Sabtu, 24 Februari 2024

Belahan Jiwa dari Dunia Lain (Bab 8)

 


Indah terjaga dari tidur pulasnya, mendapati cahaya matahari sore menyapa hangat lewat celah-celah dinding bambu. Karena di gubuk itu hanya ada dua kamar tidur, ia terpaksa berbagi dengan Fidelya. Indah yang sedang tidak ingat apa-apa tentang asal-usulnya, sama sekali tidak mempermasalahkan. Mereka mau menampung saja, itu sudah cukup.

Setelah tidur selama hampir dua jam, perasaan Indah jauh lebih baik. Meski badannya masih pegal. Rasanya seperti habis melakukan perjalanan jauh. Ia turun dari pembaringan dan merapat ke sisi jendela. Ia menyibak daun jendela dan membebaskan pandangan. Pemandangan yang ditemuinya sama saja, pohon-pohon berdaun kelabu, langit hitam, juga rumput keemasan. Indah yakin, ada warna lain yang lebih cocok dengan alam ini. Entah apa yang sedang terjadi di sini.

"Calie!"

Indah agak tersentak. Seseorang membuyarkan lamunannya. Ia menoleh dan mendapati Fidelya dengan selembar kain putih di tangannya.

"Kamu sudah bangun rupanya." Fidelya mendekat.

Indah tersenyum lemah.

"Nenek menyuruh saya menyerahkan ini."

"Kain putih?" Indah mengernyit memandang benda yang disodorkan Fidelya.

"Kamu harus mengganti pakaianmu dengan ini."

"Kenapa harus begitu?"

"Karena di pulau ini hanya kaum aline yang boleh mengenakan pakaian berjahit."

"Kaum aline?" Indah merasa semua hal di tempat ini membingungkan.

"Kaum aline adalah orang-orang yang derajatnya dimuliakan. Sementara kamu, asal usulnya belum jelas. Kalau sampai pihak kerajaan tahu kamu mengenakan pakaian berjahit, kamu akan dipenjara."

"Dipenjara?" Indah kaget. Separah itu?

"Iya. Di pulau ini yang memegang kekuasaan adalah seorang raja, Raja Aaron. Orangnya sangat angkuh dan keras kepala. Perintahnya adalah mutlak. Menentang sama halnya menjemput maut."

Indah tercenung tidak habis pikir. Entah kejutan macam apa lagi yang akan didapatkannya seputar pulau ini.

"Kenapa malah bengong? Ayo cepat ganti pakaian."

"Saya tidak tahu cara memakainya."

"Lepaskan pakaian Kakak terlebih dahulu!" Fidelya berucap sambil memutar badan membelakangi Indah.

Dengan canggung, Indah mulai melepas pakaiannya satu per satu. Kemudian ia menutupi tubuhnya dengan kain putih tadi, sembarangan saja. Kemudian Fidelya membantu merapikannya. Indah risi. Ia jadi tidak leluasa bergerak.

"Namanya juga baru pertama. Lama-lama juga terbiasa, kok."

Indah memandangi tubuhnya dalam balutan kain putih. Sungguh, ia tidak nyaman. Fidelya masih membantu merapikan ujung-ujungnya, ketika Indah tiba-tiba teringat sesuatu.

"Kenapa kamu berniat bunuh diri?"

Pertanyaan spontan itu membuat segenap aktivitas Fidelya terhenti. Ia bangkit dari posisi jongkok, kemudian menatap manik mata Indah sesaat, sebelum tatapan berkaca-kaca itu dilempar ke luar jendela. Saat kedua tangannya mencengkeram tepi bawah jendela, tahu-tahu air matanya sudah meruah.

Menyadari hal itu, Indah jadi merasa bersalah.

"Maaf jika pertanyaanku salah. Tidak usah dijawab."

***


Sementara itu, di sebuah ruangan rahasia dalam gubuknya, Nenek Waruga terpaku menatap sesuatu di sana. Dugaan-dugaan entah apa berkelebat di benaknya. Hal itu dipicu oleh sebuah keajaiban tadi malam, sesuatu yang sudah sangat lama dinantikannya. Kemudian disusul dengan kemunculan Indah dengan cara berpakaian yang tidak biasa. Ada yang lebih mengejutkan, cincin naga berkepala manusia yang dikenakan Indah. Melihat benda mungil itu, Nenek Waruga setengah mati menyembunyikan keterkejutannya. Meski raut wajahnya berhasil disamarkan, jantungnya tetap bereaksi lebih.

Nenek Waruga masih memandang lamat-lamat sesuatu dalam ruangan itu. Banyak hal terproses di benaknya. Berusaha saling terangkai, berusaha membuat kesimpulan. Meski sebenarnya sudah yakin, Nenek Waruga tidak ingin gegabah. Ia harus mencerna baik-baik apa yang telah terjadi, pun kemungkinan selanjutnya.

***


Malam pertama Indah di gubuk itu, di sebuah pulau asing dengan segenap keanehannya. Mereka sedang makan malam, duduk mengitari meja bundar yang terbuat dari potongan batang pohon yang masih menampakkan corak aslinya. Potongan kayu dengan ketebalan hampir sejengkal itu pasti berasal dari pohon raksasa, tebak Indah!

Indah memperhatikan makanan yang tersaji di atas meja. Ada banyak umbi-umbian, sayur daun, ikan bakar, dan tentu saja nasi. Mereka makan tanpa sendok, langsung menggunakan tangan. Indah berusaha untuk beradaptasi.

"Oh, ada tamu rupanya." Suara itu menyela tiba-tiba.

Indah berhenti mengunyah. Ia menegakkan kepala demi mencari sumber suara cempreng aneh tadi. Indah yakin, suara tadi bukan milik Fidelya ataupun Nenek Waruga.

"Kamu dari mana saja, Huzia? Seharian entah ke mana, tahu-tahu pulang malam," gerutu Nenek Waruga.

Huzia? Indah heran. Siapa yang Nenek Waruga maksud? Mencegah kebingungannya berlarut-larut, Indah mengikuti arah pandang Nenek Waruga yang bertumpu di jendela. Tapi yang ada Indah malah semakin bingung. Tidak ada siapa-siapa di sana, hanya seekor burung elang bermata besar.

"Aku habis ngintipin cowok-cowok ganteng di perkampungan."

Seketika Indah terbelalak. Suara cempreng aneh tadi ternyata berasal dari burung elang itu. Tapi tunggu, sungguh, ia bisa bicara?

"Dasar!"

"Aku memang burung, tapi bukan berarti tidak butuh lihat yang cakep-cakep. Pusing, tahu setiap hari cuma lihat pohon." Kali ini burung elang itu berucap sambil mengibas-ngibaskan sebelah sayapnya yang berbulu abu-abu keperakan.

Indah mengerjap-ngerjap demi memastikan tidak salah lihat. Bahkan elang itu sadar, bahwa ia hanya seekor burung. Tapi bagaimana ia bisa bicara? Apakah semua keanehan memang sengaja dikumpulkan di pulau ini?

"Tapi gara-gara kamu menghilang, saya dan Fidelya terpaksa harus cari ikan sendiri di sungai untuk makan malam. Bukankah itu tugasmu? Apa kamu sudah lupa dengan janjimu sendiri?"

"Itu bukan tugas, tapi balas budi. Aku tidak mungkin lupa." Burung elang bernama Huzia itu menunduk, tampak menyesal. Nada suaranya melemah.

Mendengar hal itu, kekesalan Nenek Waruga langsung menguap.

"Ya sudah, sana, masuk!"

Huzia melompat turun ke lantai, lalu berjalan menuju kamar sambil terus menunduk.

Indah memperhatikan setiap pergerakan burung elang itu, dan masih sulit mempercayai ia benar-benar bisa bicara.

***


"Sudah, jangan dimasukin ke hati. Kamu tahu nenek, kan? Dia tidak bermaksud marahin kamu, kok." Selesai makan, Fidelya sengaja langsung masuk ke kamar menemui Huzia. Ia tahu pasti seperti apa suasana hatinya saat ini. Meskipun cuma burung, Huzia satu-satunya teman yang dimiliki Fidelya selama ini, sejak memutuskan untuk tinggal di gubuk itu. Mereka sudah melalui banyak hari bersama. Huzia selalu bisa menjadi pendengar yang baik setiap kali Fidelya bercerita tentang apa saja.

Di salah satu sudut kamar, beralaskan bantal kecil di atas meja, Huzia meringkuk di sana. Ia memang seperti itu, suka merasa bersalah berlarut-larut, namun gampang pula mengulanginya.

Huzia terkenang kembali awal perjumpaannya dengan Nenek Waruga. Saat itu, entah dengan cara apa, Nenek Waruga menyelamatkannya dari bidikan anak panah pemburu yang melesat tajam ke arahnya. Sejak saat itulah Huzia merasa berutang nyawa, lalu menawarkan diri untuk tinggal bersama dan membantu meringankan pekerjaan sehari-hari Nenek Waruga.

Nenek Waruga yang sebenarnya punya kemampuan khusus bisa melakukan segala sesuatunya dengan mudah. Ia sama sekali tidak butuh bantuan dari seekor burung. Namun siapa sangka, ternyata Huzia cukup bisa diandalkan dalam beberapa hal. Terutama untuk menangkap ikan di sungai. Terlepas dari semua itu, kehadiran Huzia membuat kesepian panjang Nenek Waruga berakhir. Itu yang paling penting.

Yang membuat Huzia betah, Nenek Waruga adalah orang pertama yang tidak kaget sangat mengetahui dirinya bisa bicara. Sebelumnya, ia pernah mencoba bicara dengan salah seorang warga di perkampungan, bermaksud bersosialisasi. Yang ada, ia malah diburu karena dikira siluman berbahaya yang akan mengancam keselamatan warga. Sejak saat itu Huzia memutuskan untuk tidak menunjukkan kemampuan bicaranya di depan sembarang orang.

"Eh, kita punya teman baru. Kamu tidak mau kenalan?"

Indah yang memang sedari tadi penasaran dengan sosok burung elang yang bisa bicara itu, langsung mendekat ketika Fidelya memberinya kode.

"Hei, aku Calie."

Melihat Indah mengulurkan tangan, Huzia memaksakan diri untuk berdiri, lalu merentangkan sayap kanannya untuk menyambut tangan Indah. "Huzia." Ia menyebutkan nama dengan suara cempreng aneh yang makin ke sini makin terdengar lucu di telinga Indah.

Indah mengawali perkenalan itu dengan senyuman lebar. Huzia ingin membalas, tapi tentu saja ia tidak bisa tersenyum seperti itu. Sebagai gantinya, ia hanya memiringkan kepala, lalu mengerjap-ngerjap dengan antusias. Sebenarnya hal itu lebih sering ia lakukan ketika melihat cowok-cowok ganteng. Entahlah, dengan bersikap seperti itu, ia merasa aura kecantikannya lebih terpancar. Meski tidak akan ada yang peduli standar kecantikan untuk bangsa burung sepertinya.

Setelah merasa cukup, Huzia kembali meringkuk. Fidelya tahu pasti, keceriaan teman burungnya itu belum pulih. Karena aslinya sangat cerewet. Terlebih saat bertemu orang baru yang bisa menerima kenyataan bahwa dirinya bisa bicara. Fidelya tentu masih ingat saat pertama kali mengenal Huzia beberapa bulan yang lalu. Saat itu ia langsung dicecar berbagai macam pertanyaan. Fidelya memaklumi, malah menjadikannya hiburan. Huzia jarang, atau hampir tidak pernah berinteraksi dengan orang-orang, wajar jika keingintahuannya sangat tinggi.

***


[Bersambung]


Klik link di bawah untuk baca lanjutannya;

KBM

KARYAKARSA

Kamis, 15 Februari 2024

Belahan Jiwa dari Dunia Lain (Bab 7)

 


Indah berjengit, kepalanya berdentang. Ia membuka mata perlahan-lahan. Pandangannya buram, lalu berangsur pulih setelah mengerjap berakali-kali. Indah yang sedang tengkurap di permukaan batu besar mencoba untuk berdiri. Ia mencengkeram tengkuknya yang terasa kaku. Suara gemuruh air yang menghantam bebatuan adalah irama pertama yang kemudian dikenali Indah. Indah melebarkan pandangan, mengamati sekeliling. Ia berada di tengah hutan, tepatnya di tepi sungai yang cukup luas dan berarus deras.

Indah mengernyit. Ada yang aneh dengan tempat ini. Daun pepohonan tak hijau sebagaimana mestinya, tampak kelabu seperti tertutupi debu tebal. Air sungai jauh dari kata jernih, keruh dan berwarna kemerahan. Indah mendongak, menatap langit yang dikerubungi gumpalan awan hitam, membuat tempat ini kekurangan suplai cahaya. Suram, satu kata yang mungkin bisa mewakili suasana tempat Indah berada sekarang.

"Tolong ... tolong ... tolong ...!" lamat-lamat suara itu menggapai pendengaran Indah, irama lain yang kemudian dikenalinya setelah gemuruh air dan kesiur angin yang terdengar aneh.

Hati-hati, Indah turun dari batu besar itu. Entah sejak kapan dan dengan cara apa ia bisa sampai di sana. Tertatih-tatih, Indah bermaksud menemukan sumber suara itu. Seseorang di sana pasti sedang dalam bahaya.

"Tolong ... tolong ... tolong ...!" Semakin jelas.

Indah menoleh kiri-kanan, menyapu pandang sekeliling tempat itu dengan teliti. Indah tersentak kemudian, setelah melihat seorang gadis sedang berjuang melawan derasnya arus sungai. Ia berpegangan pada sebuah batu, tepat di tengah-tengah. Secercah harapan memancar dari wajah panik gadis tadi setelah melihat Indah.

"Tolong!" Suaranya memelas.

Indah bingung. Ia memang harus menolongnya. Namun, bagaimana caranya?

Tanpa pikir panjang, Indah berlari ke sana kemari untuk mencari bantuan. Namun, tidak ada siapa-siapa. Di tengah kepanikan, Indah menemukan kayu panjang di semak belukar. Ide untuk menggunakannya muncul begitu saja. Ia memungutnya dan lekas kembali ke tepi sungai. Indah langsung menjulurkan kayu tadi ke arah gadis yang kian panik. Indah bertumpu pada sebatang pohon agar memudahkannya menarik gadis itu ke tepian.

Setelah gadis itu berhasil menggapai ujung kayunya, Indah lekas menariknya sekuat tenaga. Ternyata tak semudah yang ia kira. Indah menggigit bibir ketika merasa tenaganya mulai habis. Ia nyaris menyerah. Untung gadis itu berhasil tiba di tepian sebelum Indah benar-benar kehabisan tenaga. Ia langsung menghambur memeluk Indah. Tangisnya pecah.

Gadis itu hanya mengenakan selembar kain putih yang ujungnya dililit di dada. Ada luka goresan di lengan dan punggungnya, serta memar di beberapa bagian tubuh lainnya. Dalam pelukan Indah, ia terus menangis. Ia baru saja melalui saat-saat menegangkan.

"Terima kasih sudah menyelamatkan saya," ucapnya dalam sedu sedan.

Indah diam saja. Tak sepatah kata pun ia ucapkan.

Gadis itu melerai pelukannya, lalu menyusut air matanya.

"Oh ya, saya Fidelya." Gadis berwajah tirus itu mengulurkan tangan. "Nama kamu siapa?"

Indah malah diam saja. Tatapannya datar.

Fidelya mulai merasa aneh dengan sikap Indah. Ia juga baru sadar, penampilannya tidak lazim. Benda-benda yang melekat di tubuh Indah, kaus, jaket, jins, sepatu, Fidelya baru pertama kali melihatnya.

"Ada apa? Kok, diam saja?"

Indah berusaha mengucapkan sesuatu, tapi kemudian kepalanya kembali berdentang.

"Kamu sepertinya bukan orang sini."

Indah memegangi kepalanya. Ia pusing.

"Kamu sakit? Rumahmu di mana?"

Indah masih belum merespons. Fidelya semakin bingung menghadapinya.

"Kalau begitu, sebaiknya kamu ikut saya pulang! Sampai kondisimu membaik, kamu bisa istirahat di tempat saya. Tidak jauh, kok, dari sini." Fidelya tersenyum ramah, bermaksud membuat Indah lebih nyaman.

Indah yang tampak sangat kebingungan tidak punya pilihan lain kecuali menuruti ajakan Fidelya. Karena itu ia tidak menolak saat Fidelya meraih pergelangan tangannya untuk mengajaknya mulai berjalan.

Mereka menapaki setapak yang agak licin dan berbatu. Pepohonan rimbun memadati kedua sisinya. Dengan daun berwarna kelabu, entah masih pantas disebut pohon atau tidak. Mungkin lebih enak disebut seuatu yang mirip pohon.

Setelah beberapa belokan, pemandangan yang ditemukan Indah masih sama, pohon-pohon berdaun kelabu yang berderet tidak beraturan. Permukaan tanah tertutupi rumput. Indah yakin itu rumput, meski warnanya malah keemasan. Memang tampak cantik, tapi ini jelas tidak normal. Belum lagi suara-suara entah binatang apa dari kejauhan. Semakin banyak yang diamati justru membuat Indah semakin bingung akan tempat ini.

Fidelya berjalan santai, meski ekspresinya seperti tengah meratapi sesuatu. Sepertinya ia tidak berniat bercerita apa-apa soal tempat ini. Padahal sedikit penjelasan darinya pasti bisa mengurangi tumpukan tanya di benak Indah.

Indah ikut berhenti ketika Fidelya menutup langkahnya.

"Kita sudah sampai," kata Fidelya dengan ekspresi datar.

Jelas saja seketika Indah melongo, sebab yang ada di depan mereka hanya sebidang tanah kosong yang dikelilingi semak belukar, juga dua pohon identik yang menjulang tinggi.

Indah menoleh ke arah Fidelya yang tampak menggumamkan sesuatu. Sesaat kemudian, tiba-tiba sebuah gubuk mengisi sebidang tanah tadi. Meski sedari tadi sudah disuguhi beragam pemandangan aneh, Indah masih belum bisa mengendalikan keterkejutannya. Dari mana gubuk sebesar itu tahu-tahu muncul di sini?

Masih terdapat celah heran di antara kedua bibir Indah ketika Fidelya menoleh ke arahnya dan tersenyum santai.

"Yuk," ajak Fidelya, lalu melangkah lebih dulu.

Setiap ayunan kaki Indah mendekat hingga masuk ke gubuk itu, tatapannya bergerak cepat mengamati keadaan sekitar. Karena penuh keanehan, ia takut sewaktu-waktu akan terjadi sesuatu yang bisa mencelakai dirinya.

"Tidak usah takut." Fidelya seolah mampu membaca isi pikiran Indah. "Jika kamu bertanya tempat paling aman di pulau ini, maka gubuk ini jawabannya."

Setibanya di dalam gubuk, Indah kembali terheran-heran. Bagian dalam gubuk itu sangat timpang dengan tampilan luar yang reyot dan terkesan kumuh. Di dalam sini, perabotan tertata rapi. Ruangan-ruangannya disekat dinding bambu. Tampak nyaman dan bersih. Udaranya juga jauh lebih segar dibanding di luar sana. Semua hal itu membuat Indah semakin bingung hingga sulit berkata-kata.

"Ini rumah Nenek Waruga. Saya cuma numpang di sini."

Indah baru hendak bertanya tentang pemilik rumah yang dimaksud Fidelya, ketika seorang nenek bersama tongkat hitam legamnya muncul dari balik tirai ruang tengah yang baru saja disibaknya. Tanpa perlu diberi tahu, Indah yakin, nenek bungkuk yang berpakaian sama dengan Fidelya itu—hanya mengenakan selembar kain putih yang dililit sebatas dada hingga mata kaki—adalah Nenek Waruga.

Nenek Waruga menatap Fidelya penuh perasaan lega. Terlihat dari sorot mata dan raut wajahnya. Ia juga menatap Indah sebelum mendekat. Kedua matanya sempat memicing seolah menampung rasa heran berlebih.

"Syukurlah, kamu kembali." Nenek Waruga mengusap lembut lengan Indah. Kelegaan kembali tersirat di nada suaranya.

Fidelya tampak sulit berkata-kata. Tangisnya malah pecah kemudian. Ia mendekap Nenek Waruga.

"Bunuh diri tidak akan menyelesaikan masalah. Masalah itu hanya akan berakhir di sisimu, tapi tidak dengan mereka yang kamu tinggalkan, mereka yang menyayangimu."

"Maafkan saya, Nek." Fidelya tersedu-sedu.

Bunuh diri? Indah mengernyit memandang mereka yang masih berpelukan. Ia baru saja menyelamatkan orang yang berniat bunuh diri?

"Kita harus hadapi masalah ini bersama. Kamu harus kuat. Jangan menambah daftar panjang gadis-gadis malang yang berakhir sia-sia."

Fidelya mengangguk sambil berusaha menyusut air matanya. Setelah merasa lebih tenang, ia melerai dekapannya.

"Siapa dia?" bisik Nenek Waruga ke telinga Fidelya setelah beberapa saat memindai penampilan Indah dari ujung coverse abu-abu yang menutupi sepasang kakinya hingga pucuk kepala dengan rambut yang agak berantakan.

"Oh, dia yang menyelamatkan saya, Nek."

"Apakah dia aline[1]?" Nenek Waruga berusaha tersenyum ramah kepada Indah, meski hal itu belum berhasil menyembunyikan tanda tanya besar di matanya.

"Entahlah. Dari tadi dia belum bicara apa-apa. Saya tanya nama dan asalnya saja, dia malah bingung." Fidelya berucap pelan, memastikan Indah tidak risi.

Selama jadi topik pembahasan, Indah hanya diam. Sesekali ia menyapukan pandangannya. Tampak jelas, rasa herannya akan tempat itu belum surut.

Nenek Waruga merapat ke sisi Indah. "Siapa namamu, Nak?" Bahkan untuk ukuran aline, penampilan Indah ini masih tergolong aneh. Siapa dia sebenarnya? Nenek Waruga semakin penasaran.

Indah berusaha keras untuk menjawab. Sayang, ia tak menemukan sepatah kata pun yang pantas diucapkan. Ujung-ujungnya kepalanya kembali berdentang.

"Sepertinya dia tidak ingat apa-apa," sela Fidelya.

"Bagaimana kamu bisa tiba-tiba muncul dan menolong Fidelya?"

Indah malah menggeleng tidak jelas. Sepertinya dugaan Fidelya benar.

"Kamu jangan takut. Untuk sementara kamu bisa tinggal di sini bersama kami, sampai ingatan kamu kembali." Nenek Waruga tersenyum lembut. Ia berusaha meredam riak-riak kebingungan di wajah Indah.

Indah balas tersenyum lemah.

"Dan mulai sekarang, nama kamu Calie." Nama itu terlintas begitu saja di benak Nenek Waruga. Di pulau ini, calie berarti cantik. Itulah penilaian pertama Nenek Waruga saat pertama kali tatapannya berlabuh di manik mata Indah.

"Calie?" Indah mengernyit. Wajar jika ia merasa aneh dengan nama barunya.

Catatan kaki:
[1] Kaum bangsawan.

***


[Bersambung]


Klik link di bawah untuk baca lanjutannya;

KBM

KARYAKARSA

Rabu, 14 Februari 2024

Belahan Jiwa dari Dunia Lain (Bab 6)

 


Kemudian kakek itu mengulurkan tangan kirinya. Di dalam genggaman yang telah membuka, terdapat batu pipih kecil berbentuk persegi. Dengan sejumput keraguan, Prof. Hamdani mengambilnya.

"Apa ini, Kek?" tanyanya dengan kening mengerut. Prof. Hamdani mengamati batu itu.

"Batu kehidupan."

"Batu kehidupan?" Kebingungan Prof. Hamdani kian mengental. Ia memperhatikan perbedaan kedua sisi batu itu. Salah satu sisi halus dan licin. Sementara sisi lainnya kasar, bahkan terasa menusuk di kulit.

"Batu kecil yang mewakili dua tabiat manusia."

"Lalu, bagaimana dengannya, Kek?" Prof. Hamdani menunjuk ke arah Indah yang seperti terpasung di batu itu.

"Letakkan batu itu di keningnya!"

Prof. Hamdani bingung. Ia masih diam di tempat.

"Cepat! Sebelum semuanya terlambat!" tegas kakek itu sambil mengentakkan tongkatnya.

Setengah terlonjak, Prof. Hamdani bergegas menghampiri Indah. Ia langsung mengarahkan batu kecil itu ke keningnya. Ajaib, batu kecil itu mendahului tangan Prof. Hamdani, melayang dengan sendirinya dan melekat sempurna di kening Indah. Mereka terperangah. Takjub. Indah membuka mata perlahan-lahan. Ia tersenyum lemah, kemudian jatuh terkulai.

"Indah!" Mereka tersentak.

Kevin langsung mengangkat tubuh Indah dan memangku kepalanya.

"Indah, lo nggak apa-apa?" Kevin membelai rambutnya.

Indah menggeleng lemah. Kepalanya hanya sedikit pusing.

"Prof, apa yang terjadi?" Indah menoleh ke arah Prof. Hamdani. Pandangannya agak buram.

"Entahlah! Yang penting kamu tidak apa-apa."

Indah menyadari sesuatu menempel di keningnya. Ia meraba untuk melepaskannya.

"Apa ini, Prof?" Indah membolak-balik batu itu di depan matanya.

"Berkat batu itu kamu selamat."

"Batu ini?"

"Berterimakasihlah kepada kakek ini!" Prof. Hamdani menoleh ke arah kakek tadi. Ia tersentak. Tahu-tahu kakek itu sudah tidak ada di sana. Bola mata Prof. Hamdani berputar cepat untuk mencari.

"Lah, ke mana perginya, Prof?" sela Kevin.

Prof. Hamdani tidak menjawab. Ia sendiri merasa sangat aneh.

"Terima kasih, ya, Kek!" Suara Indah menyelinap di sela-sela kebingungan mereka. Ketika yang lain sibuk menoleh kiri-kanan mencari keberadaan kakek tadi, Indah malah melihatnya.

Semua pandangan terfokus pada Indah sekarang.

"Indah, kamu bicara sama siapa?" Prof. Hamdani mengernyit.

"Kakek itu, kan, yang memberikan batu ini?"

"Tapi kakeknya sudah pergi," timpal Kevin.

"Lo apa-apaan, sih? Jelas-jelas dia masih di situ."

Suasana kembali tegang.

"Kek, kok, batunya ditinggal?" tanya Indah setengah teriak.

Mereka tercengang. Sosok kakek tadi menghilang begitu saja di mata mereka, tapi justru tampak di mata Indah.

Suasana hening. Indah masih tampak bercakap-cakap dengan kakek itu.

"Terima kasih, Kek!" ucapnya lagi seraya tersenyum.

Sepertinya kakek tadi sengaja memberikan batu itu kepada Indah.

"Entah kenapa, gue suka dengan batu ini," aku Indah, kemudian menatap bergantian teman-temannya. Kevin masih memangku kepalanya.

"Mungkin kamulah yang akan menyingkap tabir misteri di dalam gua ini."

"Apa tidak terlalu berbahaya, Prof? Indah sudah sering mengalami kejadian aneh sejak memasuki hutan ini." Kevin khawatir.

"Semua kejadian itu pasti merupakan petunjuk."

Yang lain bersitatap, dengan pancaran rasa heran yang sama.

Indah menggenggam batu kehidupan itu, kemudian meletakkan tangannya di dada.

***


Hari ini Indah agak berbeda dari biasanya. Sejak tadi siang ia lebih sering menyendiri ketimbang berkumpul dengan teman-temannya untuk mengobrolkan apa saja. Mungkin yang lain tidak menyadari, tapi hal itu sangat kentara di mata Prof. Hamdani. Selaku ketua tim, Prof. Hamdani memang dituntut untuk lebih peka dalam mengenali karakter masing-masing anggota timnya. Sejauh ini ia masih bisa memaklumi. Kecuali jika nantinya Indah benar-benar sudah kehilangan fokus, ia akan menegur.

Malam ini Indah teramat gelisah. Yang lain sudah terlelap sejak tadi, tapi ia masih saja belum mengantuk. Ia tidak bercerita ke siapa pun, bahwa hari ini adalah hari pernikahan Farel dan Sasha. Dengan berada di tengah hutan seperti ini, berkesempatan merasakan ekspedisi yang sudah lama diidam-idamkannya, Indah pikir ia bisa melalui hari ini dengan aman-aman saja. Nyatanya, sakit itu masih saja berlaga. Dan sekarang ia benar-benar tidak bisa menahan air matanya. Saat pulang nanti, ia akan mendapati Farel benar-benar sudah menjadi kakak iparnya. Entah bagaimana Indah bisa melewati hari-hari itu nantinya. Membayangkannya saja terasa mengerikan.

Dengan sisa tangis yang berusaha ditahannya, Indah memaksakan kedua matanya terpejam. Agar lekas dibuai kantuk.

"Bangunlah ... bangunlah ... bangunlah ...!"

Setelah berhasil lebih tenang, tiba-tiba saja suara pelan yang entah dari mana itu menyambangi pendengaran Indah. Ia membuka mata, pandangannya membentur langit-langit tenda. Ini bukan pertama kali. Dua malam berturut-turut sebelumnya Indah mengalami hal serupa, mendengar bisikan aneh ketika teman-temannya sudah terlelap. Hanya saja malam ini terdengar lebih jelas. Hal ini membuatnya agak takut dan semakin gelisah.

Alih-alih membangunkan teman-temannya, Indah kembali mencoba memejamkan mata.

"Bangunlah ...!"

Sontak, Indah kembali terbelalak. Setiap kali ia memejamkan mata, bisikan itu pasti merayapi telinganya. Keringat dingin mulai membasahi. Jantungnya berdetak kencang dengan napas yang semakin memburu. Jemari tangannya saling meremas.

"Keluarlah ...!"

Indah tersentak, jantungnya nyaris copot. Kali ini, bahkan tanpa memejamkan mata bisikan itu kembali terdengar. Indah semakin panik.

"Keluarlah! Sekarang sudah saatnya."

Entah apa yang ada di pikiran Indah. Ia bangun dan keluar dari tenda. Ia berjalan tak tentu arah, hanya mengikuti arah bisikan tadi. Serupa sedang berada di alam bawah sadar, ia terus berjalan dan semakin jauh meninggalkan tenda. Indah sadar ketika dirinya sudah berdiri di depan gua. Ia terperanjat, panik dalam gelap. Entah apa yang harus dilakukannya sekarang. Tubuhnya bergetar ketakutan. Indah memandang sekeliling. Sangat gelap. Entah ke mana arah jalan pulang. Belum lagi berbagai suara binatang malam yang terdengar mengerikan. Indah menangis.

Dalam sedu sedan, tiba-tiba seberkas cahaya berwarna biru keperakan muncul dari salah satu sudut batu besar di depannya. Indah terlonjak kaget. Kemunculan cahaya itu kian melengkapi rasa takutnya, tapi juga sangat menyita rasa penasaran.

Perlahan, Indah malah mendekat, lalu jongkok untuk mengamati sumber cahaya yang ternyata berupa lubang kecil berbentuk persegi. Indah mengulurkan tangan bermaksud menyentuhnya. Ketika tangannya berada dalam cahaya itu, rasanya hangat. Indah tersenyum. Rasa takut yang tadi menggerogotinya sirna begitu saja, berganti kedamaian yang sungguh belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Tiba-tiba muncul cahaya serupa dari sumber yang berbeda, sesuatu di dalam kantong jaketnya. Indah mengeluarkan benda itu, batu aneh pemberian kakek misterius tempo hari. Bagaimana ini bisa terjadi? Pikirnya. Kemudian kedua cahaya itu saling menggapai. Titik pertemuannya menguraikan warna biru menjadi padanan warna yang sangat indah. Serupa rangkaian warna pelangi. Indah takjub!

Detik selanjutnya, keajaiban pun terjadi. Batu kecil itu melayang ke arah lubang persegi, terpasang dengan sendirinya serupa kepingan puzzle. Setelah beberapa saat, kedua cahaya tadi menghilang. Tiba-tiba tanah di sekitar tempat itu terguncang. Dinding gua bergetar.

Indah kaget. Ia mundur menjauh beberapa langkah. Kemudian batu besar di mulut gua retak, membentuk garis melintang tepat di tengah-tengah. Dari celah retakan itu terpancar sinar yang sangat menyilaukan. Indah menghalaunya dengan kedua telapak tangan. Sinar itu hilang setelah beberapa saat. Indah membuka mata dan menatap ke arah batu itu.

"Wow ...!" Indah terpaku menyaksikan pemandangan yang ada. Matanya berbinar-binar. Detik itu, ia seperti berada di tempat yang berbeda.

Batu besar tadi terbelah menjadi dua bagian, membentuk semacam terowongan yang seolah mempersilakan Indah untuk masuk. Entah bagaimana perasaan Indah saat ini, semuanya berbaur menjadi satu. Tentu saja ia tidak ingin melewatkan kesempatan ini. Inilah tujuan utamanya sampai rela menembus belantara.

Dengan langkah mengendap-endap, Indah memasuki gua. Indah memperhatikan dindingnya, bertekstur kasar dan tidak beraturan. Beberapa langkah di depan ada belokan. Di sana ada semacam nyala api, membentuk pantulan cahaya yang bergoyang-goyang di dinding gua. Rasa penasaran memicu langkah Indah menjadi lebih cepat hingga tiba di belokan tadi.

Lagi-lagi Indah takjub, terperangah. Setelah belokan, ada banyak suluh yang menempel di dinding gua dengan jarak yang teratur. Sejak kapan suluh itu dinyalakan? Benarkah apinya tidak pernah padam selama ratusan tahun? Sungguh aneh dan sulit dipercaya. Indah yakin, ada kekuatan mistik yang menjaga gua ini, atau mungkin semacam peri penjaga.

Gua itu tidak begitu panjang. Setelah melewati deretan suluh tadi, Indah menemui jalan buntu. Ia bingung. Di mana patung putri yang disebutkan dalam sejarah itu? Sama sekali tidak ada apa-apa di sana. Indah bermaksud keluar, sebelum matanya menemukan keganjilan. Ada bagian dinding gua yang teksturnya berbeda dengan bagian gua keseluruhan. Permukaannya halus, warnanya sedikit lebih cerah. Indah penasaran, lalu merabanya.

Apakah ini pintu? Pikirnya. Ia pun mendorongnya. Dengan mudahnya bagian yang memang menyerupai pintu itu berputar dan menghadirkan ruangan lain. Dari dalam ruangan itu menghambur kupu-kupu beraneka warna. Indah memejamkan mata, membiarkan mereka menerpa wajahnya.

Ketika membuka mata, Indah seperti berada di alam mimpi. Sungguh ajaib. Senyum Indah merekah, air mata penuh haru mengaburkan pandangannya. Tepat di tengah-tengah ruangan itulah patung putri yang melegenda berada. Indah masih terpaku di tempat, mengamatinya dari bawah hingga ke atas. Prof. Hamdani dan semua cerita yang ada tidak berlebihan, patung putri itu memang benar-benar cantik.

Indah mendekat, mengamatinya lebih seksama. Posisi patung itu berdiri, kepala agak miring ke kiri. Posisi kedua tangannya seperti sedang menyisir rambut yang terurai panjang. Indah sudah sangat dekat. Mereka berhadapan. Rasa penasaran mengalahkan rasa takut dalam diri Indah, hingga ia memberanikan diri menyentuhnya. Sangat pelan dan hati-hati. Kulitnya terasa halus dan mengeluarkan aroma harum ketika disentuh. Indah nyaris tak percaya. Ini patung atau apa?

Pada akhirnya perhatian Indah tertuju pada cincin naga berkepala manusia yang tersemat di jari manis tangan kanan patung itu. Ternyata bentuknya jauh lebih indah, berbeda dengan gambar yang ada di buku Prof. Hamdani. Sadar bahwa namanyalah yang akan tercatat dalam sejarah sebagai penemu cincin itu, membuat Indah enggan menunda-nunda lagi. Ia lekas mencabutnya. Setelah ini namanya pasti akan jadi buah bibir di dunia arkeologi.

Indah membolak-balik cincin itu di depan matanya, memperhatikannya dengan seksama. Indah harus segera keluar dari gua itu, sebelum apa pun yang tidak diinginkan terjadi. Namun sebelum itu, sekali lagi Indah menatap wajah patung putri itu lekat-lekat. Di tatapan itu ia seolah ingin berterima kasih.

Entah di detik kesekian, tiba-tiba mata patung itu berkedip. Indah sampai terjungkal saking kagetnya. Ketakutan kembali menguasainya. Cepat-cepat ia menyematkan cincin itu di jari manisnya dan berlari hendak keluar. Pintu ruangan itu terputar dengan sendirinya untuk kembali tertutup. Beruntung, Indah berhasil meloloskan diri ketika celah pintu yang tersisa hanya bisa dilewati dengan posisi miring. Namun setelahnya, kepalanya seperti dipenuhi sengatan lebah. Matanya berkunang-kunang.

Indah tak bisa menahan rasa sakit. Napasnya mulai sesak, detak jantungnya melemah. Langkahnya goyah, hingga akhirnya jatuh terkapar. Pintu ruangan tempat patung putri itu bersemayam sudah tertutup rapat. Sunyi senyap kembali menenggelamkan apa-apa yang telah terjadi.

***


[Bersambung]

Klik link di bawah untuk baca lanjutannya;

KBM

KARYAKARSA


Kamis, 08 Februari 2024

Belahan Jiwa dari Dunia Lain (Bab 5)

 


Setelah sarapan, mereka melakukan beberapa gerakan peregangan demi kelancaran aktivitas hari ini. Semua mereka lakukan bersama-sama dan penuh sukacita.

"Kamu yakin mau ikut?" Prof. Hamdani menghampiri Indah yang tampak tengah bersiap-siap. "Apa tidak sebaiknya tunggu di tenda saja?"

"Saya sudah berjuang keras untuk tiba di sini, Prof, bahkan terpaksa menentang Mama yang pasti tengah khawatir sekarang. Dan Prof ingin saya cuma jadi penonton?"

"Saya hanya khawatir."

"Saya kuat, Prof. Saya bisa!" Indah menegaskan kemudian berlalu dari sisi Prof. Hamdani untuk bergabung dengan yang lain.

Mereka masuk lebih jauh menjelajahi hutan, berusaha menemukan sesuatu yang bisa jadi petunjuk. Selaku ketua tim, Prof. Hamdani berada paling depan, memimpin pasukannya. Tangan kanannya memegang kompas, sementara buku kuno yang tak pernah lepas darinya ditenteng di tangan kiri. Mereka menemukan lebih banyak pohon-pohon raksasa, akar-akar pencakar bumi. Terdapat banyak batu besar dengan bentuk tak beraturan. Semak belukar di mana-mana, aroma menyeramkan menguar.

Prof. Hamdani memberi aba-aba untuk beristirahat sejenak. Tentu saja mereka tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Mereka langsung memilih tempat yang enak untuk melepas lelah. Indah langsung menjulurkan kaki dan mengatur pola napas setelah bersandar di sebatang pohon raksasa.

"Menurut peta, seharusnya gua itu ada di sekitar sini." Ucapan Prof. Hamdani kembali memancing perhatian timnya.

"Kalau gitu, kenapa kita nggak mendirikan tenda di sini aja, Prof?" usul Tio.

"Jangan. Kita belum tahu misteri apa yang sebenarnya menyelubungi gua itu. Sebaiknya kita jangan terlalu mengambil risiko."

"Tapi, kok, guanya belum kelihatan, ya, Prof?" sela Raya.

"Apa mungkin pandangan kita terhalangi kekuatan gaib?" tebak Kevin.

Prof. Hamdani geming, tampak berpikir.

Suasana hening. Mereka bertukar pandang. Entah apa yang ada di benak Prof. Hamdani.

Matahari berada tepat di atas kepala ketika mereka memutuskan untuk kembali ke tenda. Sepertinya cukup untuk hari ini. Bagaimanapun kuatnya tekad Prof. Hamdani untuk menemukan cincin naga berkepala manusia itu, ia juga harus memperhatikan stamina timnya. Jangan sampai ada yang sakit, mengingat ini rata-rata pengalaman pertama mereka.

***


Hari berikutnya, akhirnya gua itu ditemukan. Objek yang cukup aneh. Sekilas tampak seperti bukit, tapi di tengah-tengahnya terdapat batu besar setinggi kira-kira tiga meter. Pintu gua ada di balik batu itu. Sebelumnya objek itu terhalangi oleh deretan pohon besar berdiameter sekitar dua meter. Akar-akar gantung menggerogoti setiap cabangnya. Pohon-pohon itu semacam tameng raksasa yang melindungi gua. Di sekitar tempat itu sangat teduh, sinar matahari tidak mampu menembus rimbun dedaunan.

Mereka melangkah pelan menghampiri deretan pohon sambil menatap awas ke segala arah. Setelah berada di bawahnya, mereka harus membungkuk untuk menghindari akar gantung yang mengerikan. Terdapat macam-macam serangga merayap di sana. Setelah melewati deretan pohon raksasa tadi, mereka tiba di depan gua. Guanya sangat besar. Mereka berdecak kagum. Di samping gua terdapat batu besar yang lapang. Mungkin bekas hunian manusia zaman purba.

Tatapan mereka menelusuri setiap inci tempat itu. Banyak yang terasa aneh. Tapi yang paling menarik perhatian, ukiran di tengah-tengah batu besar yang menutupi mulut gua. Prof. Hamdani mendekat dan memperhatikannya dengan seksama. Ternyata bukan sekadar ukiran, melainkan deretan abjad kuno yang pembahasannya juga terdapat dalam buku panduan miliknya.

"Sekarang tugas kalian menyalin semua abjad kuno ini dengan teliti. Harus sama persis. Jangan sampai salah segores pun."

"Untuk apa, Prof?" Tio tampak bingung. Ia meraba ukiran tadi.

"Tulisan ini pasti berisikan informasi yang sangat penting."

Mendengar kalimat itu, dengan antusias mereka langsung menyiapkan alat tulis untuk menyalin abjad kuno itu satu per satu. Berawal dari sini, sepertinya sejarah baru akan terukir. Mereka sangat bersemangat.

***


Malam kedua di dalam hutan. Kevin menghampiri Indah yang sedang menyendiri di samping tenda, duduk memeluk kedua lutut di sebuah batu besar. Indah memandangi langit. Tak satu pun bintang hadir di pandangannya. Bulan pun seolah menghindar dan meringkuk di balik awan. Indah membiarkan angin malam membelai rambutnya. Entah dari mana rindu itu datang, tiba-tiba saja merumpun di hati. Indah sadar, ia ada di sini karena tekad kerasnya. Tak seharusnya ia seperti ini. Tapi sungguh, ia tak kuasa membendung air matanya kali ini.

"Lo kenapa?" Suara Kevin pelan namun terdengar jelas di telinga Indah.

"Eh, lo belum tidur?" Indah buru-buru menyeka air matanya.

"Gue nggak bisa tidur kalau ada cewek gelisah seperti ini." Kevin duduk bersisian.

Sejenak hening.

"Gue rindu suasana rumah, kampus, Mama, Rina, dan ...."

"Farel, kan?" Kevin melanjutkan. Ia tahu pasti, tidak akan semudah itu Indah mematikan rasa di hatinya.

Indah terdiam.

"Setidaknya lo lebih beruntung dari gue."

"Maksudnya?" Indah mengernyit.

"Setelah ekspedisi ini selesai, lo bisa kembali ke pelukan keluarga lo. Sementara gue?" Kevin tersenyum hambar di ujung kalimatnya.

"Ini ekspedisi pertama kita. Mari sepakat untuk tidak cengeng lagi." Indah merangkul Kevin.

Kevin menoleh dan menganggukkan persetujuan.

***


Setelah berhasil menemukan lokasi gua, mereka tidak pernah lagi ke sana. Prof. Hamdani harus bisa menerjemahkan abjad-abjad kuno itu terlebih dahulu, meski terkadang anggota timnya memaksa untuk mencari petunjuk di sekitar gua. Prof. Hamdani tidak ingin bertindak gegabah.

Hari-hari berlalu. Sebagian dari mereka mulai bosan karena setiap hari hanya menghabiskan waktu di sekitar tenda. Hingga suatu hari ....

"Akhirnya berhasil." Suara lantang Prof. Hamdani menyela lamunan mereka.

Mereka sigap berdiri dan menancapkan tatapan ke arah Prof. Hamdani. Semangat baru seketika lahir.

"Jadi, apa maksud tulisan itu, Prof?" Indah diburu rasa penasaran.

"Dengarkan baik-baik!" Prof. Hamdani merentangkan halaman buku di tangannya, yang lebih pantas disebut berisi coretan tak keruan ketimbang deretan kata yang mempunyai makna. "Ketika kekuatan panas redup dan keabadian langit berpaling, rasakan dirimu berkelana tanpa gerak. Kebahagiaan akan kamu temukan di dalam mata hati. Seperti itu!" Prof. Hamdani menangkap sorot kebingungan di mata timnya. Wajar, sebab ia sendiri pun sebenarnya masih belum sepenuhnya paham dengan apa yang baru saja diucapkannya. Di posisi mereka ini internet tidak bisa diakses. Prof. Hamdani menerjemahkan abjad kuno itu berbekal buku panduan yang membahas tuntas perihal cincin naga berkepala manusia itu dan beberapa buku pendamping.

"Sebenarnya masih ada satu kalimat lagi yang belum selesai saya terjemahkan. Memang sulit, tapi saya akan berusaha semaksimal mungkin." Prof. Hamdani menegaskan.

"Prof nggak salah, kan? Meskipun sudah diterjemahkan, tapi, kok, saya belum paham, ya?" Tio kebingungan. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Jemari tangannya tenggelam di kelebatan rambut kribonya.

"Ini dinamakan bahasa isyarat. Jika kamu mau berpikir lebih keras, kamu akan mengerti maksudnya. Jadi begini; Ketika malam tiba dan mimpi menghampiri, di dalam mimpi itu kita akan menemukan sebuah petunjuk. Untuk bisa masuk ke dalam gua, kita harus menemukan lubang di batu besar itu. Lubang sekecil mata dan tak terlihat seperti perasaan hati," terang Prof. Hamdani.

Tio manggut-manggut, tapi masih bingung.

"Kalau gitu, kapan kita ke sana lagi, Prof?" sela Kevin.

"Besok!"

Mereka bertukar pandang, tersenyum, dan tampak tidak sabaran.

***


Kendati sudah berhasil menerjemahkan 90% kalimat berabjad kuno itu, tak lantas membuat usaha mereka untuk lebih mengenali gua itu berjalan mulus. Selama beberapa hari tidak ada kemajuan berarti. Mereka bahkan seperti jalan di tempat.

Prof. Hamdani menyadari bahwa semangat timnya mulai surut. Wajar, mereka yang selama ini bergelut dengan segudang aktivitas tiba-tiba harus menjalani hari-hari monoton di dalam hutan. Tapi sejauh ini Prof. Hamdani menjalani perannya selaku ketua tim dengan cukup baik. Ia berusaha membuat menarik hal kecil apa pun yang mereka kerjakan. Misal melibatkan mereka dalam menerjemahkan kalimat terakhir abjad kuno itu.

Siang ini mereka kembali mengitari sekeliling gua. Mereka yakin, pasti ada petunjuk yang bisa membantu. Tiba-tiba ....

"TOLOOONG ...!" jerit Indah.

Semua mata tertuju pada Indah. Tubuhnya terseret. Ia berusaha mengendalikan diri, tapi kekuatan aneh yang menyeretnya jauh lebih kuat. Indah meronta-ronta, sebelum akhirnya tubuhnya menempel pada batu besar di mulut gua. Indah tidak sadarkan diri lagi. Tubuhnya semakin erat melekat di sana.

"Indah?!" Kevin dan yang lainnya panik. Mereka berlari menghampiri.

"Jangan sentuh dia!" Suara parau itu menyela kepanikan mereka.

Mereka sontak menoleh. Seorang kakek berdiri beberapa meter dari mereka. Tongkat kayu di tangan kanan ia gunakan untuk menopang tubuh bungkuknya. Pakaiannya compang-camping, ditambah penutup kepala yang terbuat dari anyaman serat tanaman. Kakek itu melangkah pelan menghampiri Prof. Hamdani. Keseimbangan tubuhnya kurang bagus. Tapak kakinya goyah. Tatapan selidik mereka serupa sedang mengamati pergerakan seorang musuh. Mereka bersiap untuk segala kemungkinan yang bisa terjadi.

"Dialah orangnya!" Suara kakek itu bergetar.

"Maksud Kakek?" Tak sedikit pun tatapan Prof. Hamdani luput dari tubuh kurus kering itu. Di benaknya merumpun tanda tanya besar.

***


[Bersambung]


Klik link di bawah untuk baca lanjutannya;

KBM

KARYAKARSA