Senin, 26 September 2016

Cermin: Abu-Abu Kehidupan

            Matahari seolah membentangkan tirai api, menyelimuti bumi hingga nyaris membakarnya. Siang ini, cuaca di SPBU tempatku bekerja sangat panas. Kondisi ini diperparah dengan antrian kendaraan roda dua yang sangat panjang dan tiada hentinya bertambah. Tapi beruntunglah, hari ini aku bertugas berjaga di jalur pompa pertamax yang malah kosong melompong. Tak satu pun kendaraan yang mendekat ke arahku. Aku merdeka! Girangku dalam hati. Aku duduk di sebuah kursi kecil sambil mengipas wajahku dengan topi kerja yang warnanya mulai kusam tersita matahari. Orang-orang di antrian itu rata-rata berpakaian rapi ala kantoran atau pengusaha dan sejenisnya. Jika memang sudah sukses, kenapa mereka tidak mengisi kendaraannya dengan pertamax yang harganya hanya sekian rupiah lebih mahal sedikit? Mereka malah memilih berpanas-panasan hingga peluh meleleh dan mengotori pakaiannya.
            Di antara sekian banyaknya orang di antrian itu, perhatianku tersita oleh seorang ibu muda. Pakaian serba mewah, perhiasan emas yang menyilaukan, serta tak ketinggalan kacamata hitamnya. Di boncengannya, seorang bocah perempuan yang masih mengenakan seragam TK, tampak merengek. Sepertinya ia tidak tahan lagi dengan panas matahari yang terus-terusan membakar kulitnya, atau bisa jadi ia mulai lapar. Kenapa ibu itu tidak mengakhiri rengekan anaknya dan mengisi kendaraannya dengan pertamax saja? Aku heran, jika hanya selisih rupiah yang jadi pertimbangannya.
            Adzan dzuhur berkumandang, dan antrian panjang itu masih terus bertambah. Aku bermaksud bergegas ke mushola, tapi tiba-tiba dari tengah barisan, seorang bapak tua keluar dari antrian dan mendorong motor bututnya ke arahku. Aku lekas berdiri dan menyambutnya dengan ramah. Pak tua itu menyerahkan selembar uang sepuluh ribuan. Aku meraihnya dan mulai mengisikan kendaraannya dengan pertamax. Aku melirik pak tua itu, pakaiannya dipenuhi noda bercak campuran semen yang mengering. Ia melirik jam tangan usang yang melingkar di pergelangan tangan kirinya hampir setiap detik. Ia tampak sangat khawatir—khawatir melalaikan sebuah kewajiban.

---
 
PROFIL PENULIS

            Ansar Siri, penyuka warna merah ini menghabiskan masa kecil hingga remaja di tanah kelahiran, Bone, Sulawesi Selatan. Cowok Capricorn ini mengemban mimpi untuk mengharumkan nama daerahnya melalui tulisan. Kecintaannya pada dunia menulis berawal dari kebiasaan menulis catatan harian.
Lebih dekat dengan penulis;
Email               : ansarsiri357@gmail.com
Facebook         : Ansar Siri
Twitter             : @SiriAnsar

*Flash fiction ini lolos sebagai salah satu juara favorit di lomba menulis flash fiction 300 kata bertajuk warna yang diadakan oleh Mazaya Publishing House, kemudian diterbitkan bersama naskah peserta lain yang dinyatakan lolos dengan judul buku "Ada Sepotong Bulan Pucat Tenggelam di Dasar Cangkir Kopi Hitam", Agustus 2016.

Minggu, 18 September 2016

Review: Bapak, Kapan Kita Akan Berdamai?





Judul                    : Bapak, Kapan Kita Akan Berdamai?

Penulis                 : Regza Sajogur

Penerbit               : de TEENS (Imprint Diva Press)

Tebal                    : 264 hlm

ISBN                   : 978-602-0806-37-2

Jangan berhenti berharap untuk akhir yang kau sebut bahagia.

Blurb:
Pakk!
Tangan kasarnya berhasil mendarat di pipiku. Perih.
“Kapan sikap pembangkangmu bisa berubah?”
“Sampai Bapak juga bisa melunak terhadapku,” jawabku.
Pukulan kedua mendarat di perutku.

Marolop kecil tidak mengerti, mengapa baju natalnya berbeda dengan milik kakak-kakaknya. Ia tidak mengerti, mengapa bapaknya tidak pernah mengajak bercanda ria. Ia tidak mengerti, mengapa harus menerima hantaman hanya karena bermain di bawah hujan.

Hingga akhinya, Marolop berhenti berusaha mengerti. Tidak peduli lagi dengan alasan kebencian bapaknya, Marolop yang masih remaja memilih pergi, jauh ke kota Bogor.

Tanah rantau mengajarkannya banyak hal. Namun, masa lalu tetap mengetuk sela-sela waktu Marolop, memaksa kembali masuk. Atau mungkin sebenarnya perasaan itu memang tidak pernah keluar. Perasaan tidak diterima oleh bapak sendiri sudah bercokol kuat dalam diri, membuatnya jadi pemuda yang benci sekaligus iri melihat kasih sayang bapak kepada anaknya.

Hingga akhirnya, alasan kebencian bapaknya terkuak. Dan Marolop harus belajar makna kedewasaan.

----------------------------------------------------------------------------

            Untuk saya pribadi, dari judulnya saja, buku ini teramat mengundang minat. Saya selalu suka cerita yang menyuguhkan drama di tengah keluarga, apalagi jika kaitannya antara anak dan orangtua. Menurutku, selalu ada pesan moral yang kuat di dalamnya. Terlebih buku yang mengisahkan kebencian seorang bapak kepada anaknya ini.
            Sebenarnya ending cerita ini sudah ditebak dari awal, tentu saja si bapak dan anaknya itu akan berdamai pada akhirnya. Tapi alasan kebencian bapak, serta proses yang mendewasakan Marolop hingga akhirnya mereka berdamai, itu yang disuguhkan penulis dengan penuh cita rasa. Penulis pandai menyimpan benang merah cerita ini dengan rapi dan sukses membuat saya geregetan. Hingga dua bab terakhir, atau sisa beberapa puluh halaman lagi sebelum cerita ini tandas, mereka belum juga berdamai. Ini benar-benar sesuai dengan judul, kapan mereka akan berdamai?
            Bab awal, penulis sukses membuat saya menjadi bagian dari cerita, turut hadir di setiap adegan. Dengan kata lain, penulis berhasil meyakinkan saya adanya ketidakberesan antara bapak dan Marolop. Membaca bab awal buku ini, kita diajak bertualang di pulau Sumatra melalui pelarian Marolop dari kampung halamannya, Ponjian, hingga tiba di pulau Jawa. Tanpa melupakan kisah kelam di balik pelarian itu. Berkat buku ini, saya mengenal beberapa nama daerah di Sumatra. Penulis juga mendeskripsikannya dengan baik. Mulai dari suasana alamnya, kehidupan masyarakatnya, dan beberapa detail lain yang menjadi pemanis dalam cerita. Selain itu, kita juga diajak mengenal bahasa, masakan tradisional, serta tradisi suku Batak.
            Beberapa bagian buku ini sempat membuat mata saya berkaca-kaca. Berikut saya sertakan bagian tersebut:

Berulang kali aku melihat bapaknya memeluk kemudian mencium kening Tigor. Hal yang tidak pernah aku dapatkan dari bapak. (hlm 15)

“Aku juga pernah mengalami hal yang sama. Lari dari rumah karena tidak pernah sepaham dengan Bapakku. Beliau otoriter dan terlalu mengatur-atur hidupku. Semua berlangsung hingga aku beranjak dewasa. Karena tidak tahan dengan sikap Bapak, aku memutuskan untuk pergi dari rumah tanpa sepengetahuan siapa pun, termasuk Ibuku. Aku baru mau pulang setelah Bapakku menghubungi untuk pertama kalinya. Pada saat itu, beliau sedang sakit keras dan memintaku untuk pulang. Aku luluh dan memutuskan untuk kembali ke kampung halaman. Sayangnya, baru saja aku tiba, kerumunan orang telah memenuhi rumahku. Ternyata, itu adalah hari terakhir Bapak di dunia,” terangnya. (hlm 33)

Ternyata Mas Gunawan tidak sendiri. Lelaki itu sudah lebih dulu menurunkan anak SD (yang masih lengkap dengan seragam membalut tubuhnya) dari atas motor. Sesaat kemudian, lelaki itu menghampirinya, memeluk dan mencium kening anak itu. lalu dia meletakkan anak itu di atas pangkuannya, menimangnya, dan bernyanyi sebuah lagu ceria bersamanya.
Aku terpaku menyaksikan pemandangan itu. seluruh tulang dalam tubuhku serasa lemas seketika. (hlm 66)

“Tidak usah kau pikirkan, tidurlah! Kau tampak kelelahan,” kata Tulang Sihombing seraya mengacak-acak rambutku, hal yang paling kusuka, sesuatu yang tidak pernah kudapatkan dari bapak. (hlm 92)

Untuk pertama kalinya, aku benar-benar tenggelam dalam pelukan seoang ayah. Hal yang tidak pernah aku temukan dalam hidupku. Aku mengeratkan pelukan itu, seperti tidak rela ada yang mengambilnya dariku. Jantungku berdetak tidak beraturan, berpacu lebih kencang lagi. Aku mendengar suara sesenggukan yang muncul dari mulut bapak. Semakin lama semakin kuat. Ada jiwa yang tertekan dalam suara itu. Aku bisa merasakan penyesalan dalam tangisnya, lewat sorot mata yang perlahan meredup dan dari pacu jantung yang terus memburu. (hlm 259-260)

            Di tengah kisah kelam perseteruan bapak dan anak, penulis menghadirkan selipan romansa yang manis, kisah percintaan antara Marolop dan Tiur. Bahkan, di bagian berikut membuat kita jadi rehat sejenak dari kekelaman cerita:

“Bagaimana keadaanmu?”
“Sudah lumayan sehat. Hari ini aku minta izin tidak masuk kerja pada Tulang.”
“Perlu aku menjengukmu?”
“Ada Nantulang di rumah.”
“Memangnya kita mau ngapain?”
“Bercumbu.”
Gadis itu tertawa setengah hidup di seberang sana. Meski terkesan bising, aku tidak menyuruhnya untuk berhenti. Aku sangat menyukai tawa bernada bas yang dihasilkan oleh suara serak-serak basahnya. Menurutku itu sesuatu yang seksi.
“Katanya sakit! Apa menurutmu bisa melayaniku?” desaknya tidak mau kalah.
“Lakukan dengan cinta aja, Baby!”
“Awalnya mungkin begitu. Akan tetapi suasana akan berubah ketika ritme pemainannya semakin meningkat.”
“Aha! Saya suka itu,” kataku menggoda.
“Ya sudah. Istirahat sono.”
“Jadi gimana?”
“Apanya?”
“Nganunya.”
“Tunggu aja.”
“Sampai kapan?”
“Sampai kita sudah diikat sehidup semati.”

            Bagian itu jadi aksentuasi cerita ini, sukses bikin saya senyum-senyum sendiri. Bagian ini juga menegaskan, bahwa penulis masih muda dan tak mampu terhindar dari hal satu ini. Heheheh …!
            Puncak ketegangan cerita ini ada di bagian sengketa rumah pemberian Pak Tomi untuk Marolop. Meskipun menjadikan Kakak Ipar sebagai dalangnya, menurutku terlalu dipaksakan dan agak rancu. Tapi itu tidak mengurangi kenikmatan cerita hingga akhir.
            Kekuatan buku ini ada pada pemilihan diksi yang sederhana tapi tepat sasaran. Semua sesuai takaran hingga kita betah melangkah dari satu bab ke bab selanjutnya. Meskipun ada typo di halaman 211.
            Terakhir, buku ini mengajarkan kita untuk memegang teguh sebuah prinsip. Jika kita menjalani hidup dengan optimis, Tuhan selalu mendatangkan pertolongan melalui tangan orang-orang baik di sekeliling kita yang entah dari mana datangnya. Bagi kamu yang berjiwa muda dan ingin mengenal sisi kehidupan lebih mendalam, buku ini sangat recommended.