Judul : Memanggil Rantau
Penulis : Uda Agus
Penerbit : Mazaya Publishing House
Tebal : 168 hlm
ISBN : 978-602-6362-21-6
BLURB
Pak Muncak kembali memandang keempat amplop
putih di tangannya. Empat amplop. Empat alamat tujuan. Satu pengirim.
Tahun berganti tahun, lebaran demi lebaran
dilewatinya berdua dengan Mak Odah. Hanya amplop-amplop putih yang bertandang
ke rumah gadang miliknya setiap lebaran tiba.
“Maaf, Bapak. Maaf, Mak. Tahun ini tidak
bisa pulang, pekerjaan tidak bisa ditinggalkan.”
“Pak, Mak, si bungsu baru saja sembuh dari
sakit, tidak mungkin diajak melakukan perjalanan jauh.”
“Waktu cuti hanya tiga hari, Pak, Mak, tidak
sempat untuk pulang kampung.”
“Lebaran ini saya berlebaran di rumah mertua
lagi. Mudah-mudahan tahun depan kami bisa pulang kampung.”
Pak Muncak sangat hafal sekali dengan semua
isi surat-surat itu. Tiap tahun dia selalu mendapatkan hal senada, dengan
alasan yang selalu berubah, kadang sama. Keempat anak itu seakan tenggelam di
rantau.
Keempat surat itu terkirim, menyuruh
perantau pulang ke kampung halaman. Berhasilkah Pak Muncak mewujudkan
keinginannya?
Setiap menerima naskah cerpen dari
Gusrianto, saya akan merasa senang. Dulu saya masih menjadi redaktur di Annida,
dan nama penulis Gusrianto atau yang akrab dipanggil Uda Agus ini seolah sudah jadi jaminan sebuah karya yang bagus dan
layak tayang.
Demikian Syamsa Hawa selaku Pemimpin Redaksi
Annida membuka kata pengantarnya. Keseluruhan cerpen dalam buku ini memang pernah
tayang di sana. Artinya, secara kualitas tentu tidak diragukan lagi.
Ini adalah sebuah kisah cinta. Tapi bukan
cinta biasa. Ini adalah cerita tentang aku yang suka bakwan, tentang Mak Siti
yang membuat bakwan, dan tentang Diah, anak si pembuat bakwan. Ini adalah sebuah
kisah cinta di balik sepotong bakwan. (hal 41)
Kutipan di atas
cukup mewakili kesan humor yang bisa kita jumpai di beberapa cerpen pertama, di
samping unsur tegang dan romantis. Membacanya membuat kita berspekulasi, bahwa
sepertinya penulis piawai membawakan cerita dalam berbagai tema. Semuanya
tersaji dengan takaran pas—tanpa dipaksakan.
Cerpen “Kakek-Kakek
Duniawi” bertabur petuah, membuat saya menyesap pelan-pelan setiap
kalimatnya. Sedang cerpen “Memanggil Rantau” yang dijadikan
penulis judul bukunya kali ini, kesepian akut diuraikan dengan bahasa menyayat.
Luka tak kasat mata yang harus diakhiri bila tak ingin mati karenanya.
“Perceraian itu memang akan terjadi, tapi
bukan perceraian antara kami, melainkan antara kita, dan antara kalian.” (hal
15)
Semakin ke
tengah, semakin jelas bahwa penulis memang kebanyakan menyinggung keseharian
dalam ceritanya. Hal ini membuat pesan dalam setiap cerita tersampaikan dengan
baik.
Selain bahasa
yang ringan dan lebih keseharian, penulis juga pandai mempermainkan emosi
pembaca. Misal pada cerpen “Melupakan Cinta” yang lembut dan
dinamis namun berakhir di luar dugaan. Di sini penulis mencoba mengingatkan,
betapa sebuah ucapan bisa menjadi doa. Hati-hatilah ketika berucap. Ada pula
cerpen yang alurnya tampak datar di awal namun berakhir dengan mata
berkaca-kaca. Misal pada cerpen “Ibu Menangis Lagi” yang lagi-lagi
sarat akan pesan moral. Juga pada cerpen “Topi Temuan Ibu” yang kembali
menegaskan, jangan percaya apa pun selain Tuhan. Selain menyentuh sisi
kemanusiaan, rupanya penulis juga tak ingin ketinggalan menyuarakan perihal
ketuhanan.
“Kucing paling suka sama tulang ikan, tapi
apakah kucing bisa memancing? Tidak. Tapi dia tetap bisa mendapatkannya.” Ibu melanjutkan.
“Setiap makhluk itu rezekinya sudah ditetapkan oleh Tuhan.” (hal 109)
Beginilah kalau kita mempercayai kekuatan
lain di luar kekuatan Allah, maka setan akan terus menggiring kita untuk terus
masuk ke dalamnya. (hal 81)
Seolah sudah disiapkan
sebagai penutup persembahan, beberapa cerpen terakhir memiliki warna berbeda. Tak
ada unsur jenaka, sedikit timpang dengan cerpen-cerpen sebelumnya. Sesaat
penulis seolah ingin menunjukkan sisi lain dari dirinya. Ada kekesalan serta
pemahaman berbeda yang ingin disuarakan. Hal ini semakin menambah warna dalam
buku ini.
Terakhir, buku
ini cocok untuk kamu yang ingin menyelami sisi kehidupan tapi malas dengar
ceramah, lebih-lebih diceramahi. Hehehe
….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar