Selasa, 25 Juli 2017

Review Kumcer: Memanggil Rantau




Judul             : Memanggil Rantau

Penulis          : Uda Agus

Penerbit        : Mazaya Publishing House

Tebal             : 168 hlm

ISBN            : 978-602-6362-21-6

BLURB
Pak Muncak kembali memandang keempat amplop putih di tangannya. Empat amplop. Empat alamat tujuan. Satu pengirim.
Tahun berganti tahun, lebaran demi lebaran dilewatinya berdua dengan Mak Odah. Hanya amplop-amplop putih yang bertandang ke rumah gadang miliknya setiap lebaran tiba.
“Maaf, Bapak. Maaf, Mak. Tahun ini tidak bisa pulang, pekerjaan tidak bisa ditinggalkan.”
“Pak, Mak, si bungsu baru saja sembuh dari sakit, tidak mungkin diajak melakukan perjalanan jauh.”
“Waktu cuti hanya tiga hari, Pak, Mak, tidak sempat untuk pulang kampung.”
“Lebaran ini saya berlebaran di rumah mertua lagi. Mudah-mudahan tahun depan kami bisa pulang kampung.”
Pak Muncak sangat hafal sekali dengan semua isi surat-surat itu. Tiap tahun dia selalu mendapatkan hal senada, dengan alasan yang selalu berubah, kadang sama. Keempat anak itu seakan tenggelam di rantau.
Keempat surat itu terkirim, menyuruh perantau pulang ke kampung halaman. Berhasilkah Pak Muncak mewujudkan keinginannya?

Setiap menerima naskah cerpen dari Gusrianto, saya akan merasa senang. Dulu saya masih menjadi redaktur di Annida, dan nama penulis Gusrianto atau yang akrab dipanggil Uda Agus ini seolah sudah jadi jaminan sebuah karya yang bagus dan layak tayang.

Demikian Syamsa Hawa selaku Pemimpin Redaksi Annida membuka kata pengantarnya. Keseluruhan cerpen dalam buku ini memang pernah tayang di sana. Artinya, secara kualitas tentu tidak diragukan lagi.

Ini adalah sebuah kisah cinta. Tapi bukan cinta biasa. Ini adalah cerita tentang aku yang suka bakwan, tentang Mak Siti yang membuat bakwan, dan tentang Diah, anak si pembuat bakwan. Ini adalah sebuah kisah cinta di balik sepotong bakwan. (hal 41)

Kutipan di atas cukup mewakili kesan humor yang bisa kita jumpai di beberapa cerpen pertama, di samping unsur tegang dan romantis. Membacanya membuat kita berspekulasi, bahwa sepertinya penulis piawai membawakan cerita dalam berbagai tema. Semuanya tersaji dengan takaran pas—tanpa dipaksakan.
Cerpen “Kakek-Kakek Duniawi” bertabur petuah, membuat saya menyesap pelan-pelan setiap kalimatnya. Sedang cerpen “Memanggil Rantau” yang dijadikan penulis judul bukunya kali ini, kesepian akut diuraikan dengan bahasa menyayat. Luka tak kasat mata yang harus diakhiri bila tak ingin mati karenanya.

“Perceraian itu memang akan terjadi, tapi bukan perceraian antara kami, melainkan antara kita, dan antara kalian.” (hal 15)

Semakin ke tengah, semakin jelas bahwa penulis memang kebanyakan menyinggung keseharian dalam ceritanya. Hal ini membuat pesan dalam setiap cerita tersampaikan dengan baik.
Selain bahasa yang ringan dan lebih keseharian, penulis juga pandai mempermainkan emosi pembaca. Misal pada cerpen “Melupakan Cinta” yang lembut dan dinamis namun berakhir di luar dugaan. Di sini penulis mencoba mengingatkan, betapa sebuah ucapan bisa menjadi doa. Hati-hatilah ketika berucap. Ada pula cerpen yang alurnya tampak datar di awal namun berakhir dengan mata berkaca-kaca. Misal pada cerpen “Ibu Menangis Lagi” yang lagi-lagi sarat akan pesan moral. Juga pada cerpen “Topi Temuan Ibu” yang kembali menegaskan, jangan percaya apa pun selain Tuhan. Selain menyentuh sisi kemanusiaan, rupanya penulis juga tak ingin ketinggalan menyuarakan perihal ketuhanan.

“Kucing paling suka sama tulang ikan, tapi apakah kucing bisa memancing? Tidak. Tapi dia tetap bisa mendapatkannya.” Ibu melanjutkan. “Setiap makhluk itu rezekinya sudah ditetapkan oleh Tuhan.” (hal 109)

Beginilah kalau kita mempercayai kekuatan lain di luar kekuatan Allah, maka setan akan terus menggiring kita untuk terus masuk ke dalamnya. (hal 81)

Seolah sudah disiapkan sebagai penutup persembahan, beberapa cerpen terakhir memiliki warna berbeda. Tak ada unsur jenaka, sedikit timpang dengan cerpen-cerpen sebelumnya. Sesaat penulis seolah ingin menunjukkan sisi lain dari dirinya. Ada kekesalan serta pemahaman berbeda yang ingin disuarakan. Hal ini semakin menambah warna dalam buku ini.
Terakhir, buku ini cocok untuk kamu yang ingin menyelami sisi kehidupan tapi malas dengar ceramah, lebih-lebih diceramahi. Hehehe ….

Review Novel: Teman Hidup




Judul             : Teman Hidup

Penulis          : Andaru Intan

Penerbit        : DIVA Press

Tebal             : 376 hlm

ISBN            : 978-602-391-382-4

Selalu bersama dalam perjalanan panjang nanti

BLURB
Bukan maunya Kinan untuk bernadzar aneh-aneh. Ia lakukan itu karena sangat menginginkan orangtuanya tetap bersatu. Dan, nadzar Kinan adalah mengelilingi Indonesia bagian barat, yang akhirnya balik arah ke timur.
Ketemu cowok di kereta yang akhirnya jadi teman perjalanan juga bukan bagian nadzar Kinan. Dan, lewat cowok ini, yang namanya kayak nama pohon—Jati—Kinan melanglang buana ke Ijen; yang tadinya cewek rumahan jadi pencinta alam; jadi bisa bersyukur. Dan, yang tadinya nggak punya pacar dan sempat nggak mau nikah, jadi ….

“Dituturkan dengan baik, kisah perjalanan dan pencarian ini membuat saya tidak merasa lelah untuk terus mengikutinya.”
--Faisal Oddang, penulis

Bila hidup adalah perjalanan panjang, maka temani aku melangkah di jalan-Nya.
Andaru Intan (hal 7)

Hal pertama yang saya suka dari novel ini adalah kesederhanaannya. Mulai dari pemilihan judul sampai cara bertutur penulis, semuanya nggak neko neko. Dari gambar cover bisa ditebak bahwa cerita ini berbau alam—petualangan. Tapi petualangan seperti apa yang ingin disajikan penulis? Pencarian jati dirikah, atau malah pencarian jodoh? Ah, ini sungguh menarik.
Cerita dibuka dengan pengenalan sosok Kinan yang sedikit berbeda dengan kebanyakan gadis seusianya. Ia tidak pernah keluar rumah kecuali untuk urusan yang benar-benar penting. Terlebih setelah Eyang meninggal. Tentu ada hal yang melatarbelakangi semua itu. Inilah yang diuraikan penulis perlahan-lahan di bab-bab awal. Di balik pandangan sempurna semua orang akan keluarga Kinan, sebenarnya ada yang tidak beres dalam keluarga itu. Puncaknya ketika kedua orangtuanya berniat untuk bercerai.

Kinan ingin berita perceraian itu hanya emosi Mama sesaat. Tapi, sepertinya tidak. Mengingat suasana di rumah tak kunjung membaik, bahkan Papa Mama makin sering bertengkar. Meski itu di dalam kamar dan mereka simpan rapat, anak-anak selalu bisa membaca pertengkaran kedua orangtuanya. Meski tak ada suara pertengkaran, udara mampu menjelaskan. Pandangan mata bisa mengungkapkan. (hal 32)

Bersama sang adik—Krisna—Kinan melalui masa-masa tak mengenakkan itu. Masa-masa tak dihiraukan karena kesibukan orangtua, serta terancam perpisahan. Di sini, saya sangat suka hubungan kakak-adik yang digambarkan penulis.

Krisna hanya diam saat kakaknya memeluknya erat. Sebuah pelukan yang mengisyaratkan bahwa apa pun yang terjadi di keluarga mereka, mereka akan terus bersama. (hal 32)

Pada akhirnya Tuhan mengabulkan keinginan kakak beradik itu untuk tetap melihat orangtuanya bersatu setelah keduanya bernadzar hal yang nyaris mustahil di kehidupan mereka. Bagaimana mungkin Krisna yang sering menjuarai kompetisi game online memutuskan tidak main DOTA selama sebulan? Terlebih Kinan, ia yang jarang keluar rumah berjanji akan menjelajahi Indonesia bagian barat dan tidak tidur di kasur selama sebulan. Susah memang, tapi nadzar wajib dilunasi.
Maka petualangan yang tak pernah ada dalam kamus Kinan pun dimulai. Atas bantuan Krisna, Kinan berhasil kabur dari rumah untuk memulai perjalanan nadzarnya. Di kereta, ia ketemu cowok yang namanya mirip nama pohon, Jati. Di awal kemunculannya, Jati lumayan menyita perhatian akan sifat pendiamnya yang sebenarnya hanya sedang berusaha menormalkan sesuatu. Sesuatu yang tak sengaja ia mulai, dan diakhiri dengan cara yang tak bisa disebut baik maupun buruk.

Yang dia tahu, saat ini hatinya sedang berkabung atas matinya perasaan yang telah bunuh diri. Dia hanya ingin menyimpan rahasia itu rapat-rapat. Biar terkubur bersama waktu. Berkarat lalu lenyap dimakan ngengat. (hal 26)

Kinan memutuskan ikut Jati, menjadikan cowok yang baru dikenalnya itu sebagai teman perjalanan. Kali ini keputusan Kinan sangat tepat. Sebab Jati memang salah satu anggota D’Mountain, kelompok pencinta alam yang sangat menjunjung tinggi persahabatan. Melalui petualangan baru Kinan, penulis menabur banyak sekali pesan moral. Yang saya salut, semuanya tersampaikan dengan baik tanpa kesan menggurui sama sekali. Beberapa bagian bahkan mampu menyentuh titik haru saya. Enak sekali membaca tiap-tiap kalimatnya. Salah satunya, penulis menguraikan makna lagu “Sajadah Panjang” milik Bimbo.

Sajadah yang dibentangkan harusnya mengingatkan mereka akan hidup yang sementara dan satu hal yang kekal setelah kematian. Sajadah panjang mengantarkan manusia sampai kubur, seharusnya mengingatkan mereka pada bersihnya hati karena kewajiban lima waktunya telah tegak. Bukan kembali kotor setelah melaksanakannya. (hal 95)

Di beberapa bagian penulis juga mengingatkan agar kita senantiasa menjadi berarti di setiap kesempatan, bahwa setiap perbuatan baik akan mendapat balasan baik pula—langsung atau tidak. Juga mengingatkan pentingnya untuk ikhlas.

Jati meninggalkan tempat itu sambil memenuhi bak kamar mandi dengan air timbaannya. Saat membantu orang seperti ini, lelahnya justru jadi tidak terasa. (hal 103)

Saat manusia ikhlas memberikan miliknya, percayalah bahwa Tuhan akan menggantinya dengan yang lebih baik. (hal 307-308)

Membaca novel ini menambah kecintaan kita kepada Indonesia. Bagaimana tidak, melalui mata Kinan, kita diajak menikmati pemandangan matahari terbit di Ijen, menjelajahi keindahan Bali, Lombok, Pulau Komodo, dan banyak lagi. Kesemuanya bikin saya bergumam, Indonesia memang indah, ya? Di samping keindahan alam, penulis juga mengajak kita mengenal kebudayaan masyarakat di berbagai tempat. Meski ini tidak terlalu dominan, saya cukup menikmatinya.
Bersama D’Mountain, Kinan melihat persahabatan yang tak pernah dibayangkannya. Kebersamaan mereka teramat sempurna di mata Kinan. Perlahan-lahan Kinan sedikit banyak tahu Jati. Tentang keluarganya, kepribadiannya, masa lalunya, hingga sekelumit hal yang bersinggungan dengan asmara.
Poin plus dari kisah perjalanan panjang ini, kita tak pernah bosan untuk mengikutinya. Bahkan, ditinggal sebentar bikin kangen. Sosok manis Kinan dan sikap kalem Jati terus terbayang-bayang.
Tanpa melupakan keseruan perjalanan Kinan bersama Jati, novel ini sangat informatif. Tema petualangan seolah memberikan ruang lebih kepada penulis untuk mengeksplor banyak hal. Ditambah kehadiran Jati yang merupakan mahasiswa Astronomi. Memang bukan hal baru, tapi jarang-jarang, kan, bisa menikmati kisah fiksi sambil menambah pengetahuan?

“Pada tanggal tertentu bisa terlihat hujan meteor. Tapi, pandangan seperti ini hanya bisa kita nikmati malam hari di tempat tinggi saat langit bersih, tanpa mendung dan tanpa polusi seperti sekarang. Sebenarnya, ada banyak hujan meteor yang bisa kita lihat. Hujan meteor yang paling banyak adalah Perseid di bulan Agustus dan Leonid di bulan November, satu jam bisa-bisa terlihat puluhan hingga ratusan bintang jatuh. Tapi bulan ini kita nggak bisa melihat jenis itu, makanya cuma sedikit.” (hal 136)

Sebenarnya fenomena api biru yang katanya cuma ada dua di dunia, yaitu di Kawah Ijen dan Islandia ini dapat dinikmati di bagian bawah kawah. (hal 140)

Kotoran sapi baru memang tidak sebau kotoran lama, suku Sasak memanfaatkannya untuk mengepel lantai saat kotoran itu baru keluar dari pantat sapi. Masih hangat. Kotoran itu dapat berkhasiat untuk mengusir nyamuk. (hal 242-243)

Baru dia tahu, bahwa suku Sasak diharuskan menikah dengan saudaranya. Dan wajib dibawa lari sebelum menikah. (hal 244)

“Oh ya, kalau tahun Masehi menggunakan aturan Julian, dihitung dari gerak bumi mengelilingi matahari, sebenarnya itu 365,25 hari hanya aja dibulatkan 365 hari, makanya empat tahun sekali selalu ada penambahan satu hari selama satu tahun di bulan Februari. Tahun Kabisat. Itu hasil dari pembulatan seperempat hari yang dikalikan empat jadinya satu hari.” (hal 264)

Dan masih banyak lagi. Silakan temukan sendiri. Pokoknya nggak rugi baca novel ini.
Saya suka cara penulis menyuarakan perihal ketuhanan dan toleransi beragama dengan bahasa paling halus, membuat cerita kian berbobot.

“Religius, kan, nggak harus pakai celana kain pendek, berjenggot, jidatnya kehitaman, dan ngomongnya suka bawa-bawa ayat Al-Quran. Dan walau penampilan Jati nggak begitu, Jati itu religius, Kinan. Dia mencintai Tuhan dengan cara yang unik. Beda dengan orang kebanyakan. Banyak orang yang mengaku religius, sering berteriak-teriak ngepalin tangan, ngerusak barang-barang dengan alasan membela Tuhan, padahal Tuhan sebenarnya nggak butuh dibela. Banyak orang yang mengaku religius, suka mengafir-ngafirkan orang lain dan terlalu fanatik dengan agamanya. Kadang banyak yang ngaku religius, tapi suka bentrok saling mengunggulkan agamanya dan menghina agama orang lain. Dan bukannya Tuhan sendiri nggak beragama?” (hal 151-152)

Entah mengapa, meski Kinan beragama Islam, dia merasa damai saat melihat umat Hindu berbondong-bondong dari pura, pulang sembahyang. (hal 165)

Bersama Jati, Kinan mendapatkan banyak pelajaran. Ia semakin sadar, banyak hal yang belum ia ketahui selama ini. Jati menyadarkannya, bahwa bukan hanya keluarganya yang punya masalah, setiap keluarga punya masalah tersendiri. Dan keputusannya bernadzar yang sampai menyusahkan dirinya sendiri, tidaklah benar.

“Jangan lagi kamu bernadzar sesuatu yang menyakitimu. Sesungguhnya Allah nggak suka melihat ummat-Nya menderita karena menyakiti dirinya sendiri. Dia itu Maha Penyayang, Dia nggak hanya perintahkan kita untuk menyayangi-Nya, sesama manusia, dan alam semesta. Tapi juga untuk sayang pada diri kita sendiri. Manusia sering lupa hal itu. Jangan sampai kamu ikut lupa untuk menyayangi dirimu sendiri, ya, Kinan.” (hal 180)

“Kinan, adikku meninggal dunia. Kakakku rumah tangganya sedang di ujung tanduk. Aku juga sedang menyembuhkan diri dari sakit hati yang kemarin aku alami. Sesungguhnya semua keluarga punya masalah, cuma nggak terlihat dari luar, Kinan. Jangan pernah membandingkan keluargamu dengan keluarga orang lain. Kamu nggak akan pernah bisa membandingkannya. Dan sesungguhnya apa yang kita miliki nggak bisa dibandingkan dengan apa pun. Kita hanya bisa mensyukurinya dan memperbaikinya saja.” (hal 201)

Menjadi teman perjalanan membuat sesuatu di antara keduanya tumbuh tanpa disadari. Baik Kinan maupun Jati, awalnya tak mau mengakui. Tapi semakin ditepis, rasa itu kian memantapkan diri pada tempat yang sulit terjangkau. Dan kalau mau jujur, dari awal keduanya memang saling menginginkan.

Dan setelah perjalanan kali ini, dia hanya dapat menarik satu kesimpulan. Bahwa ada dua populasi langka di Indonesia ini; pertama adalah komodo dan kedua adalah para lelaki seperti Jati.
Bisakah aku memiliki yang kedua? (hal 276)

Usaha mereka untuk mengelak runtuh ketika harus berpisah setelah beberapa hari menjelajahi alam bersama. Perpisahan itu memaksa mereka untuk mengaku, bahwa benar, mereka saling jatuh cinta.

Rasanya aku memang butuh kamu, Ja. Butuh terhibur sama kuliah singkat kamu tentang langit. Butuh dengerin cerita biasa yang jadi luar biasa setelah kamu sangkut pautin sama kehidupan. Tentang mutiara, semut-semut yang katamu bikin Tuhan sayang aku, tentang adzan yang manggil kita, tentang alam semesta yang katamu sedang berzidkir. Aku butuh belajar banyak sama kamu, Ja. Butuh kamu ajarin berdiri dan nggak nyerah lagi. Butuh kamu temenin. (hal 299)

Setelah mengakhiri perjalanan nadzarnya dan kembali ke rumah tepat di hari ketiga puluh, Kinan menemukan suasana rumah seperti surga. Hubungan Papa dan Mama semakin harmonis. Ya, pengorbanannya tidak sia-sia.
Ada banyak hal yang membuat Kinan tidak bisa melupakan perjalanannya selama sebulan penuh, terutama teman seperjalanannya—Jati. Di bagian ini penulis mengisahkan jalinan cinta yang rumit tapi unik. Mereka memang masih berkomunikasi, tapi seadanya saja. Sebab Kinan tahu, Jati cowok yang berbeda.

Baginya, cinta sudahlah cukup bertemu seperti biasa, bicara seperti biasa, bermain seperti biasa, kirim kabar seperti biasa. Tak harus jadi aku-milikmu dan kamu-milikku. Tak harus ada cemburu atau rasa takut kehilangan yang besar. Tak harus perhatian-perhatiannya pada kuliah dan kehidupan luar menjadi tersita oleh hubungan itu. (hal 147-148)

Meski tersimpan rapi dan dijalani sangat hati-hati, pada akhirnya cinta memaksa mereka untuk kembali bertemu, tepatnya di momen gerhana matahari pada sebuah titik di Ternate. Semua ini rencana Kinan tanpa sepengetahuan Jati. Dan di puncak Kie Maitubu, akhirnya keduanya membuat pengakuan, pengakuan yang sebenarnya tak mengubah apa-apa, selain cinta itu sendiri yang semakin dalam mengakar. Ah, kau bisa bayangkan berada di posisi mereka, ketika hati saling bicara berlatarkan alam bebas? Romantis maksimal. Bagian ini sungguh bikin mupeng. Hehehe ….

Hari itu, keduanya mengukir senyum dan harapan di puncak Kie Maitubu. Dalam hati masing-masing, mereka meneriakkan rasa syukur pada Tuhan. Bukan hanya kemurahan-Nya yang telah mengizinkan mereka menikmati pemandangan alam yang sebegini indahnya, tapi juga mengetahui bahwa orang yang mereka cintai … ternyata menyimpan rasa yang sama. (hal 359)

Saya salut dengan konsistensi penulis membangun karakter tokohnya. Sosok polos Kinan dipadukan dengan Jati yang tak mengenal pacaran dalam kamus hidupnya, nyatanya mampu menghanyutkan kita pada kisah percintaan yang aduhai. Romantisnya beda, kayak ada manis-manisnya gitu. Hehehe ….

“Buatku hidup itu kayak perjalanan panjang. Akan terasa mudah kalau kita nggak sendirian. Ada seseorang yang menjadi teman hidup kita. Yang selalu ada buat kita. Kamu bisa merasakan perjalananmu lebih mudah waktu ada yang menemani dan nggak sendirian, kan?” (hal 352)

Terakhir, novel ini sangat cocok untuk penyuka romance tapi ingin sesuatu yang beda. Terlebih untuk yang mengaku pencinta alam. Aku aja yang bukan tergolong pencinta alam langsung sejatuh cinta ini, kok!

Begitulah yang terjadi bila dua makhluk Tuhan telah digariskan bersama. Mereka yang diciptakan untuk saling melengkapi dan dilahirkan untuk saling menemani akan selalu kembali di saat yang tepat kemudian hari. Percayalah, sejauh dan selama apa pun mereka terpisah, mereka akan bertemu lagi. Menjadi sepasang teman hidup yang selalu bersama dalam perjalanan panjang nanti. (hal 373)

Selasa, 04 Juli 2017

Review Novel: Pelangi di Langit Mendung




Judul          : Pelangi di Langit Mendung

Pebulis        : Rositi

Penerbit      : Lokamedia

Tebal          : 317 hlm

ISBN          : 978-602-389-339-3

BLURB
Tubuhnya terbujur kaku dalam selimut gumpalan awan hitam. Apakah dia juga akan terbang menuju kebahagiaan keabadian? Dia akan pulang? Alunan cinta yang tujuh tahun ini dia balutkan seolah menggersang. Bukan salah Mendung bila Langit tiba-tiba undur. Bukan juga karena Langit tak lagi mencintai Mendung, Pelangi, termasuk Awan yang baru hadir. Namun karena Tuhan teramat menyayangi Langit hingga Tuhan menciptakan jalan lain untuknya. Sekali lagi, Mendung bukanlah tanda kepiluan yang dilumuri duka, alunan sakit atau malah dosa dari kutukan. Karena pada kenyataannya, Mendung merupakan bagian sekaligus takdir dari Langit. Pelangi di Langit Mendung.

Menilik judul, nuansa cover, terlebih blurb, semuanya begitu kompak menanamkan gambaran pilu di benak pembaca. Benar, cerita ini memang bernuansa mendung. Masa lalu, orang-orang di sekitar, dendam, menjadi awan hitam yang senantiasa mengiringi tokoh utama kita, Mendung.

“Hanya karena namaku Mendung, duka selalu menyelimutiku?” (hal 91)

Dibuka dengan prolog yang langsung menghadapkan kita pada sosok Mendung serta duka yang melingkupi hidupnya. Adegan banyak terjadi di tempat kerja Mendung, sebuah perusahaan yang langsung menghadirkan teka-teki setelah tercium aroma persaingan sengit—tentang siapa menjatuhkan siapa. Di awal, saya agak bingung mengikuti alur cerita, tersebab penggunaan nama yang tidak lazim dan cara penulis menggambarkan karakter fisik/penampilan tokoh terlalu detail dalam satu kalimat. Detail memang perlu, tapi penyampaiannya mungkin lebih enak jika pelan-pelan, diselipkan pada kalimat-kalimat selanjutnya. Hal ini berlangsung setidaknya di 20 halaman pertama. Tapi balik lagi, masing-masing penulis punya cara bertutur tersendiri. Namun setelah mulai merasa terlibat dalam cerita, penggunaan nama tak lazim tadi malah berubah jadi keunggulan, sebab ia benar-benar lekat pada tema dan seolah menjadi frame manis sepanjang cerita.
Cerita mulai menarik ketika penulis memancing rasa penasaran dengan kehadiran surat rahasia beramplop “pelangi di langit mendung” yang kerap menyambangi meja kerja Mendung dari si pengirim berinisial LR.

Bukan begitu caramu menyikapi keadaan, Ndung. Kontrol emosimu. Itu akan membuatmu merasa lebih baik. Cobalah bersihkan jiwa dan hatimu. Hilangkan semua kerisauan itu. LR (hal 25)

Ternyata ini alasannya mengapa dalam novel ini terdapat amplop cokelat berisikan salah satu surat yang pernah diterima Mendung. Kreativitas ini patut diacungi jempol. Tapi sayang, pembaca mana pun pasti dengan mudah menebak siapa si pengirim surat rahasia itu, meski penulis sudah mencoba melakukan sedikit pengalihan pikiran ke sesosok tokoh. Tapi berlama-lama dengan surat rahasia ini sepertinya memang bukan agenda penulis untuk membangun ceritanya. Belum mencapai setengah jalan cerita, ia sudah membeberkannya.

“Aku ingin membuat pengakuan. Tentang sikap pengecutku yang selama ini hanya berani menyambangimu melalui amplop pelangi di langit mendung itu. Aku benar-benar minta maaf atas kepicikanku. Tapi sungguh, aku benar-benar tulus mencintaimu, Mendung,” (hal 111)

Anggap saja surat beramplop “pelangi di langit mendung” itu merupakan pengantar untuk kita menjajaki kedekatan Langit dan Mendung, yang membacanya membuat saya senyum-senyum sendiri. Mendung yang berjuang keras untuk mengingkari perasaannya, serta Langit yang tak pernah goyah sedikit pun. Keseharian mereka manis-manis gimana … gitu!

“Setiap insan selalu memiliki hal yang sekiranya tak ingin diketahui orang lain, nggak usah ingkar, deh. Jujur aja kalo kamu emang ngerasa nyaman kalo dekat aku. Iya, kan?” (hal 151)

Saya salut dengan konsistensi penulis dalam membangun ceritanya. Alasannya memilih nama tokoh yang saling berkaitan benar-benar dijaga sampai akhir. Bukan sekadar tempelan, sebab Langit dan Mendung memang saling berkaitan jauh sebelum kita mencicipi awal cerita.

Iya, lagi-lagi laki-laki bernama Langit Ramadhan itu benar. Banyak kesamaan yang menyertai dirinya dan Langit. Langit yang seolah sengaja mengejarnya. Bahkan, makam mama mereka sampai bersebelahan. Dan di kata Langit, dulu bahkan beberapa minggu lalu, Mendung dan Langit kerap saling punggung saat mengunjungi pusara peristirahatan terakhir mama mereka. Sungguh hal di luar kewajaran. Mendung dibuat bingung sendiri kenapa alam semesta seolah ingin mempersatukannya dengan Langit. (hal 155)

Di bagian ini saya jadi mikir, mama mereka kerabat, ya? Soalnya makam yang bersebelahan itu biasanya pasti ada hubungan kekeluargaan. Tapi balik lagi, ini fiksi, sah-sah aja. Hehehe ….
Mulai dari tengah hingga ke belakang, kita semakin mengenal sosok Mendung. Masa lalu, duka sesungguhnya, jalan pikiran, serta apa sebenarnya yang paling ia butuhkan. Di samping itu Langit selalu ada untuknya.

Mendung menangis lirih dalam tundukannya. Tubuhnya terguncang-guncang. Benarkah ini jawaban dari Tuhan atas semua duka sekaligus luka yang selama ini menggerogotinya? Tuhan mengutus seorang Langit Ramadhan untuk membuatnya mengenal warna sekaligus kebahagiaan? (hal 166)

Selain kedua tokoh utama, diam-diam saya menyukai sosok Raja, adik tiri Mendung yang diam-diam mencintainya. Di awal, Raja digambarkan menjengkelkan, hingga pembaca agak muak terhadapnya. Tapi seiring terurainya satu persatu persoalan yang ada, Raja menarik simpati ketika ia memperlihatkan ketulusan, hingga berubah menjadi sosok bertanggung jawab. Dari Raja penulis menyimpan kejutan besar.
Selain dari Raja, penulis menyimpan banyak kejutan-kejutan ringan lainnya yang mampu mempertahankan minat baca hingga akhir. Penulis memunculkan konflik dan menyelesaikannya dengan cepat tanpa terkesan dadakan. Saya suka cara penulis memberlakukan karma untuk menyelesaikan konflik utama dalam cerita ini. Pesan moralnya kuat banget dan tersampaikan dengan baik. Saya juga suka gambaran bahagia kehidupan Langit dan Mendung setelah beberapa tahun kemudian, benar-benar hidup dambaan. Meski penulis mengakhirinya dengan tragis kemudian.
Terakhir, novel ini akan selalu mengingatkan kita pada tragedi teror di Sarinah 14 Januari 2016 silam. Penulis menjadikan tanggal itu sebagai hari ulang tahun Langit sekaligus awal—sekali lagi—melilitnya duka di kehidupan Mendung. Seperti apa keseruannya? Silakan baca sendiri!

“Aku sudah bilang, bila aku ada. Bahkan selalu ada di sekitarmu. Ketahuilah, Mendung adalah bagian dari Langit. Karena Mendung merupakan takdir Langit.” (hal 117)