Kamis, 28 Desember 2017

Review Kumcer: Jomblo, So What?



Judul            : Jomblo, So What?

Penulis        : Ikhsan Ardiansyah

Penerbit      : PPMPI Publisher

Editor          : Tim PPMPI

Layout         : Tim PPMPI

Kover           : Tim PPMPI

Cetakan       : Pertama, Agustus 2017

Tebal            : 162 hlm

ISBN             : 978-602-5557-04-0

Nukilan:
Dari baca judul saya bisa menyimpulkan, wah, buku ini berisi cerita-cerita ringan namun kaya tema, sepertinya. Dan kocak adalah atmosfer pertama yang saya rasakan.

“Emang tampangku kayak gudang, ya? Kok, dijadiin tempat penyimpanan curhatan massal.”_(Kutipan cerpen Say_hal 10)

Dari cerita-cerita sederhana, saya mencoba mencari kelebihan apa yang ingin ditunjukkan penulis. Nasihat tersembunyi bisa jadi salah satunya.

“Biar bagaimanapun, mereka adalah orangtua kandungku. Apa yang telah mereka lakukan juga demi kepentingan masa depanku.”_(Kutipan cerpen Old Friend_hal 33)

Meski cerita-cerita yang diangkat cukup sederhana, namun penulis tak lupa menuangkan biasan sosial yang cukup sering kita jumpai di keseharian.

“Aku salut sama Nina. Sebagai bos dia tidak hanya duduk manis menunggu setoran, tapi juga ikut terjun langsung ke lapangan.”_(Kutipan cerpen Salah Paham_hal 45)

Dan sejauh ini saya menemukan satu cerpen romantis yang menjadikan ayam dan soto lamongan sebagai benang merah. Unik.

“Enak, kan? Soto ayam yang tadi lo makan adalah makanan khas lamongan. Jadi, nggak perlu takut lagi dengan ayam. Lo berhasil mengalahkan trauma lo.”_(Kutipan cerpen Gara-Gara Soto Lamongan_hal 80)

Ada satu cerpen yang cukup unik, Cinta Indonesia. Di sini saya merasakan getaran haru dan banyak hal yang ingin disampaikan penulis. Misal tanggung jawab selaku anak sulung.

“Aku tidak ingin adik-adik putus sekolah lantaran tidak punya biaya. Maka kuputuskan untuk tidak melanjutkan sekolah dan memilih untuk bekerja.”_(Kutipan cerpen Cinta Indonesia_hal 112)

Dan yang saya acungi jempol, kutipan berikut. Keren.

“Aku tersenyum getir. Dalam hati ingin sekali marah dan berteriak kepada seluruh dunia bahwa Indonesia bukan negara teroris seperti yang mereka kecamkan.”_(Kutipan cerpen Cinta Indonesia_hal 114)

Bagian belakang buku ini menyuguhkan cerita dengan judul cukup menohok, yang oleh penulis kemudian dijadikan judul buku. Namun dalam cerita ini ada hal positif yang bisa dipetik, terutama untuk mereka yang selalu malu berstatus jomblo. Hehehe ....

“Di saat jomblo, kita nggak akan dipusingin soal pacar dan tetek-bengek semacamnya. Dan yang paling penting adalah memanfaatkan ke-jomblo-an itu untuk hal-hal positif. Salah satunya adalah berkarya.”_(Kutipan cerpen Jomblo? So What?_hal 149”

Di cerpen terakhir, ada peringatan lawas yang sering dilontarkan para orang tua, yang semakin dipikir semakin benar adanya.

“Dengar, ya, anak muda, untuk membina rumah tangga itu tidak cukup hanya bermodal cinta, tapi juga materi.”_(Kutipan cerpen Cinta Sehari_hal 156)

Seperti apa buku ini secara keseluruhan? Yuk, segera miliki bukunya.

_*_

Review:
Buku ini berisikan kumpulan cerita yang sangat berkaitan dengan keseharian. Ceritanya ringan, mengangkat banyak tema dan disampaikan dengan lugas. Saya tidak menemukan upaya penulis untuk memadukan diksi yang wow, semua mengalir apa adanya. Mungkin memang seperti itu konsep yang diusung. Namun di situlah kelebihannya. Saya lebih merasa membaca curhatan seseorang ketimbang cerpen. Usaha penulis menyampaikan maksud cerita menurut saya cukup berhasil.

Meskipun cerita dalam buku ini biasa kita jumpai di kehidupan nyata, tapi penulis menyelipkan pesan-pesan tersembunyi dengan makna cukup dalam, menjadi poin plus di tiap-tiap cerita.

Namun, masih banyak typo dan beberapa pondasi cerita kurang kuat, ngambang, hingga terasa agak bertele-tele.

Overall, buku ini cocok buat kamu yang ingin memetik banyak pelajaran namun dalam balutan kisah yang membumi.

Sabtu, 23 Desember 2017

Review Novel: Star of You



Judul            : Star of You

Penulis        : Shan A. Fitriani

Penerbit      : Namina Books

Editor           : Ayesha Azrina Ruby

Cetakan        : Pertama, 2017

Tebal             : 384 hlm

ISBN              : 978-602-60229-2-9

Blurb:
Emily sangat mencintai seorang pria yang terpaut delapan tahun lebih tua darinya, sejak ia masih kecil. Rasa cintanya bermula ketika pria itu menolongnya ketika ia masih berumur sembilan tahun. Walau pria itu sering bersikap dingin dan mengeluarkan kata-kata pedas, hal itu tidak pernah menyurutkan rasa cintanya. Baginya, Eric cinta pertama dan terakhirnya.

Bagi Eric, Emily tidak lebih dari seorang pengganggu dan perusak hari-hari. Entah kenapa dia begitu benci melihat Emily. Ia selalu menyuruh gadis itu pergi, tapi gadis itu malah tersenyum dan kembali ke sisinya. Suatu hari ia melakukan hal yang melebihi batas sehingga Emily tak hanya pergi dari hadapannya, melainkan juga pergi dari kehidupannya.

_*_

Alur Cerita:
Sejak diselamatkan dari dua bocah nakal yang ingin merebut permennya waktu masih berumur sembilan tahun, Emily menganggap Eric adalah pangerannya, meski pria yang delapan tahun lebih tua darinya itu sangat benci dengan apa pun kelakuan Emily.

Fakta paling menyenangkan dari kawasan hunian yang baru ditinggali Emily bersama keluarganya adalah, ternyata ia tetangga dengan pangerannya, Eric.

Maka hari-hari menyenangkan bagi Emily, namun memuakkan bagi Eric pun dimulai. Emily dengan pembawaan yang ceria selalu bersemangat menunggu atau sengaja mencuri momen untuk melihat Eric. Baginya, itu sumber energi. Meski selalu bersikap dingin, bahkan sesekali agak kasar, Eric tetap selalu memesona di mata Emily, pria itu tetap pangeran penyelamatnya.

“Setiap pagi sebelum berangkat sekolah dia menyapa Eric. Ketika sore hari ia akan menyempatkan waktu berkunjung ke rumah Eric untuk melihat pria itu sambil bermain dengan kucing peliharaan Merida. Saat malam datang, ia akan berdiri di beranda kamar, menunggu Eric yang mengerjakan tugas kuliah ditemani secangkir kopi panas.”_(hal 20-21)

Emily yang kadang bertingkah kelewat batas sebenarnya hanya ingin menarik perhatian Eric. Sesederhana itu. Eric benci dengan kemunculan Emily karena selalu saja merusak hari-harinya. Pun sesederhana itu. Dan jika dipadukan, ini jelas tidak sederhana, teramat rumit malah.

Eric selalu dingin, dan tak pernah menganggap keberadaan Emily. Namun cinta gadis itu terlampau besar untuk membuatnya patah semangat. Ia tetap selalu bisa kembali ceria dan lagi-lagi mencari perhatian Eric dengan berbagai cara. Untung mamanya Eric menyukainya, itu banyak membantu.

“Hampir setiap saat ia memimpikan hal yang begitu indah tentang Eric. Mulai dari mendengar pernyataan cinta Eric, memeluk Eric, hingga berciuman dengan Eric seperti semalam layaknya mereka adalah pasangan kekasih yang paling bahagia. Sepertinya, rasa cintanya yang begitu besar terhadap pria itu membuatnya terbawa mimpi. Bagaimana tidak? Setiap hari yang ada di pikirannya hanyalah Eric, Eric, dan Eric.”_(hal 79)

Meski sangat jarang dan kadang dilakukan karena terpaksa, Eric bisa menjelma bak pangeran sungguhan di mata Emily di balik sikap dinginnya. Sebenernya yang pria itu lakukan bukan apa-apa, tapi sangat manis dan berkesan di mata Emily, membuatnya semakin bersemangat memperjuangkan cinta yang telah dipeliharanya selama delapan tahun.

Di samping perjuangan cinta Emily, ada misteri yang menguar, hadir dari seseorang yang diam-diam mengumpulkan informasi apa pun tentang Emily. Juga Alex, teman sekelas Emily yang bergaya kutu buku yang diam-diam punya sisi mencurigakan.

Ini bukan masalah sepeleh, keluarga Emily ternyata berhutang pada perusahaan tempat ayahnya bekerja. Jumlahnya pun tak tanggung-tanggung dan sudah jatuh tempo. Jalan keluar satu-satunya hanya jika Emily bersedia menerima lamaran pemimpin perusahaan itu.

Gawat! Ini bukan hanya soal menikah dengan orang yang tidak dicintai, tapi juga perihal melepas obsesinya terhadap Eric.

Namun, bagaimana jika ternyata Emily mengenal pria yang telah melamarnya melalui kedua orangtuanya itu? Dan ternyata sangat baik, bahkan berhasil meyakinkan Emily?

Eric merasa kembali hidup normal setelah cinta masa lalunya kembali, sampai-sampai ia semakin ketus kepada Emily. Puncaknya ketika ia benar-benar memuntahkan seluruh kedongkolannya dan sukses menyakiti hati Emily kali ini. Sangat sakit. Pada akhirnya Emily sadar, ia harus mengakhiri obsesinya terhadap pria yang tak pernah menghargainya itu.

“Dan satu lagi, aku takkan mengganggumu dan kehidupan bodohmu lagi. Sepertinya aku terlalu buta mencintaimu hingga mengabaikan semua keburukanmu padaku.”_(hal 157)

Lantas, akankah Emily menerima lamaran itu dan melupakan Eric selama-lamanya? Sedang Eric, benarkah Emily sebatas pengganggu di hidupnya selama ini? Segera miliki buku ini dan temukan jawabannya.

_*_

Review:
Saya jatuh cinta dengan opening novel ini yang teramat manis. Di sana penulis semacam memanjakan pembaca dengan bahasa yang cute namun berenergi, sebelum menyuguhkan kerumitan yang sesungguhnya.

Tentang memperjuangkan cinta sejati menjadi sangat menarik karena dibalut kekocakan Emily yang beberapa bagian sukses bikin ngakak. Namun dilembar berikutnya bisa jadi kita kembali prihatin. Itulah uniknya. Penulis menggambarkan karakter Emily cukup baik. Tingkahnya sukses bikin gemes, sebel, kasihan, pokoknya campur aduk.

Selain Emily, kemisteriusan Alex juga sukses menyedot perhatian, yang membuat kita tak sabaran untuk melangkah ke halaman selanjutnya. Sumpah, sosok Alex ini membuat saya menerka-nerka di awal hingga pertengahan cerita.

Tema cerita macam ini sebenarnya sudah lumayan banyak digunakan, tapi rahasia-rahasia kecil yang disembunyikan penulis sukses membuat cerita ini berbeda. Meski di beberapa bagian interaksi Emily dan Eric kurang natural, agak dipaksakan menurut saya. Tapi hal ini tertutupi dengan kedetailan penulis dalam bercerita, hingga kita bisa dengan mudah memvisualisasikan tiap adegannya. Meski untuk setting masih samar-samar. Selain itu, ada beberapa kata di luar dialog yang tidak baku.

Secara tampilan novel ini sudah kece, layout-nya cantik. Hanya perlu ditambahkan pemenggalan kata agar baris katanya tidak terlalu renggang.

Overall, novel ini cocok banget untuk kamu yang sedang memperjuangkan cinta sejati, atau kamu yang belum bisa memilah, mana cinta yang patut dipertahankan. Meski bertemakan perjuangan cinta, tapi kisahnya tidak terlalu rumit, kok, gak bakal bikin pening. Hehehe .... Dari sini kamu juga bisa menemukan banyak pelajaran.

Minggu, 17 Desember 2017

Review Novel: Pieces of Us



Judul            : Pieces of Us

Penulis        : Handi Namire

Penerbit      : Clover

Editor           : Vivekananda Gitandjali TD

Kover           : Jeanne

Cetakan       : Pertama, 2017

Tebal            : 257 hlm

ISBN             : 9786024286774

Blurb:
Kayrin pendiam dan jarang bergaul. Kesukaannya pada warna hitam dan hobi mengenakan pakaian hitam membuatnya semakin terkucil. Tak ada yang tahu bahwa sebenarnya, Kayrin menyimpan obsesi untuk menjadi penari balet.

Pertemuan dengan Evan, pemuda yang selalu berpenampilan ala anak punk, membawa perubahan dalam hidup Kayrin. Hanya Evan yang tahu mimpi Kayrin. Dan melalui Evan pula, Kayrin terlibat hubungan aneh dengan roh seorang gadis korban kecelakaan yang tengah koma, Fania.

Gara-gara Fania, untuk pertama kalinya, Kayrin melihat "hantu". Hantu yang memiliki satu tujuan, yakni menyelamatkan Evan. Dan Fania menyeret-nyeret Kayrin dalam lingkaran rumit hubungan Evan dan Fania, yang mungkin juga akan berpengaruh pada obsesi Kayrin.

_*_

Alur Cerita:
Kayrin yang berpenampilan serba hitam tidak sengaja bertemu pemuda perpenampilan ala punk di dalam lift rumah sakit. Perpaduan keduanya terang saja mengundang tatapan aneh dua perawat yang kebetulan bergabung dengan mereka.

Sekadar tatapan aneh meningkat jadi sindiran, dan pemuda itu tidak terima dibilang aneh. Ia nyaris mencelakai salah seorang perawat itu kalau saja pintu lift tidak terbuka. Sial, pas ada sekuriti. Pemuda itu segera kabur dan membawa serta Kayrin dalam pelariannya.

Begitulah awal interaksi Kayrin dengan pemuda itu. Mereka berdebat, saling menyalahkan atas insiden di dalam lift.

Sekolah Kayrin didatangi geng motor dari SMA Buana XI, geng motor yang siapa pun tahu tidak akan selamat jika berurusan dengan mereka. Ketua mereka merangsek masuk dan mendatangi kelas Kayrin, mencari Wildan, ketua tim basket.

Saat ketua geng motor itu melepas helmnya, Kayrin tersentak. Ia pemuda aneh berpenampilan ala punk yang ditemuinya di rumah sakit.

“Si pengemudi itu adalah pemuda punk di rumah sakit kemarin. Pemuda yang berpenampilan punk lengkap dengan tindik, sepatu bot, dan jaket kulit yang membungkus seragam putih abu-abu. Seperti kemarin, Kayrin merasakan tatapan dingin di mata pemuda itu. Namun, kali ini mungkin lebih ekstrem karena di wajahnya tersirat kemarahan. Ia berjalan ke arah kelas Kayrin. Seolah dari awal, pemuda itu memang mengincar seseorang yang ada di dalam kelas XI MIA-D itu.”_(hal 34)

Namanya Evan Satria. Umurnya 19 tahun, setahun lebih tua dibanding umur sewajarnya anak SMA kelas XII. Itu karena ia sering pindah sekolah sebelum masuk ke SMA Buana XI yang dikenal sebagai sarang preman.

Evan dengan kemarahan memuncak, menyeret Wildan ke lapangan basket dan membuatnya babak belur di sana. Ia punya alasan kuat atas kebrutalannya itu. Bahkan gertakan wali kelas Wildan pun yang tiba di lokasi, tidak membuatnya gentar.

Sebelum pergi setelah puas melampiaskan amarahnya, Evan mengenali salah seorang siswi sebagai orang yang tidak sengaja terlibat insiden di lift rumah sakit kemarin, gadis berpakaian serba hitam. Ini kali kedua Evan melihatnya, tentu saja dengan tampilan siswi SMA pada umumnya, tanpa pakaian serba hitamnya.

Kali ketiga bertemu Kayrin, Evan makin terenyak. Ia menemukan gadis itu sebagai guru balet adik sepupunya. Astaga, tiga kali pertemuan dengan image yang berbeda. Hal ini diam-diam membuat Evan penasaran akan sosok Kayrin yang sebenarnya.

“Lalu sekarang gadis itu mengenakan leotard dengan rok pendek dan stocking yang memperlihatkan lekuk tubuhnya. Juga sepatu balet yang terlihat feminin. Siapa sih cewek ini?”_(hal 57)

Suatu hari ia mengajak Kayrin mengunjungi temannya yang sedang koma di rumah sakit, seorang gadis cantik berkulit pucat bernama Fania. Sehabis menjenguk gadis inilah sebelum pertemuan pertamanya dengan Kayrin di lift waktu itu. Sedang Kayrin, sama seperti Evan, juga habis menjenguk temannya.

Evan bercerita banyak soal Fania yang katanya punya banyak kemiripan dengan Kayrin. Sebenarnya Kayrin lebih penasaran kecelakaan apa yang menyebabkan Fania koma, tapi tampaknya Evan belum mau mengungkit hal itu.

Sepulang dari rumah sakit, di tangga gedung menuju studio apartemennya, Kayrin berpapasan dengan sosok aneh. Lebih aneh lagi, sosok itu adalah gadis koma di rumah sakit yang baru saja ditemuinya, Fania.

Benarkah sosok itu Fania?

Kata Evan, Fania pun penari balet seperti Kayrin. Perihal kesukaannya pada balet, Kayrin tidak pernah bercerita ke siapa pun selain Mama, termasuk Rilan, sahabatnya sejak SD.

Fania lega. Setelah cukup lama berputar-putar tidak jelas antara hidup dan mati, akhirnya ada orang yang bisa melihatnya, Kayrin. Ia pun memohon kepada Kayrin agar mau menampungnya untuk sementara. Kayrin tentu saja kaget. Tapi setelah Fania memelas dengan penjelasan panjang lebar, Kayrin tidak punya pilihan.

Namun nyatanya tak sampai di situ, Fania malah meminta Kayrin bicara sama Evan, mencari tahu penyebab kecelakaannya. Ia berencana meminjam tubuh Kayrin untuk dirasukinya. Tentu saja Kayrin keberatan.

“Kayrin bergidik dengan ide yang dilontarkan Fania. Sangat tidak masuk akal baginya. Bahkan sampai mati pun rasanya tidak ada orang yang mau dimintai permintaan semacam itu.”_(hal 88)

Namun Fania menjanjikan sesuatu yang sangat berkaitan dengan impian Kayrin. Pada akhirnya Kayrin tidak bisa mengelak. Dan sejujurnya ia pun sangat penasaran dengan kejadian sebelum Fania terbaring koma.

Kecelakaan apa yang dialami Fania? Berhasilkah Kayrin mengabulkan permintaannya? Apa pula yang dijanjikannya sebagai balasan? Penasaran? Segera miliki buku ini dan temukan jawabannya.

_*_

Review:
Ini pertama kalinya saya membaca novel yang mengangkat unsur balet dengan porsi cukup besar. Sungguh pengalaman baca yang baru. Kisah di luar horor yang melibatkan "roh" memang bukan hal baru, tapi yang ini dikemas unik dan didukung banyak faktor pembeda yang sangat sayang untuk dilewatkan.

Novel ini unik, teenlit, tapi aura-auranya nggak berasa teenlit banget yang sejauh pengamatan saya identik dengan bahasa sederhana, ngepop, dan cenderung to the point. Struktur bahasanya berbobot, banyak quote menarik, bahkan beberapa bagian terkesan puitis.

Di lembar-lembar pertama penulis bercerita dengan bahasa yang menggebu-gebu, penuh semangat, dan mengalir lancar. Penulis mengabaikan embleng-embleng tidak penting, mengupayakan secepat mungkin kita menyatu dengan kisah yang sedang disajikan.

Karakter masing-masing tokoh sangat kuat. Sejak pengenalan pertama, mereka langsung tercetak jelas di ruang imaji. Selain itu, yang membuat cerita ini sukses menyedot perhatian adalah kesukaan Kayrin yang sungguh di luar koridor. Perpaduan warna hitam dan balet sungguh langka, membuat cerita ini cukup memorable.

Di awal saya sempat geli, bahkan meragukan kemampuan penulis bisa konsisten hingga akhir tanpa cacat. Nyatanya salah besar. Dari awal hingga akhir penulis berhasil mempertahankan suhu cerita. Kayrin dan dunianya berhasil membuat saya jatuh cinta, dan mulai membuka pikiran bahwa tidak ada salahnya memadukan hal-hal yang awalnya mungkin terkesan aneh.

Novel ini mengandung banyak percikan teka-teki yang sukses membuat "tak ingin berpaling", rasanya gatal pengin terus membalik halamannya. Dan yang paling saya suka adalah cara penulis membuat Kayrin menggapai impiannya, it's real, tetap melibatkan kegagalan dan kondisi tokoh hingga jauh dari kesan basi. Saya juga suka latar belakang kehidupan Evan yang sukses menyentuh titik haru saya.

Namun, sepanjang bercerita penulis kurang konsisten untuk penyebutan "pemuda" dan "laki-laki". Ada yang memang sesuai konteks, tapi ada juga yang seharusnya tetap pakai salah satunya. Saya juga menemukan dua kali salah penulisan nama.

Overall, novel ini cocok banget untuk remaja yang tengah berjuang meraih mimpi, apa pun. Bahwa selalu ada hal yang merintangi langkah, dan selalu pula ada jalan lain untuk menuju ke sana. Dan yang paling penting, kita harus selalu bisa berdamai dengan kenyataan.

Rabu, 13 Desember 2017

Review Kumcer: Dua Sejoli



Judul            : Dua Sejoli

Penulis        : IkhsanArdiansyah

Penerbit      : PPMPI Publisher

Editor          : Tim PPMPI

Kover           : Tim PPMPI

Layout         : Tim PPMPI

Cetakan       : Pertama, Oktober 2017

Tebal            : 178 hlm

ISBN             : 9786025422874

Nukilan:
“Pada dasarnya semua orang adalah penulis. Hanya saja mereka perlu mengasah kemampuan dan meningkatkan keterampilan dalam menulis.”_(Ikhsan Ardiansyah_hal 1)

Untuk pertama kalinya saya obrolin buku kumpulan cerita mini komedi. Ini semacam petualangan baru. Jujur, saya sangat penasaran seperti apa penulis menuang ide dalam buku ini.

“Sayang, aku ganteng, tidak?”
“Gaaanteng banget.”
“Terima kasih.”
“Kalau lagi sendiri.”
“Apa?”_(hal 2)

Bagian-bagian awal saya disuguhkan komedi ala-ala rayuan gombal yang sudah marak kita dengar. Namun di sini penulis memberikan pelesetan, jadinya nggak basi.

“Satu tambah satu berapa?”
“Nggak mau jawab. Pasti jawabannya tiga.”
“Yeee ... salah.”
“Terus apa?”
“Tetap satu.”
“Kok bisa?”
“Soalnya satu cinta untuk kamu.”
“So sweet. Terus, satu lagi ke mana?”
“Buat dia.”
“Maksudmu cewek lain?”
“Ups.”
Plakk! Sandal melayang._(hal 22-23)

Harus saya akui, buku berkonsep sederhana ini kaya akan tema.

“Yang, aku baca status para penulis, mereka mengeluhkan penerbit abal-abal. Itu penerbit apa ya?”
“Penerbit abal-abal itu penerbit yang suka main bola. Tendang sana tendang sini.”_(hal 40)

Saya salut dengan kejelian penulis memetik ilham dari situasi apa pun. Dan hasilnya memang lucu. Hehehe ....

“Kira-kira jadi nih lebaran besok?”
“Kayaknya tidak jadi, deh.”
“Loh, memang sudah diumumkan sidang isbatnya?”
“Sudah. Katanya dipending bulan depan. Soalnya belum beli baju lebaran.”_(hal 42)

Asyik sekali membaca buku ini. Ada sensasi yang tidak ditemukan di buku lain. Meskipun cuma cerita mini, penulis tak lupa mengingatkan pentingnya bersikap nasionalis.

“Yang, kunci inggrisnya dong.”
“Sayang, kamu ini pintar melucu. Kita ini lagi di Indonesia. Harusnya kamu pakai kunci Indonesia. Lagipula kamu itu orang Indonesia, masa suka yang inggris-inggris? Mana jiwa nasionalismemu?”
“Kamu itu ngomong apa, sih, Sayang? Yang kamu pegang itu namanya kunci inggris!”_(hal 93)

Di samping itu, sudut agamawi pun tak dilupakan.

“Berarti dia kayak mi kemasan. Serba instan. Kita doakan, ya, Sayang, semoga dia masuk surga secara instan. Tidak perlu beribadah, beramal sholeh dan berbuat baik pada orang.”_(hal 109)

Makin ke belakang buku ini semakin lucu saja, ketika penulis menggunakan peribahasa lawas sebagai ide dasar cerita.

“Yang, renang, yuk.”
“Renang di mana?”
“Bagaimana kalau di kolam belakang rumah temanku. Gratis. Tidak usah bayar.”
“Yang di kampung sebelah itu? Tapi kan airnya keruh.”
“Tidak apa-apa. Nanti kan kita bisa sambil memancing.”
“Memang ada ikannya?”
“Kan ada peribahasanya. Memancing ikan di air keruh. Berarti di air keruh banyak ikannya. Iya, kan?”_(hal 124)

Yang tak lupa saya soroti, penulis juga mampu menuang cerita dari hal-hal kecil, yang mungkin tidak terpikirkan oleh penulis lain.

“Yang, lihat deh kucing itu, mereka bermain pasir berdua. Romantis banget, ya.”
“Romantis apanya. Mereka bukan lagi bermain pasir, tapi siap-siap mau buang hajat! Dasar peak!”_(hal 140)

Selebihnya, segera miliki saja buku ini dan bersiaplah untuk terpingkal-pingkal. Hehehe ....

_*_

Review:
Upaya menghibur diri benar-benar berhasil dengan membaca buku ini. Secara garis besar buku ini berisi rangkuman interaksi dua sejoli gokil yang entah bermukim di mana. Bahasanya sangat keseharian, meski ada beberapa cerita yang lucunya agak maksa.

Menurut saya ini semacam spontanitas yang menemukan wadah kreatif yang tepat. Serapan dari segenap realita kehidupan yang dikemas apik dengan tujuan yang jelas, menghibur. Penyalurannya sungguh positif.

Meski buku ini mengambil potret kehidupan sehari-hari, menurut saya temanya cukup luas. Penulis meleluasakan diri membahasakan apa pun. Perasaan saat membacanya jadi campur aduk. Kadang gemes, melongo, geli, dan banyak lainnya.

Namun, pengulangan tema untuk beberapa cerita menurut saya kurang efektif. Bahkan, ada beberapa cerita yang nyaris sama persis.

Overall, buku ini bisa banget menemani aktivitas kita sehari-hari. Maksudnya gini, bisa dibaca sambil nunggu antrean, atau saat terjebak macet. Daripada bersungut-sungut tidak jelas, kan?

Jumat, 08 Desember 2017

Review Novel: Head Over Heels


Judul            : Head Over Heels

Penulis        : IndahHanaco

Penerbit      : Histeria

Editor           : Sony Adams

Kover            : Janat Tajri

Cetakan        : Pertama, Oktober 2017

Tebal             : 390 hlm

ISBN              : 978-602-6673-80-0

Blurb:
Mereka punya cerita patah hati sendiri yang tidak tersembuhkan oleh waktu. Hingga mereka bertemu di Pulau Nias, di suatu dini hari. Pagi yang belum merekah sempurna itu menjadi awal kisah serupa benang kusut yang menautkan Milo dan Btari.

Keduanya bertengkar dan saling bantah tak kenal musim. Sampai di titik jenuh yang menjungkirbalikkan semua. Btari dan Milo tak pernah menduga, cinta bisa menaklukkan keduanya.

_*_

Alur Cerita:
Entah bagaimana mulanya cinta yang teramat agung tumbuh di hati Btari untuk Felix, tetangganya yang kemudian menetap di San Diego setelah menyelesaikan pendidikan. Sepintas, mengingat sosok Felix yang rupawan, mungkin mudah menemukan jawabannya. Namun lebih daripada itu, Btari punya alasan tersendiri.

Jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, Btari hanya ingin punya kesempatan bisa menunjukkan perasaannya. Mungkin ia akan punya sedikit keberanian setelah tumbuh dewasa. Namun sebelum itu terjadi, Felix telanjur menetap di San Diego.

Celakanya, sosok Felix perlahan-lahan meracuni kehidupan asmara Btari yang tak pernah langgeng. Semua pria yang dekat dengannya dibanding-bandingkan dengan Felix. Terakhir Keenan, yang sebenarnya memenuhi standar untuk menjadi pria idaman wanita.

“Felix sangat menyerupai hantu, menyelinap dalam setiap kesempatan saat aku bersama pacarku. Meski cuma berupa gema nama dan bayangan yang tidak nyata belaka. Aku putus asa saat tahu aku tak mampu melupakannya. Padahal, kami tidak punya hubungan spesial yang bisa dikenang.”_(hal 22)

Btari harus menjalani episode baru patah hatinya, sebab Felix akan bertunangan di sana, dan segera menikah.

Berbeda dengan Btari, Milo punya kasus patah hati sendiri. Ia sengaja sekolah, lalu bekerja di Sidney demi meninggalkan Jakarta, kota yang melatarbelakangi kisah suramnya bersama Anneke. Namun suatu hari ia kembali. Selain menerima tawaran kerja, memenuhi keinginan orangtuanya, ada alasan lain yang sulit dijabarkan.

Lalu, kedua insan dengan cerita patah hati masing-masing itu dipertemukan di Pulau Nias. Percayalah, pertemuan mereka terlalu buruk untuk ukuran pertemuan pertama, kejadian konyol yang merembes ke mana-mana. Tapi, di sinilah kisah mereka bermula.

Setelah dipertemukan oleh kejadian konyol di suatu dini hari, ada-ada saja yang membuat hari-hari Milo dan Btari saling bertautan. Perdebatan ringan nan menggelitik pun tak terelakkan. Hal ini membuat selera liburan Btari surut seketika. Hari-hari menyenangkan di Pulau Nias yang dibayangkannya sebelum tiba di tempat itu, menguap entah ke mana. Namun ada hal lain yang membuat Btari takjub, karena sibuk mengurusi kekesalannya pada Milo, ia mampu melupakan Felix. Berhasil melalui beberapa hari tanpa menggemakan nama pria itu, sungguh sebuah prestasi.

Bagi Btari, kejadian dini hari itu cukup mengesalkan dan tidak perlu dibahas. Namu bagi Milo, kejadian itu cukup menyenangkan untuk terus diungkit-ungkit. Dan Tuhan malah membuka jalan untuk itu. Sekembalinya dari Nias, Milo mendapati Btari sebagai salah satu karyawati di kantor barunya. Maka perdebatan menggelitik di Nias sepertinya akan berlanjut di sini.

Menyadari kehadiran Milo sebagai manajer baru di bagian promosi di perusahaan tempatnya bekerja, sungguh bencana bagi Btari. Ia sudah membayangkan betapa tidak menyenangkannya hari-hari selanjutnya di kantor itu.

“Btari mengira dirinya terkena penyakit asma tiap kali melihat Milo. Pria itu, dengan caranya sendiri, telah membuat teror menakutkan untuk Btari. Tiap kali mereka berpapasan, Milo memberikan tatapan--jangan bertindak bodoh kalau ingin rahasiamu aman--yang membuat mual. Btari dengan amat sangat terpaksa cuma mampu menahan kesal.”_(hal 136)

Setiap hari Btari menghindar sepenuhnya, mengusahakan tak ada kontak sedikit pun dengan pemilik nama tak kreatif itu (menurut Btari, nama Milo hanya hasil nyontek merek susu cokekat terkenal). Berbeda dengan Milo, ia malah berusaha mengakrabkan diri dengan gadis yang dipanggilnya anak kecil itu. Bahkan terkadang melangkahi batas atasan dan bawahan.

Entah kenapa naluri untuk menggoda Btari dirasakan begitu kuat oleh Milo. Ada kesenangan tersendiri saat mendapati gadis itu bersungut-sungut. Tingkahnya menggemaskan.

"Milo tidak tahu mengapa dia selalu mendapat dorongan aneh untuk mengganggu Btari dalam berbagai kesempatan. Meski berusaha keras mencari tahu dan bertanya pada dirinya sendiri berkali-kali, tidak ada jawaban yang memuaskan. Monolog panjang di benaknya tidak menghasilkan petunjuk apa pun."_(hal 140)

Sedang Btari, di balik kepasrahan dan ketabahannya digodai Milo bersenjatakan masih kejadian dini hari di Pulau Nias itu, diam-diam tanpa sadar, ia kadang memuji pria yang memang rupawan itu. Terutama senyumnya.

Selain memang sedikit mengesalkan dengan sikap keingintahuan yang tinggi, Btari menghindari Milo hanya karena tidak ingin jadi bahan gosip di kantor. Demi apa coba seorang manajer baru langsung sok akrab dengannya?

Tapi sayang, aksi menghindar Btari sangat dibenci Milo. Ia ingin mereka bersikap normal layaknya orang dewasa yang memang pernah kenal sebelumnya sebelum di kantor itu. Sebenarnya Btari paham, tapi entah kenapa, dekat-dekat dengan pemilik nama tak kreatif itu seolah mengancam keselamatannya. Ketentraman lebih tepatnya.

Maka hari-hari panjang tak mengenakkan bagi Btari, namun menasyikkan bagi Milo dengan segala keusilannya, terus bergulir. Hingga pada titik yang tak disadari keduanya, perlahan-lahan interaksi mereka mulai normal. Dan Btari semakin kehilangan kemampuan untuk menolak apa pun keinginan Milo.

Bagaimana Btari menghadapi semua keusilan Milo? Dan seperti apa hubungan mereka pada akhirnya? Yuk, miliki bukunya dan jadilah saksi betapa menggelitik interaksi keduanya.

_*_

Review:
Dua bab pertama novel ini membuat saya langsung jatuh cinta. Di sana penulis mengawali kisah ini dengan memaparkan struktur patah hati kedua tokoh utama kita yang nantinya bikin gemes dengan segala bentuk interaksinya. Penggunaan POV1 dari masing-masing kacamata tokoh membuat kita lebih cepat mengenal mereka. Opening yang sukses menurut saya. Tidak hanya membangun mood, tapi juga menjadi pondasi yang menjanjikan untuk bangunan cerita yang kokoh.

Secara garis besar kisah ini berputar di sekitar Milo dan Btari, bagaimana awal pertemuan mereka yang tak lazim, hingga cara menyadari perasaan masing-masing yang juga tak lazim. Meski demikian, interaksi keduanya sangat natural. Kalimatnya empuk. Saya banyak menemukan padanan kata yang tak lazim yang membuat jalinan kalimatnya semakin berbobot. Di samping itu, penulis punya banyak detail kecil yang berhasil membuat cerita ini memorable. Contoh kecil, julukan "Pria Bernama Tak Kreatif".

Yang tak lupa saya garis bawahi, setiap bab diawali kutipan yang sukses memicu rasa penasaran dan kecepatan baca. Dan, di salah satu bagian penulis mengenalkan tradisi Bawomataluo. Saya selalu terkesima dengan penulis yang berhasil menuang unsur lokal dalam karyanya. Itu semacam slogan "Saya Indonesia" (apa, sih?). Hehehe ....

Namun, alur cerita terasa agak lamban di tengah-tengah. Beberapa bagian bahkan terkesan jalan di tempat. Mungkin karena saya tipe pembaca yang nggak sabaran dan pengin selalu ada hal baru di setiap lembarnya. Ini soal selera. Hehehe ....
Oh ya, ada cacat produksi yang semoga tidak terjadi di buku lainnya, cukup di buku di tangan saya ini aja. Lumayan mengganggu kenikmatan baca soalnya.

Overall, novel ini cocok banget untuk kamu yang suka roman dengan konflik yang terbilang ringan, tapi berhasil mengaduk-aduk perasaan karena dieksekusi sedemikian apik. Dari sini kita kembali belajar, bahwa sesuatu yang berawalan "C" selalu datang dengan cara terajaib.

Sabtu, 25 November 2017

Review Novel: Autumn Rhapsody


Judul            : Autumn Rhapsody

Penulis        : Amarissa

Penerbit      : Kata Depan

Editor          : Adhista dan Gita Romadhona

Tata Letak  : Wahyu Suwarni

Kover           : Dwi Annisa Anindhika

Cetakan       : Pertama, 2017

Tebal            : 338 hlm

ISBN             : 978-602-6475-39-8

Blurb:
Bagian paling sulit dari mencintai adalah meyakinkan orang yang kau cintai bahwa cinta yang kau miliki benar-benar nyata.

Sepuluh tahun lalu, Keira Schward, gadis rapuh yang kesepian, jatuh cinta pada seorang Damian Alberhart. Pertemuan yang cuma sehari itu, membekas lama, lalu menumbuhkan cinta yang tidak sekadarnya.

Tiba-tiba saja, Damian datang, melamar Keira. Cinta masa remaja yang melekat, membuat Keira langsung menerima lamaran itu. Padahal, dia tidak tahu siapa Damian yang sebenarnya. Dia tidak tahu apa alasan laki-laki itu menikahinya. Dia hanya percaya, cinta yang dia punya tidak akan mengkhianatinya.

Namun, benarkah itu? Benarkah cinta tidak akan membuatmu kecewa, dan justru membuatmu menangis dalam luka? Damian yang dingin, ketus, dan tak berperasaan membuat perempuan itu pelan-pelan kehilangan harapan. Cukup kuatkah cinta yang dia bawa? Atau, memang sedari awal, dirinyalah yang salah menilai cinta.

_*_

Nikmati Autumn Rhapsody, sebuah cerita yang akan membawamu berkelana ke setiap sudut Frolonberg, sebuah kota yang dipenuhi jingganya dedaunan maple pada musim gugur. Cerita yang membuatmu bertanya-tanya lagi tentang pengkhianatan, permusuhan, dan keberanian untuk terus percaya dan memperjuangkan cinta yang sebenarnya.

_*_

Alur Cerita:
Agak aneh memang, gadis berusia 24 tahun tapi belum pernah sekali pun punya kekasih. Bagaimana bisa punya kekasih, keluar rumah saja sangat jarang. Hal ini tentu saja membuat kedua orangtua Keira khawatir. Mereka ingin putri mereka segera menikah dan bahagia.

Meski jarang keluar rumah, namun kecantikan Keira tersiar ke mana-mana. Semua kolega bisnis papanya tahu. Mereka pun bergiliran mengajukan lamaran untuk menjadikan Keira menantu. Di samping tertarik dengan kecantikan Keira, bermenantukan putri keluarga Schward dapat memperkuat bisnis mereka.

Namun sayang, Keira tak sekali pun tertarik. Ia menolak semua lamaran yang datang, bahkan sebelum bertemu laki-laki yang hendak melamarnya.

Keira tak pernah bermaksud menutup diri, cintanya hanya telanjur tertawan sepenuhnya di masa remaja. Semua berawal dari kenekatannya ikut outbound yang sebenarnya tidak diperkenankan untuk penderita asma sepertinya. Kenekatan itu berujung di tepi jurang, tempat hidupnya nyaris berakhir dengan cara mengerikan. Untung ada Damian, cowok bermata hazel yang sejak pandangan pertama berhasil menghangatkan hati Keira. Cowok itu bahkan mempertaruhkan nyawanya demi menyelamatkan Keira. Memberi semangat ketika Keira hampir menyerah. Juga bersedia menggendong ketika Keira tak kuat berjalan akibat kakinya dirobek akar pohon.

“Entah mengapa, hangatnya punggung Damian membuatnya nyaman. Samar-Samar, ia menghirup wangi tubuh Damian, lalu menyandarkan wajahnya pada punggung kokoh milik cowok itu. Rasanya, ia sangat terlindungi.”_(hal 23)

Jika sudah seperti itu, gadis mana yang tidak jatuh hati? Keira mulai merasakan sesuatu tumbuh di hatinya dengan cara paling ajaib.

Rasa itu bertahan, meski bertahun-tahun Keira tak pernah lagi melihat pemilik mata hazel itu. Setiap malam ia berdoa, agar suatu saat mereka dipertemukan lagi.

Doa Keira terjawab setelah sepuluh tahun, ketika seorang pria misterius tiba-tiba datang melamarnya. Meski penampilannya jauh lebih dewasa dibanding ketika ia menyelamatkan Keira di tepi jurang waktu itu, tapi Keira sangat mengenali mata hazelnya.

Berbagai pertanyaan berkecamuk di benak Keira. Untuk apa Damian melamarnya? Jika benar ia juga menyimpan perasaan serupa yang dipelihara Keira, ke mana ia sepuluh tahun ini?

Keira menerima lamaran Damian tanpa pertimbangan apa pun. Yang ia tahu, laki-laki itu telah menyelamatkan nyawanya sepuluh tahun silam. Tentu saja hal ini membuat kedua orangtuanya terenyak. Mereka berkali-kali mengenalkan laki-laki yang latar belakangnya lebih jelas, tapi ditolak mentah-mentah. Laki-laki yang entah siapa ini, malah diterima Keira.

Pernikahan pun dilangsungkan tak lama setelahnya. Namun, entah kenapa Keira tak menemukan Damian yang sehangat dulu.

“Keira melirik sosok tampan yang berdiri di sampingnya. Orang yang telah dia rindukan selama sepuluh tahun itu sekarang benar-benar sudah menjadi suaminya. Namun, entah mengapa, sosoknya terasa asing dan jauh. Sekelebat ragu menyusup di hati Keira, benarkah keputusan yang sudah ia ambil?”_(hal 40)

Setelah menikah, Damian membawa Keira ke kediamannya di Frolenberg. Di rumah mewah itu, Keira sungguh merasa asing. Terlebih sikap Damian yang dingin, cuek, bahkan sama sekali tak memosisikannya sebagai istri. Sosok Damian menjadi sangat misterius.

Beruntung ada Margareth, pelayan pribadi Damian, yang sedikit banyak mengusik kesepian Keira. Selain perempuan paruh baya itu, ada juga Daniel, sahabat sekaligus rekan bisnis Damian. Ketika Damian terasa asing dan jauh, Daniel justru lebih cair dan bersahabat. Bersamanya, Keira merasa lepas, nyaman, dan lebih leluasa berekspresi. Sedang Daniel, merasakan hatinya mulai menghangat saat bersama Keira.

Berawal dari album foto keluarga yang tidak sengaja ditemukan Keira, juga cerita singkat dari Daniel, misteri kehidupan Damian perlahan-lahan terkuak.

Terjadi hal buruk kepada Margareth yang membuat Damian sangat terpukul. Sepi dan kehilangan menghimpit di saat bersamaan. Bagi Damian, Margareth bukan sekadar pelayan, melainkan ibu. Ketika ia tak mendapatkan kasih sayang dari ibu yang sesungguhnya, Margareth memberikannya dengan tulus.

Keira terjebak antara bayangan cinta masa lalu dan kepicikan watak Damian. Orang yang ia rindukan selama sepuluh tahun, kini menempatkannya pada situasi yang rumit. Keinginannya mendapatkan kepastian berbuah pengakuan yang sungguh di luar dugaan. Kini Keira harus bertahan agar situasi tidak semakin kacau.

“Keira melepaskan cincin yang melingkar di jari manisnya, lalu meletakkannya di atas meja. Refleksi dari rasa putus asa terhadap pernikahannya yang semu belaka.”_(103)

Seiring berjalannya waktu, Keira merasa mulai mendapatkan perhatian dari Damian. Bahkan lelaki itu memanggilnya dengan nama kecil. Tapi Keira tidak begitu menanggapi, sebab ia paham betul bagaimana Damian merancang pernikahan mereka.

Bagaimana kelangsungan hubungan mereka? Apa yang direncanakan Damian sesungguhnya? Segera miliki bukunya dan baca sendiri, ya. Penulis punya kejutan besar untukmu. Hehehe ....

_*_

Review:
Tampilan novel ini teramat manis. Mulai dari kover, layout, hingga bookmark. Dan sejujurnya saya penasaran dengan wajah si model perempuan yang hanya terlihat setengah. Hehehe ....

Menurut saya novel ini menduduki zona aman, dalam artian berpotensi disukai oleh pembaca penyuka genre apa pun. Cara bertutur penulis berada di titik tengah, kadang terasa populer, kadang juga agak puitis. Penulis pandai mengajak pembaca berkelana dalam ceritanya dengan penggambaran suasana yang teramat jelas namun tidak membosankan. Setting LN natural dan sungguh hidup dengan sentuhan perkebunan gandum dan peternakan kuda di salah satu bagian.

Dari awal yang menjadi daya pikat novel ini adalah sikap dingin Damian yang seolah menyimpan sejuta misteri, yang pada akhirnya begitu menarik untuk dicari tahu dan memang berhasil menaik-turunkan suhu cerita. Diimbangi dengan kepolosan Keira yang teramat yakin dengan cinta yang menguasai hatinya selama bertahun-tahun. Selain itu, penulis jeli menebar poin-poin manis yang diam-diam saling terangkai dan menjadi pembangun cerita, memastikan pembaca membaca hingga akhir.

Saya juga suka kemunculan flash back yang bikin makin gemas, menjadikan konflik cerita semacam kepingan puzzle yang berserakan lalu tersatukan perlahan-lahan. Meski terkesan lompat-lompat, tapi penulis berhasil menarik ulur rasa penasaran dari situ. Semua kerumitan yang begitu menyesakkan terselesaikan dengan baik dalam bingkai twist yang sungguh di luar dugaan. Saya sampai melongo. Begitu banyak kejutan yang disembunyikan penulis. Pokoknya, saya suka banget.

Menurut saya kekurangan novel ini hanya pada pemborosan kata di beberapa bagian. Biasanya di narasi opening bab.

Overall, novel ini cocok banget untuk kamu yang mencari kisah rumit bersetting LN namun ditulis oleh penulis Indonesia. Bertabur quote ringan, manis, namun membekas. Yang paling penting, novel ini akan memperlihatkan bagaimana ketulusan akan meruntuhkan dinding sekuat baja sekali pun.

Kamis, 23 November 2017

Review Novel: Dream If



Judul            : Dream If

Penulis        : RedyKuswanto

Penerbit      : Diva Press

Editor           : Muhajjah Saratini

Kover           : Amalia

Cetakan       : Pertama, November 2017

Tebal            : 268 hlm

ISBN             : 978-602-391-467-8

Blurb:
Mimi Tarmiyah memang sok cantik. Sejak kecil dia ingin menjadi artis. Alasannya cukup sederhana; ingin terkenal, memiliki banyak uang, hidup mewah, serta memiliki seabrek fan yang memuja-mujanya. Kini, usia Mimi sudah mendekati tujuh belas tahun. Ini waktu yang tepat untuk mewujudkan mimpi, menjadi artis. Seperti idolanya, Titin Tumina Hona.

Valdo melihat kesempatan saat melihat ambisi Mimi. Bersama Brian, ia memberi kesempatan Mimi untuk mrngejar impiannya di Jakarta. Mimi bersedia ikut, mengabaikan nasihat ibunya; kekasihnya Engkos; dan sahabat-sahabatnya.

Mimi si gadis desa, harus mengakui kerasnya perjuangan di ibu kota. Menghadapi kegagalan dua kali, Mimi jadi ragu. Apakah ia akan melupakan mimpinya dan kembali ke desa, atau tetap bertahan karena impian harus diperjuangkan?

_*_

Alur Cerita:
Setelah memenangkan sebuah kuis, Mimi berkesempatan bertemu dengan artis idolanya, Titin Tumina Hona. Di hari pertemuan, sejak subuh ia sudah heboh mempercantik penampilan.

“Sejak subuh, entah sudah berapa puluh kali dia berkaca mematut diri. Dia tak sadar, berapa banyak waktu yang terbuang hanya untuk penampilan yang sempurna. Entah sudah berapa puluh kali ia berganti pakaian. Dari hitam hingga merah. Dari bunga-bunga hingga garis-garis. Dari celana jin hingga rok panjang. Dari kebaya hingga yukensi. Semua belum ada yang dirasa pas di badannya.”_(hal 25)

Belakangan ini Mimi suka meniru Titin. Dari model busana hingga gaya rambut semua ia copy paste. Alasannya sederhana, agar bisa tampil secantik artis pendatang baru itu. Syukur-syukur ketularan nasib baiknya.

Padahal tidak semua yang dikenakan Titin yang memang sudah cantik dari sananya, cocok untuk Mimi. Hal ini sering dikeluhkan Engkos, pacar Mimi, tapi tidak diindahkan.

Saat ini fokus Mimi hanya satu, ingin seperti Titin, yang tampak sangat mudah jadi artis. Hanya berawal dari youtube, tiba-tiba ia jadi idola baru yang dibicarakan semua orang. Mimi hanya tidak tahu, di samping faktor luck, Titin memang punya bakat emas. Sedang ia, sama sekali tidak memiliki sesuatu yang mumpuni untuk merambah dunia entertainment.

Setelah bertemu dan bercengkerama langsung dengan Titin, Mimi tak pernah bosan menceritakan pengalaman berharganya itu ke teman-teman di sekolah. Dari sana pun ia semakin berambisi untuk bisa seperti Titin. Dalam hati Mimi bertekad, akan melakukan apa pun demi mewujudkan impiannya.

Dan tiba-tiba impian itu terasa semakin dekat ketika laki-laki bernama Valdo muncul dan mengajukan tawaran istimewa untuk Mimi. Ia mengenalkan diri sebagai agen artis dan pemilik manajemen yang khusus mengorbitkan artis-artis pendatang baru.

Tanpa Mimi tahu, Valdo memang sudah mengamatinya di hari kedatangan Titin.

“Dia adalah lahan baru yang tak boleh diabaikan. Harus ada yang membantu mewujudkan keinginan cewek kampung yang ambisius itu.”_(hal 60)

Tapi sayang, tak seorang pun yang mendukung keinginan Mimi untuk berangkat ke Jakarta menuruti ajakan Valdo. Termasuk Amah dan Engkos. Mimi jadi kesal bercampur sedih. Menurutnya, tawaran istimewa dari Valdo adalah kesempatan emas yang tidak boleh disia-siakan.

Valdo mengutus Brian, pemuda tampan dan terlihat santun, untuk menjemput Mimi. Pada akhirnya Mimi berangkat ke Jakarta, mengabaikan nasihat Amah, Sahabat, terlebih Engkos.

Setibanya di Jakarta, Mimi tak berkedip memandang suasana kota yang sangat berbeda dengan desanya. Mulai dari tugu, air mancur, gedung-gedung tinggi, semua tampak indah di mata Mimi. Meski masih ada sedikit rasa takut dan keraguan, namun Mimi merasa impiannya semakin dekat.

“Jujur, Mimi merasa ragu dan takut. Namun impian untuk menjadi cewek terkenal, kaya, dan dielu-elukan banyak orang begitu menguasai pikirannya. Ini semua membuat tekadnya semakin kukuh dan bulat. Pergi dari Baranangsiang adalah satu-satunya cara untuk meraih semua mimpi.”_(hal 90)

Brian mengantar Mimi menempati salah satu kamar di Guest House Bima Sakti. Setelah beberapa hari tanpa kabar dari Valdo, Mimi mulai merasa bosan dan kesepian. Untung ada Brian yang sesekali mengajaknya jalan-jalan. Di sinilah kesetiaan Mimi kepada Engkos diuji, sebab Brian terang-terangan mengaku suka padanya.

Hingga suatu hari, tiba saat yang dinantikan Mimi. Brian mengajaknya bertemu dengan Pak Alex, salah seorang agen artis kelas kakap. Namun sebelum itu, Mimi harus mengubah penampilan biar lebih menarik dan meyakinkan.

Bagaimana hasil pertemuan itu? Benarkah Pak Alex akan mengorbitkan Mimi? Segera miliki bukunya dan baca sendiri, ya. Hehehe ....

_*_

Review:
Membaca novel ini berasa menikmati air pegunungan langsung dari sumbernya. Dalam artian, kita sebagai pembaca dimanjakan dengan tulisan yang rapi, tertata, terpola, pokoknya nggak ada yang bikin kening berkerut tiba-tiba. Suasananya benar-benar hidup.

Meskipun agak spoiler, saya suka prolognya yang menghentak dan memicu rasa ingin tahu konflik utama dalam cerita ini.

Cerita ini berangkat dari Desa Baranangsiang tempat Mimi dengan segudang impiannya berada. Menonjolkan sisi pedesaan yang kental, dibalut pribadi Mimi yang unik dan agak kocak, membuat novel ini cukup menghibur.

Saya kagum dengan keberanian penulis mengusung cerita ini di tengah maraknya novel-novel remaja ber-setting luar negeri. Konfliknya pun sangat natural, logis, sama sekali tidak ada yang dipaksakan.

Menurut saya, ini novel teenlit yang sangat timpang dengan yang lainnya. Jika kebanyakan teenlit isinya terasa cengeng dengan pembahasan seputar cinta yang gitu-gitu aja, novel ini justru menebar pesan moral di setiap babnya. Banyak sekali, tergantung kejelian kita memaknai cara penulis bertutur. Misal, pentingnya mendengarkan nasihat orangtua. Terlebih dengan kemunculan Pak Jaka dan petuahnya di bagian akhir, semacam penegasan bahwa di tengah kehidupan yang semakin liar, masih ada segelintir orang berhati malaikat.

Oh ya, meski tidak begitu dominan, saya suka persahabatan yang ditunjukkan Engkos dan Badot, bahwa di sisi tertentu kehidupan seseorang, selalu ada peran sahabat di sana.

Sayangnya, alurnya agak mudah ditebak dan kemasannya kurang fresh untuk kalangan remaja. Contoh kecil, menjadikan Evan Sanders sebagai perumpamaan yang mirip Brian, padahal banyak idola remaja yang lebih kekinian. Maksudnya gini, saya menyayangkan jika novel ini gagal menembus remaja-remaja yang merupakan target pembaca utamanya, karena inti sarinya mantap jiwa, benar-benar alarm yang dibutuhkan kid zaman now.

Overall, novel ini cocok banget untuk siapa pun yang haus ketenaran. Untuk jadi terkenal, ternyata nggak harus cantik/tampan, terlebih sampai meniru gaya orang lain. Dan yang paling penting, impian harus diwujudkan dengan cara berjuang sungguh-sungguh, tidak instan.

Minggu, 19 November 2017

Review Kumsi: Nyanyian Ranting Kayu



Judul            : Nyanyian Ranting Kayu

Penulis        : Sahyul Padarie

Penerbit      : Guepedia

Editor           : Guepedia

Kover           : Guepedia

Tebal            : 207 hlm

ISBN              : 978-602-443-058-0


Blurb:
Aku takut bila air mata Ibu menetes dunia ini akan harum selamanya
"Berhentilah menangis, Bu,"
Ibu menimba kembali air matanya yang telah tumpah
"Bu, bukankah engkau yang pernah mengatakan kepadaku, bahwa ilmu itu cahaya, jadi, tak selamanya kan cahaya itu bersinar di gedung sekolah, bisa jadi di tempat sampah."

Pelukan erat langsung hinggap di tubuhku
Ternyata itu pelukan Ibu.
(Dalam puisi Kutenteng Sepatuku Pulang)

_*_

Oh, pelitaku sekarang
Kuakan menjadi pengganti sumbumu
Janganlah engkau menyala tanpa bercahaya
Karena akulah yang akan menjelma menjadi sinarmu
Dikala pelita lain lebih terang darimu
(Dalam puisi Baktiku Wahai Pelita)

_*_

Jika masih ada cinta yang bercahaya di jiwa ini
Kenapa tidak mengubur saja benci yang menggelapkannya?
Kenapa? Kenapa? Kenapa?
(Dalam puisi Jika dan Kenapa)

Terkadang ranting-ranting kayu hanya bergelantung di dahan pohon, kemudian patah dihempas angin rindu, ranting-ranting itu pun tergeletak di tanah. Sampailah pada akhirnya embun menemani dan memungutinya, menjadi puisi-puisi yang terhimpun dalam buku ini.

_*_

Nukilan:
Sebagai awalan, saya disajikan puisi-puisi bertema sosial yang disampaikan dengan lantang, berani, dan jujur.

"Kenapa tidak dinaikkan juga
Harga tiket pesawat
Agar penyelundup narkoba
Perlu berpikir untuk masuk ke negeri ini?
Kenapa tidak dinaikkan juga harga minuman keras
Agar pemabuk perlu berpikir untuk meminumnya?
Aku hanya bertanya
Namun bukan pemabuk
Dan penyelundup narkoba"_(Dalam puisi Seorang Perokok Awam_hal 16)

Namun di samping itu, buku ini juga tak luput dari nuansa romantis.

"Akulah yang menjadi kekeringan itu
Aliri aku dengan lembutmu
Basahi aku dengan kecupmu
Biar aku sendiri yang meresapkannya
Ke dalam hatiku pun sanubariku"_(Dalam puisi Hanyut dalam Bening_hal 22)

Sejauh ini saya cukup terhibur. Namun, ini baru lapisan luarnya. Perjalanan kita masih panjang.

Sampai di sini saya merasakan segumpal keresahan yang coba disuarakan penulis. Mungkin semacam kejenuhan akan hal yang terus menerus berotasi di poros yang sama, atau hal lain yang hanya ia yang tahu.

"Kumeminumnya
Namun tak menghabiskannya
Agar pahit itu akan tetap kucoba
Sampai akhirnya akan kuhabiskan
Beriringan habisnya hidupku juga"_(Dalam puisi Masih Ada Kopi yang Tersisa_hal 26)

Pada buku beraroma kayu ini penulis benar-benar menuhankan keleluasaan, berekspresi seliar mungkin. Tapi tetap, nadanya tak jauh-jauh dari kehidupan sehari-hari.

"Apa dan siapa
Yang melarangku mengarang bahagia
Bersajak-sajak indah
Menghapus ingatan duka
Apa dan siapa sebenarnya"_(Dalam puisi Kepada Apa dan Siapa Kuresah_hal 59)

Buku ini semakin menarik saja. Hanya melalui bait-bait puisi, ada kiasan cerita yang mengalun nyata.

Meski puisi yang termaktub dalam buku ini mencakup beragam tema, yang saya rasakan tetap keresahan sosial sebagai pilar utama.

"Tertulis di baliho itu
"Rapat kerja pemberdayaan pedagang kecil"
Aku membacanya terbata-bata
Tulisan itu tak membuat gerobakku menjadi mobil
Sudahlah....
Yang penting aku tak kedinginan lagi"_(Dalam puisi Penjual Air Tahu Depan Kantor Gubernur_hal 146)

Di bagian-bagian akhir ternyata penulis menyediakan beberapa ruang untuk menuang quotes yang sayang banget untuk dilewatkan.

"Bukalah lembaran-lembaran kenangan malam ini, masih ada harapku yang tertulis di lembaran terakhir"

"Yang terlihat dalam khayalan hanyalah susunan harapan, membentuk tembok penghalang ketidaksepadanan"

"Pulanglah ke dalam lamunan kenangan, di sana mengalir sejuknya harapan"

"Harapku hanya mencoba membalut khayalan dengan keindahan, sebagai cara menyembunyikan ungkapan"

(Serangkum quote penulis_hal 161)

Unik, ya, buku ini? Segera miliki saja untuk menikmati keseluruhan isinya.

_*_

Review:
Ketika sebuah tulisan lahir dalam bentuk buku, tentu saja tampilan fisik memegang peranan penting. Menurut saya, desain kover, judul, dan isi buku ini sangat mecing. Terlebih setelah membaca filosofi judul yang tersirat di back kover. Kata penulis, kalimat puisinya dipungut dari ranting kayu yang jatuh ke tanah, atau pun ilalang layu, wajar jika temanya tak jauh-jauh dari ruang lingkup sosial.

Puisi pertama langsung menohok, ada nada haru di sana. Ditempatkan paling depan mungkin sebagai booster, agar pembaca penasaran dengan puisi-puisi selanjutnya.

Diksi yang digunakan sederhana, saya tidak menemukan banyak hal baru, tapi oleh penulis dikawinkan dengan kondisi real di sekeliling kita hingga melahirkan bait-bait yang aduhai maknanya.

Namun terlepas dari semua itu, keasyikan saya berselancar menerjemahkan maksud tiap-tiap puisi agak terganggu dengan typo yang nyempil di beberapa bagian. Selain itu penggunaan "ke" dan "di" sebagai kata depan maupun imbuhan juga harus lebih diperhatikan.

Overall, buku ini cocok buat penikmat puisi yang menginginkan pementasan sosial di dalamnya.

Rabu, 15 November 2017

Review Novel: Rainbow After The Rain (Love in Moscow)



Judul            : Rainbow After The Rain (Love in Moscow)

Penulis        : Angelique Puspadewi

Penerbit      : Gramedia Pustaka Utama

Kover           : Orkha Creative

Cetakan       : Pertama, 2017

Tebal            : 218 hlm

ISBN             : 978-602-03-7810-7

Blurb:
Arabel adalah korban terorisme yang mendendam. Suatu hari, gadis yang berprofesi sebagai penulis ini ditantang editornya menulis kisah bertema terorisme.

Semua berawal dari kedatangan sepupu Arabel, Reno dan Sarah, untuk bulan madu di Rusia. Reno membawa sahabatnya, Dimitri, yang perlahan tapi pasti membuat Arabel sadar bahwa teror adalah sifat manusia yang tidak terkait agama mana pun.

Seiring waktu, Arabel jatuh cinta pada Dimitri. Pria itu dan riset penulisan menjadi alasannya datang ke Bali. Padahal sejak kejadian Paddy's, Arabel bersumpah tidak akan menginjakkan kaki ke Pulau Dewata. Di tempat itu pula semua kesakitan kembali datang. Dimitri membongkar rahasia besar yang menjungkir-balikkan dunia Arabel.

Akankah Arabel menerima Dimitri dan masa lalunya seperti pelangi yang datang setelah hujan?

_*_

Alur Cerita:
Masa lalu membuat Arabel tumbuh jadi gadis pendendam pada apa yang seharusnya ia yakini. Ia kecewa pada Tuhan, sebab merasa doanya diabaikan. Ia memilih mangkir dari kewajibannya sebagai muslim, bahkan hendak berpindah keyakinan kalau saja Mom tidak kukuh mencegahnya. Jalan satu-satunya adalah menemukan pria non muslim religius yang bisa meyakinkan Mom. Sayang, sejauh ini pria-pria yang dipacarinya ilmu agamanya sangat dangkal.

Di tengah usaha Arabel untuk pindah keyakinan, sepupunya, Reno dan Sarah, datang ke Moscow dalam rangka bulan madu. Mereka tidak hanya berdua, Dimitri bersama mereka, pria alim yang mampu menarik perhatian Arabel di menit pertama. Arabel harus mengakui daya pikat pria melayu tapi bernama ala-ala Rusia itu. Tapi saat dia hanya menangkupkan tangan di depan wajah ketika Arabel mengajaknya bersalaman, juga saat bertanya arah kiblat di luar waktu shalat wajib, membuat Arabel risi. Menurutnya terlalu alim.

Tidak cukup hanya Dimitri, Sarah pun yang merupakan muslimah sejati membuat Arabel gerah. Bahkan sekadar melihat penampilannya yang berhijab mengingatkannya pada peristiwa kelam belasan tahun silam. Melalui dua tamu alimnya itu, perlahan-lahan Arabel mendapatkan pencerahan tentang apa yang salah di pandangannya selama ini.

“Kita boleh berkelana ke mana saja. Menjelajah bangunan-bangunan bersejarah di muka bumi, tetapi kita tetap harus pulang ke rumah Allah. Masjid adalah rumah batin kita meminta makan. Agar tidak lapar, kita harus melakukannya lima kali sehari. Jadi lahir sehat, batin pun sehat.”_(hal 18)

Sejujurnya Arabel tidak suka apa pun yang coba diterangkan Sarah dan Dimitri. Ia tidak butuh, kecuali untuk keperluan riset novelnya. Sebagai seorang penulis, kali ini Arabel menerima tantangan dari editornya untuk menulis novel bertema terorisme. Bagi Arabel, hal ini sama saja mengulik luka lama.

Arabel merasa aneh ketika hatinya bergetar saat lamat-lamat mendengar Dimitri melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran. Bahkan saat melihat pria itu mengimami keluarganya shalat berjamaah, Arabel sampai mengeluarkan air mata tak keruan.

"Hati Arabel tergetar. Rasa hangat menjalar hingga kerongkongan dan kelenjar air matanya. Setetes air mata menitik tanpa Arabel sadari. Ada kerinduan yang mendadak hinggap dan meremas hati, namun Arabel tidak tahu kepada siapa."_(hal 43)

Perkataan Dimitri, masa lalu bersama Dad, hingga ketakutan dan kebencian itu berkejar-kejaran di kepala Arabel. Untunglah, pada akhirnya Arabel paham apa yang harus ia putuskan.

Setelah tamunya pulang, Arabel mencoba mulai fokus menyiapkan kerangka tulisannya. Agak susah memang, sebab diantarai pergolakan batin yang belum sepenuhnya bermuara, jua rindu yang diam-diam terbit untuk Dimitri. Ditambah lagi kedatangan surel misterius yang menyentakkan seluruh tubuh Arabel.

Disamping untuk riset penulisan, rasa penasaran akan sosok Dimitri membawa Arabel ke Indonesia. Seminggu di Rusia, pria itu berhasil mencuri lebih banyak keingintahuannya.

12 tahun Arabel tidak menginjakkan kaki di Indonesia, meski Mom dan adiknya hampir setiap tahun mengunjungi kerabat mereka di Jakarta. Semua karena ketakutan dan kebencian itu. Tapi karena Dimitri, Arabel berhasil melaluinya.

Degup sisa-sisa trauma dan setumpuk rasa aneh akan bertemu Dimitri menyesaki dada Arabel. Namun insiden kecil membuat pertemuannya dengan pria itu tertunda beberapa hari.

Hari pertemuan pun tiba, yang berujung pada ajakan ke Bali. Seluruh tubuh Arabel menegang seketika. Di sanalah kesakitan itu bermula, di sanalah tragedi itu terjadi, di sana pula awal mulanya Arabel meragukan Tuhan. Tapi sekali lagi, Dimitri berhasil membuat Arabel melangkahi ketakutannya.

"Namun sentuhan lembut di pundak meredam bayang ketakutan. Perlahan perasaan tenang menyusup. Arabel membuka mata dan mendapati Dimitri tersenyum lembut padanya. Arabel takjub pria itu berkenan menyentuh pundaknya demi memenangkannya. Meski kulit mereka tidak bersentuhan, tetap saja darah mengalir deras ke jantung Arabel yang kini berdetak cepat."_(hal 135-136)

Nahas, ketika Arabel berhasil menyembuhkan luka, memangkas ketakutannya perlahan-lahan, tiba-tiba fakta baru menjungkir-balikkan keadaan.

Apa sebenarnya yang Arabel temukan di Bali? Bagaimana kelanjutan hubungannya dengan Dimitri? Sumpah, novel ini keren banget. Segera miliki bukunya dan buktikan sendiri.

_*_

Review:
Selera baca memang tidak bisa dibohongi. Dan ketika menemukan bacaan yang sesuai, rasanya mirip-mirip cinta pada pandangan pertama. Itulah yang saya rasakan ketika membaca novel ini. Tidak perlu jauh-jauh, saya jatuh cinta di lembar ketiga.

Novel ini segelintir dari sekian bacaan zaman now yang mungkin bisa menyelamatkan generasi muda. Cinta tidak sekadar dipertontonkan, tapi makna dan tujuannya dijabarkan dari berbagai sisi. Kemunculannya pun pas di saat isu agama lagi hangat-hangatnya. Menurut saya ini novel pembangun jiwa yang tidak memaksakan mengambil porsi lebih besar untuk pembahasan seputar agama. Penulis mengupayakan dakwah melalui kegelisahan tokoh dan aktivitasnya sehari-hari. Muslim yang telah membaca novel ini sedikit banyak akan mendapatkan pandangan baru perihal agama/keyakinan secara liberal, seperti yang saya rasakan.

Di samping itu, dari segi cerita juga sangat menarik. Menjadikan tragedi Paddy's sebagai titik keberangkatan cerita membuat novel ini berbeda. Ada pembahasan mengenai teroris yang banyak disalah artikan masyarakat luas. Yang paling saya suka, pergolakan batin Arabel mencari keyakinan sangat mengharukan. Di beberapa bagian saya sampai merinding bacanya. Emosi yang ingin disampaikan penulis tersalurkan dengan baik.

Novel ini juga diperkuat dengan menghadirkan kutipan-kutipan Al-Quran, bacanya bikin adem. Selain itu disinggung juga perihal bagaimana mengatasi trauma dan kekuatan ikhlas dalam mendatangkan kebahagiaan. Komplit banget, deh.

Kurangnya hanya pada beberapa typo yang sangat saya sayangkan untuk karya sebagus ini. Sama satu lagi, kalo ada bagian yang menggambarkan novel terbaru Arabel meledak di pasar Internasional dan Indonesia, pasti lebih keren.

Overall, novel ini cocok banget untuk muda-mudi yang mengaku kekinian, agar lebih mengenal islam dan paham bagaimana harus mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Benar-benar bacaan zaman now. Angin segar di tengah maraknya bacaan yang minim didikan, bahkan terkesan vulgar.

Review Novel: Bellamia



Judul            : Bellamia

Penulis        : Ika Vihara

Penerbit      : Phoenix

Editor          : Kuntari P. Januwarsi

Kover           : Nani Susiani

Cetakan       : Pertama, Agustus 2017

Tebal            : 203 hlm

ISBN             : 978-602-61829-6-8

Blurb:
Amia selalu percaya bahwa karier dan cinta tidak boleh berada dalam gedung yang sama. Interoffice romance lebih banyak membawa kerugian bagi karier seseorang. Sudah banyak kejadian pegawai mengundurkan diri setelah putus cinta dan Amia tidak ingin mengikuti jejak mereka.

Selain di kantor, di mana Gavin bisa bertemu gadis yang menarik perhatiannya? Gavin tidak ada waktu untuk ikut komunitas, tidak bertemu dengan teman kuliah maupun SMA dan lebih banyak menghabiskan hidup di kantor.

Ketika Amia patah kaki dalam simulasi terorisme, Gavin--dengan alasan bertanggung jawab sebagai atasan--mulai membuka jalan untuk mengubah pandangan Amia. Namun Amia mengajukan satu syarat.

Merahasiakan hubungan dari semua orang.

_*_

Alur Cerita:
Amia patah hati ditinggal kawin. Riyad memang berengsek. Katanya cinta, tapi nurut aja sama perjodohan mamanya. Dibantu sang sahabat, Vara, Amia berjuang untuk move on. Sikap Riyad yang masih terus mengusahakan pertemuan demi membahas cinta basinya, agak memberatkan, dan sungguh membuat Amia semakin dongkol.

Di tengah usaha itu, Gavin hadir sebagai big boss barunya di kantor.

“Baru kali ini dia bertemu laki-laki yang sukses membuatnya lupa bagaimana cara bernapas. Apa patung buatan Michelangelo benar-benar bisa hidup dan berjalan? Bagian bibir dan dagu seperti dipindahkan langsung dari wajah David. Rambut hitam legamnya sangat rapi, seperti dua menit lagi dia akan dipanggil masuk ke studio untuk membacakan berita. Matanya yang tersembunyi di dalam tulang dahi dan tulang pipi yang tinggi, menyorot tajam ke arah Amia.”_(hal 9)

Lelaki itu muncul ketika suasana hati Amia masih kacau balau, belum sepenuhnya move on dari Riyad. Jadilah ia terlihat agak jutek, sinis, dan jauh dari kesan sopan untuk ukuran staf biasa saat berhadapan dengan big boss. Namun semua itu justru membuat Amia tampak beda di mata Gavin. Menarik lebih tepatnya.

Awal-awal interaksi Amia dengan Gavin tak bisa dibilang baik. Keberadaan Gavin selalu berpotensi membangkitkan kejengkelan Amia. Selain seksi dan wanginya menyenangkan, Amia belum tahu terlalu jauh soal Gavin. Kondisi hatinya belum stabil untuk merespons lebih keberadaan lelaki berkulit cokelat yang sekarang berstatus atasannya.

Pada sebuah simulasi terorisme, Amia mengalami cedera yang lagi-lagi membuka peluang kepada Gavin untuk memberikan pertolongan, perhatian. Amia tidak suka, tapi Gavin tetap melakukannya. Dan sepertinya kedekatan mereka yang sesungguhnya berawal di sini.

Gavin tak mungkin menghapus masa lalunya yang terbilang buruk di mata wanita mana pun. Semasa kuliah di Amerika, sedikit banyak gaya hidupnya pun beralih kebarat-baratan. Tidur dengan beberapa wanita tanpa meributkan status, dulu sangat lumrah.

Tapi sekarang ada Amia, wanita yang semakin manis dengan hobi marah-marahnya. Dengan Amia, untuk pertama kalinya Gavin memikirkan keseriusan, sama sekali tidak sedang merancang taktik sekadar menggendong wanita itu ke tempat tidur. Sejak pertama kali melihat Amia, Gavin tak pernah tahu alasan pasti kenapa harus menyukai wanita itu setelah melalui banyak petualangan bersama yang lebih seksi di Amerika sana.

“Gavin tidak sedang menuliskan pada selembar kertas apa saja yang dia butuhkan dari seorang wanita lalu memberikan tanda cek jika kriteria-kriteria tersebut ditemukan pada seorang wanita. Dia hanya menyukai Amia. Sesederhana itu.”_(hal 118)

Menaklukkan Amia mungkin tidak begitu sulit, tapi menaklukkan kakaknya beda soal. Pasalnya, Gavin dan Adrien--kakak Amia--pernah tinggal serumah di Amerika. Dalam artian, Adrien tahu banyak masa lalu Gavin, yang menurutnya sangat tidak pantas untuk jadi kekasih adik tersayangnya.

Ini menyulitkan Gavin. Ketika mulai serius mencintai wanita, kenapa pula harus adik sahabatnya? Adrien tentu saja lebih mengutamakan masa depan adiknya daripada memihak padanya.

Di luar posisinya sebagai big boss, pesona Gavin memang sulit ditepis wanita mana pun, termasuk Amia. Amia mencoba. Menurutnya tidak akan mudah berstatus pacar atasan, hanya akan mengganggu kenyamanannya di kantor. Syukur-syukur tidak jadi bahan gosip.

Namun kegigihan Gavin menunjukkan keseriusan pada akhirnya merobohkan pertahanan Amia. Ia berhasil membuat Amia mempertimbangkan kedekatan mereka. Tentu saja dengan satu syarat, yang sebenarnya tidak disetujui Gavin. Tapi tidak jalan lain kecuali menurutinya untuk saat ini.

Awalnya berjalan sesuai kesepakatan, namun seiring berjalannya waktu Gavin mulai gerah, ia menginginkan hal berlawanan. Benih-benih perselisihan pun mulai tumbuh.

“Untuk membuat hubungan tetap berjalan dengan baik, tidak ada rumusnya, tidak ada hukumnya. Tidak ada ilmuwan-ilmuwan besar yang merumuskan dan menyusun hukum untuk masalah cinta. Tidak ada urusan antara gravitasi--yang membuat benda jatuh ke bawah--dengan jatuh cinta.”_(hal 148)

Bagaimana kelanjutan hubungan Gavin dan Amia? Segera miliki bukunya dan baca sendiri, ya.

_*_

Review:
Asyik sekali membaca novel ini. Menikmati sajian kisah interoffice romance yang disampaikan dengan sangat ringan dan sedikit kocak. Kemunculan engineers jadi daya pikat tersendiri, membuat cerita ini berbeda dengan percikan-percikan listriknya. Hehehe ....

Saya suka cara penulis mengenalkan tiap-tiap tokohnya, karakternya mudah dikenali. Konfliknya pun sangat real, keseharian, tanpa drama berlebihan. Nuansanya fresh, benar-benar mewakili kehidupan zaman now. Membacanya seperti mendengar curhatan seseorang, sesekali lupa bahwa ini hanya fiksi.

Menjadikan engineering sebagai salah satu unsur pembangun cerita, membuat novel ini terasa berat di beberapa bagian untuk orang awam. Tapi hal ini jadi nilai plus dengan banyaknya narasi berbobot dan penuh wawasan.

Ada satu bagian yang cukup saya soroti, ketika penulis mematahkan argumen "cemburu tanda cinta". Penulis punya pandangan tersendiri, yang menurut saya, keren.

Hanya saja, plot mengalir lancar tanpa kejutan seperti ini menurut saya berpotensi membosankan. Untunglah penulis mengimbanginya dengan poin-poin plus di atas. Di awal, perihal Riyad yang menikah dengan wanita lain terlalu sering diungkit. Saya juga merasa agak janggal dengan beberapa kalimat setelah dialog yang kesannya menyatu dengan dialog. Mungkin ini salah satu ciri khas penulis, sebab saya belum menemukannya di tempat lain.

Overall, novel ini cocok buat kamu yang mencari sajian roman dengan kemasan anti mainstream. Begitu pun profesi tokohnya. Percayalah, wawasan kita di dunia engineering bertambah setelah membaca novel ini.