Rabu, 31 Januari 2018

Review Novel: 1 Hati 150 Hari



Judul             : 1 Hati 150 Hari

Penulis         : Riski Diannita

Penerbit       : PPMPI Publisher

Editor           : Tim PPMPI

Layout          : Tim PPMPI

Kover            : Tim PPMPI

Cetakan        : Pertama, Oktober 2017

Tebal             : 207 hlm

ISBN              : 9786025422867

Blurb:
Kepulangan Davin dari traveling hari itu jauh berbeda. Pertemuan dengan Latisya, pramugari di pesawat terbang membawanya ke masa lalu. Ia mulai mengejar satu hati yang telah lama terpisah.

Namun, masa depan akan berbeda dengan penyakit yang diderita Davin. Tubuh lemah menghadang niatnya. Keadaan semakin rumit sejak kehadiran Falda, perawat di rumah sakit tempat ia dirawat.

Meski umurnya divonis tinggal hitungan hari, Davin nekat mempersunting gadis impian.

_*_

Alur Cerita:
Sejak kecil Davin sakit-sakitan. Dan penyakit mematikan benar-benar terdeteksi dalam tubuhnya setelah Dewasa. Meski dokter memvonis ia hanya punya waktu beberapa bulan, Davin tidak ingin tinggal diam menanti kematian. Ia malah berhenti kuliah dan menyerahkan diri sepenuhnya untuk alam. Ia bergabung dengan komunitas fotografi, bertualang dari satu kota ke kota lainnya demi memburu gambar pemandangan eksotis. Davin menikmatinya. Setidaknya bisa membuatnya sejenak lupa pada penyakit yang setiap saat mengancam nyawanya.

Meski sakit begitu, Davin tidak pernah mendapatkan kasih sayang seharusnya dari kedua orangtuanya yang terlalu sibuk bekerja. Merasa diabaikan, Davin lebih senang tinggal bersama sang nenek.

Suatu hari sepulang dari traveling, Davin bertemu dengan Latisya, gadis dari masa lalunya. Dulu mereka bertetangga, dan satu sekolah waktu SD.

“Mereka saling mengingat wajah satu sama lain. Wajah yang tak lagi ditemui selama tiga belas tahun tentu jauh berbeda. Umur telah mengubah penampilan seseorang.”_(hal 24)

Melalui kalender yang ia tandai setiap hari, Davin tahu pasti, umurnya tidak lama lagi. Kondisinya pun semakin tidak stabil. Ia tidak boleh sedikit saja lalai pada jadwal rutin memeriksan diri ke rumah sakit. Anehnya, ia sama sekali belum berniat menghentikan hobi travelingnya.

Sejak bertemu kembali dengan Latisya, Davin punya impian teramat penting sebelum waktunya habis. Ia ingin menjadikan cinta pertamanya itu sebagai cinta terakhir. Maka dengan penuh keyakinan yang terbilang nekat, Davin melamar Latisya.

“Aku memang belum sembuh. Tapi, serius, aku ingin kita segera menikah.”_(hal 68)

Patahlah hati Falda, perawat yang diam-diam menyukai Davin. Tapi gadis itu bisa apa? Ia berada di samping Davin sekadar menjalankan tugas, dan tidak pernah sedikit pun mengutarakan perasaanya. Namun, andai Davin bisa lebih peka sedikit saja, gerak-gerik perawatnya itu tentulah terbaca.

Butuh pemikiran panjang sebelum akhirnya Latisya menerima lamaran Davin. Banyak hal yang ia pertimbangkan. Ia berusaha memahami kondisi Davin, juga sebersit rasa di hatinya.

Perjalanan terjal pembuktian cinta pun dimulai. Latisya menyiapkan hati, sebab yakin tak akan mudah. Hari-hari sakral tak seharmonis pasangan pada umumnya. Kondisi Davin kian buruk. Mau tidak mau terpaksa keluar masuk rumah sakit. Puncaknya setelah memaksakan bulan madu ke Bali. Davin koma, dan saat terbangun, cobaan lain kembali menghantam.

Latisya membesarkan hati bukan hanya untuk menerima kondisi Davin dan semua hal buruk yang terus mengintai, tapi juga untuk mengatasi kecemburuan akan kedekatan Falda dengan Davin. Meski jelas-jelas hubungan mereka hanya sebatas pasien dan perawat.

“Aku yakin cinta tak pernah salah. Tapi mungkin, aku mencintai pada waktu dan orang yang tidak tepat.”_(Falda_hal 127)

Bagaimana kelanjutan kisah pelik Latisya bersama lelaki yang tengah berada di ambang kematian? Segera miliki buku ini dan rasakan sendiri sensasi keharuannya.

_*_

Review:
Keunikan pertama yang saya temukan di novel ini adalah pembagian bab berdasarkan judul buku. Novel ini berisi 15 bab, yang per babnya diasumsikan sepuluh hari. Judul dan isi benar-benar paket utuh. Tapi saya kurang sreg dengan prolog yang diambil dari sudut pandang masing-masing tokoh. Agak aneh. Kalau sekadar mengambil tokoh sentral, mungkin lebih baik. Atau barangkali penulis punya tujuan tertentu, tapi saya kurang menangkap.

Terlepas dari prolog, penulis memulai ceritanya dengan cukup manis. Sosok Davin diperkenalkan pelan-pelan, meski untuk penyakitnya menurut saya terlalu cepat diungkap. Andai penulis memainkan rasa penasaran pembaca di bagian ini tanpa menyebutkan kondisi Davin secara gamblang, mungkin lebih gereget.

Yang bikin betah baca novel ini, struktur kalimatnya rapi, terpola, bebas typo, meski beberapa bagian terlalu detail hingga terasa agak kaku. Selain itu penulis juga menyelipkan lirik lagu-lagu hits tahun 2000-an yang sukses jadi pemanis di tengah keprihatinan kita terhadap Davin. Kehadiran lagu-lagu ini juga mengajak pembaca bernostalgia secara tidak langsung. Hehehe ....

Meski di tengah terasa lamban, saya sempat terhanyut oleh kisah Davin dan Latisya dalam memperjuangkan cinta yang mereka yakini.

Overall, novel ini cocok banget buat kamu yang ingin menjadi saksi bagaimana cinta harus tetap diperjuangkan dalam kondisi apa pun. Rintangan yang dihadapi tokohnya keren, belum banyak dibahas di novel lain. Dari sini kita juga bisa mengambil banyak pelajaran tentang ketulusan, pengorbanan, merelakan, dan lainnya.

Jumat, 26 Januari 2018

Review Kumsi: Kosong



Judul            : Kosong

Penulis        : Tjandrika Adhijasa

Penerbit      : PPMPI Publisher

Editor          : Tim PPMPI

Layout         : Tim PPMPI

Kover           : Tim PPMPI

Cetakan       : Pertama, November 2017

Tebal            : 106 hlm

ISBN             : 978-602-5557-25-5

Blurb:
Akulah zat yang maha kosong
Perkenankan kiranya, nur-Mu mengisi penuh relung hati ini
Buat bait-bait yang kosong
Menjadi serumpun bait yang isi

Akulah zat yang maha lemah
Sekalipun kiranya, setetes mata air penyejuk gersang
Tuntun jiwa yang tanpa arah
Menuju sabana yang hijau terang

Akulah zat yang maha rendah
Junjung kiranya, dengan sepasang sayap Firdaus
Bangkitkan kiranya, derajat yang telah dijarah
Menjadi seberkas kilat yang menghunus

Ke langitku yang maha kosong

_*_


Nukilan:
Di awal-awal penulis banyak menyinggung hubungan manusia dengan Sang Pencipta--dengan bahasa yang teramat halus. Di samping itu, saya mendapati sebait puisi yang sukses menyentuh titik haru saya.

“Kumandang berpulang, turut serta kedamaian
Dulu di waktuku yang terkenang
Kau pun pulang bersama hujan
Bapak tersayang”
(Pekarangan Rumah Ba'da Ashar_hal 11)

Di permulaan ini saya banyak menjumpai puisi mini dengan makna yang menohok.

“Setiap lidah
Berbincang tentang masa depan
Dan rencana-rencana
Tak satu pun sadar;
Tetes air yang jatuh di jalanan
Seperti itulah mereka”
(Gugur_hal 13)

Baru baca beberapa puisi, saya langsung suka dengan buku ini. Makin ke tengah, saya merasakan atmosfernya mulai panas. Penulis menyuarakan keprihatinan sosial yang lekat dengan keseharian.

“Tuan,
Enteng sekali kaulayangkan bogem mentah
Kepada si tua pengais rongsokan
Sampai perut kerontang tak berisinya muntah”
(Bajingan_hal 26)

Saya menemukan puisi yang teramat mencolok. Saya membacanya beberapa kali sebelum melangkah ke puisi selanjutnya. Saya pastikan akan mencatat makna yang saya temukan di sini.

“Belajarlah, kelak akan kau temui jalanan yang cerah
Berlapang dadalah, kelak akan kau petik berkah
Tegarlah, kelak kau akan berdiri dengan gagah
Hidup hanya sekali, matilah dengan berarti!”
(Matilah dengan Berarti_hal 31)

Sumpah, saya semakin jatuh cinta dengan buku ini. Terlepas dari beberapa tema yang memukau, saya juga menemukan bagian di mana penulis memberi ruang untuk diri dan puisinya. Ini semacam penegasan kecintaan penulis terhadap bait-bait yang telah dilahirkannya.

“Biarkan aku berpuisi
Untuk diriku sendiri
Dengan ramuan kata dari hati
Dengan aliran darah arteri”
(Biarkan Aku Berpuisi_hal 50)

Dan yang tak lupa saya soroti, buku ini tak lepas dari buaian romantis. Membaca bagian ini membuat saya sejenak lupa pada kata-kata menohok yang telah penulis suarakan di awal-awal.

“Cinta adalah embusan udara paling menyejukkan hati
Tak seperti hawa lain yang gigil dan membawa pedang menusuk-nusuk tulang
Cinta adalah pelbagai rasa yang mengerti
Tak seperti rasa lainnya yang selalu ingin menang”
(Cinta Adalah... _hal 67)

Banyak sekali yang bisa didapat dari buku ini. Segera miliki dan buktikan sendiri.

_*_

Review:
Tak perlu jauh-jauh, baru baca kata pengantarnya saja saya langsung tertarik. Ini semacam gerbang untuk sesuatu yang sangat menjanjikan di dalam. Begitu masuk, saya langsung disuguhi akrobat kata yang tak biasa. Penulis menyalurkan semangat dengan entakan yang dahsyat.

Saya bisa merasakan pancaran energi buku ini. Tiap lembarannya semacam punya roh. Dari puisi satu ke puisi lainnya serupa menyelami kekayaan kosakata. Terkadang saya sampai melongo saking kerennya. Dan tak jarang mengulang lagi karena tak rela hanya dibaca sekali.

Buku yang tidak terlalu tebal ini semacam semesta kata yang maha indah. Kendati demikian, puisi yang dipentaskan tetap berbobot, tidak sekadar mengedepankan keindahan diksi. Pesan-pesan moral terselip rapi dalam bait-bait indah dan tersampaikan dengan baik.

Kekurangan yang saya temukan hanya pada fisik; layout kurang rapi, dan terdapat kesalahan penomoran halaman.

Overall, buku ini cocok banget untuk pencinta puisi yang mendambakan akrobat kata luar biasa. Jujur, saya memang bukan penikmat puisi, tapi kalau puisinya sebagus ini, saya tidak menolak untuk membacanya berulang kali.

Review Novel: Dear Heart, Why Him?



Judul            : Dear Heart, Why Him?

Penulis         : Haula S

Penerbit      : Bentang Pustaka

Editor           : Hutami Suryaningtyas & Dila Maretihaqsari

Layout          : Larasita Apsari

Cetakan        : Pertama, November 2017

Tebal             : 252 hlm

ISBN              : 978-602-430-188-0

Blurb:
“Jangan mengharapkan sesuatu yang indah saat jatuh cinta, tapi sibuklah mempersiapkan hatimu untuk menghadapi seribu satu hal yang menyakitkan.”

Bela benci Dalvin yang selalu membuatnya kesal. Ia heran, kenapa orang-orang nggak ilfeel, ya, sama Dalvin? Bisa, ya, tingkah nyebelin itu termaafkan karena wajah ganteng dan postur yang kata orang body goals? Huft!

Akan tetapi, nggak butuh waktu lama untuk Bela menyadari pesona Dalvin. Nggak butuh waktu lama untuk Bela merasakan jantungnya seolah mau lepas dengan sikap-sikap manis Dalvin. Dunia terbalik. Bela suka Dalvin. Sayangnya, itu terjadi saat hubungan mereka telah terkukuhkan dengan status persahabatan. Bela tahu ini akan sulit.

_*_

Alur Cerita:
Gara-gara nonton drama Korea sampai lewat tengah malam, Bela telat bangun dan harus berebut tempat parkir dengan Dalvin di sekolah.

"Lah, siapa yang berani ngambil tempat parkir gue?" sungutnya kesal. Ia menekan klakson berkali-kali, tetapi tak ada respons dari mobil di depannya._(hal 3)

Sejak saat itu ada-ada saja yang menautkan hari-hari dua remaja yang hobi saling serang saat berhadapan itu. Mulai dari dihukum bareng, pertemuan tak terduga di minimarket, dan puncaknya saat Bela kecelakaan.

Bagi Bela, saat ini tak ada yang lebih menjengkelkan dari Dalvin. Jangankan ketemu, sekadar mengingat saja emosinya bisa meluap-luap.

Bagi Dalvin, Bela cewek teraneh dan brutal yang pernah dikenalnya. Tapi anehnya, saat cewek itu tak sadarkan diri pasca kecelakaan, ia tidak tega meninggalkannya sendirian, meski otaknya sudah menuntut untuk tidak peduli.

Bela yang terpaksa harus dirawat di rumah sakit mendapatkan kiriman bunga mawar dari pengirim misterius berinisial "G".

Kiriman bunga mawar semacam itu beberapa kali Bela dapatkan selama di rumah sakit. Namun hingga Bela keluar, pelakunya belum terungkap. Tidak sampai di situ, saat mulai masuk sekolah pun, kiriman bunga itu datang lagi.

Entah atas pertimbangan apa, Dalvin mulai melunak terhadap Bela. Bahkan ia terang-terangan mengajukan perdamaian, yang justru membuat Bela merasa aneh.

“Dalam hati, Bela menggerutu. Yang memulai peperangan, kan, Dalvin sendiri. Kemarin-kemarin, kan, Dalvin yang seperti anak kecil, membuatnya kesal dan gondok. Sekarang malah Dalvin yang meminta maaf. Membingungkan.”_(hal 64)

Sampai di sini terungkap bahwa sebenarnya Hati Dalvin telanjur tertawan pada sosok Kanya, cewek yang tengah berjuang antara hidup dan mati.

Sejak permintaan maaf Dalvin yang membuat Bela keheranan, hubungan mereka perlahan-lahan membaik. Bela tiba di titik tak mampu menolak pesona Dalvin, tidak sedikit pun. Bahkan wangi tubuh cowok itu terasa sangat memabukkan. Namun satu hal yang belum Bela ketahui, Dalvin tidak mungkin lantas berubah baik seperti itu tanpa alasan tertentu.

Karena kebetulan kenal dengan kakak perempuan Dalvin, Bela berkesempatan main ke rumah cowok itu pada suatu hari dan melihat langsung koleksi lukisannya, yang katanya hanya bisa dilihat oleh orang tertentu. Di antara banyaknya lukisan yang terpajang di dinding, satu lukisan terlihat beda dan paling mencolok di mata Bela--lukisan gembok.

“Arti gembok buat gue adalah benda yang berguna banget. Bisa nyimpan sesuatu berharga. Tapi, gembok nggak akan bisa berfungsi kalau nggak ada kunci. Kalo gembok cuma sendirian, nggak akan berguna. Setiap gembok punya kuncinya masing-masing. Nggak bisa dituker sama kunci lain, hanya satu kunci yang bisa buka satu gembok. Jadi, gembok dan kunci itu berhubungan.”_(hal 95)

Pada kunjungan tak terencanakan itu Bela juga akhirnya tahu nama kecil Dalvin--Pipin--yang terdengar lucu namun cute. Hehehe ....

Bela berusaha keras mengingkari perasaannya, tak ingin patuh pada kenyataan bahwa ia mulai menyukai Dalvin, meski hatinya sudah teramat menggilai semua yang ada di cowok itu.

Di balik hubungannya dengan Dalvin yang semakin membaik, si pengirim bunga mawar misterius masih terus beraksi. Diam-diam Bela berharap Dalvin pelakunya. Ia akan sangat bahagia jika penggemar rahasianya benar-benar Dalvin. Namun, ketika si pelaku akhirnya terbongkar, masalah baru datang.

Siapa gerangan si pengirim bunga mawar itu sesungguhnya? Segera miliki buku ini untuk tahu jawabannya. Hehehe ....

_*_

Review:
Saya merasa klik dengan novel ini setelah menyelesaikan sepertiga bagian awal yang menurut saya kurang nendang. Opening-nya terlalu sering dijumpai di novel lain. Namun menuju ke tengah, saya mulai menyatu dengan cara bertutur penulis. Kalimatnya manis, cute, sampai bikin pengin emut. Hehehe ....

Saya sampai terlena, karena setiap scene kadar bapernya tinggi banget. Karena ini novel remaja, konfliknya memang tidak terlalu rumit, tapi banyak teka-teki yang berhasil menjerat pembaca agar tidak mudah berpaling. Selain itu penulis juga pandai menghadirkan hal-hal kecil sebagai bumbu penyedap yang bikin kita makin betah dan tak bosan untuk mencari tahu, ada apa di lembar selanjutnya.

Interaksi Dalvin dan Bela ngangenin banget. Ditinggal bentar, kekonyolan mereka terbayang-bayang. Oh ya, saya juga suka banget taste humor yang sesekali diselipkan penulis. Lucunya beda, spontan dan segar.

Namun, seperti yang saya bilang di awal, opening-nya kurang nendang. Beberapa bagian bahasanya agak kaku, terkadang berlebihan mendeskripsikan sesuatu. Khas bacaan remaja memang, tapi menurut saya diperhalus dikit akan lebih oke. Saya juga menemukan beberapa typo yang agak mengganggu kenikmatan membaca.

Overall, novel ini cocok banget untuk kamu yang menginginkan bacaan remaja murni untuk hiburan. Konfliknya nggak bikin tegang. Kita bacanya enjoy, meski sesekali dibikin baper banget oleh Dalvin dan Bela. Pelajarannya adalah, kalau nggak suka sama seseorang, terlebih lawan jenis, bencinya jangan kebangetan. Nanti malah berbalik jadi cinta loh. Hehehe ....

Rabu, 10 Januari 2018

Review Novel: Never Let You Go



Judul            : Never Let You Go

Penulis        : Titi Sanaria

Penerbit      : Namina Books

Editor           : Anggia Eka & Eviliana Elsiva

Cetakan       : Pertama, 2017

Tebal            : 235 hlm

ISBN             : 978-602-60229-4-3

Blurb:
Bagi Bayu, Renata adalah lambang tembok kokoh yang tak tergoyahkan. Gadis itu berbeda daripada semua gadis yang pernah dikenalnya, baik penampilan maupun sikapnya. Mungkin itulah yang kemudian membuatnya jatuh cinta. Hanya saja, mencintai gadis yang lebih suka mengepakkan sayap dan terbang seperti burung daripada tinggal diam, itu tidak mudah. Namun, jauh lebih sulit membayangkan hidup tanpa gadis itu.

Ketika Bayu mengira Renata akan tetap di sisinya, gadis itu memilih melepas Bayu untuk mengejar impiannya. Bayu harus memutuskan, apakah dia menyerah dan menyelamatkan harga diri, atau tetap mencari jalan untuk menggapai cinta Renata?

_*_

Alur Cerita:
Bayu mengalami hari sial. Ketergesaannya demi sebuah presentasi berakhir dengan kecelakaan. Mobilnya menabrak seorang gadis. Hal itu tentu saja mengacaukan semua rencanyanya, dan mau tidak mau harus berurusan dengan gadis itu dan rumah sakit untuk sementara waktu.

Sial. Gadis itu bukan tipe orang yang dengan senang hati menerima perhatian Bayu, orang yang sudah menabraknya. Ia malah berkali-kali mengusir Bayu, seolah benar-benar tidak butuh pertanggungjawaban.

Tapi Bayu berusaha melawan rasa kesal akibat tidak dihiraukan. Sampai gadis itu sembuh seperti sedia kala, ia merasa bertanggung jawab sepenuhnya. Bahkan, ia mengganti semua barang-barang mahal dalam ransel gadis itu yang ikut rusak setelah kecelakaan.

Setelah beberapa hari disuguhkan sikap tidak bersahabat oleh Renata, gadis yang ditabraknya, Bayu merasakan ada yang aneh dalam dirinya. Bahkan, meski dalam balutan perban, ia masih sempat menilai bahwa Renata cukup cantik. Aneh.

"Mengapa aku tidak sekesal yang aku inginkan? Aku tidak pernah diabaikan orang lain sebelumnya, dan seharusnya keadaan ini membuatku marah. Namun aku tak bisa semarah yang kuinginkan. Aneh."_(hal 36)

Setelah Renata keluar dari rumah sakit, Bayu tidak langsung lepas tanggung jawab. Ia mengunjungi apartemen gadis itu setiap hari, meski kehadirannya seolah hanya dianggap sebagai pengganggu.

Hingga suatu hari ia menemukan Dito di apartemen Renata, laki-laki super ramah untuk ukuran baru kenal. Ia terlihat sangat akrab dengan Renata. Mereka bahkan punya nama unik untuk memanggil satu sama lain. Anehnya, ia sama sekali tidak marah kepada Bayu yang telah membuat Renata celaka.

Bayu merasa ada yang salah. Jika hanya sebatas gadis yang pernah ditabraknya, seharusnya Renata tidak perlu memenuhi pikirannya sedemikian rupa. Ia memutuskan untuk melakukan detoksifikasi. Tapi gagal. Semua sikap tidak mengenakkan Renata yang seharusnya bikin kesal bila meningatnya, justru membuatnya rindu. Ia harus menemuinya secepatnya. Tapi gadis itu sudah sembuh, dan kembali bertualang demi misi tertentu.

“Gadis kurus itu benar-benar sudah meracuni pikiranku dengan dosis yang mematikan. Anehnya, itu membuatku tersenyum tanpa alasan, alih-alih sebal.”_(hal 82)

Berawal dari aksi membobol apartemen Renata karena kekhawatiran stadium empat setelah tidak mendapat kabar berhari-hari, melalui Mas Tanto--kakaknya--Bayu menemukan titik terang tentang siapa Renata sebenarnya. Menurut Mas Tanto, gadis itu adalah Renata Winata, fotografer profesional yang sudah menjadi ikon di banyak klub-klub fotografer karena pencapaian gemilangnya. Benarkah? Meski kemungkinannya besar, Bayu tetap tidak yakin. Mengingat bagaimana potongan gadis itu, rasanya mustahil.

Perihal Renata benar-benar Renata Winata seperti kata Mas Tanto atau bukan, Bayu tidak begitu peduli. Baginya, gadis itu tetap korban kecerobohannya yang kemudian mencuri hatinya dengan cara teramat lancang.

Di tengah kegelisahan akan keberadaan Renata, Bayu agak direpotkan dengan kehadiran Ruby, gadis manja yang menginginkan cintanya sejak lama. Sekarang malah menjadi salah satu partner kerjanya. Alih-alih menuruti kegilaan Ruby, Bayu terus berusaha menghubungi Renata. Hingga suatu hari ia berhasil mendengar suara gadis itu, meski teramat singkat. Selanjutnya, Renata mulai rajin mengirimi Bayu pesan, memgabarkan posisinya. Dan itu sangat melegakan bagi Bayu.

Kerinduan Bayu semakin memuncak. Untungnya, beberapa hari yang lalu Renata mengabarinya, akan pulang ke Jakarta kira-kira empat hari lagi.

“Aku tersenyum mengingatnya. Berarti dua hari dari sekarang aku akan bertemu dengannya. Kulitnya pasti lebih hitam karena terbakar matahari. Mungkin juga berbau asin laut, tetapi aku tidak peduli. Selama bisa melihatnya, diberi tatapan jutek pun aku akan terima dengan senang hati.”_(hal 83)

Namun, sebelum hari itu tiba, Bayu mendapati gedung apartemen Renata kebakaran. Bayu miris membayangkan salinan foto dan semua hasil kerja gadis itu habis terbakar di dalam sana. Di saat sekalut itu, Bayu menerima telepon dari Mas Tanto, mengabarkan tenggelamnya speedboat tim National Geographic yang mengadakan ekspedisi di Maluku Utara. Beberapa orang belum ditemukan, salah satunya Renata Winata.

Bagaimana kepastian nasib Renata? Bagaimana pula Bayu menghadapi semua ini? Segera miliki bukunya dan tuntaskan babak perjuangan cinta Bayu.

_*_

Review:
Dari awal membaca novel ini saya langsung jatuh cinta. Sajian roman komedi yang leluconnya segar, natural, sama sekali nggak ada kesan maksa. Lucunya tipis-tipis aja sebenarnya, tapi membekas. Meskipun pertemuan Bayu dan Renata terbilang klise, tapi penulis berhasil membuatnya sangat menarik. Bahasanya renyah dan memercik segar. Gaya bercerita penulis santai namun terpola dengan baik, membuat kita cepat merasa terlibat dalam cerita. Kata per kata terangkai manis, bikin geregetan, dan sungguh menghanyutkan. Selain informatif, gugusan kalimatnya serupa mengandung magnet yang mencegah kita untuk berpaling.

Salah satu hiburan tersendiri di sepanjang membaca novel ini adalah adanya kutipan di awal bab yang berhasil memancing rasa ingin tahu hingga membuat berpikir, "wah, bab ini kayaknya seru, deh". Mood booster banget, sukses menjaga kestabilan emosi. Pokoknya, dinamika bercerita penulis saya acungi jempol. Dari awal hingga akhir suhunya naik terus, sama sekali tidak ada bagian yang membosankan.

Yang tak lupa saya garis bawahi, di sini saya banyak memunguti kata-kata baru yang penggunaannya belum saya temukan di novel lain. Dan lagi, Renata dengan profesinya sebagai fotografer yang mengharuskannya bertualang, membuat novel ini hidup dengan nyawanya sendiri--yang belum dipunyai novel lain.

Jujur, saya sangat kesulitan menemukan cela novel ini. Yang saya tahu, saya terhibur. Intinya, novel ini cocok banget untuk siapa pun, agar lebih paham bahwa cinta memang soal klik. Dan ketika ketemu, ia wajib diperjuangkan.

Selasa, 09 Januari 2018

Review Kumcer: Museum Ibu



Judul            : Museum Ibu

Penulis        : Gusti Trisno

Penerbit      : AE Publishing

Editor          : Gusti Trisno

Layout         : Gusti Trisno

Kover           : Javan Design

Cetakan       : Pertama, Februari 2017

Tebal            : 86 hlm

ISBN             : 978-602-6325-37-2

Blurb:
Sementara itu, tak ada satu pun pertapa yang memberinya hal-hal aneh semisal segenggam biji mentimun, jarum dari bambu yang dipotong kecil-kecil, garam, dan terasi. Sebagai pencinta dongeng, kisahnya tak sempurna. Seharusnya sosok raksasa yang mengejarnya akan kalah jika bertemu barang-barang aneh itu.
(Titisan Timun Mas)

Ardi bukan tak peduli dengan para penghujat atau Pak Udin itu, tugasnya sebagai mahasiswa hanyalah belajar, ikut organisasi, setelah wisuda langsung mencari kerja, menikah, berumah tangga sudah, tidak sedikit pun niat berdemo. Soal tindak-tanduk para penghuni kampus, tak pernah ingin ia ikuti.
(Kampus Para Penghujat)

_*_

"Museum Ibu" adalah kumpulan cerita pendek pertama Gusti Trisno, sebelumnya mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Universitas Jember ini menerbitkan kumpulan puisi berjudul "Ajari Aku, Bu". Selain itu, karya penggiat Komunitas Penulis Muda Situbondo itu telah dimuat di beberapa media masa dan antologi bersama.

_*_

Nukilan:
Saya disambut atmosfer beraroma haru di awal-awal langkah menjajaki buku ini. Dari judul sebenarnya memang sudah tercium.

Meski bukan diperuntukkan untuk Ibu, melainkan guru di dunia maya, puisi berikut cukup menyentuh. Ada rasa terima kasih dan sebongkah mimpi yang patut diperjuangkan.

“Bu, pertemuanmu beberapa tahun lalu
Membuatku terjerumus ke dalam dunia yang penuh keasyikan; menulis
Kau ajariku mengenakan titik koma
Pun merangkai aksara renta
Bu, kau guru mayaku
Kini kubutuh mantra semangatmu sebagai penawar rindu melalui tulisanmu di layar inbox-ku”
(Puisi dalam cerpen "Teruntuk Guru Maya di Layar Laptopku”_hal 10)

Tentang bagaimana seorang anak sudah sewajarnya meluangkan waktu untuk membantu/membahagiakan orangtua, pun diungkit di sini. Sebab bagi mereka, bisa bersama saja sudah sangat membahagiakan.

“Tak ada kata yang terucap namun seulas senyum Ibu yang kuterima mampu meneduhkan jiwa.”
(Kutipan cerpen "Pathek Siang Itu"_hal 14)

Saya merasa penulis banyak meraup ilham dari lingkungan sehari-hari, bahkan bisa jadi sebagian benar-benar ungkapan isi hati. Dan yang saya acungi jempol, selalu ada petikan yang bisa dijadikan renungan.

“Bukankah Ibu bisa jadi siapa pun, tapi tak bisa digantikan siapa pun?”_(Kutipan cerpen Museum Ibu_hal 41)

Penulis juga menyuarakan konflik di tengah masyarakat yang sebenarnya agak lucu bila dipikir lama-lama. Misal perselisihan hanya karena permasalahan pembagian zakat. Geli, kan? Tapi benar-benar ada, loh! Dan dampaknya aneh-aneh.

“Musala yang baru dibangun sebagai pusat pembelajaran berganti dengan pusat kongko-kongko anak muda di kala magrib. Adakah di antara pembaca yang budiman berkenan menjadi ustaz atau mencari ustaz untuk musala tersebut?”_(Kutipan cerpen Mencari Ustaz_hal 44)

Bagian-bagian akhir buku ini menyuguhkan diksi yang sedikit berbeda dari cerpen-cerpen sebelumnya, lebih berwarna dan agak puitis. Mungkin sengaja disiapkan sebagai hidangan penutup.

“Di tengah kepemimpinannya, ia terus menulis kidung cinta. Kidung yang belum sempat ia nyanyikan kepada suaminya. Kidung yang merefleksikan kecintaannya kepada sang teladan Nabi Muhammad dan Raja Makmur.”_(Kutipan cerpen Kidung Cinta Ratu Aminah_hal 50)

Hal itu semakin dipertegas ketika tiba di cerpen terakhir. Di sana saya menemukan opening yang aduhai. Tak heran jika cerpen ini pernah tayang di media cetak.

“Hujan tak menunggu bulan Juni untuk deras, mistis, dan romantis. Tapi bisa saja hujan datang dengan siklus yang tak terduga.”_(Kutipan cerpen Tak Ada Dosen Hari Ini_hal 74)

Apa yang telah saya paparkan hanya garis besarnya. Segera miliki buku ini untuk menikmati isinya secara keseluruhan.

_*_

Review:
Pada kata pangantar penulis menjabarkan bahwa beberapa cerpen dalam buku ini ditulis ketika ia baru di awal-awal menjajaki dunia literasi, sengaja dikumpulkan dan tetap mempertahankan orisinalitas. Menurut saya, penulis sedang mengemas proses dan berusaha menyuarakannya.

Cerpen-cerpen ini lahir dari ide sederhana yang kemudian dipresentasikan dengan sangat menarik. Kesederhanaan dibuat berbobot dengan kedalaman pesan yang terkandung di tiap-tiap cerita. Beberapa cerpen jadi sangat kritis dan menohok.

Saya merasakan gaya bercerita penulis cukup santai dan sesekali diselingi lelucon segar. Penulis juga cukup berani menjadikan dongeng sebagai pondasi cerita kemudian didaur ulang. Keren.

Yang disayangkan, masih cukup banyak typo dalam buku ini. Saya juga merasa beberapa cerita strukturnya mirip dengan cerita sebelum atau setelahnya. Kesannya satu ide ditulis ulang dengan hanya mengganti sudut pandang.

Overall, buku ini cocok untuk kamu yang menginginkan cerita tentang Ibu dalam cakupan makna yang luas. Ada balutan haru, perjuangan, dan impian di sini.

Senin, 01 Januari 2018

Review Cernak: Aurel dan Buku Pendongeng



Judul            : Aurel dan Buku Pendongeng

Penulis        : Lisma Laurel

Penerbit      : Bitread Publishing

Layout         : Heriana Darsono

Kover           : Dindin Rasdi

Tebal            : 82 hlm

ISBN             : 978-602-6416-75-9

Blurb:
Aurel berharap hari Minggu tidak pernah ada. Dia benar-benar tidak tahu apa yang harus dilakukannya di hari Minggu. Pada hari Minggu, Aurel tidak boleh membaca buku, Ayah dan Ibu ingin Aurel bermain.

Bagaimana ini? Padahal, Aurel tidak suka bermain. Bagi Aurel, bermain seorang diri sepanjang hari sungguh membosankan. Sayangnya, Aurel juga tidak suka bermain dengan anak-anak lain. Aurel merasa bahwa mereka selalu memperlakukannya berbeda. Alasannya, Aurel adalah bocah tanpa ekspresi! Dia tak bisa tersenyum untuk mengekspresikan kebahagiaannya atau murung untuk mengekspresikan kesedihannya.

