Judul : Terlalu Cinta
Penulis : Pelantan Lubuk
Penerbit : Mazaya Publishing House
Tebal : 310 hlm
ISBN : 978-602-72920-6-2
Terima kasih, pernah membuatku terlalu
cinta.
BLURB:
Cinta begitu traumatik: di mana cinta tak
sanggup menjadi apa pun selain rindu, dan rindu hanya bisa dilampiaskan dengan
menunggu. Menanti dengan lugu. Menanti dengan segumpal rasa yang menyiksa dan
membuat hati membiru.
Meski hanya segenggam, meski hanya sebentar,
mereka harus bersyukur telah diberikan kesempatan untuk menunjukkan cinta
mereka dari dekat.
Aku
mendapatkan novel ini sebagai reward
lomba menulis novel yang diadakan Mazaya
Publishing House bulan Juli-Agustus 2016, kemarin. Jadi, aku tidak
menyangka akan sejatuh cinta ini. Novel ini sangat pas untukku yang memang
penyuka genre roman dengan taburan diksi yang sederhana namun memikat. Membaca
novel ini, aku merasa menemukan tempat ternyaman untuk bersandar (dalam
kegiatan membaca). Novel ini menggunakan alur maju mundur dengan gabungan dua
sudut pandang yang cukup unik. Di awal dan akhir, penulis menggunakan sudut
pandang pertama, mempersilakan tokoh utama bercerita langsung. Di bagian alur
mundur, penulis menggunakan sudut pandang orang ketiga. Tapi sebelum membahas
lebih jauh, terlebih dahulu kupaparkan kata pengantar dari penulis yang
menurutku teramat puitis untuk ukuran kata
pengantar.
SEBUAH PENGANTAR
Apakah kisah ini nyata?
Seharusnya kisah ini nyata. Tapi,
karena ditulis dalam bentuk novel, hampir 90% kisah ini menjadi fiktif.
Otak-atik. Dikarang demi menyembunyikan berbagai tokoh sebenarnya, disesuaikan
demi menciptakan efek dramatis, dikhayal demi mendapatkan akhir yang
menyenangkan hati.
Namun, 10% kisah ini nyata. Malah,
10% inilah yang menjadi penentu dari kisah ini. Dia adalah alur waktu, rentetan
kenangan, dan rindu yang tak bisa dilupakan.
Membuat novel ini berarti melunasi
rindu. Pernah ada suatu ketika, di mana rindu itu menggeliat di dada dengan
begitu hebatnya. Sampai sesak. Sampai insomnia. Akhirnya aku menulis. Menulis
semuanya sampai akhir.
Setelah novel ini selesai, rindu itu
telah lunas. Rindu itu telah jinak. Tak lagi menagih-nagih. Tak lagi
mencakar-cakar.
Hatiku telah bebas sekarang. Dan aku
senang.
Demi
menikmati novel ini, aku membacanya pelan-pelan, meresapi kata demi kata. Bab
pertama berhasil mencuri perhatian, dan sejak saat itu, aku jatuh cinta.
Besok malam, waktu untuk menunaikan
janji itu tiba. Tidak ada kesepakatan apa pun, selain empat tahun yang lalu,
ketika jalan cerita dua anak manusia menemui titik buntunya, dan keduanya putus
asa dengan kesempatan yang telah tiada. Tidak ada janji apa pun, selain mereka
anggukkan empat tahun yang lalu, untuk bertemu di tempat pertama mereka
menyudahi semuanya. Mereka berjanji akan mengingatnya, bahwa empat tahun lagi
mereka akan bertemu. Empat tahun itu adalah dua hari lagi. Mereka saling
meyakinkan bahwa mereka akan datang, bila memang mereka ingin tetap pada
angan-angan semula: untuk kelak hidup bersama.
Jika memang sama-sama datang,
berarti kisah telah memilih tetap pada lembaran yang sama. Tak perlu ada
keraguan lagi. Tak perlu ada penegasan apa pun.
Jika di antara mereka ada yang tidak
datang, berarti kisah telah memilih lembaran yang berbeda. Tak perlu ada kabar
lagi. Tak perlu ada penegasan apa pun.
Tapi … hari ini aku datang. Aku
telah memilih tetap pada lembaran yang sama.
Tapi aku tak tahu, besok malam,
apakah aku akan duduk di bangku kosong, atau duduk bersamanya.
-aku terlalu cinta-
(full hal 8)
Dari satu
halaman di atas, bisa disimpulkan bahwa inti cerita ini adalah sepasang anak
manusia yang berjanji akan bertemu kembali empat tahun kemudian setelah
perjalanan hidup yang pelik mereka lalui bersama. Apakah mereka sepasang
kekasih? Lantas, kenapa harus berpisah dan memilih empat tahun kemudian untuk
bertemu kembali? Itulah yang diramu oleh sang penulis menjadi keutuhan cerita
yang sangat dramatis.
Ah,
sepertinya sudah banyak jenis cerita seperti ini. Eits, jangan terlalu cepat
mengambil kesimpulan, karena kisah cinta dalam novel ini berbeda dari kebanyakan.
Sebuah kisah yang sederhana, menginspirasi, serta dibumbui berbagai aktivitas
komunitas yang mungkin sudah jarang zaman sekarang ini.
Penulis
mengajak kita untuk menemani aktivitas kemahasiswaan Izzat (tokoh utama), serta
keterlibatannya dalam berbagai komunitas. Tanpa paksaan, karena memang menarik
untuk ditelusuri. Dari situ, aku pribadi yang memang tidak pernah bersentuhan
dengan komunitas apa pun, sedikit banyak jadi tahu aktivitas-aktivitas yang ada
dalam dunia itu. Bagaimana mereka bergaul, kepemimpinan, sumber dana, dan
lain-lain.
Dari sekian
banyak komunitas yang dilibatkan dalam cerita ini, aku sangat terkesan dengan
komunitas “Jaring Pena”. Anggota komunitas ini saling berkirim surat tanpa
boleh bertukar nomor telepon, mereka murni berkomunikasi hanya melalui surat
yang ditulis tangan. Komunitas ini melestarikan surat menyurat yang sudah
tenggelam, dan tentu saja melatih kecekatan menulis. Andai ada di dunia nyata,
aku ingin bergabung dengan komunitas ini. Heheheh
… Dari komunitas Jaring Pena inilah penulis memunculkan tokoh Laras yang
merupakan peri penolong kegalauan Izzat. Dan percayalah, kemunculan komunitas
Jaring Pena membuat cerita semakin unik.
Terlepas
dari berbagai aktivitas komunitas yang memang sangat kental dalam novel ini, kita
juga dimanjakan dengan berbagai hal baru yang lahir dari permainan diksi sang
penulis, tentu saja didasari ilmu pengetahuan yang dalam. Salah satunya persepsi
dua realitas bulan yang unik berikut:
Kini Izzat sudah semester tiga. Sudah dua
tahun ia di Kota Malang. Telah banyak yang ia jalani. Ia pernah menjadi bulan,
yang punya dua realitas. Realitas pertama menampilkan dirinya sebagai pencerah
malam, yang cahayanya menemani mereka yang buta karena kegelapan. Realitas
kedua, tetap saja, bulan hanya benda langit dengan banyak topeng di permukaan,
yang bisanya hanya berpura-pura terang karena menumpang cahaya benda langit
yang lain. Ia dipuji karena kepalsuan. Di tengah cahayanya, sebenarnya ia
merajalela dengan kegelapan. (hal 38-39)
Aku
menemukan persamaan dengan tokoh Izzat. Dia hanya menyukai perempuan yang
manis, pun denganku. Untuk yang satu ini hanya kebetulan manis. Hehehehe ….
Ia hanya suka yang manis. Kecantikan
yang unik. Di mana kecantikan tersebut hanya perempuan itu saja yang punya.
Kecantikan yang tak menguap dipanggang bosan, dan tak luntur dibasuh zaman.
(hal 41)
Salah satu keunikan novel ini,
penulis membagi cerita dalam banyak bab. Tak kurang dari 50 bab cerita dengan
paragraf awal yang selalu memukau. Jika tidak dengan diksi yang mendayu-dayu,
pasti dengan konflik yang membuat mata terus melek untuk membacanya hingga
akhir. Berikut salah satu paragraf pembuka bab:
Sementara langit menghadirkan tenangnya
senja di Kota Batu yang sederhana, aku menulis puisi tentang dia. Takkan dunia
temukan, karena kutulis ia di lembaran hati yang paling rahasia. Aku berdoa
agar cinta ini berarti menuju, bukan menjadi. (hal 48)
Di luar permainan diksi yang
amboi, penulis juga berhasil mengajak menikmati keindahan Kota Batu. Meski
hanya melalui tulisan, aku bisa melihat lampu remang di malam hari, taman kota,
dan tentu saja turut merasakan dinginnya.
Selain itu,
kita juga disuguhkan ilmu Tata Wicara yang ternyata merupakan seni yang bisa
dilatih oleh siapa saja. Ia bukan anugerah pada orang-orang tertentu. Siapa
pun, boleh dan bisa mempelajarinya. Kuncinya hanya dua: ketekunan berlatih dan
keberanian memperaktikkan. Ada tiga bukti bahwa kita semua bisa melatihnya,
bukti bahwa kita sebenarnya berbakat.
1. Kita tidak mungkin lahir tanpa menangis.
Menangis adalah komunikasi pertama kita dengan dunia, dan ketika kita menangis,
kita sepenuhnya menarik perhatian semua orang.
2. Kita pasti pernah berbohong. Waktu kita
berbohong, kita merekayasa semuanya. Ekspresi tenang, cara memandang, argument
yang logis, dan suara yang meyakinkan.
3. Kita pasti pernah curhat. Ketika kita
currhat, kita benar-benar berbicara selepas-lepasnya tanpa ada beban dan
pikiran apa-apa. Kita bisa sepenuhnya mempengaruhi kawan curhat. Kita
mengekspresikan isi hati dengan amat jujur, dan ekspresi tanpa rekayasa itu
mempengaruhi siapa saja. (hal 55-56)
Masih pada
adegan yang sama, saat Izzat mengisi kelas Tata Wicara, kita mendapatkan
sentakan untuk bisa lebih percaya diri. Aku seakan duduk di tengah-tengah
mereka, menjadi salah satu kader.
“Asal kalian tahu,” suara Izzat mendadak
meninggi, mantap, “Hilter yang satu pidatonya mampu membakar semangat ribuan
pasukan Jerman dan membuat panas dingin bangsa lain, dulunya hanya seorang
gagap. Gagap! Tidak seperti teman-teman di sini, yang mengaku tidak berbakat
tapi masih bisa bicara! Lihatlah Hilter kini: ia dikenang sebagai siapa. Ada
juga King George V, yang dikenal sebagai orator peperangan paling andal, juga
dulunya gagap total. Apa yang mereka telah lakukan?”
Suara tinggi Izzat menggantung,
putus. Meninggalkan sunyi dan tatap mata yang serius. Sempurna tersihir. Izzat
tersenyum, lembut. “Mereka sekuat tulang melatih kekurangan mereka. Mereka
tidak malu dianggap gila ketika latihan. Mereka percaya diri, dan berani mempraktikkan
apa yang sudah mereka latihkan. Merekalah contoh pejuang sejati.” (hal 57)
Keunggulan
lain novel ini adalah: penulis pandai menyematkan hal kecil, tapi kemudian
berpengaruh besar dan menjadi daya pikat. Contohnya kehadiran Eyang Tulip yang
sebenarnya tidak terlalu berpengaruh terhadap inti cerita, tapi melalui
kalimat-kalimatnya yang menyihir, cerita ini justru akan mati tanpa kehadiran
Eyang Tulip.
“Kalian menjadi korban karena waktu liburan
kalian pasti akan disita Izzat untuk pergi mengajar. Kalian berpanas-panas
menghabiskan bensin, lelah memeras otak mempersiapkan rencana mengajar, dan
tanpa dibayar. Semua itu demi mencerdaskan orang yang bukan siapa-siapanya
kamu. Kalau kalian tidak menganggap semua itu sebagai tabungan pahala kebaikan
di masa depan, maka kalian sebenarnya korban. Tapi jika kalian ikhlas, artinya,
hari ini Eyang masih melihat pahlawan.” (hal 84-85)
Sejak TK, nelayan hanya tergolong
sebagai jenis mata pencaharian, bukan cita-cita. Cita-cita hanya untuk golongan
pekerjaan yang berpenghasilan terjamin, seperti dokter, guru, polisi, presiden,
pilot. Petani, penjual kue, nelayan, montir bengkel, tidak dianggap cita-cita.
Seakan-akan, mata pencaharian adalah golongan pekerjaan alternatif yang
terpaksa dijalani seseorang setelah gagal
meraih cita-cita. Memangnya, sejak kapan cita-cita harus selalu berarti
“pekerjaan bergengsi dan bergaji tinggi?” (hal 86)
Lagipula, mungkin Tuhan bĂȘte karena
seringkali didekati manusia dengan berurai air mata ketika ada maunya saja.
Padahal, Tuhan hanya butuh satu: manusia yakin sepenuhnya pada-Nya. Berserah
bulat-bulat. Kelak, harapan itu pasti akan dikabulkan. (hal 96)
Semakin jauh kita menikmati
kisah ini, kita akan mengerti, bahwa Izzat adalah pribadi yang terbentuk dari
komunitas. Selain itu, Izzat juga gemar menulis. Berikut salah satu puisi yang
ditulisnya pada waktu luang.
Langit tak selamanya berawan
Mungkin antara kita tak selamanya
sebagai kawan
Mungkin kelak jadi musuh
Mungkin kelak serupa bulan
Yang tak mungkin dipisah dari malam
(hal 158-159)
Izzat
berhasil menerbitkan sebuah buku setelah puasa pesbuk dalam kurung waktu yang cukup lama. Hal ini menegaskan, jika
ingin serius menulis (atau pekerjaan apa pun), sebaiknya kurangi aktivitas yang
tidak penting dan mulai fokus pada tujuan itu sendiri. Aku mencatatnya di
kepala.
Aku yakin,
penulis yang menyamarkan identitas dan memakai nama pena “Pelantan Lubuk”
adalah seseorang yang berkecimpung di berbagai komunitas. Jika tidak, tidak
mungkin tokoh Izzat berhasil dibuatnya sangat hidup.
Selain
nuansa komunitas yang kental, cerita ini tentu saja tidak lepas dari unsur
percintaan. Adalah Fidza, perempuan yang berhasil menggetarkan hati Izzat di
tengah kesibukannya dalam berbagai komunitas. Kisah cinta mereka dibuat sangat
sederhana. Pertemuannya, ketika rasa itu timbul, konfliknya, semua sederhana
namun bikin gereget. Bahkan, penulis mengulur-ulur pertemuan mereka dan sukses
membuatku tak ingin lepas membacanya. Aku suka banget adegan ketika Izzat dan
Fidza berdua mengendarai motor dalam perjalanan ke Mojokerto. Mereka disuguhkan
pemandangan indah yang membuat keduanya tak sengaja bersenandung.
Tuhan, maafkan diri ini, yang tak pernah
bisa menjauh dari angan tentangnya
Izzat bersenandung.
Merdu. Lirih.
Entah kenapa, Izzat ingin sekali
mendendangkan lagu itu.
Namun, apalah daya ini, bila
ternyata, sesungguhnya, aku terlalu cinta dia
Fidza menyambungnya.
Merdu. Indah.
Semakin ke sini, tanpa keduanya
sadari, Izzat dan Fidza sedang memekarkan bunga yang sama. Dan nyanyian itu
adalah dua perasaan yang tanpa mereka sadari, telah lama mereka pilin berdua.
(hal 212)
Saat itu Izzat lupa, perempuan
di boncengannya, yang ia ajak bernyanyi bersama, adalah kekasih sahabatnya.
Sampai di sini kau mulai mengerti, betapa rumit dan menyenangkannya kisah
mereka untuk ditelusuri, bukan?
Di luar
kisah asmara Izzat dan Fidza, penulis memaparkan narasi tentang cinta yang
menggelitik namun penuh makna.
Mungkin memang tabiat cinta, selalu merecoki
para penyandangnya tanpa kenal kompromi. Jika cinta ditaruh di mata, ia akan
merayap ke dompet dan membuyarkan semua uang. Jika ia ditaruh di kepala, ia
malah membuyarkan logika dan membuat manusia bodoh. Jika ditaruh di hati, di
lubuk yang dalam sekali, ia akan melompat ke langit, kemudian menerbitkan
matahari pukul dua belas malam, dan menenggelamkannya pukul dua belas siang:
menjadikan semua hal serba tidak pasti, serba tak tertebak. Adapun jika cinta
disimpan di dalam celana, seringkali ia sanggup menahan bulan agar terlambat
datang, membuat frustrasi seorang perempuan, dan membuat heboh dua keluarga.
(hal 172)
Kehilangan,
kesedihan, juga mewarnai beberapa bagian cerita. Tapi yang paling membekas,
saat kematian Mak Fat, tante Izzat. Aku menemukan kalimat ajaib di sana.
Ia baru datang ke pemakaman saat semua orang
sudah tidak ada. Duduk di samping makam Mak Fat yang masih basah. Ia berbisik:
“Izzat datang saat semuanya pulang, Mak.
Izzat akan ingat saat semuanya lupa. Izzat sayang Mak Fat.” (hal 134)
Di tengah-tengah cerita, muncul
sosok Tari dengan segenap kemisteriusannya. Perempuan bertubuh ringkih dengan
tatapan yang menampung segudang beban. Izzat merasa terpanggil untuk
membebaskan perempuan itu dari apa pun yang membelenggunya selama ini. Hingga
waktu malah menghadirkan sesuatu yang lain di antara mereka. Kenyataan kelam
kehidupan Tari cukup membuatku tersentak dan bergumam: semoga hal semacam itu
hanya ada di novel ini, tidak di dunia nyata. Kehadiran Tari cukup memberi
warna dan membuat kita mengenal sosok perempuan tangguh. Bahkan, setelah waktu
tak menyatukan ia dan Izzat, ia berjanji untuk tidak menikah selamanya. Ini di
luar dugaan. Entah bagaimana jadinya jika sosok Tari benar-benar ada di dunia
nyata.
Setelah
mengikuti perjalanan panjang Izzat, kita tiba di titik paling nendebarkan.
Ketika penantian panjang, perjuangan setia, janji empat tahun silam, menemui
ujungnya.
Paralayang, 17 November 2018. Pukul delapan
malam.
Di tanggal itu, tujuh tahun lalu,
aku melihat Fidza pertama kali. Jatuh cinta dengan begitu dahsyatnya, sampai
tak tahu harus bilang apa. Di tanggal yang sama. Di tempat ini pula, empat
tahun lalu, aku dan Fidza memutuskan untuk menyudahi segalanya. Di tanggal itu,
di tempat ini, kami berjanji akan bertemu lagi. (hal 298)
Aku melirik jam tangan yang menyala
berwarna biru di kegelapan. Lima belas menit lagi pukul dua belas, dan tanggal
tujuh belas akan berakhir sudah. Dan keputusan sudah jelas ujungnya.
Fidza … jika memang begini akhirnya
….
Terima kasih buat semuanya ….
Aku bangga …. Aku bangga, punya
cinta yang tak mati dikunyah waktu. (hal 301)
Apakah Fidza benar-benar tidak
datang? Tentu saja bagian ini tidak akan kubongkar di sini, karena bagian
inilah salah satu penyebabku terlalu cinta dengan novel ini. Kalaupun Fidza
akhirnya datang, percayalah, ini tak seperti akhir yang kau bayangkan. Ini
tentang kesetiaan, komitmen, ketegasan, pilihan, dan banyak hal yang akan membuatmu
berpikir keras. Dan semakin menyadari, terkadang cinta itu memang menduduki
posisi paling rumit.
Terlepas
dari semua keindahan itu, sebuah karya tentu tak lepas dari cacat, pun dengan
novel ini. Terdapat typo di beberapa halaman: 12, 38, 172, 216, 235, 287, 297,
299. Tapi, itu sama sekali tak mengurangi kenikmatan cerita.
Ini review
terpanjang yang pernah kutulis. Sebab, begitu banyak yang menarik untuk
dipaparkan. Bahkan, aku serasa ingin menuliskan semuanya saja agar semuanya
tahu, bahwa novel ini memang layak dinikmati (meskipun hanya terbitan indie).
Sewaktu
akan menerbitkan naskah ini, selaku pimred, Mbak Tiara Purnamasari dengan bijak
menyarankan agar naskah ini diajukan saja ke penerbit mayor karena dirasa
sangat potensial. Tapi, sang penulis tetap kukuh menerbitkannya secara indie di
penerbitan sahabatnya (Mazaya Publishing House). Lagipula, novel ini ditulis
sebagai kado ulang tahun seseorang yang jatuh di tanggal 12 Desember. Sebagai
ungkapan terima kasih karena telah membuat sang penulis terlalu cinta.
Pelantan
Lubuk, siapa pun kamu, di mana pun berada, terima kasih karena—juga—telah
membuatku terlalu cinta. Sejak membaca novel ini, aku punya mimpi, suatu saat
bisa berkenalan denganmu walau hanya di dunia maya. Syukur-syukur bisa bertemu
langsung. Benar kata Mbak Tiara Purnamasari, jadilah penulis yang tidak hanya
lebih terkenal dari Tere Liye dan Andrea Hirata, tapi juga lebih inspiratif
dari mereka.
Nah, bagi
Anda yang berminat menikmati kisah ini, bisa langsung order ke penerbitnya
(Mazaya Publishing House)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar