Minggu, 18 September 2016

Review: Bapak, Kapan Kita Akan Berdamai?





Judul                    : Bapak, Kapan Kita Akan Berdamai?

Penulis                 : Regza Sajogur

Penerbit               : de TEENS (Imprint Diva Press)

Tebal                    : 264 hlm

ISBN                   : 978-602-0806-37-2

Jangan berhenti berharap untuk akhir yang kau sebut bahagia.

Blurb:
Pakk!
Tangan kasarnya berhasil mendarat di pipiku. Perih.
“Kapan sikap pembangkangmu bisa berubah?”
“Sampai Bapak juga bisa melunak terhadapku,” jawabku.
Pukulan kedua mendarat di perutku.

Marolop kecil tidak mengerti, mengapa baju natalnya berbeda dengan milik kakak-kakaknya. Ia tidak mengerti, mengapa bapaknya tidak pernah mengajak bercanda ria. Ia tidak mengerti, mengapa harus menerima hantaman hanya karena bermain di bawah hujan.

Hingga akhinya, Marolop berhenti berusaha mengerti. Tidak peduli lagi dengan alasan kebencian bapaknya, Marolop yang masih remaja memilih pergi, jauh ke kota Bogor.

Tanah rantau mengajarkannya banyak hal. Namun, masa lalu tetap mengetuk sela-sela waktu Marolop, memaksa kembali masuk. Atau mungkin sebenarnya perasaan itu memang tidak pernah keluar. Perasaan tidak diterima oleh bapak sendiri sudah bercokol kuat dalam diri, membuatnya jadi pemuda yang benci sekaligus iri melihat kasih sayang bapak kepada anaknya.

Hingga akhirnya, alasan kebencian bapaknya terkuak. Dan Marolop harus belajar makna kedewasaan.

----------------------------------------------------------------------------

            Untuk saya pribadi, dari judulnya saja, buku ini teramat mengundang minat. Saya selalu suka cerita yang menyuguhkan drama di tengah keluarga, apalagi jika kaitannya antara anak dan orangtua. Menurutku, selalu ada pesan moral yang kuat di dalamnya. Terlebih buku yang mengisahkan kebencian seorang bapak kepada anaknya ini.
            Sebenarnya ending cerita ini sudah ditebak dari awal, tentu saja si bapak dan anaknya itu akan berdamai pada akhirnya. Tapi alasan kebencian bapak, serta proses yang mendewasakan Marolop hingga akhirnya mereka berdamai, itu yang disuguhkan penulis dengan penuh cita rasa. Penulis pandai menyimpan benang merah cerita ini dengan rapi dan sukses membuat saya geregetan. Hingga dua bab terakhir, atau sisa beberapa puluh halaman lagi sebelum cerita ini tandas, mereka belum juga berdamai. Ini benar-benar sesuai dengan judul, kapan mereka akan berdamai?
            Bab awal, penulis sukses membuat saya menjadi bagian dari cerita, turut hadir di setiap adegan. Dengan kata lain, penulis berhasil meyakinkan saya adanya ketidakberesan antara bapak dan Marolop. Membaca bab awal buku ini, kita diajak bertualang di pulau Sumatra melalui pelarian Marolop dari kampung halamannya, Ponjian, hingga tiba di pulau Jawa. Tanpa melupakan kisah kelam di balik pelarian itu. Berkat buku ini, saya mengenal beberapa nama daerah di Sumatra. Penulis juga mendeskripsikannya dengan baik. Mulai dari suasana alamnya, kehidupan masyarakatnya, dan beberapa detail lain yang menjadi pemanis dalam cerita. Selain itu, kita juga diajak mengenal bahasa, masakan tradisional, serta tradisi suku Batak.
            Beberapa bagian buku ini sempat membuat mata saya berkaca-kaca. Berikut saya sertakan bagian tersebut:

Berulang kali aku melihat bapaknya memeluk kemudian mencium kening Tigor. Hal yang tidak pernah aku dapatkan dari bapak. (hlm 15)

“Aku juga pernah mengalami hal yang sama. Lari dari rumah karena tidak pernah sepaham dengan Bapakku. Beliau otoriter dan terlalu mengatur-atur hidupku. Semua berlangsung hingga aku beranjak dewasa. Karena tidak tahan dengan sikap Bapak, aku memutuskan untuk pergi dari rumah tanpa sepengetahuan siapa pun, termasuk Ibuku. Aku baru mau pulang setelah Bapakku menghubungi untuk pertama kalinya. Pada saat itu, beliau sedang sakit keras dan memintaku untuk pulang. Aku luluh dan memutuskan untuk kembali ke kampung halaman. Sayangnya, baru saja aku tiba, kerumunan orang telah memenuhi rumahku. Ternyata, itu adalah hari terakhir Bapak di dunia,” terangnya. (hlm 33)

Ternyata Mas Gunawan tidak sendiri. Lelaki itu sudah lebih dulu menurunkan anak SD (yang masih lengkap dengan seragam membalut tubuhnya) dari atas motor. Sesaat kemudian, lelaki itu menghampirinya, memeluk dan mencium kening anak itu. lalu dia meletakkan anak itu di atas pangkuannya, menimangnya, dan bernyanyi sebuah lagu ceria bersamanya.
Aku terpaku menyaksikan pemandangan itu. seluruh tulang dalam tubuhku serasa lemas seketika. (hlm 66)

“Tidak usah kau pikirkan, tidurlah! Kau tampak kelelahan,” kata Tulang Sihombing seraya mengacak-acak rambutku, hal yang paling kusuka, sesuatu yang tidak pernah kudapatkan dari bapak. (hlm 92)

Untuk pertama kalinya, aku benar-benar tenggelam dalam pelukan seoang ayah. Hal yang tidak pernah aku temukan dalam hidupku. Aku mengeratkan pelukan itu, seperti tidak rela ada yang mengambilnya dariku. Jantungku berdetak tidak beraturan, berpacu lebih kencang lagi. Aku mendengar suara sesenggukan yang muncul dari mulut bapak. Semakin lama semakin kuat. Ada jiwa yang tertekan dalam suara itu. Aku bisa merasakan penyesalan dalam tangisnya, lewat sorot mata yang perlahan meredup dan dari pacu jantung yang terus memburu. (hlm 259-260)

            Di tengah kisah kelam perseteruan bapak dan anak, penulis menghadirkan selipan romansa yang manis, kisah percintaan antara Marolop dan Tiur. Bahkan, di bagian berikut membuat kita jadi rehat sejenak dari kekelaman cerita:

“Bagaimana keadaanmu?”
“Sudah lumayan sehat. Hari ini aku minta izin tidak masuk kerja pada Tulang.”
“Perlu aku menjengukmu?”
“Ada Nantulang di rumah.”
“Memangnya kita mau ngapain?”
“Bercumbu.”
Gadis itu tertawa setengah hidup di seberang sana. Meski terkesan bising, aku tidak menyuruhnya untuk berhenti. Aku sangat menyukai tawa bernada bas yang dihasilkan oleh suara serak-serak basahnya. Menurutku itu sesuatu yang seksi.
“Katanya sakit! Apa menurutmu bisa melayaniku?” desaknya tidak mau kalah.
“Lakukan dengan cinta aja, Baby!”
“Awalnya mungkin begitu. Akan tetapi suasana akan berubah ketika ritme pemainannya semakin meningkat.”
“Aha! Saya suka itu,” kataku menggoda.
“Ya sudah. Istirahat sono.”
“Jadi gimana?”
“Apanya?”
“Nganunya.”
“Tunggu aja.”
“Sampai kapan?”
“Sampai kita sudah diikat sehidup semati.”

            Bagian itu jadi aksentuasi cerita ini, sukses bikin saya senyum-senyum sendiri. Bagian ini juga menegaskan, bahwa penulis masih muda dan tak mampu terhindar dari hal satu ini. Heheheh …!
            Puncak ketegangan cerita ini ada di bagian sengketa rumah pemberian Pak Tomi untuk Marolop. Meskipun menjadikan Kakak Ipar sebagai dalangnya, menurutku terlalu dipaksakan dan agak rancu. Tapi itu tidak mengurangi kenikmatan cerita hingga akhir.
            Kekuatan buku ini ada pada pemilihan diksi yang sederhana tapi tepat sasaran. Semua sesuai takaran hingga kita betah melangkah dari satu bab ke bab selanjutnya. Meskipun ada typo di halaman 211.
            Terakhir, buku ini mengajarkan kita untuk memegang teguh sebuah prinsip. Jika kita menjalani hidup dengan optimis, Tuhan selalu mendatangkan pertolongan melalui tangan orang-orang baik di sekeliling kita yang entah dari mana datangnya. Bagi kamu yang berjiwa muda dan ingin mengenal sisi kehidupan lebih mendalam, buku ini sangat recommended.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar