Selasa, 25 Juli 2017

Review Kumcer: Memanggil Rantau




Judul             : Memanggil Rantau

Penulis          : Uda Agus

Penerbit        : Mazaya Publishing House

Tebal             : 168 hlm

ISBN            : 978-602-6362-21-6

BLURB
Pak Muncak kembali memandang keempat amplop putih di tangannya. Empat amplop. Empat alamat tujuan. Satu pengirim.
Tahun berganti tahun, lebaran demi lebaran dilewatinya berdua dengan Mak Odah. Hanya amplop-amplop putih yang bertandang ke rumah gadang miliknya setiap lebaran tiba.
“Maaf, Bapak. Maaf, Mak. Tahun ini tidak bisa pulang, pekerjaan tidak bisa ditinggalkan.”
“Pak, Mak, si bungsu baru saja sembuh dari sakit, tidak mungkin diajak melakukan perjalanan jauh.”
“Waktu cuti hanya tiga hari, Pak, Mak, tidak sempat untuk pulang kampung.”
“Lebaran ini saya berlebaran di rumah mertua lagi. Mudah-mudahan tahun depan kami bisa pulang kampung.”
Pak Muncak sangat hafal sekali dengan semua isi surat-surat itu. Tiap tahun dia selalu mendapatkan hal senada, dengan alasan yang selalu berubah, kadang sama. Keempat anak itu seakan tenggelam di rantau.
Keempat surat itu terkirim, menyuruh perantau pulang ke kampung halaman. Berhasilkah Pak Muncak mewujudkan keinginannya?

Setiap menerima naskah cerpen dari Gusrianto, saya akan merasa senang. Dulu saya masih menjadi redaktur di Annida, dan nama penulis Gusrianto atau yang akrab dipanggil Uda Agus ini seolah sudah jadi jaminan sebuah karya yang bagus dan layak tayang.

Demikian Syamsa Hawa selaku Pemimpin Redaksi Annida membuka kata pengantarnya. Keseluruhan cerpen dalam buku ini memang pernah tayang di sana. Artinya, secara kualitas tentu tidak diragukan lagi.

Ini adalah sebuah kisah cinta. Tapi bukan cinta biasa. Ini adalah cerita tentang aku yang suka bakwan, tentang Mak Siti yang membuat bakwan, dan tentang Diah, anak si pembuat bakwan. Ini adalah sebuah kisah cinta di balik sepotong bakwan. (hal 41)

Kutipan di atas cukup mewakili kesan humor yang bisa kita jumpai di beberapa cerpen pertama, di samping unsur tegang dan romantis. Membacanya membuat kita berspekulasi, bahwa sepertinya penulis piawai membawakan cerita dalam berbagai tema. Semuanya tersaji dengan takaran pas—tanpa dipaksakan.
Cerpen “Kakek-Kakek Duniawi” bertabur petuah, membuat saya menyesap pelan-pelan setiap kalimatnya. Sedang cerpen “Memanggil Rantau” yang dijadikan penulis judul bukunya kali ini, kesepian akut diuraikan dengan bahasa menyayat. Luka tak kasat mata yang harus diakhiri bila tak ingin mati karenanya.

“Perceraian itu memang akan terjadi, tapi bukan perceraian antara kami, melainkan antara kita, dan antara kalian.” (hal 15)

Semakin ke tengah, semakin jelas bahwa penulis memang kebanyakan menyinggung keseharian dalam ceritanya. Hal ini membuat pesan dalam setiap cerita tersampaikan dengan baik.
Selain bahasa yang ringan dan lebih keseharian, penulis juga pandai mempermainkan emosi pembaca. Misal pada cerpen “Melupakan Cinta” yang lembut dan dinamis namun berakhir di luar dugaan. Di sini penulis mencoba mengingatkan, betapa sebuah ucapan bisa menjadi doa. Hati-hatilah ketika berucap. Ada pula cerpen yang alurnya tampak datar di awal namun berakhir dengan mata berkaca-kaca. Misal pada cerpen “Ibu Menangis Lagi” yang lagi-lagi sarat akan pesan moral. Juga pada cerpen “Topi Temuan Ibu” yang kembali menegaskan, jangan percaya apa pun selain Tuhan. Selain menyentuh sisi kemanusiaan, rupanya penulis juga tak ingin ketinggalan menyuarakan perihal ketuhanan.

“Kucing paling suka sama tulang ikan, tapi apakah kucing bisa memancing? Tidak. Tapi dia tetap bisa mendapatkannya.” Ibu melanjutkan. “Setiap makhluk itu rezekinya sudah ditetapkan oleh Tuhan.” (hal 109)

Beginilah kalau kita mempercayai kekuatan lain di luar kekuatan Allah, maka setan akan terus menggiring kita untuk terus masuk ke dalamnya. (hal 81)

Seolah sudah disiapkan sebagai penutup persembahan, beberapa cerpen terakhir memiliki warna berbeda. Tak ada unsur jenaka, sedikit timpang dengan cerpen-cerpen sebelumnya. Sesaat penulis seolah ingin menunjukkan sisi lain dari dirinya. Ada kekesalan serta pemahaman berbeda yang ingin disuarakan. Hal ini semakin menambah warna dalam buku ini.
Terakhir, buku ini cocok untuk kamu yang ingin menyelami sisi kehidupan tapi malas dengar ceramah, lebih-lebih diceramahi. Hehehe ….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar