Sabtu, 24 Februari 2024

Belahan Jiwa dari Dunia Lain (Bab 8)

 


Indah terjaga dari tidur pulasnya, mendapati cahaya matahari sore menyapa hangat lewat celah-celah dinding bambu. Karena di gubuk itu hanya ada dua kamar tidur, ia terpaksa berbagi dengan Fidelya. Indah yang sedang tidak ingat apa-apa tentang asal-usulnya, sama sekali tidak mempermasalahkan. Mereka mau menampung saja, itu sudah cukup.

Setelah tidur selama hampir dua jam, perasaan Indah jauh lebih baik. Meski badannya masih pegal. Rasanya seperti habis melakukan perjalanan jauh. Ia turun dari pembaringan dan merapat ke sisi jendela. Ia menyibak daun jendela dan membebaskan pandangan. Pemandangan yang ditemuinya sama saja, pohon-pohon berdaun kelabu, langit hitam, juga rumput keemasan. Indah yakin, ada warna lain yang lebih cocok dengan alam ini. Entah apa yang sedang terjadi di sini.

"Calie!"

Indah agak tersentak. Seseorang membuyarkan lamunannya. Ia menoleh dan mendapati Fidelya dengan selembar kain putih di tangannya.

"Kamu sudah bangun rupanya." Fidelya mendekat.

Indah tersenyum lemah.

"Nenek menyuruh saya menyerahkan ini."

"Kain putih?" Indah mengernyit memandang benda yang disodorkan Fidelya.

"Kamu harus mengganti pakaianmu dengan ini."

"Kenapa harus begitu?"

"Karena di pulau ini hanya kaum aline yang boleh mengenakan pakaian berjahit."

"Kaum aline?" Indah merasa semua hal di tempat ini membingungkan.

"Kaum aline adalah orang-orang yang derajatnya dimuliakan. Sementara kamu, asal usulnya belum jelas. Kalau sampai pihak kerajaan tahu kamu mengenakan pakaian berjahit, kamu akan dipenjara."

"Dipenjara?" Indah kaget. Separah itu?

"Iya. Di pulau ini yang memegang kekuasaan adalah seorang raja, Raja Aaron. Orangnya sangat angkuh dan keras kepala. Perintahnya adalah mutlak. Menentang sama halnya menjemput maut."

Indah tercenung tidak habis pikir. Entah kejutan macam apa lagi yang akan didapatkannya seputar pulau ini.

"Kenapa malah bengong? Ayo cepat ganti pakaian."

"Saya tidak tahu cara memakainya."

"Lepaskan pakaian Kakak terlebih dahulu!" Fidelya berucap sambil memutar badan membelakangi Indah.

Dengan canggung, Indah mulai melepas pakaiannya satu per satu. Kemudian ia menutupi tubuhnya dengan kain putih tadi, sembarangan saja. Kemudian Fidelya membantu merapikannya. Indah risi. Ia jadi tidak leluasa bergerak.

"Namanya juga baru pertama. Lama-lama juga terbiasa, kok."

Indah memandangi tubuhnya dalam balutan kain putih. Sungguh, ia tidak nyaman. Fidelya masih membantu merapikan ujung-ujungnya, ketika Indah tiba-tiba teringat sesuatu.

"Kenapa kamu berniat bunuh diri?"

Pertanyaan spontan itu membuat segenap aktivitas Fidelya terhenti. Ia bangkit dari posisi jongkok, kemudian menatap manik mata Indah sesaat, sebelum tatapan berkaca-kaca itu dilempar ke luar jendela. Saat kedua tangannya mencengkeram tepi bawah jendela, tahu-tahu air matanya sudah meruah.

Menyadari hal itu, Indah jadi merasa bersalah.

"Maaf jika pertanyaanku salah. Tidak usah dijawab."

***


Sementara itu, di sebuah ruangan rahasia dalam gubuknya, Nenek Waruga terpaku menatap sesuatu di sana. Dugaan-dugaan entah apa berkelebat di benaknya. Hal itu dipicu oleh sebuah keajaiban tadi malam, sesuatu yang sudah sangat lama dinantikannya. Kemudian disusul dengan kemunculan Indah dengan cara berpakaian yang tidak biasa. Ada yang lebih mengejutkan, cincin naga berkepala manusia yang dikenakan Indah. Melihat benda mungil itu, Nenek Waruga setengah mati menyembunyikan keterkejutannya. Meski raut wajahnya berhasil disamarkan, jantungnya tetap bereaksi lebih.

Nenek Waruga masih memandang lamat-lamat sesuatu dalam ruangan itu. Banyak hal terproses di benaknya. Berusaha saling terangkai, berusaha membuat kesimpulan. Meski sebenarnya sudah yakin, Nenek Waruga tidak ingin gegabah. Ia harus mencerna baik-baik apa yang telah terjadi, pun kemungkinan selanjutnya.

***


Malam pertama Indah di gubuk itu, di sebuah pulau asing dengan segenap keanehannya. Mereka sedang makan malam, duduk mengitari meja bundar yang terbuat dari potongan batang pohon yang masih menampakkan corak aslinya. Potongan kayu dengan ketebalan hampir sejengkal itu pasti berasal dari pohon raksasa, tebak Indah!

Indah memperhatikan makanan yang tersaji di atas meja. Ada banyak umbi-umbian, sayur daun, ikan bakar, dan tentu saja nasi. Mereka makan tanpa sendok, langsung menggunakan tangan. Indah berusaha untuk beradaptasi.

"Oh, ada tamu rupanya." Suara itu menyela tiba-tiba.

Indah berhenti mengunyah. Ia menegakkan kepala demi mencari sumber suara cempreng aneh tadi. Indah yakin, suara tadi bukan milik Fidelya ataupun Nenek Waruga.

"Kamu dari mana saja, Huzia? Seharian entah ke mana, tahu-tahu pulang malam," gerutu Nenek Waruga.

Huzia? Indah heran. Siapa yang Nenek Waruga maksud? Mencegah kebingungannya berlarut-larut, Indah mengikuti arah pandang Nenek Waruga yang bertumpu di jendela. Tapi yang ada Indah malah semakin bingung. Tidak ada siapa-siapa di sana, hanya seekor burung elang bermata besar.

"Aku habis ngintipin cowok-cowok ganteng di perkampungan."

Seketika Indah terbelalak. Suara cempreng aneh tadi ternyata berasal dari burung elang itu. Tapi tunggu, sungguh, ia bisa bicara?

"Dasar!"

"Aku memang burung, tapi bukan berarti tidak butuh lihat yang cakep-cakep. Pusing, tahu setiap hari cuma lihat pohon." Kali ini burung elang itu berucap sambil mengibas-ngibaskan sebelah sayapnya yang berbulu abu-abu keperakan.

Indah mengerjap-ngerjap demi memastikan tidak salah lihat. Bahkan elang itu sadar, bahwa ia hanya seekor burung. Tapi bagaimana ia bisa bicara? Apakah semua keanehan memang sengaja dikumpulkan di pulau ini?

"Tapi gara-gara kamu menghilang, saya dan Fidelya terpaksa harus cari ikan sendiri di sungai untuk makan malam. Bukankah itu tugasmu? Apa kamu sudah lupa dengan janjimu sendiri?"

"Itu bukan tugas, tapi balas budi. Aku tidak mungkin lupa." Burung elang bernama Huzia itu menunduk, tampak menyesal. Nada suaranya melemah.

Mendengar hal itu, kekesalan Nenek Waruga langsung menguap.

"Ya sudah, sana, masuk!"

Huzia melompat turun ke lantai, lalu berjalan menuju kamar sambil terus menunduk.

Indah memperhatikan setiap pergerakan burung elang itu, dan masih sulit mempercayai ia benar-benar bisa bicara.

***


"Sudah, jangan dimasukin ke hati. Kamu tahu nenek, kan? Dia tidak bermaksud marahin kamu, kok." Selesai makan, Fidelya sengaja langsung masuk ke kamar menemui Huzia. Ia tahu pasti seperti apa suasana hatinya saat ini. Meskipun cuma burung, Huzia satu-satunya teman yang dimiliki Fidelya selama ini, sejak memutuskan untuk tinggal di gubuk itu. Mereka sudah melalui banyak hari bersama. Huzia selalu bisa menjadi pendengar yang baik setiap kali Fidelya bercerita tentang apa saja.

Di salah satu sudut kamar, beralaskan bantal kecil di atas meja, Huzia meringkuk di sana. Ia memang seperti itu, suka merasa bersalah berlarut-larut, namun gampang pula mengulanginya.

Huzia terkenang kembali awal perjumpaannya dengan Nenek Waruga. Saat itu, entah dengan cara apa, Nenek Waruga menyelamatkannya dari bidikan anak panah pemburu yang melesat tajam ke arahnya. Sejak saat itulah Huzia merasa berutang nyawa, lalu menawarkan diri untuk tinggal bersama dan membantu meringankan pekerjaan sehari-hari Nenek Waruga.

Nenek Waruga yang sebenarnya punya kemampuan khusus bisa melakukan segala sesuatunya dengan mudah. Ia sama sekali tidak butuh bantuan dari seekor burung. Namun siapa sangka, ternyata Huzia cukup bisa diandalkan dalam beberapa hal. Terutama untuk menangkap ikan di sungai. Terlepas dari semua itu, kehadiran Huzia membuat kesepian panjang Nenek Waruga berakhir. Itu yang paling penting.

Yang membuat Huzia betah, Nenek Waruga adalah orang pertama yang tidak kaget sangat mengetahui dirinya bisa bicara. Sebelumnya, ia pernah mencoba bicara dengan salah seorang warga di perkampungan, bermaksud bersosialisasi. Yang ada, ia malah diburu karena dikira siluman berbahaya yang akan mengancam keselamatan warga. Sejak saat itu Huzia memutuskan untuk tidak menunjukkan kemampuan bicaranya di depan sembarang orang.

"Eh, kita punya teman baru. Kamu tidak mau kenalan?"

Indah yang memang sedari tadi penasaran dengan sosok burung elang yang bisa bicara itu, langsung mendekat ketika Fidelya memberinya kode.

"Hei, aku Calie."

Melihat Indah mengulurkan tangan, Huzia memaksakan diri untuk berdiri, lalu merentangkan sayap kanannya untuk menyambut tangan Indah. "Huzia." Ia menyebutkan nama dengan suara cempreng aneh yang makin ke sini makin terdengar lucu di telinga Indah.

Indah mengawali perkenalan itu dengan senyuman lebar. Huzia ingin membalas, tapi tentu saja ia tidak bisa tersenyum seperti itu. Sebagai gantinya, ia hanya memiringkan kepala, lalu mengerjap-ngerjap dengan antusias. Sebenarnya hal itu lebih sering ia lakukan ketika melihat cowok-cowok ganteng. Entahlah, dengan bersikap seperti itu, ia merasa aura kecantikannya lebih terpancar. Meski tidak akan ada yang peduli standar kecantikan untuk bangsa burung sepertinya.

Setelah merasa cukup, Huzia kembali meringkuk. Fidelya tahu pasti, keceriaan teman burungnya itu belum pulih. Karena aslinya sangat cerewet. Terlebih saat bertemu orang baru yang bisa menerima kenyataan bahwa dirinya bisa bicara. Fidelya tentu masih ingat saat pertama kali mengenal Huzia beberapa bulan yang lalu. Saat itu ia langsung dicecar berbagai macam pertanyaan. Fidelya memaklumi, malah menjadikannya hiburan. Huzia jarang, atau hampir tidak pernah berinteraksi dengan orang-orang, wajar jika keingintahuannya sangat tinggi.

***


[Bersambung]


Klik link di bawah untuk baca lanjutannya;

KBM

KARYAKARSA

Kamis, 15 Februari 2024

Belahan Jiwa dari Dunia Lain (Bab 7)

 


Indah berjengit, kepalanya berdentang. Ia membuka mata perlahan-lahan. Pandangannya buram, lalu berangsur pulih setelah mengerjap berakali-kali. Indah yang sedang tengkurap di permukaan batu besar mencoba untuk berdiri. Ia mencengkeram tengkuknya yang terasa kaku. Suara gemuruh air yang menghantam bebatuan adalah irama pertama yang kemudian dikenali Indah. Indah melebarkan pandangan, mengamati sekeliling. Ia berada di tengah hutan, tepatnya di tepi sungai yang cukup luas dan berarus deras.

Indah mengernyit. Ada yang aneh dengan tempat ini. Daun pepohonan tak hijau sebagaimana mestinya, tampak kelabu seperti tertutupi debu tebal. Air sungai jauh dari kata jernih, keruh dan berwarna kemerahan. Indah mendongak, menatap langit yang dikerubungi gumpalan awan hitam, membuat tempat ini kekurangan suplai cahaya. Suram, satu kata yang mungkin bisa mewakili suasana tempat Indah berada sekarang.

"Tolong ... tolong ... tolong ...!" lamat-lamat suara itu menggapai pendengaran Indah, irama lain yang kemudian dikenalinya setelah gemuruh air dan kesiur angin yang terdengar aneh.

Hati-hati, Indah turun dari batu besar itu. Entah sejak kapan dan dengan cara apa ia bisa sampai di sana. Tertatih-tatih, Indah bermaksud menemukan sumber suara itu. Seseorang di sana pasti sedang dalam bahaya.

"Tolong ... tolong ... tolong ...!" Semakin jelas.

Indah menoleh kiri-kanan, menyapu pandang sekeliling tempat itu dengan teliti. Indah tersentak kemudian, setelah melihat seorang gadis sedang berjuang melawan derasnya arus sungai. Ia berpegangan pada sebuah batu, tepat di tengah-tengah. Secercah harapan memancar dari wajah panik gadis tadi setelah melihat Indah.

"Tolong!" Suaranya memelas.

Indah bingung. Ia memang harus menolongnya. Namun, bagaimana caranya?

Tanpa pikir panjang, Indah berlari ke sana kemari untuk mencari bantuan. Namun, tidak ada siapa-siapa. Di tengah kepanikan, Indah menemukan kayu panjang di semak belukar. Ide untuk menggunakannya muncul begitu saja. Ia memungutnya dan lekas kembali ke tepi sungai. Indah langsung menjulurkan kayu tadi ke arah gadis yang kian panik. Indah bertumpu pada sebatang pohon agar memudahkannya menarik gadis itu ke tepian.

Setelah gadis itu berhasil menggapai ujung kayunya, Indah lekas menariknya sekuat tenaga. Ternyata tak semudah yang ia kira. Indah menggigit bibir ketika merasa tenaganya mulai habis. Ia nyaris menyerah. Untung gadis itu berhasil tiba di tepian sebelum Indah benar-benar kehabisan tenaga. Ia langsung menghambur memeluk Indah. Tangisnya pecah.

Gadis itu hanya mengenakan selembar kain putih yang ujungnya dililit di dada. Ada luka goresan di lengan dan punggungnya, serta memar di beberapa bagian tubuh lainnya. Dalam pelukan Indah, ia terus menangis. Ia baru saja melalui saat-saat menegangkan.

"Terima kasih sudah menyelamatkan saya," ucapnya dalam sedu sedan.

Indah diam saja. Tak sepatah kata pun ia ucapkan.

Gadis itu melerai pelukannya, lalu menyusut air matanya.

"Oh ya, saya Fidelya." Gadis berwajah tirus itu mengulurkan tangan. "Nama kamu siapa?"

Indah malah diam saja. Tatapannya datar.

Fidelya mulai merasa aneh dengan sikap Indah. Ia juga baru sadar, penampilannya tidak lazim. Benda-benda yang melekat di tubuh Indah, kaus, jaket, jins, sepatu, Fidelya baru pertama kali melihatnya.

"Ada apa? Kok, diam saja?"

Indah berusaha mengucapkan sesuatu, tapi kemudian kepalanya kembali berdentang.

"Kamu sepertinya bukan orang sini."

Indah memegangi kepalanya. Ia pusing.

"Kamu sakit? Rumahmu di mana?"

Indah masih belum merespons. Fidelya semakin bingung menghadapinya.

"Kalau begitu, sebaiknya kamu ikut saya pulang! Sampai kondisimu membaik, kamu bisa istirahat di tempat saya. Tidak jauh, kok, dari sini." Fidelya tersenyum ramah, bermaksud membuat Indah lebih nyaman.

Indah yang tampak sangat kebingungan tidak punya pilihan lain kecuali menuruti ajakan Fidelya. Karena itu ia tidak menolak saat Fidelya meraih pergelangan tangannya untuk mengajaknya mulai berjalan.

Mereka menapaki setapak yang agak licin dan berbatu. Pepohonan rimbun memadati kedua sisinya. Dengan daun berwarna kelabu, entah masih pantas disebut pohon atau tidak. Mungkin lebih enak disebut seuatu yang mirip pohon.

Setelah beberapa belokan, pemandangan yang ditemukan Indah masih sama, pohon-pohon berdaun kelabu yang berderet tidak beraturan. Permukaan tanah tertutupi rumput. Indah yakin itu rumput, meski warnanya malah keemasan. Memang tampak cantik, tapi ini jelas tidak normal. Belum lagi suara-suara entah binatang apa dari kejauhan. Semakin banyak yang diamati justru membuat Indah semakin bingung akan tempat ini.

Fidelya berjalan santai, meski ekspresinya seperti tengah meratapi sesuatu. Sepertinya ia tidak berniat bercerita apa-apa soal tempat ini. Padahal sedikit penjelasan darinya pasti bisa mengurangi tumpukan tanya di benak Indah.

Indah ikut berhenti ketika Fidelya menutup langkahnya.

"Kita sudah sampai," kata Fidelya dengan ekspresi datar.

Jelas saja seketika Indah melongo, sebab yang ada di depan mereka hanya sebidang tanah kosong yang dikelilingi semak belukar, juga dua pohon identik yang menjulang tinggi.

Indah menoleh ke arah Fidelya yang tampak menggumamkan sesuatu. Sesaat kemudian, tiba-tiba sebuah gubuk mengisi sebidang tanah tadi. Meski sedari tadi sudah disuguhi beragam pemandangan aneh, Indah masih belum bisa mengendalikan keterkejutannya. Dari mana gubuk sebesar itu tahu-tahu muncul di sini?

Masih terdapat celah heran di antara kedua bibir Indah ketika Fidelya menoleh ke arahnya dan tersenyum santai.

"Yuk," ajak Fidelya, lalu melangkah lebih dulu.

Setiap ayunan kaki Indah mendekat hingga masuk ke gubuk itu, tatapannya bergerak cepat mengamati keadaan sekitar. Karena penuh keanehan, ia takut sewaktu-waktu akan terjadi sesuatu yang bisa mencelakai dirinya.

"Tidak usah takut." Fidelya seolah mampu membaca isi pikiran Indah. "Jika kamu bertanya tempat paling aman di pulau ini, maka gubuk ini jawabannya."

Setibanya di dalam gubuk, Indah kembali terheran-heran. Bagian dalam gubuk itu sangat timpang dengan tampilan luar yang reyot dan terkesan kumuh. Di dalam sini, perabotan tertata rapi. Ruangan-ruangannya disekat dinding bambu. Tampak nyaman dan bersih. Udaranya juga jauh lebih segar dibanding di luar sana. Semua hal itu membuat Indah semakin bingung hingga sulit berkata-kata.

"Ini rumah Nenek Waruga. Saya cuma numpang di sini."

Indah baru hendak bertanya tentang pemilik rumah yang dimaksud Fidelya, ketika seorang nenek bersama tongkat hitam legamnya muncul dari balik tirai ruang tengah yang baru saja disibaknya. Tanpa perlu diberi tahu, Indah yakin, nenek bungkuk yang berpakaian sama dengan Fidelya itu—hanya mengenakan selembar kain putih yang dililit sebatas dada hingga mata kaki—adalah Nenek Waruga.

Nenek Waruga menatap Fidelya penuh perasaan lega. Terlihat dari sorot mata dan raut wajahnya. Ia juga menatap Indah sebelum mendekat. Kedua matanya sempat memicing seolah menampung rasa heran berlebih.

"Syukurlah, kamu kembali." Nenek Waruga mengusap lembut lengan Indah. Kelegaan kembali tersirat di nada suaranya.

Fidelya tampak sulit berkata-kata. Tangisnya malah pecah kemudian. Ia mendekap Nenek Waruga.

"Bunuh diri tidak akan menyelesaikan masalah. Masalah itu hanya akan berakhir di sisimu, tapi tidak dengan mereka yang kamu tinggalkan, mereka yang menyayangimu."

"Maafkan saya, Nek." Fidelya tersedu-sedu.

Bunuh diri? Indah mengernyit memandang mereka yang masih berpelukan. Ia baru saja menyelamatkan orang yang berniat bunuh diri?

"Kita harus hadapi masalah ini bersama. Kamu harus kuat. Jangan menambah daftar panjang gadis-gadis malang yang berakhir sia-sia."

Fidelya mengangguk sambil berusaha menyusut air matanya. Setelah merasa lebih tenang, ia melerai dekapannya.

"Siapa dia?" bisik Nenek Waruga ke telinga Fidelya setelah beberapa saat memindai penampilan Indah dari ujung coverse abu-abu yang menutupi sepasang kakinya hingga pucuk kepala dengan rambut yang agak berantakan.

"Oh, dia yang menyelamatkan saya, Nek."

"Apakah dia aline[1]?" Nenek Waruga berusaha tersenyum ramah kepada Indah, meski hal itu belum berhasil menyembunyikan tanda tanya besar di matanya.

"Entahlah. Dari tadi dia belum bicara apa-apa. Saya tanya nama dan asalnya saja, dia malah bingung." Fidelya berucap pelan, memastikan Indah tidak risi.

Selama jadi topik pembahasan, Indah hanya diam. Sesekali ia menyapukan pandangannya. Tampak jelas, rasa herannya akan tempat itu belum surut.

Nenek Waruga merapat ke sisi Indah. "Siapa namamu, Nak?" Bahkan untuk ukuran aline, penampilan Indah ini masih tergolong aneh. Siapa dia sebenarnya? Nenek Waruga semakin penasaran.

Indah berusaha keras untuk menjawab. Sayang, ia tak menemukan sepatah kata pun yang pantas diucapkan. Ujung-ujungnya kepalanya kembali berdentang.

"Sepertinya dia tidak ingat apa-apa," sela Fidelya.

"Bagaimana kamu bisa tiba-tiba muncul dan menolong Fidelya?"

Indah malah menggeleng tidak jelas. Sepertinya dugaan Fidelya benar.

"Kamu jangan takut. Untuk sementara kamu bisa tinggal di sini bersama kami, sampai ingatan kamu kembali." Nenek Waruga tersenyum lembut. Ia berusaha meredam riak-riak kebingungan di wajah Indah.

Indah balas tersenyum lemah.

"Dan mulai sekarang, nama kamu Calie." Nama itu terlintas begitu saja di benak Nenek Waruga. Di pulau ini, calie berarti cantik. Itulah penilaian pertama Nenek Waruga saat pertama kali tatapannya berlabuh di manik mata Indah.

"Calie?" Indah mengernyit. Wajar jika ia merasa aneh dengan nama barunya.

Catatan kaki:
[1] Kaum bangsawan.

***


[Bersambung]


Klik link di bawah untuk baca lanjutannya;

KBM

KARYAKARSA

Rabu, 14 Februari 2024

Belahan Jiwa dari Dunia Lain (Bab 6)

 


Kemudian kakek itu mengulurkan tangan kirinya. Di dalam genggaman yang telah membuka, terdapat batu pipih kecil berbentuk persegi. Dengan sejumput keraguan, Prof. Hamdani mengambilnya.

"Apa ini, Kek?" tanyanya dengan kening mengerut. Prof. Hamdani mengamati batu itu.

"Batu kehidupan."

"Batu kehidupan?" Kebingungan Prof. Hamdani kian mengental. Ia memperhatikan perbedaan kedua sisi batu itu. Salah satu sisi halus dan licin. Sementara sisi lainnya kasar, bahkan terasa menusuk di kulit.

"Batu kecil yang mewakili dua tabiat manusia."

"Lalu, bagaimana dengannya, Kek?" Prof. Hamdani menunjuk ke arah Indah yang seperti terpasung di batu itu.

"Letakkan batu itu di keningnya!"

Prof. Hamdani bingung. Ia masih diam di tempat.

"Cepat! Sebelum semuanya terlambat!" tegas kakek itu sambil mengentakkan tongkatnya.

Setengah terlonjak, Prof. Hamdani bergegas menghampiri Indah. Ia langsung mengarahkan batu kecil itu ke keningnya. Ajaib, batu kecil itu mendahului tangan Prof. Hamdani, melayang dengan sendirinya dan melekat sempurna di kening Indah. Mereka terperangah. Takjub. Indah membuka mata perlahan-lahan. Ia tersenyum lemah, kemudian jatuh terkulai.

"Indah!" Mereka tersentak.

Kevin langsung mengangkat tubuh Indah dan memangku kepalanya.

"Indah, lo nggak apa-apa?" Kevin membelai rambutnya.

Indah menggeleng lemah. Kepalanya hanya sedikit pusing.

"Prof, apa yang terjadi?" Indah menoleh ke arah Prof. Hamdani. Pandangannya agak buram.

"Entahlah! Yang penting kamu tidak apa-apa."

Indah menyadari sesuatu menempel di keningnya. Ia meraba untuk melepaskannya.

"Apa ini, Prof?" Indah membolak-balik batu itu di depan matanya.

"Berkat batu itu kamu selamat."

"Batu ini?"

"Berterimakasihlah kepada kakek ini!" Prof. Hamdani menoleh ke arah kakek tadi. Ia tersentak. Tahu-tahu kakek itu sudah tidak ada di sana. Bola mata Prof. Hamdani berputar cepat untuk mencari.

"Lah, ke mana perginya, Prof?" sela Kevin.

Prof. Hamdani tidak menjawab. Ia sendiri merasa sangat aneh.

"Terima kasih, ya, Kek!" Suara Indah menyelinap di sela-sela kebingungan mereka. Ketika yang lain sibuk menoleh kiri-kanan mencari keberadaan kakek tadi, Indah malah melihatnya.

Semua pandangan terfokus pada Indah sekarang.

"Indah, kamu bicara sama siapa?" Prof. Hamdani mengernyit.

"Kakek itu, kan, yang memberikan batu ini?"

"Tapi kakeknya sudah pergi," timpal Kevin.

"Lo apa-apaan, sih? Jelas-jelas dia masih di situ."

Suasana kembali tegang.

"Kek, kok, batunya ditinggal?" tanya Indah setengah teriak.

Mereka tercengang. Sosok kakek tadi menghilang begitu saja di mata mereka, tapi justru tampak di mata Indah.

Suasana hening. Indah masih tampak bercakap-cakap dengan kakek itu.

"Terima kasih, Kek!" ucapnya lagi seraya tersenyum.

Sepertinya kakek tadi sengaja memberikan batu itu kepada Indah.

"Entah kenapa, gue suka dengan batu ini," aku Indah, kemudian menatap bergantian teman-temannya. Kevin masih memangku kepalanya.

"Mungkin kamulah yang akan menyingkap tabir misteri di dalam gua ini."

"Apa tidak terlalu berbahaya, Prof? Indah sudah sering mengalami kejadian aneh sejak memasuki hutan ini." Kevin khawatir.

"Semua kejadian itu pasti merupakan petunjuk."

Yang lain bersitatap, dengan pancaran rasa heran yang sama.

Indah menggenggam batu kehidupan itu, kemudian meletakkan tangannya di dada.

***


Hari ini Indah agak berbeda dari biasanya. Sejak tadi siang ia lebih sering menyendiri ketimbang berkumpul dengan teman-temannya untuk mengobrolkan apa saja. Mungkin yang lain tidak menyadari, tapi hal itu sangat kentara di mata Prof. Hamdani. Selaku ketua tim, Prof. Hamdani memang dituntut untuk lebih peka dalam mengenali karakter masing-masing anggota timnya. Sejauh ini ia masih bisa memaklumi. Kecuali jika nantinya Indah benar-benar sudah kehilangan fokus, ia akan menegur.

Malam ini Indah teramat gelisah. Yang lain sudah terlelap sejak tadi, tapi ia masih saja belum mengantuk. Ia tidak bercerita ke siapa pun, bahwa hari ini adalah hari pernikahan Farel dan Sasha. Dengan berada di tengah hutan seperti ini, berkesempatan merasakan ekspedisi yang sudah lama diidam-idamkannya, Indah pikir ia bisa melalui hari ini dengan aman-aman saja. Nyatanya, sakit itu masih saja berlaga. Dan sekarang ia benar-benar tidak bisa menahan air matanya. Saat pulang nanti, ia akan mendapati Farel benar-benar sudah menjadi kakak iparnya. Entah bagaimana Indah bisa melewati hari-hari itu nantinya. Membayangkannya saja terasa mengerikan.

Dengan sisa tangis yang berusaha ditahannya, Indah memaksakan kedua matanya terpejam. Agar lekas dibuai kantuk.

"Bangunlah ... bangunlah ... bangunlah ...!"

Setelah berhasil lebih tenang, tiba-tiba saja suara pelan yang entah dari mana itu menyambangi pendengaran Indah. Ia membuka mata, pandangannya membentur langit-langit tenda. Ini bukan pertama kali. Dua malam berturut-turut sebelumnya Indah mengalami hal serupa, mendengar bisikan aneh ketika teman-temannya sudah terlelap. Hanya saja malam ini terdengar lebih jelas. Hal ini membuatnya agak takut dan semakin gelisah.

Alih-alih membangunkan teman-temannya, Indah kembali mencoba memejamkan mata.

"Bangunlah ...!"

Sontak, Indah kembali terbelalak. Setiap kali ia memejamkan mata, bisikan itu pasti merayapi telinganya. Keringat dingin mulai membasahi. Jantungnya berdetak kencang dengan napas yang semakin memburu. Jemari tangannya saling meremas.

"Keluarlah ...!"

Indah tersentak, jantungnya nyaris copot. Kali ini, bahkan tanpa memejamkan mata bisikan itu kembali terdengar. Indah semakin panik.

"Keluarlah! Sekarang sudah saatnya."

Entah apa yang ada di pikiran Indah. Ia bangun dan keluar dari tenda. Ia berjalan tak tentu arah, hanya mengikuti arah bisikan tadi. Serupa sedang berada di alam bawah sadar, ia terus berjalan dan semakin jauh meninggalkan tenda. Indah sadar ketika dirinya sudah berdiri di depan gua. Ia terperanjat, panik dalam gelap. Entah apa yang harus dilakukannya sekarang. Tubuhnya bergetar ketakutan. Indah memandang sekeliling. Sangat gelap. Entah ke mana arah jalan pulang. Belum lagi berbagai suara binatang malam yang terdengar mengerikan. Indah menangis.

Dalam sedu sedan, tiba-tiba seberkas cahaya berwarna biru keperakan muncul dari salah satu sudut batu besar di depannya. Indah terlonjak kaget. Kemunculan cahaya itu kian melengkapi rasa takutnya, tapi juga sangat menyita rasa penasaran.

Perlahan, Indah malah mendekat, lalu jongkok untuk mengamati sumber cahaya yang ternyata berupa lubang kecil berbentuk persegi. Indah mengulurkan tangan bermaksud menyentuhnya. Ketika tangannya berada dalam cahaya itu, rasanya hangat. Indah tersenyum. Rasa takut yang tadi menggerogotinya sirna begitu saja, berganti kedamaian yang sungguh belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Tiba-tiba muncul cahaya serupa dari sumber yang berbeda, sesuatu di dalam kantong jaketnya. Indah mengeluarkan benda itu, batu aneh pemberian kakek misterius tempo hari. Bagaimana ini bisa terjadi? Pikirnya. Kemudian kedua cahaya itu saling menggapai. Titik pertemuannya menguraikan warna biru menjadi padanan warna yang sangat indah. Serupa rangkaian warna pelangi. Indah takjub!

Detik selanjutnya, keajaiban pun terjadi. Batu kecil itu melayang ke arah lubang persegi, terpasang dengan sendirinya serupa kepingan puzzle. Setelah beberapa saat, kedua cahaya tadi menghilang. Tiba-tiba tanah di sekitar tempat itu terguncang. Dinding gua bergetar.

Indah kaget. Ia mundur menjauh beberapa langkah. Kemudian batu besar di mulut gua retak, membentuk garis melintang tepat di tengah-tengah. Dari celah retakan itu terpancar sinar yang sangat menyilaukan. Indah menghalaunya dengan kedua telapak tangan. Sinar itu hilang setelah beberapa saat. Indah membuka mata dan menatap ke arah batu itu.

"Wow ...!" Indah terpaku menyaksikan pemandangan yang ada. Matanya berbinar-binar. Detik itu, ia seperti berada di tempat yang berbeda.

Batu besar tadi terbelah menjadi dua bagian, membentuk semacam terowongan yang seolah mempersilakan Indah untuk masuk. Entah bagaimana perasaan Indah saat ini, semuanya berbaur menjadi satu. Tentu saja ia tidak ingin melewatkan kesempatan ini. Inilah tujuan utamanya sampai rela menembus belantara.

Dengan langkah mengendap-endap, Indah memasuki gua. Indah memperhatikan dindingnya, bertekstur kasar dan tidak beraturan. Beberapa langkah di depan ada belokan. Di sana ada semacam nyala api, membentuk pantulan cahaya yang bergoyang-goyang di dinding gua. Rasa penasaran memicu langkah Indah menjadi lebih cepat hingga tiba di belokan tadi.

Lagi-lagi Indah takjub, terperangah. Setelah belokan, ada banyak suluh yang menempel di dinding gua dengan jarak yang teratur. Sejak kapan suluh itu dinyalakan? Benarkah apinya tidak pernah padam selama ratusan tahun? Sungguh aneh dan sulit dipercaya. Indah yakin, ada kekuatan mistik yang menjaga gua ini, atau mungkin semacam peri penjaga.

Gua itu tidak begitu panjang. Setelah melewati deretan suluh tadi, Indah menemui jalan buntu. Ia bingung. Di mana patung putri yang disebutkan dalam sejarah itu? Sama sekali tidak ada apa-apa di sana. Indah bermaksud keluar, sebelum matanya menemukan keganjilan. Ada bagian dinding gua yang teksturnya berbeda dengan bagian gua keseluruhan. Permukaannya halus, warnanya sedikit lebih cerah. Indah penasaran, lalu merabanya.

Apakah ini pintu? Pikirnya. Ia pun mendorongnya. Dengan mudahnya bagian yang memang menyerupai pintu itu berputar dan menghadirkan ruangan lain. Dari dalam ruangan itu menghambur kupu-kupu beraneka warna. Indah memejamkan mata, membiarkan mereka menerpa wajahnya.

Ketika membuka mata, Indah seperti berada di alam mimpi. Sungguh ajaib. Senyum Indah merekah, air mata penuh haru mengaburkan pandangannya. Tepat di tengah-tengah ruangan itulah patung putri yang melegenda berada. Indah masih terpaku di tempat, mengamatinya dari bawah hingga ke atas. Prof. Hamdani dan semua cerita yang ada tidak berlebihan, patung putri itu memang benar-benar cantik.

Indah mendekat, mengamatinya lebih seksama. Posisi patung itu berdiri, kepala agak miring ke kiri. Posisi kedua tangannya seperti sedang menyisir rambut yang terurai panjang. Indah sudah sangat dekat. Mereka berhadapan. Rasa penasaran mengalahkan rasa takut dalam diri Indah, hingga ia memberanikan diri menyentuhnya. Sangat pelan dan hati-hati. Kulitnya terasa halus dan mengeluarkan aroma harum ketika disentuh. Indah nyaris tak percaya. Ini patung atau apa?

Pada akhirnya perhatian Indah tertuju pada cincin naga berkepala manusia yang tersemat di jari manis tangan kanan patung itu. Ternyata bentuknya jauh lebih indah, berbeda dengan gambar yang ada di buku Prof. Hamdani. Sadar bahwa namanyalah yang akan tercatat dalam sejarah sebagai penemu cincin itu, membuat Indah enggan menunda-nunda lagi. Ia lekas mencabutnya. Setelah ini namanya pasti akan jadi buah bibir di dunia arkeologi.

Indah membolak-balik cincin itu di depan matanya, memperhatikannya dengan seksama. Indah harus segera keluar dari gua itu, sebelum apa pun yang tidak diinginkan terjadi. Namun sebelum itu, sekali lagi Indah menatap wajah patung putri itu lekat-lekat. Di tatapan itu ia seolah ingin berterima kasih.

Entah di detik kesekian, tiba-tiba mata patung itu berkedip. Indah sampai terjungkal saking kagetnya. Ketakutan kembali menguasainya. Cepat-cepat ia menyematkan cincin itu di jari manisnya dan berlari hendak keluar. Pintu ruangan itu terputar dengan sendirinya untuk kembali tertutup. Beruntung, Indah berhasil meloloskan diri ketika celah pintu yang tersisa hanya bisa dilewati dengan posisi miring. Namun setelahnya, kepalanya seperti dipenuhi sengatan lebah. Matanya berkunang-kunang.

Indah tak bisa menahan rasa sakit. Napasnya mulai sesak, detak jantungnya melemah. Langkahnya goyah, hingga akhirnya jatuh terkapar. Pintu ruangan tempat patung putri itu bersemayam sudah tertutup rapat. Sunyi senyap kembali menenggelamkan apa-apa yang telah terjadi.

***


[Bersambung]

Klik link di bawah untuk baca lanjutannya;

KBM

KARYAKARSA


Kamis, 08 Februari 2024

Belahan Jiwa dari Dunia Lain (Bab 5)

 


Setelah sarapan, mereka melakukan beberapa gerakan peregangan demi kelancaran aktivitas hari ini. Semua mereka lakukan bersama-sama dan penuh sukacita.

"Kamu yakin mau ikut?" Prof. Hamdani menghampiri Indah yang tampak tengah bersiap-siap. "Apa tidak sebaiknya tunggu di tenda saja?"

"Saya sudah berjuang keras untuk tiba di sini, Prof, bahkan terpaksa menentang Mama yang pasti tengah khawatir sekarang. Dan Prof ingin saya cuma jadi penonton?"

"Saya hanya khawatir."

"Saya kuat, Prof. Saya bisa!" Indah menegaskan kemudian berlalu dari sisi Prof. Hamdani untuk bergabung dengan yang lain.

Mereka masuk lebih jauh menjelajahi hutan, berusaha menemukan sesuatu yang bisa jadi petunjuk. Selaku ketua tim, Prof. Hamdani berada paling depan, memimpin pasukannya. Tangan kanannya memegang kompas, sementara buku kuno yang tak pernah lepas darinya ditenteng di tangan kiri. Mereka menemukan lebih banyak pohon-pohon raksasa, akar-akar pencakar bumi. Terdapat banyak batu besar dengan bentuk tak beraturan. Semak belukar di mana-mana, aroma menyeramkan menguar.

Prof. Hamdani memberi aba-aba untuk beristirahat sejenak. Tentu saja mereka tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Mereka langsung memilih tempat yang enak untuk melepas lelah. Indah langsung menjulurkan kaki dan mengatur pola napas setelah bersandar di sebatang pohon raksasa.

"Menurut peta, seharusnya gua itu ada di sekitar sini." Ucapan Prof. Hamdani kembali memancing perhatian timnya.

"Kalau gitu, kenapa kita nggak mendirikan tenda di sini aja, Prof?" usul Tio.

"Jangan. Kita belum tahu misteri apa yang sebenarnya menyelubungi gua itu. Sebaiknya kita jangan terlalu mengambil risiko."

"Tapi, kok, guanya belum kelihatan, ya, Prof?" sela Raya.

"Apa mungkin pandangan kita terhalangi kekuatan gaib?" tebak Kevin.

Prof. Hamdani geming, tampak berpikir.

Suasana hening. Mereka bertukar pandang. Entah apa yang ada di benak Prof. Hamdani.

Matahari berada tepat di atas kepala ketika mereka memutuskan untuk kembali ke tenda. Sepertinya cukup untuk hari ini. Bagaimanapun kuatnya tekad Prof. Hamdani untuk menemukan cincin naga berkepala manusia itu, ia juga harus memperhatikan stamina timnya. Jangan sampai ada yang sakit, mengingat ini rata-rata pengalaman pertama mereka.

***


Hari berikutnya, akhirnya gua itu ditemukan. Objek yang cukup aneh. Sekilas tampak seperti bukit, tapi di tengah-tengahnya terdapat batu besar setinggi kira-kira tiga meter. Pintu gua ada di balik batu itu. Sebelumnya objek itu terhalangi oleh deretan pohon besar berdiameter sekitar dua meter. Akar-akar gantung menggerogoti setiap cabangnya. Pohon-pohon itu semacam tameng raksasa yang melindungi gua. Di sekitar tempat itu sangat teduh, sinar matahari tidak mampu menembus rimbun dedaunan.

Mereka melangkah pelan menghampiri deretan pohon sambil menatap awas ke segala arah. Setelah berada di bawahnya, mereka harus membungkuk untuk menghindari akar gantung yang mengerikan. Terdapat macam-macam serangga merayap di sana. Setelah melewati deretan pohon raksasa tadi, mereka tiba di depan gua. Guanya sangat besar. Mereka berdecak kagum. Di samping gua terdapat batu besar yang lapang. Mungkin bekas hunian manusia zaman purba.

Tatapan mereka menelusuri setiap inci tempat itu. Banyak yang terasa aneh. Tapi yang paling menarik perhatian, ukiran di tengah-tengah batu besar yang menutupi mulut gua. Prof. Hamdani mendekat dan memperhatikannya dengan seksama. Ternyata bukan sekadar ukiran, melainkan deretan abjad kuno yang pembahasannya juga terdapat dalam buku panduan miliknya.

"Sekarang tugas kalian menyalin semua abjad kuno ini dengan teliti. Harus sama persis. Jangan sampai salah segores pun."

"Untuk apa, Prof?" Tio tampak bingung. Ia meraba ukiran tadi.

"Tulisan ini pasti berisikan informasi yang sangat penting."

Mendengar kalimat itu, dengan antusias mereka langsung menyiapkan alat tulis untuk menyalin abjad kuno itu satu per satu. Berawal dari sini, sepertinya sejarah baru akan terukir. Mereka sangat bersemangat.

***


Malam kedua di dalam hutan. Kevin menghampiri Indah yang sedang menyendiri di samping tenda, duduk memeluk kedua lutut di sebuah batu besar. Indah memandangi langit. Tak satu pun bintang hadir di pandangannya. Bulan pun seolah menghindar dan meringkuk di balik awan. Indah membiarkan angin malam membelai rambutnya. Entah dari mana rindu itu datang, tiba-tiba saja merumpun di hati. Indah sadar, ia ada di sini karena tekad kerasnya. Tak seharusnya ia seperti ini. Tapi sungguh, ia tak kuasa membendung air matanya kali ini.

"Lo kenapa?" Suara Kevin pelan namun terdengar jelas di telinga Indah.

"Eh, lo belum tidur?" Indah buru-buru menyeka air matanya.

"Gue nggak bisa tidur kalau ada cewek gelisah seperti ini." Kevin duduk bersisian.

Sejenak hening.

"Gue rindu suasana rumah, kampus, Mama, Rina, dan ...."

"Farel, kan?" Kevin melanjutkan. Ia tahu pasti, tidak akan semudah itu Indah mematikan rasa di hatinya.

Indah terdiam.

"Setidaknya lo lebih beruntung dari gue."

"Maksudnya?" Indah mengernyit.

"Setelah ekspedisi ini selesai, lo bisa kembali ke pelukan keluarga lo. Sementara gue?" Kevin tersenyum hambar di ujung kalimatnya.

"Ini ekspedisi pertama kita. Mari sepakat untuk tidak cengeng lagi." Indah merangkul Kevin.

Kevin menoleh dan menganggukkan persetujuan.

***


Setelah berhasil menemukan lokasi gua, mereka tidak pernah lagi ke sana. Prof. Hamdani harus bisa menerjemahkan abjad-abjad kuno itu terlebih dahulu, meski terkadang anggota timnya memaksa untuk mencari petunjuk di sekitar gua. Prof. Hamdani tidak ingin bertindak gegabah.

Hari-hari berlalu. Sebagian dari mereka mulai bosan karena setiap hari hanya menghabiskan waktu di sekitar tenda. Hingga suatu hari ....

"Akhirnya berhasil." Suara lantang Prof. Hamdani menyela lamunan mereka.

Mereka sigap berdiri dan menancapkan tatapan ke arah Prof. Hamdani. Semangat baru seketika lahir.

"Jadi, apa maksud tulisan itu, Prof?" Indah diburu rasa penasaran.

"Dengarkan baik-baik!" Prof. Hamdani merentangkan halaman buku di tangannya, yang lebih pantas disebut berisi coretan tak keruan ketimbang deretan kata yang mempunyai makna. "Ketika kekuatan panas redup dan keabadian langit berpaling, rasakan dirimu berkelana tanpa gerak. Kebahagiaan akan kamu temukan di dalam mata hati. Seperti itu!" Prof. Hamdani menangkap sorot kebingungan di mata timnya. Wajar, sebab ia sendiri pun sebenarnya masih belum sepenuhnya paham dengan apa yang baru saja diucapkannya. Di posisi mereka ini internet tidak bisa diakses. Prof. Hamdani menerjemahkan abjad kuno itu berbekal buku panduan yang membahas tuntas perihal cincin naga berkepala manusia itu dan beberapa buku pendamping.

"Sebenarnya masih ada satu kalimat lagi yang belum selesai saya terjemahkan. Memang sulit, tapi saya akan berusaha semaksimal mungkin." Prof. Hamdani menegaskan.

"Prof nggak salah, kan? Meskipun sudah diterjemahkan, tapi, kok, saya belum paham, ya?" Tio kebingungan. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Jemari tangannya tenggelam di kelebatan rambut kribonya.

"Ini dinamakan bahasa isyarat. Jika kamu mau berpikir lebih keras, kamu akan mengerti maksudnya. Jadi begini; Ketika malam tiba dan mimpi menghampiri, di dalam mimpi itu kita akan menemukan sebuah petunjuk. Untuk bisa masuk ke dalam gua, kita harus menemukan lubang di batu besar itu. Lubang sekecil mata dan tak terlihat seperti perasaan hati," terang Prof. Hamdani.

Tio manggut-manggut, tapi masih bingung.

"Kalau gitu, kapan kita ke sana lagi, Prof?" sela Kevin.

"Besok!"

Mereka bertukar pandang, tersenyum, dan tampak tidak sabaran.

***


Kendati sudah berhasil menerjemahkan 90% kalimat berabjad kuno itu, tak lantas membuat usaha mereka untuk lebih mengenali gua itu berjalan mulus. Selama beberapa hari tidak ada kemajuan berarti. Mereka bahkan seperti jalan di tempat.

Prof. Hamdani menyadari bahwa semangat timnya mulai surut. Wajar, mereka yang selama ini bergelut dengan segudang aktivitas tiba-tiba harus menjalani hari-hari monoton di dalam hutan. Tapi sejauh ini Prof. Hamdani menjalani perannya selaku ketua tim dengan cukup baik. Ia berusaha membuat menarik hal kecil apa pun yang mereka kerjakan. Misal melibatkan mereka dalam menerjemahkan kalimat terakhir abjad kuno itu.

Siang ini mereka kembali mengitari sekeliling gua. Mereka yakin, pasti ada petunjuk yang bisa membantu. Tiba-tiba ....

"TOLOOONG ...!" jerit Indah.

Semua mata tertuju pada Indah. Tubuhnya terseret. Ia berusaha mengendalikan diri, tapi kekuatan aneh yang menyeretnya jauh lebih kuat. Indah meronta-ronta, sebelum akhirnya tubuhnya menempel pada batu besar di mulut gua. Indah tidak sadarkan diri lagi. Tubuhnya semakin erat melekat di sana.

"Indah?!" Kevin dan yang lainnya panik. Mereka berlari menghampiri.

"Jangan sentuh dia!" Suara parau itu menyela kepanikan mereka.

Mereka sontak menoleh. Seorang kakek berdiri beberapa meter dari mereka. Tongkat kayu di tangan kanan ia gunakan untuk menopang tubuh bungkuknya. Pakaiannya compang-camping, ditambah penutup kepala yang terbuat dari anyaman serat tanaman. Kakek itu melangkah pelan menghampiri Prof. Hamdani. Keseimbangan tubuhnya kurang bagus. Tapak kakinya goyah. Tatapan selidik mereka serupa sedang mengamati pergerakan seorang musuh. Mereka bersiap untuk segala kemungkinan yang bisa terjadi.

"Dialah orangnya!" Suara kakek itu bergetar.

"Maksud Kakek?" Tak sedikit pun tatapan Prof. Hamdani luput dari tubuh kurus kering itu. Di benaknya merumpun tanda tanya besar.

***


[Bersambung]


Klik link di bawah untuk baca lanjutannya;

KBM

KARYAKARSA


Selasa, 30 Januari 2024

Belahan Jiwa dari Dunia Lain (Bab 4)

 


Dalam perjalanan, mereka banyak bertemu dengan rombongan wisatawan asing maupun domestik yang tengah melakukan pendakian menuju Puncak Carstensz. Matahari semakin meninggi. Medan terasa semakin berat. Keringat mulai bercucuran, diiringi hela napas tersengal. Mereka selalu berusaha menunjukkan senyum tetap semangat di mata Prof. Hamdani, tapi yang terbaca di mata profesor penggemar jagung bakar itu malah keinginan untuk beristirahat sejenak. Ia pun mengabulkannya setelah mencapai salah satu pos pendakian.

Setelah berjalan sekitar delapan jam dan melintasi Sungai Kemabu, mereka tiba di kawasan Desa Ugimba, desa terakhir dan terdekat dengan Puncak Carstensz. Di desa ini kebanyakan rumah penduduknya masih berbentuk honai yang terbuat dari kayu dan jerami tanpa paku yang menyerupai jamur raksasa. Letak rumah warga terpisah-pisah dengan jarak berjauhan.

Ratusan orang tinggal di Ugimba. 90% merupakan suku Moni, sisanya suku Dani. Keseharian mereka, perempuan berkebun untuk menanam kol, kedelai, dan bayam. Sementara lelaki masuk ke hutan untuk berburu. Di desa inilah terdapat hutan hujan tropis terbesar di Papua. Hutan yang masih jarang dimasuki oleh manusia, bahkan masyarakat Desa Ugimba sendiri. Konon, di dalam hutan itulah gua patung putri cantik itu berada.

Sore menjelang senja. Sebentar lagi kekuatan gelap akan turun menyelimuti bumi. Mereka masih bisa beristirahat di pos pendakian, sebelum besok mulai masuk menembus belantara dan hanya bisa mengandalkan peralatan yang mereka punya. Yang lain terlihat sangat pulas, sementara Prof. Hamdani masih terjaga. Ia terus memandangi peta lokasi gua yang terdapat di salah satu halaman buku kuno yang membahas segala macam hal yang berkaitan dengan cincin naga berkepala manusia itu. Entah apa yang akan mereka temui di dalam hutan sana. Prof. Hamdani bertekad akan memberikan totalitasnya di ekspedisi ini. Ia tidak ingin gagal.

***


Prof. Hamdani meminta anggota timnya membentuk lingkaran kecil. Mereka berdoa sebelum memasuki hutan. Untuk pertama kalinya mereka melakukan ritual ini. Seketika rasa tegang bercampur hawa dingin pagi hari Desa Ugimba mencekam. Mereka mulai bergerak ketika kabut masih menyelubungi beberapa sudut desa itu.

Memasuki kawasan hutan, Indah takjub. Hampir seluruh permukaan hutan ditumbuhi lumut. Hijau lumut dan hijau daun tergores indah di kanvas keagungan Sang Pencipta. Sejauh mata memandang, Indah dimanjakan nuansa hijau, warna yang memang ia gemari selama ini.

Mereka berjalan sangat hati-hati di permukaan tanah berlumut yang sangat licin. Mereka terkadang harus saling membantu untuk melewati akar-akar pohon besar dan kokoh, atau berjalan sambil jongkok demi menembus semak belukar yang berpadu dengan tumpukan ranting-ranting kering pohon yang telah tumbang.

Perjalanan mereka diwarnai insiden tergelincir beberapa kali. Yang terakhir Tio, ia kehilangan keseimbangan ketika berjalan di atas bangkai pohon yang ternyata mulai lapuk. Untungnya tidak ada luka serius, hanya goresan-goresan kecil yang sepertinya memang sudah wajib untuk ekspedisi semacam ini.

Sudah lumayan jauh mereka berjalan, ditemani suara-suara serta aroma hutan yang khas. Mereka menemukan sebidang tanah lapang yang sepertinya cocok untuk mendirikan tenda, tepat di saat raga mulai lunglai.

"Baiklah, kita akan mendirikan tenda di sini. Kita lanjutkan lagi setelah makan siang," terang Prof. Hamdani sambil menyeka peluh di keningnya.

"Prof, kenapa kita nggak istirahat di gubuk itu aja?" Indah menunjuk sesuatu.

Mereka menoleh ke tempat yang dimaksudkan Indah. Lalu bersitatap. Heran. Gubuk apa sebenarnya yang dimaksud Indah? Prof. Hamdani kembali menatap Indah yang masih mengacungkan jari telunjuknya.

"Indah, kamu baik-baik saja?"

Indah malah tersenyum. Suasana mendadak tegang. Mereka merapat.

"Lihat, Prof, mereka melambai."

"Mereka siapa?" tanya Kevin sambil memegang kedua pundak Indah.

"Masa lo nggak lihat? Orang-orang di gubuk itu." Alih-alih menjelaskan lebih lanjut, Indah malah beranjak ke sana setelah menepis kedua tangan Kevin di pundaknya. Ia berjalan pelan dengan telunjuk tetap mengacung.

"Indah, jangan!" Kevin berusaha mencegah.

"Biarkan! Kita harus tahu apa sebenarnya yang ia lihat." Prof. Hamdani meraih tangan Kevin.

Semua mata tertuju pada Indah, tak berkedip sedikit pun. Kevin sudah ancang-ancang kalau sampai terjadi hal buruk.

Beberapa saat kemudian, Indah kembali dengan sesuatu di tangan kirinya.

"Lo ngapain di sana?" sambut Raya.

"Pinjam tikar."

"Tikar?" Raya berbalik menatap yang lain. Mereka pun sama herannya.

Raya mengguncang pelan pundak Indah.

"Perhatikan baik-baik apa yang lo pegang!" pinta Raya kemudian.

Indah memandang benda di tangannya. Matanya seketika melotot. Tangannya gemetar dan langsung melemparkan benda itu. Indah menoleh ke arah gubuk tadi. Ia menggeleng cepat berkali-kali. Wajahnya mendadak pucat. Sama sekali tidak ada gubuk di sana, hanya semak belukar.

"Kok? Mana gubuk tadi? Mana tikarnya?" Indah terlihat kacau. Ribuan pertanyaan berkejar-kejaran di kepalanya.

Raya meraih kedua tangan Indah. Yang lain merapat.

"Lo harus tenang. Dari tadi di sana emang nggak ada apa-apa. Terlebih tikar. Hanya ranting kering itu yang lo bawa dari sana.

"Nggak. Lo bohong!" timpal Indah.

Indah beralih menghampiri Prof. Hamdani.

"Prof, mereka bohong, kan?" Kepanikan membuncah di wajah Indah.

"Indah, tenangkan dirimu!"

Sejenak hening.

Tiba-tiba Indah tampak ketakutan. "JANGAN!!!" jeritnya kemudian. Ia melangkah mundur sambil mengentak-entakkan tangan, seolah berusaha mencegah atau mengusir sesuatu.

Indah melihat bocah laki-laki dengan wajah berlumuran darah. Tangan kirinya buntung, sementara tangan kanannya mengacungkan belati berkarat berujung runcing. Anak itu terus menghampiri Indah.

"Jangan! Jangan bunuh aku! Jangan mendekat!" Indah panik, tangisnya meraung.

Kevin mendekap Indah dari belakang.

"Tenang, Ndah!"

"Dia mau bunuh gue." Indah makin histeris.

"Sadar, Ndah, di sini nggak ada siapa-siapa selain kita."

"Tolong gue, Vin! Dia semakin dekat." Sekujur tubuh Indah bergetar, keringatnya bercucuran.

Kevin menyapu pandang sekeliling. Siapa sebenarnya yang dilihat Indah? Mereka merapat ke arah Prof. Hamdani. Tingkah Indah membuat mereka takut.

"TIDAK!!!" jerit Indah sekencang-kencangnya, sebelum terkulai dalam dekapan Kevin. Ia pingsan.

***


Prof. Hamdani menjaga Indah yang belum siuman, yang lain cepat-cepat mendirikan tenda. Indah sadar setelah teman-temannya selesai menyiapkan tenda. Kepalanya terasa berat. Indah dibiarkan istirahat, sementara yang lain sibuk mengumpulkan ranting kering untuk menyalakan api unggun nanti malam.

Malam pertama di dalam hutan. Jauh dari keramaian, dekat dengan alam. Sungguh sangat mengesankan bagi jiwa-jiwa arkeolog. Suasana makan malam sederhana namun dibalut hangat kebersamaan dalam sebuah misi yang kuat, baru saja berlangsung. Sekarang mereka bercengkerama di depan api unggun.

"Lo udah baikan?" tanya Kevin yang duduk bersisian dengan Indah.

Indah mengangguk seraya tersenyum lemah. Indah beralih menatap Prof. Hamdani. "Prof yakin, keanehan tadi siang hanya halusinasi?"

"Menurut saya begitu."

"Tapi semuanya begitu jelas," tegas Indah.

"Kita tidak pernah tahu apa sebenarnya yang ada di dalam hutan ini. Mulai sekarang, kita harus lebih berhati-hati. Semoga kejadian serupa tidak terulang lagi."

Mereka manggut-manggut.

"Tadi lo bikin kita takut," celetuk Tio, setelah suasana sempat menegang sesaat.

"Terutama dia, tuh, Ndah," timpal Dian.

"Enak aja. Lo, tuh, yang nyaris pingsan duluan," balas Tio.

"Eh, jangan-jangan penunggu hutan ini nggak suka sama lo, Ndah," lanjut Tio dengan mimik yang didramatisir.

"Hus! Jangan ngomong sembarangan!" Eva menimpali.

"Masa, sih, setan nggak suka sama cewek secantik Indah?" bantah Kevin dengan nada pembelaan. Ia melirik Indah sekilas. "Atau jangan-jangan, setannya nggak suka sama rambut lo," imbuh Kevin setengah terkekeh.

Serentak semua tertawa. Tio tidak bisa berkutik, hanya meraba rambut kribonya yang kian hari kian lebat.

"Sudah, cukup bercandanya!" Suara Prof. Hamdani menyela tawa mereka. "Setelah ini kalian harus istirahat. Besok kita akan mulai melakukan penyisiran di sekitar tempat ini. Sesuai petunjuk di peta, gua itu tidak jauh dari sini."

Rasa tidak sabaran merekah di wajah mereka.

***


[Bersambung]


Klik link di bawah untuk baca lanjutannya;

KBM

KARYAKARSA

Senin, 29 Januari 2024

Belahan Jiwa dari Dunia Lain (Bab 3)

 


Hari ini adalah hari keberangkatan. Indah akan mulai benar-benar bersentuhan langsung dengan dunia arkeologi yang sesungguhnya. Gadis penggemar warna hijau itu sangat bersemangat.

Tim ekspedisi yang ditemani keluarga masing-masing terlebih dahulu berkumpul di kampus, kemudian bersama-sama berangkat ke bandara menggunakan bus. Indah hanya ditemani Mama, Farel dan Rina. Sepagi ini, Sasha punya kesibukan di kantor yang tidak bisa ditunda. Ya, jauh lebih penting ketimbang melepas kepergian sang adik. Tidak heran, karena sejak awal ia memang tidak pernah setuju dengan keputusan Indah.

Seperti biasa, hiruk-pikuk khas menyambut mereka setibanya di Bandara Soekarno-Hatta. Sebentar lagi pesawat mereka akan take off. Semua anggota tim memanfaatkan waktu yang tersisa untuk berpamitan dengan kerabat masing-masing, termasuk Indah.

"Ma, Indah berangkat, ya!" Indah memeluk Mama. Tak banyak yang bisa diucapkannya.

"Jaga dirimu baik-baik, ya, Sayang!" Suara Ranti bergetar. Ia berusaha keras agar air matanya tidak jatuh.

Indah mengangguk disertai senyum yang ia harap bisa menegaskan, bahwa ia akan baik-baik saja.

"Jangan lama-lama, ya, di sana! Nanti nebeng sama siapa kalau mobil gue masuk bengkel lagi?" Rina meraih dan menggenggam tangan sahabatnya.

"Lo ada-ada aja, deh!" Indah tertawa kecil sambil menyeka air matanya.

Saat menoleh ke Farel, rambut Indah langsung diacak di bagian pucuk kepala, hal yang memang selalu lelaki itu lakukan padanya. Waktu kecil Indah sangat menyukainya, tapi setelah mengerti bahwa perlakuan itu bentuk kasih sayang seorang kakak kepada adiknya, Indah tak lagi menyukainya. Ia benci menerima kenyataan, bahwa posisinya di sisi Farel selama ini tak lebih dari seorang adik.

"Di sana jangan nakal, ya!"

"Siap!" Indah mengacungkan kedua jempolnya. Meski tersenyum lebar, suasana hatinya berbanding terbalik. Jika boleh memilih, lebih baik Farel tidak usah turut mengantarnya. Ia khawatir usaha penerimaannya lebih payah setelah ini.

Dari sudut lain, tingkah akrab Indah dan Farel secara tidak sengaja disaksikan oleh Kevin. Lelaki berwajah oriental itu seolah punya indera keenam yang bisa menembus ruang hati Indah. Sebagai seseorang yang pernah sangat dekat dengan Indah, tak heran jika Kevin tahu banyak seluk-beluk perasaan Indah ke Farel. Bagaimana tidak, di setiap kesempatan, pembahasan Indah ketika mereka bersama tidak jauh-jauh dari lelaki yang kini jadi calon suami kakaknya.

Sama Kevin, tidak ada yang Indah tutup-tutupi. Sejak kapan ia menyukai Farel, bagaimana ia menjaga perasaan yang tak pernah tersampaikan itu, semuanya diceritakan. Pun patah hatinya kemudian, setelah mendapati perasaannya bertepuk sebelah tangan dan Farel malah melabuhkan hati ke kakaknya.

Setiap kali mendengar Indah memaparkan kekagumannya kepada Farel, hati Kevin seperti ditaburi bibit luka. Bukan tanpa disadari, tapi Kevin selalu punya cara untuk mematikannya sebelum bibit itu berkembang.

Namun pada akhirnya Kevin mengakhirinya. Bukan tidak kuat lagi. ia hanya tidak ingin bernasib sama seperti Indah, merasakan kehilangan sebelum melakukan apa-apa untuk mendapatkan. Karena itu, Kevin mengutarakan perasaannya, meski tahu betul konsekuensinya.

Imbauan agar segera naik ke pesawat sudah menggema. Lekas, Indah mendekap mamanya sekali lagi.

"Mama jangan terlalu khawatir. Indah akan baik-baik saja!"

Upaya menahan tangis membuat Ranti tak mampu berucap. Ia hanya mengangguk.

Sambil berjalan menjauh, Indah menoleh dan melambai. Senyumnya mengembang sempurna. Sekali lagi berusaha menegaskan, bahwa ia akan baik-baik saja.

***


Prof. Hamdani beserta rombongan menempuh perjalanan udara yang cukup melelahkan. Setelah transit di Makassar sekitar 30 menit, penerbangan berlanjut hingga mendarat di tanah Papua, tepatnya di Kota Biak. Dari Biak mereka masih harus menempuh perjalanan udara sekitar sejam untuk tiba di Nabire. Setidaknya mereka mengudara sekitar 6,5 jam.

Mereka tiba di Nabire menjelang senja. Karena itu mereka langsung menyewa penginapan agar bisa lekas beristirahat. Besok petualangan yang sesungguhnya baru akan dimulai. Mereka harus mempersiapkan segala sesuatunya, terutama stamina.

"Besok kita akan melakukan perjalanan darat yang jauh lebih menguras tenaga. Malam ini tolong jangan ada yang begadang. Tidur yang cukup agar besok bisa bangun dalam kondisi lebih fit. Ingat, jangan berpikir ini akan mudah!"

"Baik, Prof!" seru mereka serentak.

Prof. Hamdani bernapas lega melihat semangat timnya tetap berkobar sejauh ini.

***


Angin yang berembus dari arah Pantai MAF menebar hawa sejuk di setiap sudut Kota Nabire. Hal ini mengundang rasa malas untuk beranjak dari pembaringan. Tapi Prof. Hamdani beserta rombongan harus segera bergerak. Menikmati keindahan Kota Nabire bukan tujuan mereka.

Pagi-pagi sekali mereka berangkat menuju Kabupaten Paniai menggunakan angkutan umum. Mereka tiba di sana menjelang sore, setelah menempuh perjalanan sekitar tujuh jam. Tujuan selanjutnya adalah Sugapa, sebuah desa kecil di kaki Pegunungan Carstensz. Untuk tiba di Sugapa, mereka harus melintasi beberapa desa kecil. Dari desa satu ke desa lainnya mereka naik ojek dengan tarif yang cukup mahal. Yang lebih parah, beberapa desa harus dilintasi dengan berjalan kaki. Sama sekali tidak ada cara lain. Hal ini semakin menegaskan ucapan Prof. Hamdani, "Ini tidak akan mudah!"

Prof. Hamdani sudah lama merancang ekspedisi ini. Ia tahu akan mendapati kondisi seperti ini. Bahkan, ia sudah bersiap untuk hal-hal buruk yang sewaktu-waktu bisa terjadi. Salah satu hal yang sudah melalui tahap perancangan yang cukup matang, adalah orang-orang yang tergabung dalam tim itu sendiri. Ia benar-benar tidak salah pilih. Setidaknya untuk sejauh ini.

Perjalanan dari Paniai ke Sugapa memakan waktu tiga hari. Tentu saja dengan segala tantangan yang tidak biasa bagi orang kota seperti mereka. Indah sangat menikmati perjalanannya. Tekad untuk menjadi arkeolog terkenal mampu menjadi penawar setiap kali rasa capek mulai menguasai raganya.

Mereka memutuskan untuk menginap di Sugapa. Mereka harus memulihkan stamina sebelum melanjutkan perjalanan. Berkat pendekatan yang baik oleh Prof. Hamdani, mereka beruntung bisa diterima dengan baik dan diberi tumpangan oleh Kepala Suku.

Malam ini Indah susah tidur. Setelah meninggalkan Kota Jakarta selama beberapa hari, ia mulai merindukan orang-orang terdekat, terutama Mama. Indah merasa semakin dekat dengan impiannya setelah berhasil menaklukkan berbagai rintangan dan tiba di titik ini. Indah sadar, sekarang ia bagai terisolasi di pedalaman Papua. Sebisa mungkin ia tidak akan membiarkan rindu mengganggu konsentrasinya. Akan ia simpan rindu itu untuk nanti. Ia harus pulang membawa kesuksesan.

***

Pagi-pagi sekali mereka harus bergerak ke Desa Ugimba, desa terdalam di tanah Papua. Desa yang jauh dari peradaban modern, bahkan belum tersentuh jaringan listrik dan sinyal telepon. Untuk mencapai Ugimba, mereka harus berjalan sejauh 20 kilometer. Sebelum berangkat mereka membeli persediaan bahan makanan. Di sana tidak ada pasar atau semacamnya.

"Hari ini kita akan menempuh medan menanjak. Sugapa ini merupakan titik awal pendakian menuju Puncak Carstensz. Tujuan kita adalah Desa Ugimba, sekitar 20 kilometer di atas sana. Setelah memasuki Ugimba tidak ada jaringan telepon. Jadi setelah ini, saya beri kesempatan kepada kalian untuk menelepon keluarga masing-masing. Harapannya, semoga kalian bisa lebih semangat setelah mendengar suara mereka." Prof. Hamdani menjelaskan.

Mereka sangat antusias menyambut kesempatan ini. Setelah dibubarkan, mereka langsung memencar mencari posisi yang enak untuk menelepon. Orang pertama yang dihubungi Indah tentu saja Mama. Obrolan mereka singkat. Karena berusaha keras menyembunyikan tangisnya, Ranti tidak bisa berkata banyak. Dan walau sudah disembunyikan, nada sedu sedan itu masih tertangkap oleh pendengaran Indah. Indah memaklumi sekaligus prihatin sebenarnya. Karena itu, ia berusaha menegaskan, bahwa ia baik-baik saja.

Selanjutnya Indah menghubungi Rina. Seketika obrolan panjang penuh gelak tawa terjalin begitu saja. Dari dulu mereka memang tidak pernah kehabisan topik. Sampai-sampai Indah melupakan batas waktu yang diberikan oleh Prof. Hamdani. Indah mengakhiri obrolannya ketika Prof. Hamdani memberikan aba-aba untuk berkumpul kembali.

Sejenak Indah tertegun. Seharusnya tadi ia menyisihkan sedikit waktu untuk menghubungi Farel. Tidak! Indah menggeleng cepat, membuang pikiran salah yang baru saja menyambangi otaknya. Untuk apa lagi, coba?

Saat hendak kembali ke titik Prof. Hamdani meminta mereka berkumpul kembali, tanpa sengaja pandangan Indah bertautan dengan Kevin. Lelaki itu sedari tadi hanya asyik merokok, tidak terlihat menelepon siapa pun.

Sejak mengetahui perasaan Kevin yang sesungguhnya, Indah memang mulai jaga jarak. Tapi sekarang mereka ada di satu tim ekspedisi penting. Mereka harus bisa mengesampingkan hal-hal pribadi. Dan lagi, Indah yakin tahu penyebab Kevin tampak murung. Karena itu Indah menghampirinya, saat lelaki berkemeja dongker itu baru saja menjatuhkan puntung rokoknya, lalu mematikannya dengan cara diinjak.

"Lo nggak hubungi keluarga lo?"

"Nggak ada yang tahu gue di sini," jawab Kevin sekenanya.

"Lah, memangnya nggak pamit?" Indah mengernyit.

"Lo kayak nggak tahu aja." Tawa getir Kevin mengudara sesaat.

Ya, bisa dibilang Indah bertanya seperti tadi sekadar basa-basi. Ia tahu betul bagaimana hubungan Kevin dengan kedua orangtuanya. Mereka sibuk menyembah uang. Selalu seperti itu Kevin menggambarkan kesibukan orangtuanya. Wajar, mereka mengelola bisnis berskala internasional. Kevin keseringan ditinggal sendiri di sebuah apartemen mewah. Kevin sampai beranggapan bahwa kedua orangtuanya memperlakukannya seperti hewan peliharaan, yang cukup diberi makan setiap hari. Mereka ingin menggantikan perannya dengan uang.

"Mereka masih di luar negeri. Mungkin sampai kita balik dari sini, mereka belum pulang."

Meski ucapannya terdengar santai, Indah tahu persis bagaimana perasaan Kevin setiap kali membicarakan orangtuanya. Kalau sudah seperti ini, Indah selalu bingung bagaimana harus merespons. Sebagai gantinya, ia menepuk pelan pundak lelaki yang pernah sangat dekat dengannya itu.

***


[Bersambung]


Klik link di bawah untuk baca lanjutannya;

KBM

KARYAKARSA

Sabtu, 27 Januari 2024

Belahan Jiwa dari Dunia Lain (Bab 2)

 


Setibanya di kamar, Indah melempar tas selempangnya ke atas meja rias, lalu membanting diri di tempat tidur. Wajahnya masih ditekuk, jengkel dengan sikap kontra Mama. Ia baru hendak bangkit untuk ganti pakaian saat ponsel di saku jinsnya bergetar. Ia mengeluarkan benda pipih persegi itu dan menemukan panggilan dari Farel.

"Mama bilang, lusa kamu berangkat, ya?" Dari seberang sana, Farel langsung menodong dengan nada kaget. Mendengar hal itu, sesaat Indah hanya memutar bola mata malas. Ini kebiasaan Mama yang paling tidak disukai Indah, mengaduh sama lelaki yang dianggap bisa membujuknya.

"Kalau iya, kenapa?" Indah malah bertanya balik dengan nada ogah-ogahan.

"Nggak. Kamu nggak boleh ikut-ikutan dalam ekspedisi itu."

Demi mendengar cegahan itu, Indah sampai bangkit dari baringnya dan terduduk di tepi tempat tidur.

"Cukup, Rel, aku bukan anak kecil lagi yang bisa kamu atur seenaknya. Aku sudah cukup dewasa untuk bisa memilih jalan hidup sendiri. Berhenti mencampuri urusanku!" Tanpa sadar, Indah berucap setengah teriak. Setelah menandaskan kalimatnya, ia membanting asal ponselnya. Ada amarah dan luka diam-diam di balik aksinya barusan. Ini kali pertama ia berkata kasar kepada Farel, lelaki yang diam-diam ia cintai selama ini.

Mau tidak mau ingatan Indah kembali lagi jauh ke belakang, saat pertama kali ia bertemu Farel. Suatu siang sepulang sekolah, Indah yang saat itu baru memulai tahun pertamanya di SMP, ketibang sial. Dari ujung gang yang lengang tiba-tiba muncul seekor anjing hitam yang langsung berlari ke arahnya sambil menggonggong. Indah yang panik langsung berlari ketakutan sambil menangis. Saat anjing itu semakin dekat, Indah hampir menyerah. Beruntung, pertolongan datang tepat waktu. Seorang pengendara motor berhenti beberapa meter di depan Indah.

"Dek, ayo naik!" kata cowok berseragam putih abu-abu itu.

Tanpa pikir panjang, Indah langsung melompat ke boncengan cowok itu. Setelah merasakan gadis kecil di belakangnya duduk dan berpegangan dengan baik, cowok itu kembali melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Kendati sudah selamat dari buruan si anjing, tangis Indah belum reda. Ia bahkan membenamkan wajahnya di punggung cowok yang telah menyelamatkannya itu.

Merasa sudah aman, cowok itu menepikan motornya, bermaksud menenangkan Indah yang masih terus menangis.

"Udah dong nangisnya. Anjingnya udah gak kelihatan, kok."

Tersadar, Indah melerai lingkaran tangannya dari pinggang cowok itu. Kedua tangannya beralih membersihkan air mata di pipinya.

"Rumahmu di mana? Biar sekalian aku anterin."

Sambil berusaha meredam sisa-sisa tangis, Indah menyebutkan sebuah alamat. Cowok itu tersenyum, lalu kembali melajukan motornya. Kali ini pelan saja.

Setibanya di depan rumah, Indah lekas turun dari motor, lalu mengucapkan terima kasih.

"Sama-sama," balas cowok itu sambil tersenyum ramah.

"Kakak tinggal di mana?" Indah bertanya cepat saat melihat cowok penyelamatnya itu kembali menstarter motornya.

"Tuh." Dengan santainya, cowok itu menunjuk rumah putih berlantai dua di seberang jalan.

Lingkar mata Indah seketika membesar. Ia antara kaget dan senang mendapati kenyataan, bahwa cowok penyelamatnya itu adalah tetangganya. Menurut cerita Mama, rumah di seberang jalan yang sempat kosong beberapa bulan itu, minggu lalu dibeli dan langsung ditempati keluarga Pak Kumar. Mereka datang dari Makassar. Cowok jangkung berlesung pipi ini pasti putra mereka, yakin Indah dalam hati.

"Nama Kakak, siapa?" tanya Indah lagi saat cowok itu sudah mengarahkan setang motornya ke rumah yang tadi ditunjuk.

"Farel." Demikian cowok itu menyebutkan namanya disertai sebaris senyum tipis, sebelum benar-benar berlalu.

Hingga cowok itu menghilang di balik gerbang rumah putih di seberang jalan, Indah tak lepas memandang punggungnya. Tanpa sadar, senyumnya mengembang sempurna. Dan tiba-tiba saja hatinya menghangat disertai denyut aneh.

***


Ponsel yang tadinya dibuang asal, kembali berdering. Malas-malasan, Indah meraihnya. Kali ini nama Sasha yang tertera di layar, kakaknya.

"Halo." Indah menyapa ogah-ogahan.

"Serius lusa kamu berangkat? Pergi dan tidak menghadiri pernikahan Kakak dengan Farel, gitu? Please, Ndah, ini momen paling spesial dalam hidup Kakak. Kamu harus ada. Pokoknya kamu nggak boleh pergi."

"Kak, ekspedisi ini juga nggak kalah spesial dalam hidupku. Aku sudah menunggu lama untuk ini. Dan setelah terpampang nyata di depan mata, Kakak dengan seenaknya minta aku untuk mundur?" Indah mengembuskan napas kasar, yang pasti didengar jelas oleh sang kakak di seberang sana. "Nggak! Nggak bisa! Aku nggak akan melewatkan kesempatan ini."

"Kamu, tuh, ya ...." Sasha tercekat di tengah usahanya menahan luapan kekesalan. "Ya udah, Kakak mau kembali kerja. Nanti kita omongin lagi di rumah." Sasha memutus sambungan telepon tanpa perlu menunggu Indah berucap apa pun.

Tangan Indah yang memegang ponsel terjatuh lemas di pangkuannya. Beragam pemikiran menyesaki ruang kepalanya. Salah satunya perihal pernikahan Sasha dan Farel yang akan dilangsungkan minggu depan. Sebagai adik, seharusnya ia memang menghadiri momen sakral yang tidak hanya membahagiakan untuk pasangan pengantin, tapi juga keluarga besar.

Hanya saja kalau boleh jujur, justru pernikahan itulah yang kian memantapkan hati Indah untuk terbang ke Papua. Sambil memulai sepak terjangnya sebagai arkeolog yang sesungguhnya, diam-diam ada aksi pelarian dari kenyataan di balik keantusiasannya itu. Ia tidak yakin bisa tetap kuat melihat lelaki yang lama bersarang di ruang harapnya malah bersanding dengan sang kakak.

Indah menggeleng cepat, menghalau pikiran-pikiran buruk mengikis lebih dalam energi positif dalam dirinya. Saat ini ia harus fokus pada ekspedisi itu. Lupakan hal-hal lain yang tidak berkaitan. Ia harus bisa membuktikan kepada Prof. Hamdani, bahwa ia memang layak diberi kesempatan.

***


Indah tidak suka seperti ini, diadili di meja makan. Nafsu makannya langsung hilang ketika tanpa basa-basi semua orang seolah kompak mengutarakan kembali kalimat-kalimat kontra perihal keterlibatannya di ekspedisi itu. Termasuk Farel, yang menurut Indah sengaja ikut makan malam di sini untuk misi yang bisa ditebaknya.

"Ndah, please dipikir-pikir lagi. Kakak mau nikah, loh. Bukan sekadar ulang tahun yang bisa dirayain lagi tahun depan." Meski sangat hati-hati, Sasha tetap menekankan beberapa kata di kalimatnya.

Ranti memasang pendengaran prima sambil pura-pura tetap menikmati makanannya.

"Papua itu, kan, jauh. Siapa yang akan jagain kamu di sana?" Padahal sebentar lagi Indah akan menyelesaikan kuliahnya, tapi nada bicara Farel masih memperlakukan gadis itu seperti waktu pertama kali mengenalnya, gadis SMP yang lincah, cerewet, dan ngegemesin.

"Aku bisa jaga diri." Indah menyapukan pandangan, seolah perkataannya ditujukan ke semuanya, bukan sebatas menjawab pertanyaan Farel. "Lagian yang jadi ketua tim Prof. Hamdani, profesor dengan jam terbang paling tinggi di kampus, yang sering aku certain. Sama seperti ekspedisinya yang selalu sukses selama ini, beliau pasti sudah mempersiapkannya matang-matang. Tidak semua orang bisa mendapatkan kesempatan ini."

Selama Indah bicara, mereka bahkan berhenti mengunyah, lalu saling pandang, seolah saling dukung untuk menemukan kalimat penyanggah.

"Kali ini aku mohon pengertiannya." Indah meletakkan sendok dan garpunya, lalu meneguk isi gelas di sampingnya. Setelahnya, ia menatap Sasha dan Farel bergantian. "Untuk pernikahan kalian, ada atau tanpa aku, sama aja. Selamat, ya, aku turut bahagia." Indah memaksakan sebaris senyum sebelum meninggalkan meja makan itu.

Setibanya di kamar, air mata Indah langsung meruah. Hal ini bukan hanya karena sikap kontra mereka. Indah kalut setelah menemukan dirinya teramat payah untuk sekadar menerima kenyataan, bahwa Farel sebentar lagi resmi menjadi kakak iparnya. Angkat kaki dari kota ini sepertinya memang jalan terbaik, agar Indah tidak bertingkah konyol di hari pernikahan mereka.

Setelah diselamatkan dari kejaran anjing waktu itu, sore harinya Indah menemui Farel di rumahnya. Ia membawakan sekotak es krim sebagai tanda terima kasih. Di luar dugaan, Farel malah membagi es krim itu untuk Indah. Mereka makan bersama di teras. Setelah itu, seiring waktu bergulir, begitu cepat mereka akrab. Hampir setiap hari Indah main ke rumah Farel, begitu pun sebaliknya. Satu hal yang tidak diketahui Indah, diam-diam Farel naksir sama Sasha, kakak Indah yang kebetulan satu sekolah dengannya. Sebagai murid baru, Farel senang punya teman satu sekolah yang tetanggaan.

Di mata Indah, Farel sosok pahlawan di segala cuaca. Kapan pun bisa dimintai tolong. Sedang di mata Farel, Indah adik kecil yang menyenangkan untuk diajak melewati waktu luang. Hingga mereka tumbuh dewasa, Farel tetap menganggap Indah sebatas adik, tak peduli sudah sedekat apa mereka selama ini. Sedang Indah, dengan segala kesempurnaan rasa kagumnya bermetamorfosis menjadi cinta. Yang kemudian menyeretnya pada situasi rumit ini.

Bahkan saat Farel memutuskan untuk menjalani pendidikan masternya di Universitas Malaya, Malaysia, Indah tetap teguh merawat perasaan yang belum tersampaikan itu dari jauh. Indah berusaha berpikir positif, bahwa Farel belum memberikan sinyal-sinyal cinta karena ingin konsen ke pendidikannya.

Sekembalinya Farel ke tanah air setelah berhasil meraih gelar masternya, saat itulah kiamat kecil di hidup Indah terjadi. Indah benar, selama ini Farel tidak menunjukkan sinyal-sinyal cinta karena ingin konsen di pendidikannya. Tapi setelah tiba waktunya memunculkan sinyal-sinyal cinta itu, sayangnya bukan untuk Indah.

Seminggu setelah kedatangannya, Farel yang ditemani kedua orangtuanya mendatangi rumah Indah untuk melamar Sasha. Indah yang saat itu menguping pembicaraan mereka dari bibir pintu ruang tengah, seketika merasakan persendiannya tidak berfungsi. Tubuhnya merosot hingga terduduk tak berdaya di lantai. Tahu-tahu air matanya sudah berlinang.

Sejak hari itu, Indah butuh waktu beberapa hari untuk memahami bentuk rasa sakit yang kini menetap di dadanya. Di lain sisi ia harus tetap bersikap biasa, agar tak seorang pun yang melayangkan tatapan curiga, terlebih tatapan iba.

***


Hari ini Indah menjalani aktivitas di kampus dengan semangat yang belum pernah semenggebu ini. Rasa tak sabar bertemu dengan setumpuk pengalaman baru membuat waktu terasa lebih cepat berlalu. Ekspedisi ini benar-benar ampuh membuatnya lupa pada sakit hati yang sebenarnya masih menganga. Sebelum pulang, Indah dan anggota tim yang sudah terpilih kembali diminta berkumpul di ruangan Prof. Hamdani. Sekadar mematangkan persiapan untuk keberangkatan besok, termasuk merincikan perlengkapan penting yang harus dibawa.

Saat Prof. Hamdani membagikan surat izin dan persetujuan yang harus ditandatangani orangtua atau wali, Indah sempat bingung. Tapi kemudian ia mencoba untuk berpikir positif, ia pasti bisa membujuk Mama untuk menandatanganinya.

***


Kesibukan Indah saat mengemasi barang-barang yang akan dibawanya ke ekspedisi pertamanya ini sempat terhenti, saat ia teringat surat izin yang tadi sore diserahkan ke Mama. Di ruang tengah tadi, Mama tidak berucap sepatah kata pun saat Indah menyerahkan surat itu sambil menjelaskan secara singkat tujuannya. Entah Mama sudah menandatanganinya atau belum. Semoga saja sudah. Besok pagi surat itu harus diserahkan kembali ke Prof. Hamdani sebagai syarat keikutsertaan. Indah tidak bisa membanyangkan bagaimana jadinya jika Mama menolak untuk menandatanganinya.

Indah menggeleng samar, lalu kembali menyusun rapi ke dalam ransel barang-barang yang sudah dipilahnya. Mengingat lokasi ekspedisi di pedalaman hutan, jangan sampai ada yang kurang. Ia sangat detail. Terbayang pengalaman-pengalaman seru yang akan ia dapatkan selama ekspedisi, membuat aktivitas packing Indah menyenangkan. Di sisi lain, ketidaksetujuan orang-orang terdekatnya masih sangat mengganjal di hati. Ia tidak dapat memungkirinya. Tapi besok adalah hari keberangkatan, sebisa mungkin ia menepis pikiran-pikiran yang berpotensi mengganggu konsentrasinya.

Ranti terpaku di depan pintu kamar Indah yang setengah tertutup. Sejak tadi ia di sana, memperhatikan Indah yang begitu antusias mempersiapkan segala sesuatunya. Ia masih sangat kalut. Entah bagaimana harus melepas kepergian putrinya itu.

Ranti melangkah pelan, menghampiri Indah di antara tumpukan barang-barang yang masih berantakan.

"Kamu jadi berangkat besok?" tanyanya hati-hati.

Indah terdiam sejenak. Ia sangat mengerti makna yang tersirat di balik pertanyaan Mama.

Indah menoleh. "Maafkan aku, Ma!" Seketika mata Indah berkaca-kaca.

"Kamu tidak salah, Sayang. Mama yang salah. Mama selalu lupa bahwa putri kecil Mama sudah sebesar ini, sudah cukup dewasa untuk menentukan jalan hidupnya." Nada getar membuat Ranti tercekat sesaat. "Mama akan berusaha mengikhlaskan kepergianmu. Mama akan selalu mendoakanmu. Selamat berjuang, Sayang. Buktikan ke Mama kalau kamu memang bisa." Ranti sudah tidak mampu menahan air matanya.

Refleks, Indah berdiri dan langsung mendekap Mama sangat erat. Seketika kamar itu diselubungi rasa haru yang pekat. Air mata Indah pun luruh.

Setelah Indah melerai dekapannya, Ranti menyerahkan surat izin yang sudah ditandatanganinya.

"Terima kasih, Ma!" Indah menerimanya dengan kelegaan yang luar biasa.

***


[Bersambung]


Klik link di bawah untuk baca lanjutannya;

KBM

KARYAKARSA