Rabu, 28 Februari 2018

Review Novel: Raka Jakarta Darah dan Ramuan Pohon Zaqqum



Judul            : Raka Jakarta Darah dan Pohon Zaqqum

Penulis        : Chaedar Rizal

Penerbit      : Mazaya Publishing House

Editor           : Tiara Purnamasari

Layout          : Tiara Purnamasari

Kover            : Chaedar Rizal

Cetakan        : Pertama, Desember 2017

Tebal             : 230 hlm

ISBN              : 978-602-6362-62-9

Blurb:
"Aku tidak mungkin tega meninggalkan teman sendirian."
-Keyle London

Setelah bertahun-tahun lamanya, ketika Raka Jakarta menganggap kalau hidupnya tampak normal-normal saja seperti kebanyakan remaja, datanglah seseorang yang berhubungan dengan masa lalu. Seorang laki-laki tua kaya raya ini sungguh menyebalkan, karena ternyata ia amat terobsesi untuk mendapatkan darah Raka--yang tanpa pernah terpikirkan oleh dirinya sendiri--merupakan sebuah kode gen DNA untuk membuka pintu menuju ke masa lalu, masa kini dan harapan untuk masa depan orang-orang biadab.

"Sudah kuduga, tentu saja pengkhianat akan diterima dengan baik, karena mereka punya informasi yang sangat diperlukan bagi musuh. Kalau saja ia tahu--setelah informasinya didapatkan musuh--bisa-bisa ia juga akan dicampakkan. Mau apa lagi kalau sudah begitu?"
-Brian Armani

_*_

Alur Cerita:
Setelah dinyatakan lulus SMA, bukannya mencari universitas berkualitas, Raka malah sibuk membantu Bibi Tina berjualan donat. Raka sadar, kondisinya tidak memungkinkan untuk melanjutkan pendidikan, terlebih setelah pamannya meninggal lima tahun silam.

“Seharusnya kau sebagai laki-laki satu-satunya di rumah ini bisa membantu kami. Tidak hanya sekolah saja yang diseriusi. Jualan di pasar juga harus serius.”_(hal 4)

Raka sungguh tidak tahu bahwa dirinya masih punya kesempatan untuk kuliah. Sampai suatu hari ia menemukan brosur untuk pendaftaran beasiswa Orlin School ketika mengantarkan donat di salah satu toko tempat biasa ia menitipkan donat-donat Bibi Tina. Meski penuh keanehan, Raka tidak ingin melewatkan kesempatan untuk bisa kuliah. Pada akhirnya ia mendatangi alamat yang tertera di brosur.

Sesampainya di sana, tidak ada pendaftar lain. Pun tidak ada tes yang memberatkan. Raka hanya menjalani semacam pemindaian identitas yang tak kalah aneh. Tapi seaneh apa pun, Raka tidak akan menolak kesempatan sekolah gratis di Orlin School, yang katanya hanya punya satu jurusan--jurusan Kehidupan.

Meski selama ini selalu cerewet dan banyak aturan, Bibi Tina sedih juga melepas kepergian Raka. Mungkin karena tak ada lagi yang mengantarkan donat-donatnya. Sedang anaknya--Silvy--sepertinya tidak bisa diandalkan.

Raka lekas menemui Mr. Orson--lelaki yang melayaninya saat mendaftar kemarin--di stasiun. Merasa tidak ada keberangkatan kereta di jam segini, Raka sempat bertanya-tanya, sebelum Mr. Orson malah mengajaknya menyusuri lorong panjang di dalam sebuah gudang kecil. Lorong panjang dalam gudang kecil? Aneh. Tak hanya sampai di situ, lorong itu berujung pada sebuah lift yang kemudian mereka masuki. Lift mendaki dengan kecepatan tinggi, membawa mereka ke stasiun lain di High City.

Belum tuntas kebingungan Raka perihal cara kerja lift tadi yang mendaki super cepat tanpa ada bangunan tinggi di stasiun seingatnya, sekarang ditambah dengan sebutan High City dan Middle City yang entah apa maksudnya.

“Kita berada di kotamu, hanya saja beda versi. Nama kota kita sama-sama Kota Raya. Kau tinggal di Middle City. Sementara aku berasal dari High City. Sekarang kita berada di pinggiran High City, menuju ke Gunung Orlin, di sana ada sekolah Orlin di mana kau akan bersekolah nanti.”_(hal 43)

Dengan kebingungan yang semakin menumpuk, Raka menurut naik ke kereta dan langsung berangkat. Selama sejam lebih sendirian dalam kompartemen, kereta berhenti di sebuah stasiun. Saat itulah remaja sepantaran Raka berbondong-bondong masuk ke kereta. Dan Raka punya teman sekarang.

Perjalanan berlanjut. Mereka melewati tebing-tebing gunung, terowongan celah bebatuan, hingga tiba di stasiun Ceruk Gunung Orlin. Dari sana mereka pindah ke bus tingkat tiga menuju Orlin School. Terlebih dahulu mereka melewati Pasar Orlin yang berupa bangunan batu bertingkat, sebelum tiba di Orlin School yang bangunannya berupa pahatan di tebing hingga puncak gunung.

Kamar-kamar di Orlin School maksimal dihuni tiga orang. Tentu saja Raka sekamar dengan Dany--remaja tambun yang sudah jadi temannya sepanjang perjalanan tadi--dan Erik, remaja atletis yang pasti disukai gadis-gadis.

Setelah melewati rangkaian semacam proses registrasi untuk murid baru, Raka dan teman-temannya memulai pelajaran pertama mereka: panjat tebing. Sejauh ini semua terasa menyenangkan. Berkali-kali Raka takjub dengan semua tekhnologi super canggih yang ditemuinya--namun tetap ramah lingkungan.

Namun satu hal, Raka sangat penasaran dengan kota ketiga. Jika dia berasal dari Middle City dan sekarang berada di High City, tentu ada Low City. Tapi di mana? Sayang sekali, mereka yang penduduk asli High City--yang sepertinya tahu--urung menjelaskan. Dany bahkan tampak ketakutan tiap kali Raka menyebutkan nama kota itu.

Raka semakin penasaran, ketika Erik sempat memberi sedikit bocoran, bahwa kota ketiga memiliki sejarah yang tabu dan pintu penghubung ke sana sudah ditutup permanen sejak 18 tahun yang lalu.

“Aku lebih suka menyebutnya Low-Lost City. Karena sejak ditutupnya pintu penghubung ke sana, seakan-akan kota itu hilang bagi para penduduk High City, bahkan mereka menyebarkan dengan dongeng-dongeng dan doktrin kepada anak-anak, kalau Low-Lost City merupakan kota terlarang dan sangat tidak menyenangkan.”_(hal 68)

Semengerikan apa sebenarnya kota ketiga itu? Seperti apa sejarahnya? Apakah pada akhirnya Raka bisa menemukan pintu penghubung ke sana? Lalu, seperti apa kehidupan di sana? Untuk menemukan semua jawabannya, yuk segera miliki buku ini. Sumpah, keren banget.

_*_

Review:
Pertama-tama, saya mau acungi jempol atas keberanian penulis menyematkan nama salah satu kota di Indonesia (Jakarta) di judul, yang sukses mencuri perhatian. Pertama kali lihat buku ini saya langsung bertanya-tanya, kenapa nama tokohnya harus Raka Jakarta? Adakah kaitannya dengan dunia fantasy yang hendak dibangun penulis? Dan sederet pemicu rasa penasaran lainnya.

Taste fantasy yang ditawarkan penulis tak kalah dengan novel-novel terjemahan. Bahkan kadang saya lupa, bahwa novel ini karya penulis lokal. Suasananya hidup, detail-detail dunia baru yang hendak dibangun penulis tersampaikan dengan baik tanpa banyak embleng-embleng tidak penting. Tata bahasanya manis, lembut, tapi berenergi. Saya sampai membayangkan bagaimana jadinya jika difilmkan. Saking berhasilnya penulis membawa saya terlibat dalam cerita, potongan-potongan adegannya (dalam versi saya) terputar jelas dalam kepala.

Meskipun ini novel fantasy, cara bertutur penulis lumayan transparan tanpa ada bagian yang sulit dipahami. Gugusan kalimatnya seperti air yang memercik segar, yang membuat kita ingin terus merasakannya. Setiap bab dipenuhi unsur pembangun rasa penasaran yang bikin semangat terus baca hingga akhir.

Di samping penokohan yang kuat, memorable dan konsisten dari awal hingga akhir, saya suka kejelian penulis memerhatikan detail-detail kecil, menghindarkan cerita dari cacat logika dan sukses membangun kestabilan emosi. Dari segi kosakata novel ini lumayan kaya, terbukti dengan seringnya saya menemukan padanan kata baru yang masih jarang digunakan penulis lain.

Yang paling penting, pesan moral tersampaikan dengan baik dalam balutan kalimat-kalimat berkelas. Di balik ceritanya, penulis juga berupaya menyuarakan pentingnya menjaga keseimbangan alam dan perkembangan tekhnologi. Saya sampai speechless, tidak menyangka akan menemukan hal sedemikian menohok dalam novel fantasy lokal. Standing applause.

Di samping bayang-bayang serial "Harry Potter" yang masih kental di beberapa bagian, saya tidak menemukan kekurangan apa pun di novel ini.

Overall, novel ini cocok banget untuk pencinta fantasy--terlebih lokal--yang mendamba mutu dan hiburan dalam satu paket. Kalau pun kamu bukan pencinta fantasy, tidak ada salahnya mencicipi novel ini. Bisa jadi setelahnya kamu tidak menolak untuk membaca novel fantasy lainnya.

Minggu, 18 Februari 2018

Review Novel: Sepertiga Malam di Manhattan



Judul            : Sepertiga Malam di Manhattan

Penulis        : Arumi E

Penerbit      : Gramedia Pustaka Utama

Layout         : Nur Wulan

Kover           : Orkha Creative

Tebal            : 276 hlm

ISBN             : 978-602-03-8042-1

Blurb:
Empat tahun sudah Brad Smith dan Dara Paramitha berumah tangga. Walau buah hati belum hadir dan Brad sering bertugas jauh selama berhari-hari, keharmonisan rumah tangga mereka tetap terjaga. Namun pada suatu hari, perkenalan Brad yang berprofesi sebagai pianis musik klasik dengan seorang gadis pemain harpa asal Belanda keturunan Jawa, mengubah segalanya.

Bagi Brad, konser di Wina-Austria itu tak beda dengan konser musik klasik lain. Tak demikian bagi Vienna van Arkel. Pertemuan dengan Brad membuatnya terpikat. Gadis itu nekat menyusul Brad ke New York agar dapat bergabung dalam orkestra yang sama.

Pada suatu kesempatan, Dara memergoki Brad duduk berdua Vienna. Seberapa keras Brad meyakinkan bahwa Vienna hanya rekan bermusiknya, Dara tak bisa langsung percaya. Apalagi Vienna secara terang-terangan mengaku jatuh cinta pada suami Dara itu.

Tak dinyana, cobaan lain hadir. Kegelisahan Dara karena belum juga hamil membawanya pada suatu kenyataan pahit yang bisa mempengaruhi masa depannya bersama Brad. Keraguan pun melanda: sanggupkah Brad tetap setia dan tidak tergoda tawaran Vienna?

Di sepertiga malam, doa-doa panjang Dara lantunkan; akankah Dia berkenan mengabulkan?

_*_

Alur Cerita:
Kedatangan Brad di Vienna untuk sebuah konser musik menjadi sedikit unik setelah bertemu dengan gadis yang namanya kebetulan sama dengan nama kota itu. Vienna. Brad tidak menyangka, gadis berwajah Asia namun bernama Eropa itu adalah pemain harpa orkestra yang diikutinya kali ini.

Vienna sudah sering mendengar berita tentang Brad, tentu saja seputar prestasinya sebagai pianis. Namun, ia tak menyangka sosok aslinya jauh lebih memukau dari video-video konsernya yang tersebar di internet. Sialnya, diam-diam hati Vienna tercuri sedemikian cepat. Vienna ingin mengenal Brad lebih jauh. Ia ingin sekali mengobrol berlama-lama dengan lelaki itu. Sayang sekali, mereka di kota ini bukan untuk jalan-jalan. Mereka disibukkan oleh jadwal latihan menjelang konser yang cukup ketat.

Di sela-sela kesibukan itu, Vienna melihat Brad melakukan ibadah yang sering dilakukan umat muslim--yang ia lupa namanya.

“Vienna hanya bisa memandanginya dengan mata membesar dan mulut setengah terbuka.”_(hal 10)

Menyadari betapa teguh lelaki itu memegang komitmen, masih menyempatkan beribadah di sela kesibukan, membuat kekaguman Vienna kian menjadi-jadi. Sayang sekali, cincin yang melingkar di jari manis Brad membuat semangat Vienna surut. Apakah lelaki itu sudah menikah?

Tak ingin tinggal diam, gadis Jawa Bernama Belanda itu pun mulai mengumpulkan informasi tentang Brad dari internet. Anehnya, meski sudah tahu Brad sudah punya istri, niatnya untuk mengenal lelaki itu lebih jauh tidak padam. Maka setelah konser mereka usai, sebelum kembali ke negara masing-masing, ia meminta nomor telepon Brad. Tanpa curiga sedikit pun, Brad memberikannya.

Meski sering ditinggal bertugas ke luar kota, rumah tangga Brad dan Dara tak pernah ada masalah. Kecuali satu hal, Dara seringkali merasa kesepian. Ini perihal keinginannya untuk segera punya anak. Diam-diam ia iri dengan sahabatnya yang sudah dikaruniai anak kembar, padahal usia pernikahan mereka setahun lebih muda.

Di tengah ikhtiar untuk segera memiliki keturunan, Dara sengaja menyibukkan diri di sekolah Matahari. Di sana ia bisa merasakan betapa menyenangkannya berinteraksi dengan anak-anak. Sekolah Matahari bukan sekolah sungguhan, hanya lembaga nonprofit yang sengaja dibentuk untuk mengenalkan budaya Indonesia kepada anak-anak keturunan Indonesia yang jarang pulang ke negeri mereka.

Satu hal yang membuat Dara kian tertekan dalam situasi ini, sikap Joshua, ayah Brad, yang selalu dingin karena belum juga diberi cucu. Untunglah, Brad selalu membela Dara ketika ayahnya itu mulai bersikap menyalahkan.

“Kapan hamil bukan tanggung jawab Dara. Tuhan yang berkuasa membuat seorang perempuan hamil atau tidak.”_(hal 58)

Namun pada akhirnya Dara tetap akan terpuruk pada pemikirannya sendiri; dalam kondisi normal seharusnya ia sudah punya anak.

Setelah proposalnya disetujui oleh direktur Mahattan Symphony Orchestra (MSO), akhirnya Vienna bisa menginjakkan kaki di New York. Ini bukan kunjungan pertamanya, tapi mengingat keberhasilannya bergabung dengan orkestra yang sama dengan Brad, membuatnya sangat antusias. Bradley Aaron Smith. Ah, lekaki itu sungguh meninggalkan kesan mendalam bagi Vienna.

Hari-hari Dara masih sama, masih dipenuhi harapan untuk segera memiliki keturunan. Berinteraksi dengan murid-muridnya di sekolah Matahari masih jadi penawar paling ampuh di tengah desakan naluri ingin segera merasakan kesibukan sebagai seorang ibu. Ia bahkan dengan senang hati menjaga siapa pun muridnya yang terlambat dijemput orangtuanya karena alasan tertentu. Dari sana ia punya sedikit gambaran rasanya jadi ibu.

Ia dan Brad sudah merencanakan mengambil cuti dari pekerjaan masing-masing dan berlibur ke suatu tempat, agar tingkat keberhasilan usaha mereka lebih tinggi. Namun, suatu hari menjelang konser di gedung opera, saat Dara bermaksud memberikan kejutan untuk suaminya, malah ia yang dikejutkan. Pasalnya, ia memergoki Brad tidak sendiri di meja restoran, melainkan bersama perempuan lain.

“Brad tidak makan sendiri. Dia bersama seorang perempuan di satu meja. Tampak berbincang akrab. Beberapa kali perempuan itu mendekatkan wajahnya ke wajah Brad, seolah membisikkan sesuatu, lalu tertawa.”_(hal 110)

Brad bingung, antara meneruskan mencari Dara setelah telanjur tidak berselera menonton pertunjukan dan menolak diantar pulang, atau bergegas ke gedung opera untuk menyelesaikan pertunjukannnya--menunaikan tanggung jawab lainnya.

Sampai di sini tanda-tanda keretakan mulai merebak. Lantas, bagaimana Brad dan Dara menghadapinya? Ditengah desakan segera punya anak, pun kehadiran Vienna, tentu saja ini akan sulit. Segera miliki buku ini untuk menuntaskan kisah mereka.

_*_

Review:
Tema novel ini terbilang umum, banyak sekali cerita serupa. Membaca blurb-nya, kita bisa langsung membayangkan jalinan konflik, pun ikatan emosional tokoh-tokohnya. Namun, tentu saja tak sesimpel itu mengkhatamkan novel ini. Karena di awal saja, kita langsung disuguhi aroma musik klasik yang kental. Pertemuan antara permainan piano Brad dan harpa Vienna sukses jadi pembeda dan semacam jaminan cerita anti mainstream--mengesampingkan tema yang terbilang umum tadi.

Di awal-awal, pengenalan tokoh dibarengi detail-detail musik klasik, yang menurut saya cukup manis. Saya sukses dibawa ke arena konser dan turut merasakan kemegahannnya. Gaya bahasa penulis terbilang santai dan banyak menggunakan bahasa sehari-hari. Hal ini membuat cerita terasa lebih real. Ini memang bukan novel kaya diksi, tapi gugusan kalimatnya sangat asyik ditelusuri hingga akhir. Keindahan novel ini justru lahir dari kederhanaan.

Yang sederhana gaya bahasanya, ya. Untuk konflik lumayan komplit. Bibit-bibit misteri ditebar secara halus. Mungkin memang sengaja tidak dibikin mencolok, tapi sukses menjaga minat baca hingga akhir. Dan, ah, kemunculan novel ini tepat banget saat isu PELAKOR lagi hangat dibicarakan. Semoga menguntungkan dari sisi marketing. Hehehe .... Tapi jangan terlalu cepat menyamakan novel ini dengan cerita orang ketiga pada umumnya, sebab karakter Brad menurut saya cukup memorable, bukan cosplay tokoh rekaan dari cerita mana pun.

Selain karena diajak jalan-jalan ke New York tanpa meninggalkan tempat duduk, saya suka nuansa islami yang dibubuhkan penulis. Memang tidak terlalu dominan, tapi cukup lekat untuk jadi identitas.

Selain plot yang terasa agak lambat di tengah-tengah, saya lumayan kesulitan menemukan kekurangan novel ini.

Overall, novel ini bukan sekadar bacaan untuk mengisi waktu luang, tapi bisa banget jadi bahan pembelajaran untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Utamanya untuk para pasangan yang masih sering goyah memegang komitmen. Untuk yang masih jomblo, di sini kamu bisa lihat bedanya romantis setelah halal--yang dijamin bikin iri dan baper. Sekaligus mengantisipasi konflik cerita terjadi di hidupmu kelak, juga boleh.

Sabtu, 10 Februari 2018

Review Novel: Kita Tak Pernah Tahu, ke Manakah Burung-Burung Itu Terbang



Judul            : Kita Tak Pernah Tahu, ke Mana Burung-Burung Itu Terbang

Penulis         : Y. Agusta Akhir

Penerbit       : UNSA Press

Editor           : Ken Hanggara

Layout          : Wirasatriaji

Kover            : Wirasatriaji

Cetakan        : Pertama, September 2017

Tebal             : 370 hlm

ISBN              : 978-602-74393-6-8

Blurb:
Warih adalah bocah dua belas tahun yang hidup sebatang kara. Ia berkawan dengan Sakrama--seorang lelaki tua berumur 130 tahun yang bisa berbicara dengan pohon arwah. Setelah lulus sekolah dasar ia diajak ke rumah Kung Kasida, lelaki yang pernah jadi majikan ayahnya. Dalam perjalanan ke rumah Kung, Warih mengalami keanehan-keanehan. Ia seperti sedang melakukan perjalanan panjang yang melewati hutan, jalanan yang bertebing, melihat burung raksasa dan mendengar auman serigala.

Sampai di rumah Kung, Warih letih dan tertidur, lalu bermimpi bersenggama dengan seorang perempuan. Kelak ia bertemu dengan perempuan itu yang bernama Mahligai Sukma, yang telah dibunuh oleh anak buah Sang Guru. Tetapi sebuah keajaiban terjadi. Ketika mayatnya dibuang ke sungai, lalu ditemukan oleh Wir Satang, mendadak Mahligai hidup kembali.

Mengetahui Mahligai Maha Sukma masih hidup, Sang Guru memerintahkan Mangertos untuk memburu Mahligai. Dalam pelarian, Mahligai mencari Kung, untuk meminta perlindungan.

_*_

Alur Cerita:
Cerita ini dibuka dengan keterkejutan si bocah gundul--Warih--saat melihat buaya putih di sungai. Bukan karena buayanya, tapi ia teringat akan perkataan Sakrama--lelaki renta yang dua tahun lagi umurnya genap 130 tahun--bahwa kemunculan buaya putih pertanda petaka.

Sementara itu, Mahligai terpekur melihat jasadnya sendiri hanyut perlahan-lahan mengikuti arus sungai. Di tengah pengharapan jasadnya menepi hingga mereka bisa bersatu dan hidup seperti sedia kala, mengalirlah kisah pertemuannya dengan lelaki yang dipanggil Sang Guru hingga tubuh indahnya berakhir di tangan lima lelaki beringas.

Kung Kasida dulunya seorang pengusaha gamelang. Lalu memilih berhenti karena alasan tertentu. Sekarang ia sering mendengar tembang di rumahnya, tanpa tahu siapa yang melantunkannya. Belakangan Kung mulai mengenali suara itu milik Mahira, gadis yang pernah bekerja di rumahnya, lalu meninggal setelah mengeluh sakit perut.

"Kung tak merasa terganggu. Tetapi bagaimanapun, sebuah tembang terdengar tanpa bisa terlihat pelantunnya adalah sesuatu yang tak masuk akal, kendati pun Kung mengalaminya."_(hal 20)

Awal-awal cerita ini cukup membingungkan. Kita semacam disuguhkan penggalan-penggalan kisah beberapa tokoh yang barangkali nantinya akan saling berkaitan. Tentu saja. Dari sinilah rasa penasaran untuk terus membaca mulai tumbuh.

Pada akhirnya mayat Mahligai ditemukan oleh seorang tukang perahu bernama Wir Satang. Sebelum sempat Wir meminta bantuan, mayat Mahligai tiba-tiba terbatuk. Matanya perlahan-lahan mengerjap hingga benar-benar terbuka. Lalu ia minta ditinggalkan sendirian.

Di sisi lain, pada suatu waktu, Arwah Mahira mengobrol dengan pohon arwah yang menaungi perkuburan kampung. Dari obrolan itu terungkap alasan Mahira sering mengunjungi rumah Kung Kasida, tak lain dan tak bukan karena ia mencintai lelaki tua itu.

“Asal kau tahu, saat seseorang jatuh cinta, lalu menggunakan pikiran untuk menimbang-nimbang, saat itulah kemurnian cinta mulai ternoda!”_(hal 38)

Sampai di sini, membaca setiap bab serupa mengawali cerita baru. Sama halnya ketika saya lagi-lagi menemukan tokoh baru--Mangertos--yang entah punya keterkaitan apa lagi dengan tokoh-tokoh sebelumnya. Sejauh ini diceritakan, Mangertos seorang lelaki yang dihukum oleh Sang Guru dengan cara mencabut sebagian fungsional kemaluannya. Ia tidak bisa lagi ereksi.

"Nah, kau akan tetap memiliki sebatang peler. Aku hanya akan mengambil sebagian kecil fungsionalnya saja. Kau, mulai detik ini, tak bisa lagi ereksi!"_(hal 59)

Sadis memang. Tapi itu tidak mungkin tanpa sebab. Mangertos telah memperkosa dan membunuh seorang perempuan.

Sejauh ini mulai sedikit terang, bagaimana tokoh-tokoh yang terus bermunculan secara tiba-tiba sejak awal akan saling berhubungan.

Sakrama mengucapkan salam perpisahan kepada kawan kecilnya, Warih. Katanya, mereka tak akan berjumpa untuk waktu yang lama. Tentu saja Warih bingung, sebab ia tidak sedang berencana melakukan perjalanan jauh.

Namun pada suatu malam, Warih seperti sedang melakukan perjalanan aneh dengan seseorang. Banyak keganjalan dalam perjalanan itu, namun Warih dilarang bersuara kecuali jika diminta.

“Warih, kadang-kadang hidup itu tak terduga. Kadang-kadang, seseorang harus menempuh perjalanan yang belum pernah dijalaninya. Kadang-kadang, seseorang harus melakukan sesuatu yang bahkan tak dimengertinya. Sebagian di antaranya juga tak disukainya! Tetapi, entah bagaimana, tetap dijalaninya. Barangkali, itulah takdir yang mau tak mau harus diterimanya. Apakah kau mengerti?”_(hal 86)

Setibanya di rumah orang itu, Warih langsung tertidur karena kelelahan. Dan dalam tidur itu, untuk pertama kalinya Warih mimpi basah.

Sementara itu, Mangertos mulai menjalankan tugas dari Sang Guru. Ia harus menemukan Mahligai, perempuan yang telah dibunuhnya, namun hidup kembali.

Sampai di sini kita akan tahu bahwa Mahligai bukanlah pelacur seperti yang mereka bilang, hanya kebetulan bekerja di spa--yang membuatnya bertemu banyak lelaki bejat, yang perlahan-lahan membentuk image negatif untuk dirinya di mata orang-orang.

Lantas, seperti apa kisah-kisah yang masih serupa kepingan-kepingan puzzle ini akan menyatu nantinya? Jujur, cerita ini berat, namun tak seberat rindunya Dilan. Wkwkwk .... Per babnya tetap asyik untuk dijajaki hingga akhir. Yuk, miliki bukunya dan buktikan sendiri. Saran saya, jangan menyerah di awal. Teruskan membaca, sebab cerita ini semakin jauh semakin memikat, ketika kita mulai paham ke mana ia berkiblat.

_*_

Review:
Sesuai judul, awalnya kita benar-benar tidak tahu ke mana cerita ini akan bermuara. Ini semacam refleksi dari isi kepala manusia yang sedemikian rumit dan tak pernah benar-benar tuntas disuarakan.

Membaca novel ini artinya kita sedang berhadapan dengan seni bercerita yang tak biasa. Apa-apa yang dikemukakan penulis sungguh baru buat saya--yang tak pernah ada di buku lain. Bahkan setelah khatam, ada saja bagian-bagian yang belum saya pahami sepenuhnya. Ini antara ceritanya yang terlalu rumit, atau otak saya yang terlalu payah.

Guratan kata-katanya dalam dan terbilang berat. Belum lagi penggunaan nama tak lazim yang kian memperlambat proses adaptasi dengan cerita. Untuk saya pribadi, kesulitan di awal ini tertolong dengan penggambaran adegan yang cukup detail hingga mudah divisualisasikan dalam kepala. Tapi tetap, bacanya mesti khusyuk kalau nggak mau semakin bingung. Hehehe ....

Pergerakan cerita per halaman penuh misteri dan sedikit mistis. Kita banyak mendapati kepingan-kepingan puzzle yang menggugah rasa penasaran untuk segera menyatukannya. Bukan hanya itu, dialog-dialognya juga semacam sandi yang menarik untuk dipecahkan. Dan jika berhasil, di balik kalimat-kalimat berat itulah kita bisa menemukan pesan moral yang sangat kuat.

Kita hanya perlu sedikit lebih sabar untuk berhasil menikmati novel ini. Sebab segala kerumitan yang ada di awal, perlahan-lahan jadi candu yang tak punyai penawar apa pun kecuali dituntaskan hingga akhir. Sama halnya ketika saya kepincut dengan pohon arwah yang bisa bicara, yang menurut saya ikonable banget. Pun dengan tokoh aneh lainnya dengan keunikan masing-masing.

Mengingat novel ini dasarnya sudah berat, mungkin lebih baik jika menyiasati paragraf panjang-panjang untuk dipecah jadi beberapa bagian agar nggak engap bacanya.

Overall, novel ini cocok banget buat kamu yang butuh tantangan baru dalam aktivitas membaca. Tapi jangan langsung berpikiran novel ini sedemikian berat, sebab dari sini pun kita jadi tahu, bahwa perasaan cinta selalu punya jalan untuk terhubung, dan pada akhirnya akan menyatu dengan caranya sendiri. Jika tidak di dunia, maka nanti, pada ruang-ruang yang belum bisa kita jangkau sekarang.