Jumat, 08 Desember 2017

Review Novel: Head Over Heels


Judul            : Head Over Heels

Penulis        : IndahHanaco

Penerbit      : Histeria

Editor           : Sony Adams

Kover            : Janat Tajri

Cetakan        : Pertama, Oktober 2017

Tebal             : 390 hlm

ISBN              : 978-602-6673-80-0

Blurb:
Mereka punya cerita patah hati sendiri yang tidak tersembuhkan oleh waktu. Hingga mereka bertemu di Pulau Nias, di suatu dini hari. Pagi yang belum merekah sempurna itu menjadi awal kisah serupa benang kusut yang menautkan Milo dan Btari.

Keduanya bertengkar dan saling bantah tak kenal musim. Sampai di titik jenuh yang menjungkirbalikkan semua. Btari dan Milo tak pernah menduga, cinta bisa menaklukkan keduanya.

_*_

Alur Cerita:
Entah bagaimana mulanya cinta yang teramat agung tumbuh di hati Btari untuk Felix, tetangganya yang kemudian menetap di San Diego setelah menyelesaikan pendidikan. Sepintas, mengingat sosok Felix yang rupawan, mungkin mudah menemukan jawabannya. Namun lebih daripada itu, Btari punya alasan tersendiri.

Jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, Btari hanya ingin punya kesempatan bisa menunjukkan perasaannya. Mungkin ia akan punya sedikit keberanian setelah tumbuh dewasa. Namun sebelum itu terjadi, Felix telanjur menetap di San Diego.

Celakanya, sosok Felix perlahan-lahan meracuni kehidupan asmara Btari yang tak pernah langgeng. Semua pria yang dekat dengannya dibanding-bandingkan dengan Felix. Terakhir Keenan, yang sebenarnya memenuhi standar untuk menjadi pria idaman wanita.

“Felix sangat menyerupai hantu, menyelinap dalam setiap kesempatan saat aku bersama pacarku. Meski cuma berupa gema nama dan bayangan yang tidak nyata belaka. Aku putus asa saat tahu aku tak mampu melupakannya. Padahal, kami tidak punya hubungan spesial yang bisa dikenang.”_(hal 22)

Btari harus menjalani episode baru patah hatinya, sebab Felix akan bertunangan di sana, dan segera menikah.

Berbeda dengan Btari, Milo punya kasus patah hati sendiri. Ia sengaja sekolah, lalu bekerja di Sidney demi meninggalkan Jakarta, kota yang melatarbelakangi kisah suramnya bersama Anneke. Namun suatu hari ia kembali. Selain menerima tawaran kerja, memenuhi keinginan orangtuanya, ada alasan lain yang sulit dijabarkan.

Lalu, kedua insan dengan cerita patah hati masing-masing itu dipertemukan di Pulau Nias. Percayalah, pertemuan mereka terlalu buruk untuk ukuran pertemuan pertama, kejadian konyol yang merembes ke mana-mana. Tapi, di sinilah kisah mereka bermula.

Setelah dipertemukan oleh kejadian konyol di suatu dini hari, ada-ada saja yang membuat hari-hari Milo dan Btari saling bertautan. Perdebatan ringan nan menggelitik pun tak terelakkan. Hal ini membuat selera liburan Btari surut seketika. Hari-hari menyenangkan di Pulau Nias yang dibayangkannya sebelum tiba di tempat itu, menguap entah ke mana. Namun ada hal lain yang membuat Btari takjub, karena sibuk mengurusi kekesalannya pada Milo, ia mampu melupakan Felix. Berhasil melalui beberapa hari tanpa menggemakan nama pria itu, sungguh sebuah prestasi.

Bagi Btari, kejadian dini hari itu cukup mengesalkan dan tidak perlu dibahas. Namu bagi Milo, kejadian itu cukup menyenangkan untuk terus diungkit-ungkit. Dan Tuhan malah membuka jalan untuk itu. Sekembalinya dari Nias, Milo mendapati Btari sebagai salah satu karyawati di kantor barunya. Maka perdebatan menggelitik di Nias sepertinya akan berlanjut di sini.

Menyadari kehadiran Milo sebagai manajer baru di bagian promosi di perusahaan tempatnya bekerja, sungguh bencana bagi Btari. Ia sudah membayangkan betapa tidak menyenangkannya hari-hari selanjutnya di kantor itu.

“Btari mengira dirinya terkena penyakit asma tiap kali melihat Milo. Pria itu, dengan caranya sendiri, telah membuat teror menakutkan untuk Btari. Tiap kali mereka berpapasan, Milo memberikan tatapan--jangan bertindak bodoh kalau ingin rahasiamu aman--yang membuat mual. Btari dengan amat sangat terpaksa cuma mampu menahan kesal.”_(hal 136)

Setiap hari Btari menghindar sepenuhnya, mengusahakan tak ada kontak sedikit pun dengan pemilik nama tak kreatif itu (menurut Btari, nama Milo hanya hasil nyontek merek susu cokekat terkenal). Berbeda dengan Milo, ia malah berusaha mengakrabkan diri dengan gadis yang dipanggilnya anak kecil itu. Bahkan terkadang melangkahi batas atasan dan bawahan.

Entah kenapa naluri untuk menggoda Btari dirasakan begitu kuat oleh Milo. Ada kesenangan tersendiri saat mendapati gadis itu bersungut-sungut. Tingkahnya menggemaskan.

"Milo tidak tahu mengapa dia selalu mendapat dorongan aneh untuk mengganggu Btari dalam berbagai kesempatan. Meski berusaha keras mencari tahu dan bertanya pada dirinya sendiri berkali-kali, tidak ada jawaban yang memuaskan. Monolog panjang di benaknya tidak menghasilkan petunjuk apa pun."_(hal 140)

Sedang Btari, di balik kepasrahan dan ketabahannya digodai Milo bersenjatakan masih kejadian dini hari di Pulau Nias itu, diam-diam tanpa sadar, ia kadang memuji pria yang memang rupawan itu. Terutama senyumnya.

Selain memang sedikit mengesalkan dengan sikap keingintahuan yang tinggi, Btari menghindari Milo hanya karena tidak ingin jadi bahan gosip di kantor. Demi apa coba seorang manajer baru langsung sok akrab dengannya?

Tapi sayang, aksi menghindar Btari sangat dibenci Milo. Ia ingin mereka bersikap normal layaknya orang dewasa yang memang pernah kenal sebelumnya sebelum di kantor itu. Sebenarnya Btari paham, tapi entah kenapa, dekat-dekat dengan pemilik nama tak kreatif itu seolah mengancam keselamatannya. Ketentraman lebih tepatnya.

Maka hari-hari panjang tak mengenakkan bagi Btari, namun menasyikkan bagi Milo dengan segala keusilannya, terus bergulir. Hingga pada titik yang tak disadari keduanya, perlahan-lahan interaksi mereka mulai normal. Dan Btari semakin kehilangan kemampuan untuk menolak apa pun keinginan Milo.

Bagaimana Btari menghadapi semua keusilan Milo? Dan seperti apa hubungan mereka pada akhirnya? Yuk, miliki bukunya dan jadilah saksi betapa menggelitik interaksi keduanya.

_*_

Review:
Dua bab pertama novel ini membuat saya langsung jatuh cinta. Di sana penulis mengawali kisah ini dengan memaparkan struktur patah hati kedua tokoh utama kita yang nantinya bikin gemes dengan segala bentuk interaksinya. Penggunaan POV1 dari masing-masing kacamata tokoh membuat kita lebih cepat mengenal mereka. Opening yang sukses menurut saya. Tidak hanya membangun mood, tapi juga menjadi pondasi yang menjanjikan untuk bangunan cerita yang kokoh.

Secara garis besar kisah ini berputar di sekitar Milo dan Btari, bagaimana awal pertemuan mereka yang tak lazim, hingga cara menyadari perasaan masing-masing yang juga tak lazim. Meski demikian, interaksi keduanya sangat natural. Kalimatnya empuk. Saya banyak menemukan padanan kata yang tak lazim yang membuat jalinan kalimatnya semakin berbobot. Di samping itu, penulis punya banyak detail kecil yang berhasil membuat cerita ini memorable. Contoh kecil, julukan "Pria Bernama Tak Kreatif".

Yang tak lupa saya garis bawahi, setiap bab diawali kutipan yang sukses memicu rasa penasaran dan kecepatan baca. Dan, di salah satu bagian penulis mengenalkan tradisi Bawomataluo. Saya selalu terkesima dengan penulis yang berhasil menuang unsur lokal dalam karyanya. Itu semacam slogan "Saya Indonesia" (apa, sih?). Hehehe ....

Namun, alur cerita terasa agak lamban di tengah-tengah. Beberapa bagian bahkan terkesan jalan di tempat. Mungkin karena saya tipe pembaca yang nggak sabaran dan pengin selalu ada hal baru di setiap lembarnya. Ini soal selera. Hehehe ....
Oh ya, ada cacat produksi yang semoga tidak terjadi di buku lainnya, cukup di buku di tangan saya ini aja. Lumayan mengganggu kenikmatan baca soalnya.

Overall, novel ini cocok banget untuk kamu yang suka roman dengan konflik yang terbilang ringan, tapi berhasil mengaduk-aduk perasaan karena dieksekusi sedemikian apik. Dari sini kita kembali belajar, bahwa sesuatu yang berawalan "C" selalu datang dengan cara terajaib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar