Matahari seolah
membentangkan tirai api, menyelimuti bumi hingga nyaris membakarnya. Siang ini,
cuaca di SPBU tempatku bekerja sangat panas. Kondisi ini diperparah dengan
antrian kendaraan roda dua yang sangat panjang dan tiada hentinya bertambah.
Tapi beruntunglah, hari ini aku bertugas berjaga di jalur pompa pertamax yang
malah kosong melompong. Tak satu pun kendaraan yang mendekat ke arahku. Aku merdeka! Girangku dalam hati. Aku
duduk di sebuah kursi kecil sambil mengipas wajahku dengan topi kerja yang
warnanya mulai kusam tersita matahari. Orang-orang di antrian itu rata-rata
berpakaian rapi ala kantoran atau pengusaha dan sejenisnya. Jika memang sudah
sukses, kenapa mereka tidak mengisi kendaraannya dengan pertamax yang harganya
hanya sekian rupiah lebih mahal sedikit? Mereka malah memilih berpanas-panasan
hingga peluh meleleh dan mengotori pakaiannya.
Di antara
sekian banyaknya orang di antrian itu, perhatianku tersita oleh seorang ibu
muda. Pakaian serba mewah, perhiasan emas yang menyilaukan, serta tak
ketinggalan kacamata hitamnya. Di boncengannya, seorang bocah perempuan yang
masih mengenakan seragam TK, tampak merengek. Sepertinya ia tidak tahan lagi
dengan panas matahari yang terus-terusan membakar kulitnya, atau bisa jadi ia
mulai lapar. Kenapa ibu itu tidak mengakhiri rengekan anaknya dan mengisi
kendaraannya dengan pertamax saja? Aku heran, jika hanya selisih rupiah yang
jadi pertimbangannya.
Adzan dzuhur berkumandang, dan
antrian panjang itu masih terus bertambah. Aku bermaksud bergegas ke mushola,
tapi tiba-tiba dari tengah barisan, seorang bapak tua keluar dari antrian dan
mendorong motor bututnya ke arahku. Aku lekas berdiri dan menyambutnya dengan
ramah. Pak tua itu menyerahkan selembar uang sepuluh ribuan. Aku meraihnya dan
mulai mengisikan kendaraannya dengan pertamax. Aku melirik pak tua itu,
pakaiannya dipenuhi noda bercak campuran semen yang mengering. Ia melirik jam
tangan usang yang melingkar di pergelangan tangan kirinya hampir setiap detik.
Ia tampak sangat khawatir—khawatir melalaikan sebuah kewajiban.
---
PROFIL PENULIS
Ansar Siri,
penyuka warna merah ini menghabiskan masa kecil hingga remaja di tanah
kelahiran, Bone, Sulawesi Selatan. Cowok Capricorn ini mengemban mimpi untuk
mengharumkan nama daerahnya melalui tulisan. Kecintaannya pada dunia menulis
berawal dari kebiasaan menulis catatan harian.
Lebih dekat dengan penulis;
Email : ansarsiri357@gmail.com
Facebook :
Ansar Siri
Twitter
: @SiriAnsar
*Flash fiction ini lolos sebagai salah satu juara favorit di lomba menulis flash fiction 300 kata bertajuk warna yang diadakan oleh Mazaya Publishing House, kemudian diterbitkan bersama naskah peserta lain yang dinyatakan lolos dengan judul buku "Ada Sepotong Bulan Pucat Tenggelam di Dasar Cangkir Kopi Hitam", Agustus 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar