akhirnya Arabel paham apa yang harus ia putuskan.

Setelah tamunya pulang, Arabel mencoba mulai fokus menyiapkan kerangka tulisannya. Agak susah memang, sebab diantarai pergolakan batin yang belum sepenuhnya bermuara, jua rindu yang diam-diam terbit untuk Dimitri. Ditambah lagi kedatangan surel misterius yang menyentakkan seluruh tubuh Arabel.

Disamping untuk riset penulisan, rasa penasaran akan sosok Dimitri membawa Arabel ke Indonesia. Seminggu di Rusia, pria itu berhasil mencuri lebih banyak keingintahuannya.

12 tahun Arabel tidak menginjakkan kaki di Indonesia, meski Mom dan adiknya hampir setiap tahun mengunjungi kerabat mereka di Jakarta. Semua karena ketakutan dan kebencian itu. Tapi karena Dimitri, Arabel berhasil melaluinya.

Degup sisa-sisa trauma dan setumpuk rasa aneh akan bertemu Dimitri menyesaki dada Arabel. Namun insiden kecil membuat pertemuannya dengan pria itu tertunda beberapa hari.

Hari pertemuan pun tiba, yang berujung pada ajakan ke Bali. Seluruh tubuh Arabel menegang seketika. Di sanalah kesakitan itu bermula, di sanalah tragedi itu terjadi, di sana pula awal mulanya Arabel meragukan Tuhan. Tapi sekali lagi, Dimitri berhasil membuat Arabel melangkahi ketakutannya.

"Namun sentuhan lembut di pundak meredam bayang ketakutan. Perlahan perasaan tenang menyusup. Arabel membuka mata dan mendapati Dimitri tersenyum lembut padanya. Arabel takjub pria itu berkenan menyentuh pundaknya demi memenangkannya. Meski kulit mereka tidak bersentuhan, tetap saja darah mengalir deras ke jantung Arabel yang kini berdetak cepat."_(hal 135-136)

Nahas, ketika Arabel berhasil menyembuhkan luka, memangkas ketakutannya perlahan-lahan, tiba-tiba fakta baru menjungkir-balikkan keadaan.

Apa sebenarnya yang Arabel temukan di Bali? Bagaimana kelanjutan hubungannya dengan Dimitri? Sumpah, novel ini keren banget. Segera miliki bukunya dan buktikan sendiri.

_*_

Review:
Selera baca memang tidak bisa dibohongi. Dan ketika menemukan bacaan yang sesuai, rasanya mirip-mirip cinta pada pandangan pertama. Itulah yang saya rasakan ketika membaca novel ini. Tidak perlu jauh-jauh, saya jatuh cinta di lembar ketiga.

Novel ini segelintir dari sekian bacaan zaman now yang mungkin bisa menyelamatkan generasi muda. Cinta tidak sekadar dipertontonkan, tapi makna dan tujuannya dijabarkan dari berbagai sisi. Kemunculannya pun pas di saat isu agama lagi hangat-hangatnya. Menurut saya ini novel pembangun jiwa yang tidak memaksakan mengambil porsi lebih besar untuk pembahasan seputar agama. Penulis mengupayakan dakwah melalui kegelisahan tokoh dan aktivitasnya sehari-hari. Muslim yang telah membaca novel ini sedikit banyak akan mendapatkan pandangan baru perihal agama/keyakinan secara liberal, seperti yang saya rasakan.

Di samping itu, dari segi cerita juga sangat menarik. Menjadikan tragedi Paddy's sebagai titik keberangkatan cerita membuat novel ini berbeda. Ada pembahasan mengenai teroris yang banyak disalah artikan masyarakat luas. Yang paling saya suka, pergolakan batin Arabel mencari keyakinan sangat mengharukan. Di beberapa bagian saya sampai merinding bacanya. Emosi yang ingin disampaikan penulis tersalurkan dengan baik.

Novel ini juga diperkuat dengan menghadirkan kutipan-kutipan Al-Quran, bacanya bikin adem. Selain itu disinggung juga perihal bagaimana mengatasi trauma dan kekuatan ikhlas dalam mendatangkan kebahagiaan. Komplit banget, deh.

Kurangnya hanya pada beberapa typo yang sangat saya sayangkan untuk karya sebagus ini. Sama satu lagi, kalo ada bagian yang menggambarkan novel terbaru Arabel meledak di pasar Internasional dan Indonesia, pasti lebih keren.

Overall, novel ini cocok banget untuk muda-mudi yang mengaku kekinian, agar lebih mengenal islam dan paham bagaimana harus mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Benar-benar bacaan zaman now. Angin segar di tengah maraknya bacaan yang minim didikan, bahkan terkesan vulgar.

Review Novel: Bellamia



Judul            : Bellamia

Penulis        : Ika Vihara

Penerbit      : Phoenix

Editor          : Kuntari P. Januwarsi

Kover           : Nani Susiani

Cetakan       : Pertama, Agustus 2017

Tebal            : 203 hlm

ISBN             : 978-602-61829-6-8

Blurb:
Amia selalu percaya bahwa karier dan cinta tidak boleh berada dalam gedung yang sama. Interoffice romance lebih banyak membawa kerugian bagi karier seseorang. Sudah banyak kejadian pegawai mengundurkan diri setelah putus cinta dan Amia tidak ingin mengikuti jejak mereka.

Selain di kantor, di mana Gavin bisa bertemu gadis yang menarik perhatiannya? Gavin tidak ada waktu untuk ikut komunitas, tidak bertemu dengan teman kuliah maupun SMA dan lebih banyak menghabiskan hidup di kantor.

Ketika Amia patah kaki dalam simulasi terorisme, Gavin--dengan alasan bertanggung jawab sebagai atasan--mulai membuka jalan untuk mengubah pandangan Amia. Namun Amia mengajukan satu syarat.

Merahasiakan hubungan dari semua orang.

_*_

Alur Cerita:
Amia patah hati ditinggal kawin. Riyad memang berengsek. Katanya cinta, tapi nurut aja sama perjodohan mamanya. Dibantu sang sahabat, Vara, Amia berjuang untuk move on. Sikap Riyad yang masih terus mengusahakan pertemuan demi membahas cinta basinya, agak memberatkan, dan sungguh membuat Amia semakin dongkol.

Di tengah usaha itu, Gavin hadir sebagai big boss barunya di kantor.

“Baru kali ini dia bertemu laki-laki yang sukses membuatnya lupa bagaimana cara bernapas. Apa patung buatan Michelangelo benar-benar bisa hidup dan berjalan? Bagian bibir dan dagu seperti dipindahkan langsung dari wajah David. Rambut hitam legamnya sangat rapi, seperti dua menit lagi dia akan dipanggil masuk ke studio untuk membacakan berita. Matanya yang tersembunyi di dalam tulang dahi dan tulang pipi yang tinggi, menyorot tajam ke arah Amia.”_(hal 9)

Lelaki itu muncul ketika suasana hati Amia masih kacau balau, belum sepenuhnya move on dari Riyad. Jadilah ia terlihat agak jutek, sinis, dan jauh dari kesan sopan untuk ukuran staf biasa saat berhadapan dengan big boss. Namun semua itu justru membuat Amia tampak beda di mata Gavin. Menarik lebih tepatnya.

Awal-awal interaksi Amia dengan Gavin tak bisa dibilang baik. Keberadaan Gavin selalu berpotensi membangkitkan kejengkelan Amia. Selain seksi dan wanginya menyenangkan, Amia belum tahu terlalu jauh soal Gavin. Kondisi hatinya belum stabil untuk merespons lebih keberadaan lelaki berkulit cokelat yang sekarang berstatus atasannya.

Pada sebuah simulasi terorisme, Amia mengalami cedera yang lagi-lagi membuka peluang kepada Gavin untuk memberikan pertolongan, perhatian. Amia tidak suka, tapi Gavin tetap melakukannya. Dan sepertinya kedekatan mereka yang sesungguhnya berawal di sini.

Gavin tak mungkin menghapus masa lalunya yang terbilang buruk di mata wanita mana pun. Semasa kuliah di Amerika, sedikit banyak gaya hidupnya pun beralih kebarat-baratan. Tidur dengan beberapa wanita tanpa meributkan status, dulu sangat lumrah.

Tapi sekarang ada Amia, wanita yang semakin manis dengan hobi marah-marahnya. Dengan Amia, untuk pertama kalinya Gavin memikirkan keseriusan, sama sekali tidak sedang merancang taktik sekadar menggendong wanita itu ke tempat tidur. Sejak pertama kali melihat Amia, Gavin tak pernah tahu alasan pasti kenapa harus menyukai wanita itu setelah melalui banyak petualangan bersama yang lebih seksi di Amerika sana.

“Gavin tidak sedang menuliskan pada selembar kertas apa saja yang dia butuhkan dari seorang wanita lalu memberikan tanda cek jika kriteria-kriteria tersebut ditemukan pada seorang wanita. Dia hanya menyukai Amia. Sesederhana itu.”_(hal 118)

Menaklukkan Amia mungkin tidak begitu sulit, tapi menaklukkan kakaknya beda soal. Pasalnya, Gavin dan Adrien--kakak Amia--pernah tinggal serumah di Amerika. Dalam artian, Adrien tahu banyak masa lalu Gavin, yang menurutnya sangat tidak pantas untuk jadi kekasih adik tersayangnya.

Ini menyulitkan Gavin. Ketika mulai serius mencintai wanita, kenapa pula harus adik sahabatnya? Adrien tentu saja lebih mengutamakan masa depan adiknya daripada memihak padanya.

Di luar posisinya sebagai big boss, pesona Gavin memang sulit ditepis wanita mana pun, termasuk Amia. Amia mencoba. Menurutnya tidak akan mudah berstatus pacar atasan, hanya akan mengganggu kenyamanannya di kantor. Syukur-syukur tidak jadi bahan gosip.

Namun kegigihan Gavin menunjukkan keseriusan pada akhirnya merobohkan pertahanan Amia. Ia berhasil membuat Amia mempertimbangkan kedekatan mereka. Tentu saja dengan satu syarat, yang sebenarnya tidak disetujui Gavin. Tapi tidak jalan lain kecuali menurutinya untuk saat ini.

Awalnya berjalan sesuai kesepakatan, namun seiring berjalannya waktu Gavin mulai gerah, ia menginginkan hal berlawanan. Benih-benih perselisihan pun mulai tumbuh.

“Untuk membuat hubungan tetap berjalan dengan baik, tidak ada rumusnya, tidak ada hukumnya. Tidak ada ilmuwan-ilmuwan besar yang merumuskan dan menyusun hukum untuk masalah cinta. Tidak ada urusan antara gravitasi--yang membuat benda jatuh ke bawah--dengan jatuh cinta.”_(hal 148)

Bagaimana kelanjutan hubungan Gavin dan Amia? Segera miliki bukunya dan baca sendiri, ya.

_*_

Review:
Asyik sekali membaca novel ini. Menikmati sajian kisah interoffice romance yang disampaikan dengan sangat ringan dan sedikit kocak. Kemunculan engineers jadi daya pikat tersendiri, membuat cerita ini berbeda dengan percikan-percikan listriknya. Hehehe ....

Saya suka cara penulis mengenalkan tiap-tiap tokohnya, karakternya mudah dikenali. Konfliknya pun sangat real, keseharian, tanpa drama berlebihan. Nuansanya fresh, benar-benar mewakili kehidupan zaman now. Membacanya seperti mendengar curhatan seseorang, sesekali lupa bahwa ini hanya fiksi.

Menjadikan engineering sebagai salah satu unsur pembangun cerita, membuat novel ini terasa berat di beberapa bagian untuk orang awam. Tapi hal ini jadi nilai plus dengan banyaknya narasi berbobot dan penuh wawasan.

Ada satu bagian yang cukup saya soroti, ketika penulis mematahkan argumen "cemburu tanda cinta". Penulis punya pandangan tersendiri, yang menurut saya, keren.

Hanya saja, plot mengalir lancar tanpa kejutan seperti ini menurut saya berpotensi membosankan. Untunglah penulis mengimbanginya dengan poin-poin plus di atas. Di awal, perihal Riyad yang menikah dengan wanita lain terlalu sering diungkit. Saya juga merasa agak janggal dengan beberapa kalimat setelah dialog yang kesannya menyatu dengan dialog. Mungkin ini salah satu ciri khas penulis, sebab saya belum menemukannya di tempat lain.

Overall, novel ini cocok buat kamu yang mencari sajian roman dengan kemasan anti mainstream. Begitu pun profesi tokohnya. Percayalah, wawasan kita di dunia engineering bertambah setelah membaca novel ini.

Jumat, 10 November 2017

Review Novel: Salju Pertama di Hokkaido



Judul            : Salju Pertama di Hokkaido

Penulis        : Angelique Puspadewi

Penerbit      : Gramedia Pustaka Utama

Tebal            : 256 hlm

ISBN             : 978-602-03-7668-4

Blurb:
Telah ada chemistry antara Yasmin, Rain, dan Kitaro sejak duduk di sekolah dasar, dan mereka masih terlalu belia untuk menyadarinya.

Lima belas tahun kemudian, ketiganya bertemu. Yasmin yang baru putus dari kekasihnya jatuh cinta kepada Rain. Pria yang kerap gonta ganti perempuan itu seakan kena batunya setelah bertemu Yasmin. Sementara Kitaro juga jatuh cinta pada gadis yang dicintai sahabatnya itu.

Pada hari ketika Rain hendak melamar Yasmin, gadis itu menjadi korban gempa bersama Kitaro, yang saat itu menyewa jasa Yasmin sebagai pemandu. Demi menebus rasa bersalahnya, Kitaro membawa Yasmin berobat ke Hokkaido.

Yasmin yang kehilangan ingatan karena gempa menerima lamaran Kitaro. Ia merasa pria itu telah menjadi malaikat penolong baginya. Namun, ketika Rain mendatanginya ke Hokkaido, Yasmin terjebak dalam pilihan pelik, yang mungkin akan menyakiti mereka bertiga.

_*_

Alur Cerita:
Berawal dari penyelamatan aksi bullying sewaktu SD, Kitaro dan Rain bersahabat karib hingga dewasa. Hanya karena berdarah Jepang, Kitaro kecil memang kerap jadi sasaran bullying.

Rain kerap memanfaatkan keenceran otak Kitaro untuk menyelesaikan tugas-tugas kuliahnya. Kitaro tak pernah keberatan, ia selalu ingat kebaikan Rain 15 tahun silam. Dan sejauh ini Rain memang sahabat yang baik, yang pasti akan ia rindukan setelah kembali ke Hokkaido.

Di sebuah bengkel, Rain yang selengean dan suka gonta-ganti pacar tak menyangka akan bertemu dengan gadis yang mampu membuatnya salah tingkah.

“Rain bukannya tidak pernah melihat perempuan cantik, tapi gadis di hadapannya memiliki senyum memesona. Seperti obat penenang bagi penderita stres. Seperti pelangi ketika hari mendung. Seperti simpanan uang yang muncul di laci meja kerja ketika bokek.”_(hal 19)

Pertemuan tak terduga dengan orang yang sama terjadi di Coffe Night. Sungguh, karena gadis itu, Coffe Night menjadi tempat yang wajib dikunjungi Rain setiap malam. Berjembatankan sebuah insiden, pada akhirnya Rain berhasil berkenalan dengan gadis itu, Yasmin.

Di bengkel yang sama, dengan kasus yang agak berbeda, Kitaro pun bertemu dengan perempuan yang seketika mampu menarik perhatiannya, mengingatkannya pada seseorang. Kitaro merasakan sensasi yang hampir serupa yang dirasakan Rain ketika berhadapan dengan orang yang sama, Yasmin.

Sebagai yatim piatu, Yasmin sangat mencintai teman-teman di panti yang sudah dianggapnya seperti keluarga. Ia bekerja keras tanpa kenal lelah untuk menunjukkan bakti dan rasa terima kasihnya.

Yasmin bertemu dengan pria kikuk bergelagat aneh yang justru menarik perhatiannya, Rain. Tidak ada yang spesial di pertemuan itu, selain tingkah laku Rain yang membuat Yasmin senyum-senyum sendiri kemudian.

Rain pribadi yang menarik, agak konyol, namun menyenangkan. Dengan mudah ia berhasil mendekati Yasmin, juga berbaur dengan penghuni panti. Tak butuh waktu lama untuk Yasmin menyadari, bahwa ia jatuh hati pada pria itu.

“Cinta adalah pertandingan yang bisa dimenangkan tanpa harus memulai. Cinta datang tanpa persiapan. Cinta seumpana detak jantung yang memompa tanpa diminta. Seumpama air bah yang menerjang tanpa tanda. Cinta adalah cinta, yang tidak perlu penjelasan untuk merasa.”_(hal 72)

Sebelum Yasmin, Rain belum pernah bertemu gadis yang mampu membuatnya gila, bahkan melakukan hal-hal bodoh. Hal itu meyakinkannya untuk menjadikan gadis itu sebagai pendamping hidup, mengakhiri petualangan cintanya.

Saking tidak sabaran, Rain terpaksa meninggalkan tugas liputannya di Yogyakarta demi segera bertemu Yasmin dan melamarnya. Sayang, di saat bersamaan Yasmin malah ke Yogyakarta sebagai pemandu untuk pria Jepang yang baru dikenalnya, Kitaro. Nahas, kedatangan mereka disambut bencana.

Gempa mengacaukan segalanya. Yasmin gagal memberikan kejutan kepada Rain, pun sebaliknya. Lebih dari itu, gempa merenggut sesuatu dari Yasmin, menjadikan Kitaro seolah satu-satunya pria yang prihatin dengan kondisinya.

Untuk suatu alasan, Kitaro membawa Yasmin ke Hokkaido, lalu diam-diam menyusun rencana untuk memenangkan hati gadis itu.

Segala perhatian Kitaro, ditambah sambutan hangat keluarganya, sama sekali belum menggetarkan hati Yasmin. Ia menghargainya, tapi belum untuk sesuatu yang nyata-nyata diarahkan Kitaro.

“Tangan Kitaro terasa hangat. Anehnya, Yasmin tidak merasakan getaran apa pun. Semua perhatian yang diberikan pria itu seharusnya dapat menggetarkan hati gadis mana pun; tapi anehnya, Yasmin justru kebas.”_(hal 129)

Berbekal tips dari Rain yang dikunjunginya dalam kondisi berkabung pasca kehilangan seseorang, Kitaro tak gentar mendekati Yasmin. Mereka menjelajahi Jepang, sambil mengartikan sesuatu yang masih samar. Hingga pada hari yang tak bisa ditawar lagi, Kitaro melamar Yasmin.

Akankah Yasmin menerima lamaran Kitaro? Lantas, bagaimana dengan Rain? Segera miliki bukunya dan baca sendiri, ya. Hehehe ....

_*_

Review:
Novel ini mengusung tema cinta segitiga yang hadir di tengah persahabatan. Sudah biasa? Eits, tunggu dulu, sebab penulis punya kemasan tersendiri untuk menyampaikan ceritanya. Terkhusus di novel ini, saya rasa penulis berhasil menjadi diri sendiri, mencuri perhatian saya dengan gaya bahasa yang segar serta dibumbui unsur humor meski sangat halus. Namun justru itulah yang bikin ketagihan.

Hal unik berikutnya, penulis menggunakan sudut pandang orang ketiga, namun seringkali dikotakkan di isi kepala masing-masing tokoh. Keren. Saya baru menemukan gaya tulisan seperti ini.

Sesuai genre amore yang diusung, novel ini banyak-banyak membahas soal cinta yang mau tak mau melibatkan perasaan. Namun di sisi lain, penulis tak lupa menyentuh sisi kemanusiaan, pun ketuhanan dengan penempatan yang sangat tepat hingga menjauhkan kesan menggurui.

Persahabatan Rain dan Kitaro tampil sebagai salah satu pilar utama cerita ini. Chemistry mereka kuat banget. Jika dalam cerita sering dibahas persahabatan antar perempuan, di sini malah diperlihatkan persahabatan antar pria yang rela berkorban satu sama lain. Agak aneh dan langka memang, tapi di situlah uniknya. Saya suka keberanian penulis mengambil konsep ini.

Satu lagi yang saya salut, penggunaan judul bukan sekadar tempelan. Saya merasakan keterkaitan judul dengan isi cerita begitu dahsyat ketika salju pertama untuk Yasmin akhirnya turun di Hokkaido. Saya sampai membayangkan novel ini difilmkan. Pasti adegan itu keren banget.

Novel ini membawa kita jalan-jalan gratis ke Jepang, menjelajahi banyak tempat wisata. Tapi menurut saya, setting Jepang masih perlu sedikit diperdalam, mungkin bisa dengan menyentuh sejarah atau tradisi masyarakatnya, biar nuansanya lebih berasa.

Meski gampang ditebak Yasmin akan berakhir dengan siapa, tapi penulis berhasil mendramatisirnya melebihi ekspektasi. Saya hanyut di setiap hentakan konflik dan emosi para tokohnya. Saya sangat suka cara penulis mengeksekusi ending cerita ini.

Tapi dari awal sebenarnya saya kurang suka dengan sosok Yasmin yang digambarkan sebagai pekerja keras, tangguh, tapi gampang memberi sinyal soal cinta duluan ke pria. Meski sebenarnya konteksnya tidak salah. Selain itu, interaksi Yasmin dan Rain di awal-awal agak "cengeng" untuk diletakkan di genre amore. Ada beberapa bagian yang menurut saya kurang pas. Tapi secara konsep tidak ada yang salah, balik lagi soal selera.

Kekurangan lain yang saya temukan, ada salah penulisan nama di ujung dialog. Kalimat itu diucapkan Rain, tapi malah tertulis nama Kitaro. Hal macam ini biasalah. Hehehe ....
Sedang untuk suasana gempa di Yogyakarta, kalau ditambahkan satu-dua paragraf narasi yang benar-benar menggambarkan kekacauan saat itu, barangkali feel-nya lebih nyampe.

Overall, novel ini cocok banget buat kamu yang ingin mematahkan, bahwa bukan hanya perempuan, pria juga bisa menjalin persahabatan yang turut melibatkan perasaan, bukan sekadar logika. Di sini kamu juga akan ditunjukkan bagaimana satu kebaikan akan menuai banyak kebaikan di hari-hari berikutnya. Juga tentang persaudaraan yang tak harus sedarah. Dan banyak lagi.

Sabtu, 04 November 2017

Review Kumcer: Gerimis di Atas Kertas



Judul            : Gerimis di Atas Kertas

Penulis        : A.S. Rosyid

Penerbit      : Basabasi

Tebal            : 200 hlm

ISBN             : 978-602-6651-30-3

Blurb:
MENUNGGU AYU
Tapi Ayu bisa dekat dengan siapa saja. Ia baik dan ramah. Tidak ada yang pernah mencoba menjaili Ayu. Kehadirannya tidak menyakiti dan tidak disakiti siapa saja.
Dulu, rasa-rasanya Ayu tidak cantik. Dia jadi cantik setelah pergi tanpa pamit.

GERIMIS DI ATAS KERTAS
Aku memberanikan diri menatap matanya.
“Kakak bisa membaca pikiran orang?”
Kak Fajar menggeleng. “Mana ada yang begituan.”
“Kakak bohong.”
“Kalau saya sudah jujur, dan kamu tetap suruh saya jujur dengan penjelasan lain, artinya kamu sedang nyuruh saya bohong.”

CAKWE KOTA TUA
Benar: kamu ingin mengajak Sastri membuat warung kopi terbuka di pesisir Pantai Ampenan. Warung kopi yang sederhana, dengan menu istimewa kopi unik Parid dan cakwe Sastri. Akan ada pula sejumlah buku yang bisa dibaca di tempat, gratis. Sebuah warung kopi literasi.

_*_

Tiga cerita, dua gaya penulisan sudut pandang, satu benang merah: komunitas. Di Pulau Lombok jalinan cerita saling bersinggungan ini terjadi. Tentang anak muda, tentang cinta, dan tentang dunia yang serba bergerak.

_*_

Nukilan:
Menunggu Ayu

“Langit sore tampak indah, sebagaimana biasa. Langit sore adalah langit yang bisa dinikmati di mana saja. Sedangkan wajah Ayu, adalah wajah yang hanya bisa kunikmati waktu kecil.”_(hal 22)

Hasyim lena pada kenangan, masa kecil yang tidak begitu menyenangkan sebenarnya, malah agak mengerikan karena dilatarbelakangi kerusuhan antar agama, tapi menjadi sangat berkesan karena ada Ayu di sana.

Ayu teman yang menyenangkan, asyik dan mau diajak melakukan banyak hal. Namun Hasyim tak pernah meyadari gadis berambut tipe air itu akan memabukkan, sebelum ia pergi tanpa pamit.

Hasyim tentu saja tetap melangkah, melanjutkan hidup sebagaimana mestinya. Namun di ruang paling rahasia, ia merawat kerinduan akut. Kepada semesta sering ia kumandangkan, dan anak-anak didiknya sering ia jadikan penghalau, ketika apa-apa tentang Ayu hampir-hampir membuatnya gila.

Ya, Hasyim mendirikan Rumah Baca Pesisir sekaligus mengajari anak-anak di sana beragam ilmu.

Entah sejauh mana masa lalu tentang Ayu memengaruhi kehidupan Hasyim, yang pasti ia jadi abai pada usaha terhalus sebuah perasaan yang hendak merayapi hatinya--yang mau tak mau melahirkan tangis.

_*_

Gerimis di Atas Kertas

“Ada satu warna yang telah lama kubuang, dan ingin kupungut lagi. Warna yang mungkin bisa membuat semua rutinitas lama menjadi terasa baru, bahkan membawaku pada petualangan-petualangan seru.”_(hal 77)

Keputusan Tata untuk pulang kampung setelah menyelesaikan pendidikan mempertemukannya dengan Fajar, lelaki yang ditaksirnya berumur 28 atau 29 tahun. Entah sejak kapan Tata mulai memerhatikan lelaki itu, mengamati rumahnya, dan hal lain hingga ia memutuskan untuk menyapanya.

Berbekal serantang sarapan, Tata berkunjung ke rumah Fajar untuk pertama kalinya. Pertemuan pertama yang sukses membuat Tata sedikit banyak tahu sosok Fajar dan akhirnya diam-diam kagum, melahirkan serentetan pertemuan selanjutnya.

Tata ingin belajar menulis novel, dan menurutnya ia bisa belajar dari Fajar. Meski alasan Tata ingin menulis novel adalah seseorang dari masa lalu, namun ia sangat menikmati proses kreatifnya bersama Fajar. Hubungan mereka semakin dekat dan hangat.

Namun, apa jadinya bila Fajar tak sesuai yang dipikirkan Tata selama ini? Melalui teman-teman sekomunitas, Tata akhirnya tahu banyak soal Fajar, yang membuatnya kecewa dan prihatin di saat bersamaan.

_*_

Cakwe Kota Tua

Tiba-tiba kekosongan menimpa petualangan seru Bayu selama belasan tahun menjadi wartawan foto di sebuah majalah international. Ia mencintai pekerjaannya, namun ia khawatir ketika hasrat tak bertepi mulai menelan dan mengasingkan sisi kemanusiaan dari dirinya. Alasan itulah yang membawanya ke Lombok.

Di Lombok, untuk pertama kalinya ia mengenal cakwe, juga senyum manis penjualnya, Sastri.

“Sastri seperti sudah punya standar pelayanan sendiri. Raut wajahnya meringankan beban bagi pelanggan yang hari ini dimarahi bosnya di kantor. Senyumnya membuat rasa bosan karena mengantre menguap entah ke mana. Caranya menyapa sudah melampaui kesopanan: Sastri bisa membuat pelanggan-pelanggannya merasa karib.”_(hal 168)

Dari Sastri, Bayu belajar banyak hal, sesuatu yang belum ditemui di sepanjang petualangannya selama ini. Tak heran jika ia mulai jatuh hati.

Di kepala Bayu mulai terancang sebuah rencana, yang mungkin bisa membantu Sastri, juga selalu mendekatkan perempuan itu dengannya.

_*_

Seperti apa akhir tiga kisah unik yang saling berkaitan di atas? Segera miliki bukunya dan bersiaplah untuk terpukau.

_*_

Review:
Membaca buku ini seperti sedang bertualang ke tempat baru yang belum banyak terjamah manusia, hingga di setiap jengkalnya kita bisa menemukan banyak hal unik--padanan kata tak lazim, penyampaian memabukkan, jua eksekusi yang bikin tercengang. Beberapa bagian bahasanya cukup berat sebenarnya, tapi penulis berusaha tetap asyik sambil memainkan pola kalimat pendek-pendek.

