Jumat, 25 November 2016

Cerpen: 3 Minggu 3 Percakapan

             Sudah lama kisah itu berlalu. Tapi entah kenapa, ia masih membekas dalam ingatan. Aku yang sekarang—alhamdulillah—sudah menjabat sebagai manajer di salah satu divisi perusahaan ini, masih berstatus karyawan baru ketika gadis kecil itu tiba-tiba memasuki kehidupanku. Tak banyak yang bisa kuceritakan tentangnya, karena pertemuan kami hanya tiga kali percakapan dalam kurung waktu tiga minggu. Ini hari Rabu, rinai hujan mengalun mendekap pagi. Suasana yang tercipta persis saat pertama kali aku bertemu dengannya.


            Percakapan pertama ….
            Aku tiba di parkiran dalam kondisi setengah basah. Di jarak 50 meter dari kantor, tiba-tiba saja hujan turun tanpa aba-aba.
            “Kak, beli kuenya, Kak!”
            Aku sedang sibuk mengibaskan bintik-bintik air dari kemeja kerjaku, ketika tiba-tiba suara nyaring itu bersahutan dengan gemuruh hujan. Aku menoleh, dan mendapati seorang gadis kecil berkulit legam dengan rambut sebahu basah kuyup. Ia menenteng keranjang berisi aneka kue tradisional. Ia mendekat dan kembali menawarkan dagangannya. Kebetulan, aku memang belum sarapan, efek kesiangan.
            “Satunya berapa?” tanyaku kemudian.
            “Seribu rupiah, Kak!” jawabnya dengan tatapan penuh harap agar aku mau membeli dagangannya.
            “Boleh, deh! Kakak beli 10, ya!” ucapku sambil mengeluarkan selembar uang sepuluh ribu-an dari dalam dompet kemudian kuberikan padanya.
            Sepasang mata birunya langsung berbinar. Aku seperti melihat kilauan permata di rawa-rawa.
            “Kamu tidak sekolah?”
            “Sekolah, dong, Kak. Tapi, aku sekolah siang, paginya jualan kue dulu,” terangnya sambil memasukkan 10 biji kue ke dalam kantong plastik bening dengan jenis beragam.
            “Karena Kakak sudah beli 10 biji, aku mau kasih bonus buat Kakak,” ucapnya setelah menyerahkan kue itu kepadaku.
            “Oh, ya? Apa?”
            “Aku akan berdoa buat Kakak, semoga selalu dalam keadaan sehat, murah rezeki, dan panjang umur.”
            Ia pun mulai memanjatkan doa setelah meletakkan keranjang dagangannya. Tangannya menengadah, bibirnya berucap kalimat polos anak seusianya. Yang membuat hatiku bergetar, adalah surah Al-Fatihah yang turut dibacakannya sebagai penutup doa. Subahanallah! Sungguh fasih ia melafalkannya. Selama sekian detik, indera pendengaranku tak lagi menangkap gemuruh hujan, aku terlena dalam suaranya.
            Ia memungut kembali keranjangnya setelah selesai.
            Hmm … kuenya enak!” pujiku setelah mencicipi satu gigitan kue yang bentuknya menyerupai angka delapan, alih-alih menormalkan kembali suasana hati yang entah dibuat bagaimana oleh keindahan yang baru saja diperdengarkan gadis kecil itu.
            “Terima kasih! Kue bikinan Ibu memang paling enak. Semua yang sudah mencicipi pasti ketagihan,” ujarnya dengan seutas senyum tulus.
            “Jadi, ini bikinan Ibu kamu?”
            Ia mengangguk antusias, sambil tetap tersenyum.
            “Kakak pasti rajin shalat,” imbuhnya tiba-tiba.
            Aku mengernyit.
            “Tuh, di dahinya ada dua titik hitam.” Telunjuknya mengacung ke dahiku yang masih mengerut.
            “Jadi, kalau dahinya hitam tandanya rajin shalat, ya?” tanyaku pura-pura lugu.
            “Kata orang begitu. Tapi Ayah, kok, tidak, ya? Padahal dahinya juga hitam seperti Kakak,” ujarnya dengan polos.
            “Terus, Ayah kamu ngapain saja?”
            “Kerjanya cuma keliling minta sumbangan, katanya buat panti asuhan.”
            Aku terkesiap, ketika sadar jam kantor sebentar lagi dimulai.
            “Nama kamu siapa?” tanyaku sambil ancang-ancang untuk lari menembus kawanan hujan.
            “Melati.”

---

            Percakapan kedua ….
            Di hari Rabu berikutnya, aku mendapati Melati di depan gerbang, ia sedang menawarkan dagangannya kepada siapa pun yang melintas. Tapi, ke mana senyumnya? Sinar kebiruan di matanya pun redup.
            “Kamu ke mana saja? Kok, baru muncul?”
            “Eh … Kakak.” Ia berusaha tersenyum setelah melihatku.
            “Aku ke sini memang cuma di hari Rabu, Kak! Selebihnya, aku jualan di tempat lain.”
            Ooo … gitu! Padahal Kakak kangen, loh, sama kue bikinan Ibu kamu.”
            Ia menampakkan ekspresi di luar dugaan. Harusnya matanya langsung berbinar begitu kukasih sinyal bakalan beli dagangannya. Tapi tidak, wajah itu sungguh timpang dengan yang kulihat minggu lalu.
            “Melati, kamu kenapa?”
            “Ayah ditangkap polisi. Katanya Ayah penipu. Uang sumbangan itu sama sekali bukan buat panti asuhan, tapi digunakan buat judi.” Suara Melati sendu, ia menunduk.
            Aku tersentak mendengar penuturannya.
            “Kamu tahu dari mana?”
            “Aku dengar dari tetangga. Awalnya cuma bisik-bisik, tapi sekarang semakin sering mereka membicarakannya. Ibu jadi jarang keluar rumah, ia kebanyakan nangis di dalam kamar.”
            Entah benar atau tidak yang diucapkannya. Jika benar, berengsek sekali ayah anak ini. Kuusap kepalanya penuh iba.
            “Kata Ibu, untuk membebaskan Ayah, kami butuh uang yang banyak. Jadi mulai sekarang, aku harus lebih giat bekerja untuk mendapatkan uang itu.”
            Betapa polos anak ini. Tidakkah ia sadar bahwa ayahnya memang pantas mendapatkan ganjaran itu? Supaya ia senang, kali ini kubeli kuenya sebanyak 30 biji. Nanti akan kubagikan untuk teman-teman di kantor.

---

            Percakapan ketiga ….
            Aku mendapati Melati terdiam di trotoar. Ia hanya menatap orang yang melintas, suara nyaringnya saat menawarkan dagangan tidak terdengar. Ada apa dengannya?”
            “Kamu kenapa? Bukannya jualan, kok, malah duduk di sini?”
            “Eh … Kakak.” Lagi-lagi ia memaksakan tersenyum setelah melihatku. Sesungging senyum yang tercipta tampak aneh di bibir pucatnya.
            “Kamu sakit?” aku meraih dagunya untuk mengamati wajahnya.
            Seketika ia menggeleng. Kuperhatikan, sedari tadi ia memegangi pinggangnya.
            “Atau kamu lapar? Belum sarapan?” tanyaku lagi dengan nada cemas.
            Ia kembali menggeleng.
            “Justru aku bahagia, Kak, karena bisa membantu Ibu membebaskan Ayah.” Ia jeda untuk mengambil napas. “Katanya ada sesuatu dalam tubuhku yang bisa dijual dengan harga yang sangat mahal, uangnya bisa digunakan untuk membebaskan Ayah.”
            Aku tersentak. “Terus, kamu mau?” tanyaku kemudian dengan mata setengah melotot, pikiranku mulai kacau.
            “Tentu saja. Aku tidak ingin Ayah ditahan polisi. Ibu membawaku ke suatu tempat ….”
            “Ke mana?” potongku tiba-tiba. Aku memegangi kedua pundaknya, entah kenapa jadi aku yang meledak-ledak.
            “Entahlah. Aku tidak ingat jelas. Sepertinya aku ketiduran. Dan begitu bangun, aku sudah ada di rumah lagi dan pinggangku mulai terasa sakit. Kata Ibu, ini tidak akan lama. Ibu memberiku obat setiap hari agar lekas sembuh,” terangnya, kemudian menyingkap sebagian kaus lusuhnya untuk memperlihatkan sesuatu yang sakit di pinggangnya.
            Seketika mataku memanas, melihat pinggang mungil itu dililit perban. Sepertinya hal yang kutakutkan sedari tadi … benar. Sungguh biadab ibu anak ini. Bibirku bergetar, tapi aku tidak ingin menagis di depannya. Kupaksakan untuk tersenyum, dan kuusap kepalanya dengan lembut.

            Minggu berikutnya, aku datang ke kantor lebih awal dari biasanya. Kutunggu Melati di depan gerbang. Sejak percakapan terakhir kemarin, entah kenapa, aku tidak bisa melupakan gadis kecil itu. Aku sangat mengkhawatirkannya. Karena itu, hari ini aku mau memberinya obat yang kubeli khusus via online. Obat ini untuk mencegah infeksi bekas operasi di pinggangnya.
            Jam kantor dimulai lima menit lagi, tapi Melati belum juga muncul. Hari ini pekerjaanku agak terbengkalai, pikiran tentang gadis kecil itu berkelebat di benakku. Sesekali aku sengaja berjalan keluar hingga melewati pintu gerbang, mencari Melati. Tapi tidak ada. Ke mana dia? Apakah dia jualan ke sini bukan di hari Rabu lagi? Semoga!
            Tapi betapa pun banyaknya hari yang kulalui kemudian, Melati tak pernah muncul. Aku merindukan wajah polosnya, juga senyum tulusnya. Dan tentu saja suaranya ketika membacakan surah Al-Fatihah, adalah akar sebab aku terus mencarinya.

            Begitulah Melati menorehkan kisah di hidupku hanya dengan tiga kali percakapan. Tapi hingga saat ini ia masih menyisakan sesuatu dalam diriku, sesuatu yang kurasa belum tuntas. Ini adalah hari Rabu kedua ratus sekian sejak percakapan terakhirku dengan Melati. Semoga ia baik-baik saja meskipun hati kecilku berkata tidak. Kuharap tubuh mungil itu mampu bertahan hanya dengan satu ginjal. Tiba-tiba saja air mataku menetes tanpa sebab yang jelas, sama seperti ratusan hari Rabu yang telah berlalu.

----------------------------------------------------------------------------------


PROFIL PENULIS
            Ansar Siri, penyuka warna merah ini menghabiskan masa kecil hingga remaja di tanah kelahiran, Bone—Sulawesi Selatan. Cowok Capricorn yang mengemban mimpi untuk mengharumkan nama daerahnya melalui tulisan. Kecintaannya pada dunia menulis berawal dari kebiasaan menulis catatan harian.
Lebih dekat dengan penulis;
Email               : ansarsiri357@gmail.com
Facebook         : Ansar Siri
Twitter             : @SiriAnsar


*Cerpen ini juara 3 lomba menulis cerpen bertema "Melarung dalam Emosi" yang diadakan oleh komunitas Indonesia Menulis Agustus-September kemarin.


4 komentar:

  1. Bagus Mas. Bahasanya lugas dan enak dicerna. Saya jadi ingat cerpen Eufoni Samawi karya Mas Masdhar Zaenal.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wow, saya kaget, Mbak Ratna berkenan mampir di sini. Terima kasih. Saya jadi baca lagi cerpen beliau di buku Alona, eh, iyya, mirip. Meski sama sekali tak bermaksud dimiripkan. Cerpen ini saya tulis sebelum baca cerpen beliau, hanya diperbaiki saja sebelum diikutkan lomba waktu itu.

      Hapus
  2. Bagusss ceritanya, deg-degan bacanya... tapi kurang panjang....hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih sudah mampir. Lain kali bikin yang lebih panjang, deh. hihihi ...

      Hapus