Jumat, 25 November 2016

Cerpen: 3 Minggu 3 Percakapan

             Sudah lama kisah itu berlalu. Tapi entah kenapa, ia masih membekas dalam ingatan. Aku yang sekarang—alhamdulillah—sudah menjabat sebagai manajer di salah satu divisi perusahaan ini, masih berstatus karyawan baru ketika gadis kecil itu tiba-tiba memasuki kehidupanku. Tak banyak yang bisa kuceritakan tentangnya, karena pertemuan kami hanya tiga kali percakapan dalam kurung waktu tiga minggu. Ini hari Rabu, rinai hujan mengalun mendekap pagi. Suasana yang tercipta persis saat pertama kali aku bertemu dengannya.


            Percakapan pertama ….
            Aku tiba di parkiran dalam kondisi setengah basah. Di jarak 50 meter dari kantor, tiba-tiba saja hujan turun tanpa aba-aba.
            “Kak, beli kuenya, Kak!”
            Aku sedang sibuk mengibaskan bintik-bintik air dari kemeja kerjaku, ketika tiba-tiba suara nyaring itu bersahutan dengan gemuruh hujan. Aku menoleh, dan mendapati seorang gadis kecil berkulit legam dengan rambut sebahu basah kuyup. Ia menenteng keranjang berisi aneka kue tradisional. Ia mendekat dan kembali menawarkan dagangannya. Kebetulan, aku memang belum sarapan, efek kesiangan.
            “Satunya berapa?” tanyaku kemudian.
            “Seribu rupiah, Kak!” jawabnya dengan tatapan penuh harap agar aku mau membeli dagangannya.
            “Boleh, deh! Kakak beli 10, ya!” ucapku sambil mengeluarkan selembar uang sepuluh ribu-an dari dalam dompet kemudian kuberikan padanya.
            Sepasang mata birunya langsung berbinar. Aku seperti melihat kilauan permata di rawa-rawa.
            “Kamu tidak sekolah?”
            “Sekolah, dong, Kak. Tapi, aku sekolah siang, paginya jualan kue dulu,” terangnya sambil memasukkan 10 biji kue ke dalam kantong plastik bening dengan jenis beragam.
            “Karena Kakak sudah beli 10 biji, aku mau kasih bonus buat Kakak,” ucapnya setelah menyerahkan kue itu kepadaku.
            “Oh, ya? Apa?”
            “Aku akan berdoa buat Kakak, semoga selalu dalam keadaan sehat, murah rezeki, dan panjang umur.”
            Ia pun mulai memanjatkan doa setelah meletakkan keranjang dagangannya. Tangannya menengadah, bibirnya berucap kalimat polos anak seusianya. Yang membuat hatiku bergetar, adalah surah Al-Fatihah yang turut dibacakannya sebagai penutup doa. Subahanallah! Sungguh fasih ia melafalkannya. Selama sekian detik, indera pendengaranku tak lagi menangkap gemuruh hujan, aku terlena dalam suaranya.
            Ia memungut kembali keranjangnya setelah selesai.
            Hmm … kuenya enak!” pujiku setelah mencicipi satu gigitan kue yang bentuknya menyerupai angka delapan, alih-alih menormalkan kembali suasana hati yang entah dibuat bagaimana oleh keindahan yang baru saja diperdengarkan gadis kecil itu.
            “Terima kasih! Kue bikinan Ibu memang paling enak. Semua yang sudah mencicipi pasti ketagihan,” ujarnya dengan seutas senyum tulus.
            “Jadi, ini bikinan Ibu kamu?”
            Ia mengangguk antusias, sambil tetap tersenyum.
            “Kakak pasti rajin shalat,” imbuhnya tiba-tiba.
            Aku mengernyit.
            “Tuh, di dahinya ada dua titik hitam.” Telunjuknya mengacung ke dahiku yang masih mengerut.
            “Jadi, kalau dahinya hitam tandanya rajin shalat, ya?” tanyaku pura-pura lugu.
            “Kata orang begitu. Tapi Ayah, kok, tidak, ya? Padahal dahinya juga hitam seperti Kakak,” ujarnya dengan polos.
            “Terus, Ayah kamu ngapain saja?”
            “Kerjanya cuma keliling minta sumbangan, katanya buat panti asuhan.”
            Aku terkesiap, ketika sadar jam kantor sebentar lagi dimulai.
            “Nama kamu siapa?” tanyaku sambil ancang-ancang untuk lari menembus kawanan hujan.
            “Melati.”

---

            Percakapan kedua ….
            Di hari Rabu berikutnya, aku mendapati Melati di depan gerbang, ia sedang menawarkan dagangannya kepada siapa pun yang melintas. Tapi, ke mana senyumnya? Sinar kebiruan di matanya pun redup.
            “Kamu ke mana saja? Kok, baru muncul?”
            “Eh … Kakak.” Ia berusaha tersenyum setelah melihatku.
            “Aku ke sini memang cuma di hari Rabu, Kak! Selebihnya, aku jualan di tempat lain.”
            Ooo … gitu! Padahal Kakak kangen, loh, sama kue bikinan Ibu kamu.”
            Ia menampakkan ekspresi di luar dugaan. Harusnya matanya langsung berbinar begitu kukasih sinyal bakalan beli dagangannya. Tapi tidak, wajah itu sungguh timpang dengan yang kulihat minggu lalu.
            “Melati, kamu kenapa?”
            “Ayah ditangkap polisi. Katanya Ayah penipu. Uang sumbangan itu sama sekali bukan buat panti asuhan, tapi digunakan buat judi.” Suara Melati sendu, ia menunduk.
            Aku tersentak mendengar penuturannya.
            “Kamu tahu dari mana?”
            “Aku dengar dari tetangga. Awalnya cuma bisik-bisik, tapi sekarang semakin sering mereka membicarakannya. Ibu jadi jarang keluar rumah, ia kebanyakan nangis di dalam kamar.”
            Entah benar atau tidak yang diucapkannya. Jika benar, berengsek sekali ayah anak ini. Kuusap kepalanya penuh iba.
            “Kata Ibu, untuk membebaskan Ayah, kami butuh uang yang banyak. Jadi mulai sekarang, aku harus lebih giat bekerja untuk mendapatkan uang itu.”
            Betapa polos anak ini. Tidakkah ia sadar bahwa ayahnya memang pantas mendapatkan ganjaran itu? Supaya ia senang, kali ini kubeli kuenya sebanyak 30 biji. Nanti akan kubagikan untuk teman-teman di kantor.

---

            Percakapan ketiga ….
            Aku mendapati Melati terdiam di trotoar. Ia hanya menatap orang yang melintas, suara nyaringnya saat menawarkan dagangan tidak terdengar. Ada apa dengannya?”
            “Kamu kenapa? Bukannya jualan, kok, malah duduk di sini?”
            “Eh … Kakak.” Lagi-lagi ia memaksakan tersenyum setelah melihatku. Sesungging senyum yang tercipta tampak aneh di bibir pucatnya.
            “Kamu sakit?” aku meraih dagunya untuk mengamati wajahnya.
            Seketika ia menggeleng. Kuperhatikan, sedari tadi ia memegangi pinggangnya.
            “Atau kamu lapar? Belum sarapan?” tanyaku lagi dengan nada cemas.
            Ia kembali menggeleng.
            “Justru aku bahagia, Kak, karena bisa membantu Ibu membebaskan Ayah.” Ia jeda untuk mengambil napas. “Katanya ada sesuatu dalam tubuhku yang bisa dijual dengan harga yang sangat mahal, uangnya bisa digunakan untuk membebaskan Ayah.”
            Aku tersentak. “Terus, kamu mau?” tanyaku kemudian dengan mata setengah melotot, pikiranku mulai kacau.
            “Tentu saja. Aku tidak ingin Ayah ditahan polisi. Ibu membawaku ke suatu tempat ….”
            “Ke mana?” potongku tiba-tiba. Aku memegangi kedua pundaknya, entah kenapa jadi aku yang meledak-ledak.
            “Entahlah. Aku tidak ingat jelas. Sepertinya aku ketiduran. Dan begitu bangun, aku sudah ada di rumah lagi dan pinggangku mulai terasa sakit. Kata Ibu, ini tidak akan lama. Ibu memberiku obat setiap hari agar lekas sembuh,” terangnya, kemudian menyingkap sebagian kaus lusuhnya untuk memperlihatkan sesuatu yang sakit di pinggangnya.
            Seketika mataku memanas, melihat pinggang mungil itu dililit perban. Sepertinya hal yang kutakutkan sedari tadi … benar. Sungguh biadab ibu anak ini. Bibirku bergetar, tapi aku tidak ingin menagis di depannya. Kupaksakan untuk tersenyum, dan kuusap kepalanya dengan lembut.

            Minggu berikutnya, aku datang ke kantor lebih awal dari biasanya. Kutunggu Melati di depan gerbang. Sejak percakapan terakhir kemarin, entah kenapa, aku tidak bisa melupakan gadis kecil itu. Aku sangat mengkhawatirkannya. Karena itu, hari ini aku mau memberinya obat yang kubeli khusus via online. Obat ini untuk mencegah infeksi bekas operasi di pinggangnya.
            Jam kantor dimulai lima menit lagi, tapi Melati belum juga muncul. Hari ini pekerjaanku agak terbengkalai, pikiran tentang gadis kecil itu berkelebat di benakku. Sesekali aku sengaja berjalan keluar hingga melewati pintu gerbang, mencari Melati. Tapi tidak ada. Ke mana dia? Apakah dia jualan ke sini bukan di hari Rabu lagi? Semoga!
            Tapi betapa pun banyaknya hari yang kulalui kemudian, Melati tak pernah muncul. Aku merindukan wajah polosnya, juga senyum tulusnya. Dan tentu saja suaranya ketika membacakan surah Al-Fatihah, adalah akar sebab aku terus mencarinya.

            Begitulah Melati menorehkan kisah di hidupku hanya dengan tiga kali percakapan. Tapi hingga saat ini ia masih menyisakan sesuatu dalam diriku, sesuatu yang kurasa belum tuntas. Ini adalah hari Rabu kedua ratus sekian sejak percakapan terakhirku dengan Melati. Semoga ia baik-baik saja meskipun hati kecilku berkata tidak. Kuharap tubuh mungil itu mampu bertahan hanya dengan satu ginjal. Tiba-tiba saja air mataku menetes tanpa sebab yang jelas, sama seperti ratusan hari Rabu yang telah berlalu.

----------------------------------------------------------------------------------


PROFIL PENULIS
            Ansar Siri, penyuka warna merah ini menghabiskan masa kecil hingga remaja di tanah kelahiran, Bone—Sulawesi Selatan. Cowok Capricorn yang mengemban mimpi untuk mengharumkan nama daerahnya melalui tulisan. Kecintaannya pada dunia menulis berawal dari kebiasaan menulis catatan harian.
Lebih dekat dengan penulis;
Email               : ansarsiri357@gmail.com
Facebook         : Ansar Siri
Twitter             : @SiriAnsar


*Cerpen ini juara 3 lomba menulis cerpen bertema "Melarung dalam Emosi" yang diadakan oleh komunitas Indonesia Menulis Agustus-September kemarin.


Selasa, 08 November 2016

Review Novel: Terlalu Cinta





Judul                        : Terlalu Cinta

Penulis                      : Pelantan Lubuk

Penerbit                    : Mazaya Publishing House

Tebal                        : 310 hlm

ISBN                        : 978-602-72920-6-2

Terima kasih, pernah membuatku terlalu cinta.

BLURB:
Cinta begitu traumatik: di mana cinta tak sanggup menjadi apa pun selain rindu, dan rindu hanya bisa dilampiaskan dengan menunggu. Menanti dengan lugu. Menanti dengan segumpal rasa yang menyiksa dan membuat hati membiru.
Meski hanya segenggam, meski hanya sebentar, mereka harus bersyukur telah diberikan kesempatan untuk menunjukkan cinta mereka dari dekat.

            Aku mendapatkan novel ini sebagai reward lomba menulis novel yang diadakan Mazaya Publishing House bulan Juli-Agustus 2016, kemarin. Jadi, aku tidak menyangka akan sejatuh cinta ini. Novel ini sangat pas untukku yang memang penyuka genre roman dengan taburan diksi yang sederhana namun memikat. Membaca novel ini, aku merasa menemukan tempat ternyaman untuk bersandar (dalam kegiatan membaca). Novel ini menggunakan alur maju mundur dengan gabungan dua sudut pandang yang cukup unik. Di awal dan akhir, penulis menggunakan sudut pandang pertama, mempersilakan tokoh utama bercerita langsung. Di bagian alur mundur, penulis menggunakan sudut pandang orang ketiga. Tapi sebelum membahas lebih jauh, terlebih dahulu kupaparkan kata pengantar dari penulis yang menurutku teramat puitis untuk ukuran kata pengantar.

SEBUAH PENGANTAR
            Apakah kisah ini nyata?
            Seharusnya kisah ini nyata. Tapi, karena ditulis dalam bentuk novel, hampir 90% kisah ini menjadi fiktif. Otak-atik. Dikarang demi menyembunyikan berbagai tokoh sebenarnya, disesuaikan demi menciptakan efek dramatis, dikhayal demi mendapatkan akhir yang menyenangkan hati.
            Namun, 10% kisah ini nyata. Malah, 10% inilah yang menjadi penentu dari kisah ini. Dia adalah alur waktu, rentetan kenangan, dan rindu yang tak bisa dilupakan.
            Membuat novel ini berarti melunasi rindu. Pernah ada suatu ketika, di mana rindu itu menggeliat di dada dengan begitu hebatnya. Sampai sesak. Sampai insomnia. Akhirnya aku menulis. Menulis semuanya sampai akhir.
            Setelah novel ini selesai, rindu itu telah lunas. Rindu itu telah jinak. Tak lagi menagih-nagih. Tak lagi mencakar-cakar.
            Hatiku telah bebas sekarang. Dan aku senang.

            Demi menikmati novel ini, aku membacanya pelan-pelan, meresapi kata demi kata. Bab pertama berhasil mencuri perhatian, dan sejak saat itu, aku jatuh cinta.

            Besok malam, waktu untuk menunaikan janji itu tiba. Tidak ada kesepakatan apa pun, selain empat tahun yang lalu, ketika jalan cerita dua anak manusia menemui titik buntunya, dan keduanya putus asa dengan kesempatan yang telah tiada. Tidak ada janji apa pun, selain mereka anggukkan empat tahun yang lalu, untuk bertemu di tempat pertama mereka menyudahi semuanya. Mereka berjanji akan mengingatnya, bahwa empat tahun lagi mereka akan bertemu. Empat tahun itu adalah dua hari lagi. Mereka saling meyakinkan bahwa mereka akan datang, bila memang mereka ingin tetap pada angan-angan semula: untuk kelak hidup bersama.
            Jika memang sama-sama datang, berarti kisah telah memilih tetap pada lembaran yang sama. Tak perlu ada keraguan lagi. Tak perlu ada penegasan apa pun.
            Jika di antara mereka ada yang tidak datang, berarti kisah telah memilih lembaran yang berbeda. Tak perlu ada kabar lagi. Tak perlu ada penegasan apa pun.
            Tapi … hari ini aku datang. Aku telah memilih tetap pada lembaran yang sama.
            Tapi aku tak tahu, besok malam, apakah aku akan duduk di bangku kosong, atau duduk bersamanya.
-aku terlalu cinta-
(full hal 8)

            Dari satu halaman di atas, bisa disimpulkan bahwa inti cerita ini adalah sepasang anak manusia yang berjanji akan bertemu kembali empat tahun kemudian setelah perjalanan hidup yang pelik mereka lalui bersama. Apakah mereka sepasang kekasih? Lantas, kenapa harus berpisah dan memilih empat tahun kemudian untuk bertemu kembali? Itulah yang diramu oleh sang penulis menjadi keutuhan cerita yang sangat dramatis.
            Ah, sepertinya sudah banyak jenis cerita seperti ini. Eits, jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan, karena kisah cinta dalam novel ini berbeda dari kebanyakan. Sebuah kisah yang sederhana, menginspirasi, serta dibumbui berbagai aktivitas komunitas yang mungkin sudah jarang zaman sekarang ini.
            Penulis mengajak kita untuk menemani aktivitas kemahasiswaan Izzat (tokoh utama), serta keterlibatannya dalam berbagai komunitas. Tanpa paksaan, karena memang menarik untuk ditelusuri. Dari situ, aku pribadi yang memang tidak pernah bersentuhan dengan komunitas apa pun, sedikit banyak jadi tahu aktivitas-aktivitas yang ada dalam dunia itu. Bagaimana mereka bergaul, kepemimpinan, sumber dana, dan lain-lain.
            Dari sekian banyak komunitas yang dilibatkan dalam cerita ini, aku sangat terkesan dengan komunitas “Jaring Pena”. Anggota komunitas ini saling berkirim surat tanpa boleh bertukar nomor telepon, mereka murni berkomunikasi hanya melalui surat yang ditulis tangan. Komunitas ini melestarikan surat menyurat yang sudah tenggelam, dan tentu saja melatih kecekatan menulis. Andai ada di dunia nyata, aku ingin bergabung dengan komunitas ini. Heheheh … Dari komunitas Jaring Pena inilah penulis memunculkan tokoh Laras yang merupakan peri penolong kegalauan Izzat. Dan percayalah, kemunculan komunitas Jaring Pena membuat cerita semakin unik.
            Terlepas dari berbagai aktivitas komunitas yang memang sangat kental dalam novel ini, kita juga dimanjakan dengan berbagai hal baru yang lahir dari permainan diksi sang penulis, tentu saja didasari ilmu pengetahuan yang dalam. Salah satunya persepsi dua realitas bulan yang unik berikut:

            Kini Izzat sudah semester tiga. Sudah dua tahun ia di Kota Malang. Telah banyak yang ia jalani. Ia pernah menjadi bulan, yang punya dua realitas. Realitas pertama menampilkan dirinya sebagai pencerah malam, yang cahayanya menemani mereka yang buta karena kegelapan. Realitas kedua, tetap saja, bulan hanya benda langit dengan banyak topeng di permukaan, yang bisanya hanya berpura-pura terang karena menumpang cahaya benda langit yang lain. Ia dipuji karena kepalsuan. Di tengah cahayanya, sebenarnya ia merajalela dengan kegelapan. (hal 38-39)

            Aku menemukan persamaan dengan tokoh Izzat. Dia hanya menyukai perempuan yang manis, pun denganku. Untuk yang satu ini hanya kebetulan manis. Hehehehe ….

            Ia hanya suka yang manis. Kecantikan yang unik. Di mana kecantikan tersebut hanya perempuan itu saja yang punya. Kecantikan yang tak menguap dipanggang bosan, dan tak luntur dibasuh zaman. (hal 41)

            Salah satu keunikan novel ini, penulis membagi cerita dalam banyak bab. Tak kurang dari 50 bab cerita dengan paragraf awal yang selalu memukau. Jika tidak dengan diksi yang mendayu-dayu, pasti dengan konflik yang membuat mata terus melek untuk membacanya hingga akhir. Berikut salah satu paragraf pembuka bab:

            Sementara langit menghadirkan tenangnya senja di Kota Batu yang sederhana, aku menulis puisi tentang dia. Takkan dunia temukan, karena kutulis ia di lembaran hati yang paling rahasia. Aku berdoa agar cinta ini berarti menuju, bukan menjadi. (hal 48)

            Di luar permainan diksi yang amboi, penulis juga berhasil mengajak menikmati keindahan Kota Batu. Meski hanya melalui tulisan, aku bisa melihat lampu remang di malam hari, taman kota, dan tentu saja turut merasakan dinginnya.
            Selain itu, kita juga disuguhkan ilmu Tata Wicara yang ternyata merupakan seni yang bisa dilatih oleh siapa saja. Ia bukan anugerah pada orang-orang tertentu. Siapa pun, boleh dan bisa mempelajarinya. Kuncinya hanya dua: ketekunan berlatih dan keberanian memperaktikkan. Ada tiga bukti bahwa kita semua bisa melatihnya, bukti bahwa kita sebenarnya berbakat.

1.      Kita tidak mungkin lahir tanpa menangis. Menangis adalah komunikasi pertama kita dengan dunia, dan ketika kita menangis, kita sepenuhnya menarik perhatian semua orang.
2.      Kita pasti pernah berbohong. Waktu kita berbohong, kita merekayasa semuanya. Ekspresi tenang, cara memandang, argument yang logis, dan suara yang meyakinkan.
3.      Kita pasti pernah curhat. Ketika kita currhat, kita benar-benar berbicara selepas-lepasnya tanpa ada beban dan pikiran apa-apa. Kita bisa sepenuhnya mempengaruhi kawan curhat. Kita mengekspresikan isi hati dengan amat jujur, dan ekspresi tanpa rekayasa itu mempengaruhi siapa saja. (hal 55-56)

            Masih pada adegan yang sama, saat Izzat mengisi kelas Tata Wicara, kita mendapatkan sentakan untuk bisa lebih percaya diri. Aku seakan duduk di tengah-tengah mereka, menjadi salah satu kader.

            “Asal kalian tahu,” suara Izzat mendadak meninggi, mantap, “Hilter yang satu pidatonya mampu membakar semangat ribuan pasukan Jerman dan membuat panas dingin bangsa lain, dulunya hanya seorang gagap. Gagap! Tidak seperti teman-teman di sini, yang mengaku tidak berbakat tapi masih bisa bicara! Lihatlah Hilter kini: ia dikenang sebagai siapa. Ada juga King George V, yang dikenal sebagai orator peperangan paling andal, juga dulunya gagap total. Apa yang mereka telah lakukan?”
            Suara tinggi Izzat menggantung, putus. Meninggalkan sunyi dan tatap mata yang serius. Sempurna tersihir. Izzat tersenyum, lembut. “Mereka sekuat tulang melatih kekurangan mereka. Mereka tidak malu dianggap gila ketika latihan. Mereka percaya diri, dan berani mempraktikkan apa yang sudah mereka latihkan. Merekalah contoh pejuang sejati.” (hal 57)

            Keunggulan lain novel ini adalah: penulis pandai menyematkan hal kecil, tapi kemudian berpengaruh besar dan menjadi daya pikat. Contohnya kehadiran Eyang Tulip yang sebenarnya tidak terlalu berpengaruh terhadap inti cerita, tapi melalui kalimat-kalimatnya yang menyihir, cerita ini justru akan mati tanpa kehadiran Eyang Tulip.

            “Kalian menjadi korban karena waktu liburan kalian pasti akan disita Izzat untuk pergi mengajar. Kalian berpanas-panas menghabiskan bensin, lelah memeras otak mempersiapkan rencana mengajar, dan tanpa dibayar. Semua itu demi mencerdaskan orang yang bukan siapa-siapanya kamu. Kalau kalian tidak menganggap semua itu sebagai tabungan pahala kebaikan di masa depan, maka kalian sebenarnya korban. Tapi jika kalian ikhlas, artinya, hari ini Eyang masih melihat pahlawan.” (hal 84-85)
            Sejak TK, nelayan hanya tergolong sebagai jenis mata pencaharian, bukan cita-cita. Cita-cita hanya untuk golongan pekerjaan yang berpenghasilan terjamin, seperti dokter, guru, polisi, presiden, pilot. Petani, penjual kue, nelayan, montir bengkel, tidak dianggap cita-cita. Seakan-akan, mata pencaharian adalah golongan pekerjaan alternatif yang terpaksa dijalani seseorang  setelah gagal meraih cita-cita. Memangnya, sejak kapan cita-cita harus selalu berarti “pekerjaan bergengsi dan bergaji tinggi?” (hal 86)
            Lagipula, mungkin Tuhan bĂȘte karena seringkali didekati manusia dengan berurai air mata ketika ada maunya saja. Padahal, Tuhan hanya butuh satu: manusia yakin sepenuhnya pada-Nya. Berserah bulat-bulat. Kelak, harapan itu pasti akan dikabulkan. (hal 96)

            Semakin jauh kita menikmati kisah ini, kita akan mengerti, bahwa Izzat adalah pribadi yang terbentuk dari komunitas. Selain itu, Izzat juga gemar menulis. Berikut salah satu puisi yang ditulisnya pada waktu luang.

            Langit tak selamanya berawan
            Mungkin antara kita tak selamanya sebagai kawan
            Mungkin kelak jadi musuh
            Mungkin kelak serupa bulan
            Yang tak mungkin dipisah dari malam (hal 158-159)

            Izzat berhasil menerbitkan sebuah buku setelah puasa pesbuk dalam kurung waktu yang cukup lama. Hal ini menegaskan, jika ingin serius menulis (atau pekerjaan apa pun), sebaiknya kurangi aktivitas yang tidak penting dan mulai fokus pada tujuan itu sendiri. Aku mencatatnya di kepala.
            Aku yakin, penulis yang menyamarkan identitas dan memakai nama pena “Pelantan Lubuk” adalah seseorang yang berkecimpung di berbagai komunitas. Jika tidak, tidak mungkin tokoh Izzat berhasil dibuatnya sangat hidup.
            Selain nuansa komunitas yang kental, cerita ini tentu saja tidak lepas dari unsur percintaan. Adalah Fidza, perempuan yang berhasil menggetarkan hati Izzat di tengah kesibukannya dalam berbagai komunitas. Kisah cinta mereka dibuat sangat sederhana. Pertemuannya, ketika rasa itu timbul, konfliknya, semua sederhana namun bikin gereget. Bahkan, penulis mengulur-ulur pertemuan mereka dan sukses membuatku tak ingin lepas membacanya. Aku suka banget adegan ketika Izzat dan Fidza berdua mengendarai motor dalam perjalanan ke Mojokerto. Mereka disuguhkan pemandangan indah yang membuat keduanya tak sengaja bersenandung.

            Tuhan, maafkan diri ini, yang tak pernah bisa menjauh dari angan tentangnya
            Izzat bersenandung.
            Merdu. Lirih.
            Entah kenapa, Izzat ingin sekali mendendangkan lagu itu.
            Namun, apalah daya ini, bila ternyata, sesungguhnya, aku terlalu cinta dia
            Fidza menyambungnya.
            Merdu. Indah.
            Semakin ke sini, tanpa keduanya sadari, Izzat dan Fidza sedang memekarkan bunga yang sama. Dan nyanyian itu adalah dua perasaan yang tanpa mereka sadari, telah lama mereka pilin berdua. (hal 212)

            Saat itu Izzat lupa, perempuan di boncengannya, yang ia ajak bernyanyi bersama, adalah kekasih sahabatnya. Sampai di sini kau mulai mengerti, betapa rumit dan menyenangkannya kisah mereka untuk ditelusuri, bukan?
            Di luar kisah asmara Izzat dan Fidza, penulis memaparkan narasi tentang cinta yang menggelitik namun penuh makna.

            Mungkin memang tabiat cinta, selalu merecoki para penyandangnya tanpa kenal kompromi. Jika cinta ditaruh di mata, ia akan merayap ke dompet dan membuyarkan semua uang. Jika ia ditaruh di kepala, ia malah membuyarkan logika dan membuat manusia bodoh. Jika ditaruh di hati, di lubuk yang dalam sekali, ia akan melompat ke langit, kemudian menerbitkan matahari pukul dua belas malam, dan menenggelamkannya pukul dua belas siang: menjadikan semua hal serba tidak pasti, serba tak tertebak. Adapun jika cinta disimpan di dalam celana, seringkali ia sanggup menahan bulan agar terlambat datang, membuat frustrasi seorang perempuan, dan membuat heboh dua keluarga. (hal 172)

            Kehilangan, kesedihan, juga mewarnai beberapa bagian cerita. Tapi yang paling membekas, saat kematian Mak Fat, tante Izzat. Aku menemukan kalimat ajaib di sana.

            Ia baru datang ke pemakaman saat semua orang sudah tidak ada. Duduk di samping makam Mak Fat yang masih basah. Ia berbisik: “Izzat datang saat semuanya pulang, Mak. Izzat akan ingat saat semuanya lupa. Izzat sayang Mak Fat.” (hal 134)

            Di tengah-tengah cerita, muncul sosok Tari dengan segenap kemisteriusannya. Perempuan bertubuh ringkih dengan tatapan yang menampung segudang beban. Izzat merasa terpanggil untuk membebaskan perempuan itu dari apa pun yang membelenggunya selama ini. Hingga waktu malah menghadirkan sesuatu yang lain di antara mereka. Kenyataan kelam kehidupan Tari cukup membuatku tersentak dan bergumam: semoga hal semacam itu hanya ada di novel ini, tidak di dunia nyata. Kehadiran Tari cukup memberi warna dan membuat kita mengenal sosok perempuan tangguh. Bahkan, setelah waktu tak menyatukan ia dan Izzat, ia berjanji untuk tidak menikah selamanya. Ini di luar dugaan. Entah bagaimana jadinya jika sosok Tari benar-benar ada di dunia nyata.
            Setelah mengikuti perjalanan panjang Izzat, kita tiba di titik paling nendebarkan. Ketika penantian panjang, perjuangan setia, janji empat tahun silam, menemui ujungnya.

            Paralayang, 17 November 2018. Pukul delapan malam.
            Di tanggal itu, tujuh tahun lalu, aku melihat Fidza pertama kali. Jatuh cinta dengan begitu dahsyatnya, sampai tak tahu harus bilang apa. Di tanggal yang sama. Di tempat ini pula, empat tahun lalu, aku dan Fidza memutuskan untuk menyudahi segalanya. Di tanggal itu, di tempat ini, kami berjanji akan bertemu lagi. (hal 298)
            Aku melirik jam tangan yang menyala berwarna biru di kegelapan. Lima belas menit lagi pukul dua belas, dan tanggal tujuh belas akan berakhir sudah. Dan keputusan sudah jelas ujungnya.
            Fidza … jika memang begini akhirnya ….
            Terima kasih buat semuanya ….
            Aku bangga …. Aku bangga, punya cinta yang tak mati dikunyah waktu. (hal 301)

            Apakah Fidza benar-benar tidak datang? Tentu saja bagian ini tidak akan kubongkar di sini, karena bagian inilah salah satu penyebabku terlalu cinta dengan novel ini. Kalaupun Fidza akhirnya datang, percayalah, ini tak seperti akhir yang kau bayangkan. Ini tentang kesetiaan, komitmen, ketegasan, pilihan, dan banyak hal yang akan membuatmu berpikir keras. Dan semakin menyadari, terkadang cinta itu memang menduduki posisi paling rumit.
            Terlepas dari semua keindahan itu, sebuah karya tentu tak lepas dari cacat, pun dengan novel ini. Terdapat typo di beberapa halaman: 12, 38, 172, 216, 235, 287, 297, 299. Tapi, itu sama sekali tak mengurangi kenikmatan cerita.
            Ini review terpanjang yang pernah kutulis. Sebab, begitu banyak yang menarik untuk dipaparkan. Bahkan, aku serasa ingin menuliskan semuanya saja agar semuanya tahu, bahwa novel ini memang layak dinikmati (meskipun hanya terbitan indie).
            Sewaktu akan menerbitkan naskah ini, selaku pimred, Mbak Tiara Purnamasari dengan bijak menyarankan agar naskah ini diajukan saja ke penerbit mayor karena dirasa sangat potensial. Tapi, sang penulis tetap kukuh menerbitkannya secara indie di penerbitan sahabatnya (Mazaya Publishing House). Lagipula, novel ini ditulis sebagai kado ulang tahun seseorang yang jatuh di tanggal 12 Desember. Sebagai ungkapan terima kasih karena telah membuat sang penulis terlalu cinta.
            Pelantan Lubuk, siapa pun kamu, di mana pun berada, terima kasih karena—juga—telah membuatku terlalu cinta. Sejak membaca novel ini, aku punya mimpi, suatu saat bisa berkenalan denganmu walau hanya di dunia maya. Syukur-syukur bisa bertemu langsung. Benar kata Mbak Tiara Purnamasari, jadilah penulis yang tidak hanya lebih terkenal dari Tere Liye dan Andrea Hirata, tapi juga lebih inspiratif dari mereka.
            Nah, bagi Anda yang berminat menikmati kisah ini, bisa langsung order ke penerbitnya (Mazaya Publishing House)