Narasinya magis, sarat pesan moral. Beberapa bagian bahkan dipaparkan secara misterius, dalam artian, sari patinya akan kita temukan hanya bila tekun menghayatinya.

Tiga cerita, dua sudut pandang, dan terjadi di satu kota. Entah bagaimana cara saya menyampaikan betapa unik dan memabukkannya buku ini. Cerita pertama diwarnai latar belakang kehidupan lima bocah dengan keunikan masing-masing. Di cerita ini penulis memunculkan kembali ragam permainan tradisional yang mulai terlupakan. Di cerita kedua, penulis mengajak kita berbaur dalam komunitas dan sedikit berbagi ilmu seputar dunia kepenulisan. Sedang di cerita ketiga, yang paling saya soroti adalah setting-nya. Penulis tidak hanya menjadikan Mataram sebagai tempelan di balik cerita, tapi benar-benar memaparkan sejarahnya.

Setiap bagian seolah mengandung teka-teki. Ada poin tertentu yang penulis tekankan yang kemudian menjadi pembeda dan nilai plus. Membacanya kadang sampai nahan napas, saking tidak ingin kelewatan bagian penting seinci pun.

Satu lagi yang membuat buku ini berbeda, penulis menjadikan komunitas sebagai benang merah di semua cerita. Dari cara penulis menghidupkan komunitas dalam cerita, banyak pengetahuan baru yang didapat.

Saya jatuh cinta pada kepiawaian penulis menghidupkan tokohnya, tidak berfokus pada tokoh utama, orang-orang di sekitarnya pun terasa nyata.

Kurangnya, di cerita pertama ada dua paragraf yang diulang sama persis, meski susunan baris kalimatnya sedikit bergeser. Semoga saya yang keliru, mungkin kesengajaan, bagian dari seni. Kedua, jika konsep awal adalah tiga cerita yang saling berkaitan, saya kurang merasakan keterkaitan cerita ketiga dengan lainnya. Ketiga, di cerita ketiga ada penggunaan sudut pandang yang keseleo, harusnya tetap orang kedua, tiba-tiba jadi orang pertama. Tapi semua itu sama sekali tak mengurangi kenikmatan cerita.

Buku ini cocok buat kamu yang mendambakan petualangan baru dalam aktivitas membaca.

Kamis, 02 November 2017

Review Novel: Stick With You



Judul            : Stick With You

Penulis        : Viera Fitani

Penerbit      : Gagas Media

Tebal            : 195 hlm

ISBN             : 978-979-780-904-1

Blurb:
Jika saja aku dapat memilih jalan keluar, mungkin aku tak akan mengenal air mata. Jika saja aku tahu ke mana harus melangkah, mungkin aku tak akan merasakan sesak di dada.

Karena satu kesalahan, Alaric dan Sandra harus membuat sebuah perjanjian. Mereka akan tinggal bersama sampai bayi yang dikandung Sandra lahir tanpa ikatan apa pun.

Namun, cinta kerap kali menyusup diam-diam tanpa bicara. Singgah ke dalam relung hati dan enggan untuk pergi. Alaric menepis itu. Baginya cinta hanyalah omong kosong belaka. Sementara, rasa sakit hati di masa lalu membuat Sandra enggan mengakuinya. Tapi sekali lagi, cinta itu terlalu kuat untuk dilawan.

Bila Alaric tak lagi percaya pada cinta, mengapa ia takut kehilangan Sandra? Bila Sandra terlalu takut kecewa, mengapa ia begitu menginginkan hati Alaric?

_*_

Alur Cerita:
"Hatiku sama seperti piring ini, kosong tidak berisi apa pun. Pada akhirnya aku hanya sendirian. Tidak ada lagi Aninditaku, semangatku."_(hal 20)

Bagi Alaric, dulu Anindita adalah semangatnya. Wanita yang sangat dicintainya namun tak pernah benar-benar ia utarakan hingga kesempatan itu menguap. Kalau boleh jujur, sampai detik ini pun wanita itu masih semangat hidupnya. Tapi tidak boleh, sebab ia sudah halal untuk lelaki lain.

Alaric sedang jenuh pada pekerjaannya, hidup, dan semuanya. Gairah hidupnya seakan hilang sejak ayahnya mematahkan cita-citanya untuk menjadi musisi. Sejak saat itu rencana hidupnya berantakan. Meski ia berhasil membuat ayahnya bangga akan pencapaiannya di perusahaan, tapi sesungguhnya ia tak pernah benar-benar merasa hidup.

Babak baru kehidupan Alaric dimulai di malam perayaan pesta yang diadakan kantornya. Tepatnya saat bertemu dengan wanita yang menangis sendirian di taman, Sandra.

Alaric yakin tak salah dengar, tapi wanita di depannya baru saja mengatakan bahwa ia hamil. Apa-apaan ini? Bahkan kalau boleh jujur, namanya saja ia tidak terlalu ingat, terlebih untuk kejadian itu. Oke, mereka sama-sama mabuk dan langsung membuahkan hasil.

Alaric heran, ia sering melakukannya dengan banyak wanita, tapi tidak ada yang sampai hamil. Ada apa dengan yang satu ini, baru sekali langsung hamil?

Sikap Alaric yang sulit percaya di awal membuat Sandra muak. Ia memilih pergi, menolak tawaran pertanggungjawaban Alaric yang hanya berupa materi. Ia butuh status, butuh dinikahi.

Masalahnya, menikah sama sekali belum masuk dalam rencana hidup Alaric. Membayangkannya saja enggan. Tapi Alaric tak sebejat itu. Bagaimana pun, bayi dalam kandungan Sandra adalah bagian dari dirinya. Nuraninya terpanggil untuk peduli.

“Aku memang tidak mencintainya. Tidak punya rasa terhadapnya. Tidak ingin menikahinya. Namun aku ingin bertanggung jawab. Aku ingin Sandra dan anakku kelak tidak hidup dalam kesulitan. Sesederhana itu. Bukankah aku bajingan yang budiman?”_(hal 44)

Sialnya, Sandra wanita paling keras kepala dan aneh yang pernah ditemuinya. Bukan hal mudah membujuknya, terlebih menyetujui rencana pertanggungjawaban Alaric.

Dalam usahanya membujuk, perlahan-lahan membuat Alaric tahu latar belakang kehidupan wanita yang tak sengaja dihamilinya itu--yang ternyata teramat suram.

“Mungkin aku sudah menemukan cara menghadapi wanita gila itu, tak lain tak bukan adalah menjadi gila juga.”_(hal 81)

Diam-diam Alaric mulai menikmati kehadiran Sandra. Sikap galak cewek itu malah dianggapnya lucu. Mereka seperti tikus dan kucing yang terjebak di satu kandang.

Itu awalnya, tapi mereka sama-sama orang dewasa normal yang sedang tinggal seatap, terlebih Alaric yang sudah menjadikan sex seperti cemilan saja. Tidak ada yang tahu ke depannya.

Tapi Sandra memang ajaib, kehadirannya menumbuhkan kesadaran di benak Alaric untuk berubah lebih baik. Alaric selalu beralibi, perubahannya itu bentuk kepedulian pada bayinya di kandungan Sandra. Padahal kalau mau sedikit jujur, ia mulai mencintai wanita yang secara tampilan sungguh di luar kriterianya itu.

Sandra sendiri cukup takjub ketika Alaric mulai bisa menerimanya. Padahal menurutnya, pasti tidak ada pria yang tertarik dengan tampang galaknya. Nahas, ketika ia pun mulai mengakui perasaannya, kecerobohan Alaric mengacaukan segalanya.

Apa yang terjadi sebenarnya? Bagaimana akhir kisah unik mereka? Segera miliki bukunya dan baca sendiri, ya. Hehehe ....

_*_

Review:
Tema novel ini cukup umum sebenarnya, saya pernah membaca beberapa yang sejenis. Hanya saja, penulis berhasil menghadirkannya dalam kemasan unik dan sungguh berbeda dari yang pernah ada.

Ini tentang Sandra yang menganggap semua laki-laki berengsek, dan Alaric yang tahu caranya bersenang-senang dengan setiap wanita tanpa melibatkan perasaan. Kebayang, kan, gimana kacaunya saat takdir mempertemukan mereka?

POV 1 meleluasakan penulis untuk bertutur santai, sok akrab, agak konyol, dan asyik tentunya. Inti cerita disampaikan secara lugas tanpa banyak basa-basi, membuat saya lebih cepat mengenal tokoh-tokohnya.

Bicara soal tokoh, saya suka sosok Alaric yang digambarkan super liar tapi diam-diam berhati lembut--dan punya titik rapuh juga. Dan sejatinya kekuatan novel ini ada pada kekonyolan interaksi Alaric dan Sandra yang bikin senyum-senyum sendiri, dan bisa pula baper di saat bersamaan.

Meski dalam porsi kecil, novel ini mengajak kita untuk terus menjunjung impian, sebab pada akhirnya ia akan terwujud dengan cara paling ajaib.

Yang agak mengganggu di benak saya, beberapa bagian perpindahan adegannya agak kaku, serta interaksi beberapa tokoh yang kurang konkret. Sejauh ini saya masih sulit berdamai dengan novel jebolan wattpad yang menghadirkan part tambahan setelah kata "Tamat", ala-ala wattpad banget. Menurut saya agak aneh. Jika sudah dalam bentuk buku, tidak bisakah tidak perlu ada part tambahan? Atau diedit, dilakukan penyesuaian dan bergabung dengan bagian utama? Bukan sebagai part tambahan setelah cerita dianggap berakhir. Bukan masalah besar, kok, balik lagi soal selera.

Novel ini cocok banget buat kamu yang ingin menikmati sajian cerita dengan konflik yang cukup berat sebenarnya, namun oleh penulis disampaikan secara konyol dan sedikit menggelitik.