Selasa, 04 Juli 2017

Review Novel: Pelangi di Langit Mendung




Judul          : Pelangi di Langit Mendung

Pebulis        : Rositi

Penerbit      : Lokamedia

Tebal          : 317 hlm

ISBN          : 978-602-389-339-3

BLURB
Tubuhnya terbujur kaku dalam selimut gumpalan awan hitam. Apakah dia juga akan terbang menuju kebahagiaan keabadian? Dia akan pulang? Alunan cinta yang tujuh tahun ini dia balutkan seolah menggersang. Bukan salah Mendung bila Langit tiba-tiba undur. Bukan juga karena Langit tak lagi mencintai Mendung, Pelangi, termasuk Awan yang baru hadir. Namun karena Tuhan teramat menyayangi Langit hingga Tuhan menciptakan jalan lain untuknya. Sekali lagi, Mendung bukanlah tanda kepiluan yang dilumuri duka, alunan sakit atau malah dosa dari kutukan. Karena pada kenyataannya, Mendung merupakan bagian sekaligus takdir dari Langit. Pelangi di Langit Mendung.

Menilik judul, nuansa cover, terlebih blurb, semuanya begitu kompak menanamkan gambaran pilu di benak pembaca. Benar, cerita ini memang bernuansa mendung. Masa lalu, orang-orang di sekitar, dendam, menjadi awan hitam yang senantiasa mengiringi tokoh utama kita, Mendung.

“Hanya karena namaku Mendung, duka selalu menyelimutiku?” (hal 91)

Dibuka dengan prolog yang langsung menghadapkan kita pada sosok Mendung serta duka yang melingkupi hidupnya. Adegan banyak terjadi di tempat kerja Mendung, sebuah perusahaan yang langsung menghadirkan teka-teki setelah tercium aroma persaingan sengit—tentang siapa menjatuhkan siapa. Di awal, saya agak bingung mengikuti alur cerita, tersebab penggunaan nama yang tidak lazim dan cara penulis menggambarkan karakter fisik/penampilan tokoh terlalu detail dalam satu kalimat. Detail memang perlu, tapi penyampaiannya mungkin lebih enak jika pelan-pelan, diselipkan pada kalimat-kalimat selanjutnya. Hal ini berlangsung setidaknya di 20 halaman pertama. Tapi balik lagi, masing-masing penulis punya cara bertutur tersendiri. Namun setelah mulai merasa terlibat dalam cerita, penggunaan nama tak lazim tadi malah berubah jadi keunggulan, sebab ia benar-benar lekat pada tema dan seolah menjadi frame manis sepanjang cerita.
Cerita mulai menarik ketika penulis memancing rasa penasaran dengan kehadiran surat rahasia beramplop “pelangi di langit mendung” yang kerap menyambangi meja kerja Mendung dari si pengirim berinisial LR.

Bukan begitu caramu menyikapi keadaan, Ndung. Kontrol emosimu. Itu akan membuatmu merasa lebih baik. Cobalah bersihkan jiwa dan hatimu. Hilangkan semua kerisauan itu. LR (hal 25)

Ternyata ini alasannya mengapa dalam novel ini terdapat amplop cokelat berisikan salah satu surat yang pernah diterima Mendung. Kreativitas ini patut diacungi jempol. Tapi sayang, pembaca mana pun pasti dengan mudah menebak siapa si pengirim surat rahasia itu, meski penulis sudah mencoba melakukan sedikit pengalihan pikiran ke sesosok tokoh. Tapi berlama-lama dengan surat rahasia ini sepertinya memang bukan agenda penulis untuk membangun ceritanya. Belum mencapai setengah jalan cerita, ia sudah membeberkannya.

“Aku ingin membuat pengakuan. Tentang sikap pengecutku yang selama ini hanya berani menyambangimu melalui amplop pelangi di langit mendung itu. Aku benar-benar minta maaf atas kepicikanku. Tapi sungguh, aku benar-benar tulus mencintaimu, Mendung,” (hal 111)

Anggap saja surat beramplop “pelangi di langit mendung” itu merupakan pengantar untuk kita menjajaki kedekatan Langit dan Mendung, yang membacanya membuat saya senyum-senyum sendiri. Mendung yang berjuang keras untuk mengingkari perasaannya, serta Langit yang tak pernah goyah sedikit pun. Keseharian mereka manis-manis gimana … gitu!

“Setiap insan selalu memiliki hal yang sekiranya tak ingin diketahui orang lain, nggak usah ingkar, deh. Jujur aja kalo kamu emang ngerasa nyaman kalo dekat aku. Iya, kan?” (hal 151)

Saya salut dengan konsistensi penulis dalam membangun ceritanya. Alasannya memilih nama tokoh yang saling berkaitan benar-benar dijaga sampai akhir. Bukan sekadar tempelan, sebab Langit dan Mendung memang saling berkaitan jauh sebelum kita mencicipi awal cerita.

Iya, lagi-lagi laki-laki bernama Langit Ramadhan itu benar. Banyak kesamaan yang menyertai dirinya dan Langit. Langit yang seolah sengaja mengejarnya. Bahkan, makam mama mereka sampai bersebelahan. Dan di kata Langit, dulu bahkan beberapa minggu lalu, Mendung dan Langit kerap saling punggung saat mengunjungi pusara peristirahatan terakhir mama mereka. Sungguh hal di luar kewajaran. Mendung dibuat bingung sendiri kenapa alam semesta seolah ingin mempersatukannya dengan Langit. (hal 155)

Di bagian ini saya jadi mikir, mama mereka kerabat, ya? Soalnya makam yang bersebelahan itu biasanya pasti ada hubungan kekeluargaan. Tapi balik lagi, ini fiksi, sah-sah aja. Hehehe ….
Mulai dari tengah hingga ke belakang, kita semakin mengenal sosok Mendung. Masa lalu, duka sesungguhnya, jalan pikiran, serta apa sebenarnya yang paling ia butuhkan. Di samping itu Langit selalu ada untuknya.

Mendung menangis lirih dalam tundukannya. Tubuhnya terguncang-guncang. Benarkah ini jawaban dari Tuhan atas semua duka sekaligus luka yang selama ini menggerogotinya? Tuhan mengutus seorang Langit Ramadhan untuk membuatnya mengenal warna sekaligus kebahagiaan? (hal 166)

Selain kedua tokoh utama, diam-diam saya menyukai sosok Raja, adik tiri Mendung yang diam-diam mencintainya. Di awal, Raja digambarkan menjengkelkan, hingga pembaca agak muak terhadapnya. Tapi seiring terurainya satu persatu persoalan yang ada, Raja menarik simpati ketika ia memperlihatkan ketulusan, hingga berubah menjadi sosok bertanggung jawab. Dari Raja penulis menyimpan kejutan besar.
Selain dari Raja, penulis menyimpan banyak kejutan-kejutan ringan lainnya yang mampu mempertahankan minat baca hingga akhir. Penulis memunculkan konflik dan menyelesaikannya dengan cepat tanpa terkesan dadakan. Saya suka cara penulis memberlakukan karma untuk menyelesaikan konflik utama dalam cerita ini. Pesan moralnya kuat banget dan tersampaikan dengan baik. Saya juga suka gambaran bahagia kehidupan Langit dan Mendung setelah beberapa tahun kemudian, benar-benar hidup dambaan. Meski penulis mengakhirinya dengan tragis kemudian.
Terakhir, novel ini akan selalu mengingatkan kita pada tragedi teror di Sarinah 14 Januari 2016 silam. Penulis menjadikan tanggal itu sebagai hari ulang tahun Langit sekaligus awal—sekali lagi—melilitnya duka di kehidupan Mendung. Seperti apa keseruannya? Silakan baca sendiri!

“Aku sudah bilang, bila aku ada. Bahkan selalu ada di sekitarmu. Ketahuilah, Mendung adalah bagian dari Langit. Karena Mendung merupakan takdir Langit.” (hal 117)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar