Rabu, 24 Agustus 2016

Cerpen Flores Sastra: Sesuatu yang Mengamuk di Mata Rafa

            Rafa berselonjor. Punggungnya menempel di daun pintu yang baru saja dibanting dengan kasar oleh mama. Bahkan, suara jeritan pintu itu masih terngiang di telinganya hingga kini. Seperti rekaman usang yang diputar ulang, lagi-lagi perempuan berpenampilan nyentrik itu bermaksud mengurung putra bungsunya. Ia muak dengan rentetan masalah yang ditimbulkan oleh bocah yang baru saja melangkahkan kaki di tahun pertama sekolah dasar itu. Sebulan yang lalu, ketika ia mengantar dan mendaftarkan Rafa ke salah satu sekolah yang tidak jauh dari kediaman mereka. Dan dalam sebulan itu, tak kurang dari sepuluh kali ia mendapat surat panggilan dari pihak sekolah karena ada-ada saja masalah yang ditimbulkan oleh bocah berusia enam tahun itu. mulai dari hal sepeleh hingga yang ajaib.
            Rafa memangku tangan mungilnya. Telapak tangannya memerah, menimbulkan rasa perih dan denyutan kecil di ujung jari-jarinya. Ia hanya memekik dalam hati ketika mistar plastik itu menghantam tangannya berkali-kali. Mama tidak tanggung-tanggung kali ini, perempuan yang gemar menggunakan lipstick berwarna terang itu, seolah mencurahkan segenap emosinya yang tertabung selama ini. Tapi ajaibnya, Rafa tidak menangis seperti seharusnya. Mungkin ia sudah terbiasa melakoni adegan itu, hingga memiliki semacam kekebalan. Ia hanya menutup matanya rapat-rapat hingga menimbulkan kerutan di wajahnya, disusul gerakan bahu naik turun setiap kali mistar plastik itu menimpa telapak tangannya yang masih halus dan lembut. Sekarang pun, ia tidak menangis. Wajah kakunya dengan sepasang mata yang melayangkan tatapan pilu, hanya bisa meratap. Kalau saja ia bisa menjawab soal-soal itu, kalau saja angka-angka bertinta merah itu tidak menghiasi buku-buku pelajarannya, tentu ia takkan seperti ini. Pasti dibolehkan nonton film kartun favoritnya, dibolehkan jajan es krim, atau main layangan di lapangan, seperti Bang Raka. Bang Raka memang sempurna, ia dikarunia otak yang sepertinya terbuat dari bahan yang berbeda dengan yang dipunyai Rafa. Sejak tahun pertama hingga sekarang sudah menginjak tahun keempat, ia selalu rangking pertama. Wajar jika papa dan mama menganakemaskannya. Bang Raka selalu mendapatkan mainan dan baju baru yang ia inginkan. Sementara Rafa, ia harus cukup puas memiliki semua barang bekas abangnya itu—tentu saja setelah si empunya bosan.
            Rafa tidak mempermasalahkan ketika papa dan mama tidak mengajaknya saat mereka jalan-jalan. Ia justru merdeka. Dalam kesendirian, ia leluasa bereksperimen. Meskipun hasil eksperimen berupa perabotan yang berserakan, dinding yang penuh coretan imaji, tanaman hias yang mendadak gundul, seringkali menyulut emosi mama saat pulang. Tapi ketika melihat Raka dalam pelukan mama, atau tiduran di paha papa, barulah ia sedikit merasa, sepertinya ada yang tidak adil di hidupnya.
            Rafa meremas pelan-pelan jemari tangannya, merasakan perih itu masih bertahan. Ia punya cara ampuh untuk mengusirnya. Ia beranjak ke meja kecil yang terletak di pojok kamar. Di atas meja itu ada toples kaca yang ia jadikan istana untuk kawan kecilnya—Bruno—seekor ikan cupang berwarna biru terang. Sisiknya bersinar jika terkena cahaya, Rafa sangat menyukainya. Selain karena sisik yang bersinar itu, hewan kecil itulah tempat satu-satunya ia bercerita tentang apa pun. Ia membelinya dari tukang ikan hias yang sering mangkal di depan sekolahnya. Demi mendapatkan Bruno, ia rela tidak jajan hari itu, karena jika minta sama mama, pasti tidak dibolehkan—seperti yang sudah-sudah.
            “Bruno … kamu tau tanganku perih? Ayo, cepat sembuhkan!” tutur Rafa seraya mengobo-obok istana Bruno. Ikan kecil berekor indah itu tidak terlihat panik, ia hanya berusaha mengimbangi gelombang air yang ditimbulkan oleh gerakan tangan tuannya.
            “Aku sudah belajar seperti Bang Raka, duduk di bangku paling depan sesuai permintaan mama, tapi kenapa huruf-huruf itu masih mengamuk?” keluh Rafa, dengan gerakan tangan yang masih sama.
            “Bruno … kamu beruntung, lahir dari ibu yang sangat menyayangimu. Buktinya, dia mengajarimu cara berenang yang baik. Berapa lama pun aku mengganggumu seperti ini, kamu tidak pernah pusing, kan? Aku iri sama kamu!”
            Kedua mata Rafa setia mengawasi Bruno yang begitu gesit menghindar setiap kali ia mencoba menangkapnya.
            “Kulihat waktu itu … jumlah kalian banyak. Apakah kalian bersaudara? Apakah saudaramu juga lihai berenang sepertimu? Lalu … kenapa aku dan Bang Raka berbeda? Sepertinya kami memang bukan saudara. Mama tidak melahirkanku, ia hanya menemukanku di suatu tempat, seperti aku menemukanmu di depan sekolah.”
            Demikian Rafa selalu bercengkrama dengan Bruno, kawan kecil yang diyakininya bisa memahami perasaannya. Setelah itu, ia akan merasa lebih baik, seiring reda pula rasa perih di tangannya.
---
            Mama gelisah. Ia berada di dapur untuk menyiapkan makan malam, tapi sedari tadi ia hanya mondar-mandir. Ia seperti itu bukan karena teringat Rafa yang tega ia kurung tanpa memberinya makan siang terlebih dahulu sepulang sekolah tadi. Tapi ia kembali terngiang perkataan Pak Guru tadi pagi. Setelah sebulan Rafa belum juga menunjukkan tanda-tanda bisa mengikuti pelajaran dengan baik—bahkan selalu bikin onar di dalam kelas—Pak Guru menyarankan agar bocah yang sering bertingkah ekstrim itu dikirim ke Sekolah Luar Biasa (SLB) dan diasramakan di sana.
            “Tapi anak saya tidak gila, Pak! Keluarga kami bersih dari riwayat kelainan itu,” tandas Mama setelah cukup terpukul dengan perkataan Pak Guru.
            “Saya tidak bilang anak Ibu gila, tapi dia tidak cocok di sini. Anak seperti dia butuh penanganan khusus, perhatian ekstra. Sementara kurikulum yang berlaku di sekolah ini belum mendukung untuk hal itu.”
            “Apakah Bapak sedang mengatakan bahwa Rafa dikeluarkan dari sekolah ini?”
            Sesaat, Pak Guru bungkam. Ia sedang merangkum kalimat yang tepat.
            “Kami tidak bisa tinggal diam, sementara para orang tua murid mulai meresahkan kehadiran Rafa di sini. Bahkan, mereka mengancam akan menarik anak mereka dari sekolah ini jika kami tidak mengambil tindakan tegas.”
            Kata ‘kami’ di awal kalimat Pak Guru membuat mama terenyuh, seisi sekolah itu tidak menginginkan Rafa. Perempuan berkulit kuning langsat itu berusaha tetap tenang, mencoba memosisikan diri sebagai orang tua murid yang lain. Wajar jika mereka resah. Hampir setiap hari ada saja anak yang dibikin menangis oleh Rafa. Setiap saat pihak sekolah menelepon, ada saja onar yang diperbuat bocah berusia enam tahun itu. Mama kalut. Sejujurnya, ia pun sudah kehabisan cara menghadapi putra bungsunya itu. tapi ia tidak mungkin tega menyisihkan dan membiarkannya tinggal di asrama.
            “Beri saya waktu, Pak! Saya akan menyewa guru les privat untuk Rafa. Bahkan guru kepribadian atau apa pun itu. Saya jamin, dalam waktu dekat ini anak saya bisa menyesuaikan diri di sekolah ini,” ucap mama berapi-api.
            “Lebih baik Ibu mempertimbangkan saran saya tadi. Lebih cepat, lebih baik. Mumpung ini masih awal tahun pelajaran, jadi tentu administrasinya tidak akan dipersulit. Selain itu, Rafa tidak terlalu jauh ketinggalan pelajaran,” tutur Pak Guru sambil tetap menjaga wibawanya.
            “Tapi SLB itu untuk anak yang cacat. Sementara Rafa …?” mama tercekat. “Dia baik-baik saja seperti yang Anda lihat. Apa kata tetangga nanti? Keluaraga saya pasti akan jadi bahan gunjingan,” lanjut mama dengan suara agak bergetar.
            “Kita harus menyelamatkan masa depan Rafa, itu yang paling penting sekarang,” tandas Pak Guru.
            Mama terkesiap. Suara panci yang beradu dengan tutupnya, serta desisan air mendidih menyadarkannya dari lamunan. Air rebusan kentang di dalam panci itu meluap. Setengah terperanjat, ia lekas mematikan kompor. Perempuan yang kerap berpenampilan glamour itu sedang menghakimi diri sendiri, dosa apa yang ia punya di masa lalu sehingga Tuhan menitipkan anak seperti Rafa untuknya?
            Mama menelepon papa, ia memintanya agar pulang lebih awal hari ini. Ia bisa gila jika menanggung beban itu sendirian. Papa harus ikut berpikir, dan dia berhak memutuskan. 30 menit kemudian, yang sedang ditunggu pun muncul dengan setumpuk file di tangan kanannya. Sepertinya pekerjaan penting yang terpaksa ia lanjutkan di rumah setelah sang istri memperdengarkan suara cemasnya tadi. Setelah menyuguhkan secangkir teh hangat, mama mulai memaparkan hal yang mengacaukan pikirannya hari ini.
            “Setelah dewasa nanti, tentu Rafa akan membantu papa memajukan perusahaan ini. Tapi jika kondisinya seperti itu, bagaimana bisa?” pungkas papa dengan santainya setelah mama bercerita panjang lebar. Kemudian ia meraih secangkir teh di atas meja, diseruputnya sekali, kemudian dikembalikan lagi ke tempat semula.
            Mama menangkap makna lain di balik kalimat suaminya itu. Laki-laki bertubuh gempal itu mengiyakan tindakan apa pun agar Rafa bisa menjadi anak yang membanggakan. Minimal seperti Bang Raka. Papa menunjukkan reaksi di luar dugaan sang istri. Laki-laki pecandu tembakau itu memang tidak terlalu dekat dengan kedua putranya. Yang ia tahu, ia hanya perlu fokus bekerja untuk menafkahi mereka. Tapi bagaimana bisa ia sesantai itu menanggapi hal ini? Tidakkah ia memikirkan perasaan bocah berusia enam tahun yang tiba-tiba harus dipisahkan dari keluarganya? Mama menitikkan air mata, ia benar-benar kalut kali ini. Sesering apa pun Rafa berulah selama ini, seberapa banyak pun ia harus minta maaf kepada orang tua murid yang anaknya dibuat menangis oleh putranya itu, tapi naluri seorang ibu dalam dirinya bicara. Ia yang melahirkannya. Bukan perkara mudah untuk melepasnya begitu saja dan membiarkannya hidup terpisah … sendirian!
            Namun, setelah melalui pemikiran panjang yang melibatkan emosi seorang ibu, ia akhirnya menghubungi nomor telepon pengelola salah satu SLB yang ia dapatkan dari Pak Guru tadi pagi. Bukan selepas ia berhasil merelakan Rafa hidup terpisah, tapi karena ia menginginkan masa depan yang cerah untuk putra bungsunya itu. Hanya ini jalan yang terbaik—untuk saat ini.
---
            Rafa menyantap makanannya agak rakus, tumben mama memasakkan nasi goreng favoritnya. Tapi ada yang aneh dengan sikap mama tadi, ketika mengantarkan makanan itu. Tiba-tiba perempuan lampai itu memeluknya. Sikap semacam itu sudah lazim terhadap Bang Raka, tapi tidak baginya. Wajar jika Rafa merasakan ada yang mengganjal. Besok, mereka akan ke sekolah yang baru. Sekolahnya lebih bagus, ada asramanya juga, sesuai perkataan mama tadi. Sekolah yang baru? Kenapa harus ada asramanya? pikiran-pikiran itu timbul tenggelam tidak terlalu penting di benak bocah berambut lurus itu. Ia hanya ingin menuntaskan rasa laparnya segera.
            Rafa tertidur pulas setelah menghabiskan makanannya. Jam 9 malam, ia terjaga. Ia baru teringat kembali perkataan mama tadi sore, tentang sekolah baru, tentang asrama. Rafa masih terlalu kecil untuk memahami bentuk sekolah ber-asrama itu. Tapi perasaannya mulai tidak enak. Entah dari mana ketakutan itu menelusup tiba-tiba. Ia berfirasat, sepertinya papa-mama dan Bang Raka akan membuangnya. Ke sekolah ber-asrama itukah ia akan dibuang? Rafa mulai gelisah. Bocah penggemar permen itu bangun dan turun dari tempat tidurnya. Ia harus mengadu kepada kawan kecilnya.
            “Bruno, sepertinya kita akan bernasib sama, dibuang dan dilupakan oleh keluarga kita.” Rafa bersila di lantai, ia merapatkan dagu di permukaan meja. Kedua biji matanya berputar-putar, mengikuti arah Bruno yang berenang ke sana ke mari.
            “Tapi kenapa keluargamu membuangmu dan membiarkan Mamang itu menjualmu? Nilai-nilaimu buruk, ya? Atau kamu juga sering membuat teman-temanmu menangis?” tanya Rafa seraya menepuk-nepuk sisi toples kaca itu.
            “Bruno, kamu tau asrama itu seperti apa?” Rafa jeda sejenak, seolah menunggu kawan kecilnya itu memberi jawaban. “Pasti sangat buruk. Mungkin semacam tempat pembuangan untuk anak-anak sepertiku,” tandasnya kemudian.
            “Tapi, aku tidak mau ke sana, Bruno. Kamu juga pasti sedih, kan, kalau aku ke sana?” Rafa terus menepuk sisi istana kawan kecilnya itu.
            “Malam ini aku harus belajar. Aku harus melawan huruf-huruf yang mengamuk di buku-buku itu. Jika aku sepintar Bang Raka, pasti Mama tidak akan membuangku ke asrama itu.” Rafa sudah memantapkan hati. Dengan penuh keyakinan, ia beranjak ke meja belajar.
            Rafa meraih kursi plastik bergambar Naruto—karakter favoritnya. Ia mengeluarkan buku pelajaran matematika dari tas sekolahnya, kemudian memosisikan diri senyaman mungkin. Ia bermaksud mengulangi soal-soal latihan tadi pagi yang lagi-lagi melahirkan angka bertinta merah di buku catatannya. Rafa benar-benar mengerahkan segenap kemampuannya kali ini. Jika ia bisa menjawab soal-soal itu dengan baik, semoga mamanya mengurungkan niat dan melupakan sekolah ber-asrama itu. Berbekal ingatan ketika Pak Guru menjelaskan di depan kelas, atau ketika Bang Raka memberinya bimbingan khusus, Rafa berusaha mengerjakan soal-soal penjumlahan itu dengan teliti. Sesekali ia terhuyung, rasa kantuk mulai menguasainya. Angka-angka di buku itu mulai menari-nari di pandangannya, hingga ia benar-benar tidak kuat lagi. Ia ketiduran di meja.
---
            Pagi-pagi mama sudah mengenakan high heels favoritnya. Ia tergopoh-gopoh menuju kamar Rafa. Mama bermaksud membangunkan bocah itu dan menyuruhnya bersiap-siap. Hari ini juga, ia akan mendaftarkan putranya itu ke SLB yang diusulkan oleh Pak Guru. Tapi saat ia tiba di kamar bocah penyuka warna hitam itu, ia mendapati hal yang tidak biasa. Rafa sudah berseragam, lengkap dengan sepatunya. Bahkan ia menyisir rambutnya dengan rapi. Sejenak, mama tercengang. Ada apa dengan Rafa? Sejak kapan ia bisa bangun pagi sendiri? Rafa masih berdiri di depan cermin, memerhatikan detail penampilannya dengan seksama. Kemudian ia mendekat, setelah menyadari kehadiran mama. Ia menyodorkan buku catatannya kepada perempuan yang masih tercengang itu, memperlihatkan soal-soal yang ia kerjakan tadi malam. Masih dalam dekapan rasa heran, mama meraih buku itu. Apa yang ingin Rafa tunjukkan? Pikirnya. Di antara lima soal yang berhasil ia jawab, hanya satu nomor yang benar. Tapi tulisannya membaik. Bahkan, ini tulisan terbaik Rafa sejauh ini. Sekarang mama paham, bahwa putra bungsunya itu bermaksud menyampaikan ketidaksediaannya ke SLB itu. Detik selanjutnya, Rafa kembali menerima hal yang tidak biasa, mama memeluknya.
            Pagi hari, suasana perjalanan ke sekolah selalu sama bagi Rafa. Ia lebih banyak diam, seolah enggan mengganggu keseruan obrolan papa dan Bang Raka. Tema obrolannya pun selalu sama, seputar prestasi abangnya itu. Yang berbeda kali ini adalah keikutsertaan mama, serta sebuah koper besar yang nampaknya full muatan.
            Mereka tiba di SD Citra Bangsa. Bang Raka mencium tangan papa dan mama, kemudian menepuk pundak Rafa sebelum turun. Mobil kembali melaju dengan pelan. Harusnya Rafa juga sudah turun, dan biasanya langsung berlari mendahului Bang Raka. Tapi hari ini tidak, karena mama punya sekolah baru untuknya.
            Setelah sejam perjalanan, mereka tiba di SLB sesuai alamat yang diberikan oleh Pak Guru. Mereka disambut baik oleh kepala sekolah yang sepertinya memang sudah menunggu. Setelah menyelesaikan semua administrasi, papa dan mama pamit sama Rafa. Tak banyak yang bisa diucapkan oleh mama, ia hanya memeluk putra bungsunya itu berkali-kali serta menghujaninya dengan ciuman. Sungguh, dalam hati kecilnya, ia tidak tega. Tapi mama sadar, ini demi kebaikan Rafa juga. Sementara papa, ia hanya mengelus kepala anak keduanya itu sebelum pergi. Mereka benar-benar meninggalkan Rafa bersama koper besar yang berisi barang-barang kebutuhan bocah bermata sipit itu. Rafa yang seolah memiliki kekuatan berlebih selama ini, yang selalu tampak kuat dan tidak takut terhadap apa pun, kali ini benar-benar rapuh. Ia menitikkan air mata setelah menyadari kenyataan bahwa papa dan mama benar-benar membuangnya. Ia tidak diinginkan karena tidak bisa membanggakan seperti Bang Raka. Di saat-saat seperti ini, mendadak Rafa teringat kawan kecilnya, Bruno.
            Hari-hari pertama Rafa di SLB itu cukup merepotkan para guru, ia tidak bisa beradaptasi dengan baik. Rafa mendapatkan perhatian khusus, karena secara fisik, ia tidak kurang apa pun seperti kebanyakan murid di SLB itu. Sebelum akhirnya seorang guru bernama Bu Viona, menyadari bahwa Rafa mengidap disleksia, sebuah gangguan dalam perkembangan baca tulis yang terjadi pada anak usia enam hingga delapan tahun. Disleksia tidak hanya sebatas ketidakmampuan seseorang untuk menyusun atau membaca kalimat dengan baik, tapi juga kesulitan menerima perintah yang seharusnya dilanjutkan ke memori otak. Hal inilah yang menyebabkan Rafa selalu gagal fokus, sekeras apa pun ia mencoba. Dan sebagai bentuk kekesalan atau pelampiasan, terkadang ia bertingkah ekstrim. Bu Viona menyadari kelainan Rafa setelah mencermati tulisan bocah itu dan menemukan banyak huruf ataupun angka yang ditulis terbalik. Bu Guru berjilbab itu merasa iba terhadap bocah yang belum genap sebulan jadi muridnya itu. Ia merasa bertanggung jawab untuk menyelamatkan masa depannya. Kasihan, orang tuanya serta-merta menitipkannya di SLB itu tanpa paham kelainan yang dideritanya. Bu Viona mulai memberikan perhatian ekstra terhadap Rafa, berbagai metode khusus pun diterapkan dalam proses belajarnya.
            Rafa senang dengan Bu Viona, karena belajarnya tidak melulu di dalam kelas. Sesekali, Bu Guru bersenyum lembut itu mengajaknya belajar di luar ruangan. Hal ini membuat mereka sangat dekat. Berbekal kesabaran Bu Viona dalam membimbingnya, Rafa bertekad akan menjadi anak yang bisa membanggakan papa dan mama. Setiap latihan soal yang nilainya baik, dikumpulkannya. Maksudnya untuk ditunjukkan ke papa dan mama. Dengan sebuah harapan, semoga nilai-nilai yang tak lagi bertinta merah itu bisa membawanya segera kembali ke rumah.
---



PROFIL PENULIS

            Ansar Siri, penyuka warna merah ini menghabiskan masa kecil hingga remaja di tanah kelahiran, Bone, Sulawesi Selatan. Kemudian mulai bekerja di sebuah perusahaan retail yang mengharuskannya berpindah dari satu kabupaten ke kabupaten lainnya. Terakhir, menetap di Makassar. Kecintaannya pada dunia menulis berawal dari kebiasaan menulis catatan harian. Ia punya mimpi untuk mengharumkan nama daerahnya melalui tulisan.
Lebih dekat dengan penulis;
Email               : ansarsiri357@gmail.com
Facebook         : Ansar Siri
Twitter             : @SiriAnsar

*Cerpen ini saya tulis untuk lomba cerpil UNSA 2016, tapi tidak lolos. Kemudian saya ajukan ke majalah online, Taman Fiksi, juga ditolak. Dan akhirnya tayang di Flores Sastra pada tanggal 11 Agustus 2016.

Minggu, 21 Agustus 2016

Review: Masa Lalu yang Tertinggal




Judul                                       : Masa Lalu yang Tertinggal


Penulis                               : Riri Ansar



Penerbit                                  : Euthenia



Tebal                                       : 152 hlm



ISBN                                      : 978-602-1310-35-9



Andai aku bisa kembali mengulang waktu, aku tak pernah ingin menyakitimu, aku sangat mencintaimu.



Blurb:

            Cinta selalu membuat kita merasakan hal-hal aneh, namun nyata. Saat kita bertemu dengan orang yang kita suka, melihatnya melintas di depan kita saja mampu membuat hati berdegup kencang. Kita selalu menunggunya, selalu mencoba mencuri perhatiannya. Tak jarang, kita bahkan melakukan hal-hal yang terasa bodoh hanya untuk melihatnya tersenyum atau membuatnya bahagia. Cinta pula yang selalu membuat kita mencoba terlihat sempurna di depan orang yang kita cintai. Namun, ketika cinta itu pupus, kita lebih sering menangis, lebih sering menyendiri, dan merasa hidup sangat buruk.

            Jatuh cinta memang indah rasanya, melewati malam dengan doa-doa dan harapan. Rindu yang tak pernah usai, atau genggaman jemari yang begitu hangat. Bila kelak semuanya berakhir, mampukah kita menjadi dua sahabat? Mampukah dua hati yang terkoyak bisa terus saling bertegur sapa? Cinta tak pernah bisa ditebak, namun kenangan akan selalu hadir apa pun bentuknya.

            Seandainya saja waktu bisa diulang, mungkin semua kisah cinta akan berakhir bahagia. Mungkin saja kau dan aku pun akan masih saling memuja rindu, masih akan saling memeluk impian. Entahlah, jika memang yang tersisa hanya kenangan, mungkin ini juga yang terbaik untuk kisah kita.




            Sejarahnya, aku ketemu buku ini tidak sengaja di sebuah minimarket—bukan di toko buku. Jujur, aku beli kumcer ini karena nama penulisnya mirip-an sama namaku. Hehehe ....

            Ternyata kumcer ini sangat cocok sebagai teman bersantai, cocok dibaca sambil minum kopi, atau makan kacang. Kenapa? Karena cerita yang disajikan cukup simple, konfliknya juga sangat lazim dalam keseharian. Settingnya pun beragam, mulai dari ibu kota yang hingar bingar, hingga pedesaan yang berlatarkan suara jangkrik.

            Tapi sayang, ada beberapa kata yang salah cetak. Di hal 10, 41, 42, 52, 106, 109, 114, dan 124 (maaf jika aku keliru).

            Aku suka pohon kesunyian yang digambarkan di cerpen PENGIRIM RAHASIA KARTU BERGAMBAR HATI. Namun, ada satu cerpen yang membuatku bingung, EMBUN CINTA DI TAMAN KOTA, serupa ada sesuatu yang mengganjal, tapi aku pun sulit membahasakannya. Yang sudah baca, mungkin merasakan hal yang sama. (Maaf jika aku keliru)

            Dan di antara 11 cerpen dalam buku ini, aku paling suka cerpen yang berjudul SALIKHA. Di antara banyak cerpen yang mengangkat kisah remaja dengan kesehariannya yang gaul, dengan gaya bicara Lo-Gue, tiba-tiba cerpen ini hadir dengan warnanya sendiri. Berlatarbelakang pondok pesantren, menceritakan cinta sejati seorang putri Kiai, yang rela menerima calon suaminya meski sudah lumpuh. Penempatannya kedua dari belakang, sangat tepat. Ketika pembaca (mungkin) sudah mulai jenuh, tiba-tiba disuguhi kisah yang menyayat hati. Keren!


Terima kasih untuk karyanya, Mbak ....

Sukses selalu!


Review: Jilbab (Love) Story




Judul                                       : Jilbab (Love) Story


Penulis                                    : Redy Ugeng Kuswanto



Penerbit                                  : Orange (Imprint Citra Media Pustaka)



Tebal                                       : 184 hlm



ISBN                                      : 978-602-8508-01-8



Ketika hati merindukan impiannya



Blurb:

            Sebuah ajang pencarian bakat telah membawa Melody ke dunia yang baru, dunia yang selama ini hanya ada dalam impiannya. Para juri menobatkannya sebagai diva remaja pendatang baru. Namanya dielu-elukan dan menjadi idola seantero Nusantara. Masa depan yang sangat cerah terbentang luas di hadapannya. Inilah jalan hidup yang sudah lama dia dambakan.

            Hanya saja, Melody dihadapkan pada dua pilihan yang sangat sulit. Seorang produser menawarinya untuk rekaman sekaligus tampil exclusive di salah satu stasiun televisi ternama. Tetapi syaratnya begitu berat: dia harus melepas jilbabnya!

            Jelas hati kecilnya tidak akan mau memenuhi syarat itu. tapi di sisi lain, Melody tak rela kehilangan peluang emas itu. lalu, bagaimana kisahnya mempertahankan idealisme sekaligus bisa meraih impiannya menjadi diva Indonesia?



            Sejak pandangan pertama, saat si tukang pos mengantarkannya sore itu, aku langsung jatuh hati pada cover-nya yang bernuansa lembut. Ternyata cover benar-benar mewakili keseluruhan isi novel ini yang diceritakan secara lembut.

            Novel ini sangat cocok dengan kadar otakku yang kadang ngadat jika berhadapan dengan diksi yang terlalu 'mewah'. Sementara di novel ini, diksinya manis, dan bikin aku senyum-senyum sendiri di beberapa bagian.

            Si penulis membuat Ryan tahu masalah yang dihadapi Melody dengan cara yang unik, lewat pesan WA yang nyasar. Good job! Aku juga suka bagian yang menggambarkan masa kecil Mel bersama Mbak Ony, aku membacanya berkali-kali. Aku bisa merasakan kerinduan Mel di situ.

            Bagian yang membuat hati saya bergetar, ketika Nuri menyampaikan keinginannya untuk berjilbab. Tapi sayang, di bagian akhir, tidak ada gambaran jika Nuri sudah berjilbab. Mungkin lebih manis jika bagian itu ada, meskipun cuma satu kalimat (maaf jika aku keliru).

            Novel ini menghadirkan penggalan-penggalan flash back yang bikin emosi pembaca makin teraduk. Ciamik.

            Karya sebagus apa pun, pasti masih ada celanya. Pun dengan novel ini. Aku menemukan 4 kata yang salah cetak; pada hal 129, 134, 155, dan 182. Tapi itu termaklumi, dengan keseluruhan isi cerita yang membuat kita hanyut pada setiap kalimatnya.

            Di antara semua bagian, aku paling suka epilognya. Penulis berhasil menggambarkan perasaan cinta pada gadis berjilbab dengan narasi yang cantik, dan tentu saja takaran yang pas untuk kedua tokoh remaja dalam novel ini.

            Karya yang sukses, ketika pembaca merasakan emosi yang dituangkan si penulis dalam setiap kalimatnya. Dan di novel ini, sedih, bahagia, dan apa pun itu ... aku merasakannya. Tidak berlebihan jika kukatakan novel ini cocok untuk mereka yang menginginkan tulisan yang ringan, tapi sarat akan makna.


Terima kasih untuk karyanya, Bang ....

Sukses selalu.


‪#‎UlasanAnsarSiriTop of FormBottom of Form