Namun, pada hari Minggu kali ini, suatu keajaiban terjadi. Aurel akhirnya menemukan teman! Mereka adalah Mori dan Nori, sepasang buku pendongeng kembar yang bisa berbicara. Bersama mereka, Aurel masuk ke negeri buku yang mempunyai dongeng tanpa akhir. Merekalah yang memilih bagaimana cerita itu akan berakhir. Siapa yang ditemuinya di negeri buku? Lalu akankah Aurel menyukai hari Minggu? Yuk, kita mulai kisahnya!

_*_

Alur Cerita:
Aurel bukannya tidak suka bermain di luar, ia malah sangat bosan harus menghabiskan waktu sendirian. Tapi mengingat bagaimana ia selalu diperlakukan berbeda, sepertinya sendiri memang lebih baik.

“Bahkan beberapa dari mereka sering memegang wajahnya dan bertanya ini itu. Aurel tidak suka menjelaskan panjang lebar. Dia akan lelah. Terlebih dia merasa berbeda, walaupun Aurel tahu bahwa dirinya memang berbeda.”_(hal 2)

Tapi Ayah dan Ibu tidak suka Aurel menarik diri dari sosialisasi. Mereka ingin Aurel berteman dan bermain dengan anak seusianya, tanpa benar-benar paham kenapa putri kecil mereka selalu lebih nyaman sendiri.

Hari Minggu Aurel kali ini sedikit berbeda. Berawal dari penemuan blender rusak di dapur, mengantar gadis cilik tanpa ekspresi itu ke gudang. Di sana ia menemukan peti berisi dua teman baru, Mori dan Nori. Dan hari baru untuk Aurel baru saja dimulai.

Mori dan Nori adalah saudara kembar, sepasang buku pendongeng lebih tepatnya. Aurel baru saja membangunkan mereka dari tidur panjang.

Sebagai balas jasa, Mori dan Nori ingin menghibur Aurel. Tapi dua dongeng yang mereka ceritakan tak mampu mengubah kedataran wajah gadis cilik berkacamata itu. Maka jalan satu-satunya, mereka mengajak Aurel ke negeri buku. Mereka bisa memilih dongeng sesuka hati.

“Corong itu berputar sangat hebat. Sedetik kemudian jatuh ke lantai. Hilanglah semua air di dalamnya. Hilanglah juga Aurel beserta kedua buku ajaib.”_(hal 28)

Dengan segala keajaiban yang diciptakan sepasang buku pendongeng itu, Aurel tiba di negeri buku. Di sana ia menjadi apa yang diimpikannya selama ini--menjadi anak normal. Ya, sekarang Aurel bisa tersenyum, berkedip, dan berbicara lancar.

Ketiganya terdampar di kebun sayur Sandara, tokoh utama dongeng yang mereka masuki.

Di kehidupan lain itu Aurel merasa sangat bahagia bisa jadi anak normal, sampai-sampai rasanya tidak ingin kembali ke dunia nyata.

Namun, di sana ada raksasa yang sangat menyusahkan Sandara dan penduduk lainnya. Mereka harus menyiapkan makanan dengan jumlah yang sangat banyak untuk raksasa itu setiap hari. Jika tidak, ia akan mengamuk.

“Raksasa mengancam akan mengejar kami sampai dapat. Satu orang saja yang kabur, seluruh penduduk akan dimakannya. Maka tidak ada siapa pun yang berani kabur. Kami mencemaskan keselamatan orang banyak.”_(hal 43)

Pada akhirnya mereka memikirkan cara untuk mengusir raksasa itu. Apa yang akan mereka lakukan? Berhasilkah?

Segera miliki buku ini dan temukan sendiri jawabannya.

_*_

Review:
Mengingat ini buku anak-anak, saya takjub, tidak menyangka akan seterhibur ini. Petualangan singkat yang sangat menyenangkan. Dituturkan dengan bahasa yang renyah, lembut, empuk, pokoknya nyaman dibaca. Saya yakin anak-anak akan sangat menyukainya.

Penggambaran suasananya sangat detail, membuat setiap adegan terasa nyata dalam kepala. Penulis berhasil menghidupkan sosok Aurel, pun keadaan di sekitarnya.

Di awal-awal, ketika buku pendongeng berdongeng, itu unik. Jadi ada cerita dalam cerita. Dongengnya juga segar, dan lagi-lagi dibahasakan sangat detail hingga kita berhasil terlibat di sana.

Setiap inci disertai latar belakang yang menjauhkan cacat logika, terlepas dari tema fantasi yang memang diusung penulis. Pola kalimat pendek-pendek yang dimainkan penulis saya rasa memang sangat cocok untuk konsumsi anak-anak. Di samping itu, pesan yang terkandung di dalamnya cukup kuat.

Saya nyaris tidak menemukan cacat di buku ini, keren banget untuk ukuran buku anak. Saya malah nagih, kurang panjang, nih. Hehehe ....

Overall, buku ini recommended banget untuk adik, anak, ponakan, atau siapa pun yang gemar membaca di sekitar Anda. Dari sini mereka bisa belajar, bahwa Tuhan menciptakan makhluk-Nya memang berbeda-beda.