Judul : Pelangi di Langit Mendung
Pebulis : Rositi
Penerbit : Lokamedia
Tebal : 317 hlm
ISBN : 978-602-389-339-3
BLURB
Tubuhnya terbujur kaku
dalam selimut gumpalan awan hitam. Apakah dia juga akan terbang menuju
kebahagiaan keabadian? Dia akan pulang? Alunan cinta yang tujuh tahun ini dia
balutkan seolah menggersang. Bukan salah Mendung bila Langit tiba-tiba undur. Bukan
juga karena Langit tak lagi mencintai Mendung, Pelangi, termasuk Awan yang baru
hadir. Namun karena Tuhan teramat menyayangi Langit hingga Tuhan menciptakan
jalan lain untuknya. Sekali lagi, Mendung bukanlah tanda kepiluan yang dilumuri
duka, alunan sakit atau malah dosa dari kutukan. Karena pada kenyataannya,
Mendung merupakan bagian sekaligus takdir dari Langit. Pelangi di Langit
Mendung.
Menilik judul,
nuansa cover, terlebih blurb,
semuanya begitu kompak menanamkan gambaran pilu di benak pembaca. Benar, cerita
ini memang bernuansa mendung. Masa lalu, orang-orang di sekitar, dendam,
menjadi awan hitam yang senantiasa mengiringi tokoh utama kita, Mendung.
“Hanya karena namaku Mendung, duka selalu
menyelimutiku?” (hal 91)
Dibuka dengan
prolog yang langsung menghadapkan kita pada sosok Mendung serta duka yang
melingkupi hidupnya. Adegan banyak terjadi di tempat kerja Mendung, sebuah
perusahaan yang langsung menghadirkan teka-teki setelah tercium aroma persaingan
sengit—tentang siapa menjatuhkan siapa. Di awal, saya agak bingung mengikuti
alur cerita, tersebab penggunaan nama yang tidak lazim dan cara penulis
menggambarkan karakter fisik/penampilan tokoh terlalu detail dalam satu kalimat.
Detail memang perlu, tapi penyampaiannya mungkin lebih enak jika pelan-pelan,
diselipkan pada kalimat-kalimat selanjutnya. Hal ini berlangsung setidaknya di
20 halaman pertama. Tapi balik lagi, masing-masing penulis punya cara bertutur
tersendiri. Namun setelah mulai merasa terlibat dalam cerita, penggunaan nama
tak lazim tadi malah berubah jadi keunggulan, sebab ia benar-benar lekat pada
tema dan seolah menjadi frame manis
sepanjang cerita.
Cerita mulai
menarik ketika penulis memancing rasa penasaran dengan kehadiran surat rahasia
beramplop “pelangi di langit mendung” yang kerap menyambangi meja kerja Mendung
dari si pengirim berinisial LR.
Bukan begitu caramu menyikapi keadaan,
Ndung. Kontrol emosimu. Itu akan membuatmu merasa lebih baik. Cobalah bersihkan
jiwa dan hatimu. Hilangkan semua kerisauan itu. LR (hal 25)
Ternyata ini
alasannya mengapa dalam novel ini terdapat amplop cokelat berisikan salah satu
surat yang pernah diterima Mendung. Kreativitas ini patut diacungi jempol. Tapi
sayang, pembaca mana pun pasti dengan mudah menebak siapa si pengirim surat
rahasia itu, meski penulis sudah mencoba melakukan sedikit pengalihan pikiran
ke sesosok tokoh. Tapi berlama-lama dengan surat rahasia ini sepertinya memang
bukan agenda penulis untuk membangun ceritanya. Belum mencapai setengah jalan cerita,
ia sudah membeberkannya.
“Aku ingin membuat pengakuan. Tentang sikap
pengecutku yang selama ini hanya berani menyambangimu melalui amplop pelangi di
langit mendung itu. Aku benar-benar minta maaf atas kepicikanku. Tapi sungguh,
aku benar-benar tulus mencintaimu, Mendung,” (hal 111)
Anggap saja
surat beramplop “pelangi di langit mendung” itu merupakan pengantar untuk kita
menjajaki kedekatan Langit dan Mendung, yang membacanya membuat saya
senyum-senyum sendiri. Mendung yang berjuang keras untuk mengingkari
perasaannya, serta Langit yang tak pernah goyah sedikit pun. Keseharian mereka
manis-manis gimana … gitu!
“Setiap insan selalu memiliki hal yang
sekiranya tak ingin diketahui orang lain, nggak usah ingkar, deh. Jujur aja
kalo kamu emang ngerasa nyaman kalo dekat aku. Iya, kan?” (hal 151)
Saya salut
dengan konsistensi penulis dalam membangun ceritanya. Alasannya memilih nama
tokoh yang saling berkaitan benar-benar dijaga sampai akhir. Bukan sekadar
tempelan, sebab Langit dan Mendung memang saling berkaitan jauh sebelum kita
mencicipi awal cerita.
Iya, lagi-lagi laki-laki bernama Langit
Ramadhan itu benar. Banyak kesamaan yang menyertai dirinya dan Langit. Langit yang
seolah sengaja mengejarnya. Bahkan, makam mama mereka sampai bersebelahan. Dan di
kata Langit, dulu bahkan beberapa minggu lalu, Mendung dan Langit kerap saling
punggung saat mengunjungi pusara peristirahatan terakhir mama mereka. Sungguh hal
di luar kewajaran. Mendung dibuat bingung sendiri kenapa alam semesta seolah
ingin mempersatukannya dengan Langit. (hal 155)
Di bagian ini
saya jadi mikir, mama mereka kerabat, ya? Soalnya makam yang bersebelahan itu
biasanya pasti ada hubungan kekeluargaan. Tapi balik lagi, ini fiksi, sah-sah
aja. Hehehe ….
Mulai dari
tengah hingga ke belakang, kita semakin mengenal sosok Mendung. Masa lalu, duka
sesungguhnya, jalan pikiran, serta apa sebenarnya yang paling ia butuhkan. Di samping
itu Langit selalu ada untuknya.
Mendung menangis lirih dalam tundukannya. Tubuhnya
terguncang-guncang. Benarkah ini jawaban dari Tuhan atas semua duka sekaligus
luka yang selama ini menggerogotinya? Tuhan mengutus seorang Langit Ramadhan
untuk membuatnya mengenal warna sekaligus kebahagiaan? (hal 166)
Selain kedua
tokoh utama, diam-diam saya menyukai sosok Raja, adik tiri Mendung yang diam-diam
mencintainya. Di awal, Raja digambarkan menjengkelkan, hingga pembaca agak muak
terhadapnya. Tapi seiring terurainya satu persatu persoalan yang ada, Raja
menarik simpati ketika ia memperlihatkan ketulusan, hingga berubah menjadi
sosok bertanggung jawab. Dari Raja penulis menyimpan kejutan besar.
Selain dari
Raja, penulis menyimpan banyak kejutan-kejutan ringan lainnya yang mampu
mempertahankan minat baca hingga akhir. Penulis memunculkan konflik dan
menyelesaikannya dengan cepat tanpa terkesan dadakan. Saya suka cara penulis memberlakukan
karma untuk menyelesaikan konflik utama dalam cerita ini. Pesan moralnya kuat
banget dan tersampaikan dengan baik. Saya juga suka gambaran bahagia kehidupan
Langit dan Mendung setelah beberapa tahun kemudian, benar-benar hidup dambaan.
Meski penulis mengakhirinya dengan tragis kemudian.
Terakhir, novel
ini akan selalu mengingatkan kita pada tragedi teror di Sarinah 14 Januari 2016
silam. Penulis menjadikan tanggal itu sebagai hari ulang tahun Langit sekaligus
awal—sekali lagi—melilitnya duka di kehidupan Mendung. Seperti apa keseruannya?
Silakan baca sendiri!
“Aku sudah bilang, bila aku ada. Bahkan selalu
ada di sekitarmu. Ketahuilah, Mendung adalah bagian dari Langit. Karena Mendung
merupakan takdir Langit.” (hal 117)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar