Jumat, 17 April 2020

Review Novel: Marginalia




Judul             : Marginalia

Penulis          : Dyah Rinni

Penerbit        : Qanita

Editor             : Triani Retno Adiastuti

Cover             : BLUEgarden

Cetakan         : Pertama, Februari 2013

Tebal              : 304 hlm

ISBN               : 978-602-9225-82-2

Blurb:

Aku Yudhistira, aku Arjuna, aku Bima, aku Nakula Sadewa. Berapa Bharatayudha harus kujalani. Demi kamu. Drupadiku?

Aruna

CENGENG! Tulisan singkat dan rapi di kumpulan puisi Rumi kesayangan almarhum Padma membuatku terbakar. Kurang ajar! Berani-beraninya cewek dingin berhati belatung itu menodai kenangan Padma. Belum tahu dia berhadapan dengan siapa. Aruna, vokalis Lescar, band rock yang paling diidolakan. Tunggu pembalasanku!

Drupadi

Aku tak punya waktu untuk cinta. Meski nyaris tiap hari aku berhubungan dengan yang namanya pernikahan, ini hanya urusan bisnis semata. Aku tak percaya romantisme, apalagi puisi menye-menye. Hidup ini terlalu singkat untuk jadi melankolis. Namaku memang Drupadi, tapi hatiku sudah tertutup untuk laki-laki.

"Kekasih tak begitu saja bertemu di suatu tempat, mereka sudah saling mengenal sejak lama."__Rumi

***

Alur Cerita:


Perang marginalia (catatan di pinggir buku) mengawali pertikaian absurd Aruna dengan Drupadi.

Drupadi tidak sengaja menemukan Marginalia, kafe terpencil yang menjadikan koleksi buku-buku tua sebagai ciri khas. Suatu hari dia harus kembali ke sana untuk urusan bisnis. Di situlah segalanya bermula. Tanpa pemahaman lebih lanjut, dia terpaksa menulis marginalia pada sebuah buku demi melancarkan tujuannya. Namun siapa sangka, buku yang dipilihnya justru buku kumpulan puisi Rumi, yang di dalamnya sudah dipenuhi marginalia yang ditulis oleh Padma, alharhuma kekasih Aruna.

"Tanganku terus berjalan. Terkadang aku mengambil satu atau dua buku untuk melihat isinya. Namun tak lama, buku itu kukembalikan ke tempatnya. Baru beberapa saat kemudian, aku menemukan apa yang kucari."_(hal 44)

Aruna meradang mendapati kenangan orang yang sangat dicintainya dinodai. Ia berjanji akan menemukan pelakunya dan membuatnya menyesal.

"Aku menuliskan kata-kata terbaik yang bisa aku pikirkan dan kemudian mengembalikan buku itu ke rak. Aku tak sabar menunggu balasannya."_(hal 50)

Drupadi orang yang paling tidak percaya keajaiban, terlebih jika hal itu harus diawali dari sebuah coretan kecil. Namun siapa sangka, marginalianya benar-benar mendatangkan hal besar dalam hidupnya.

"Suaranya terus menghantuiku. Suaranya yang indah, dalam, dan membius itu tidak bisa membuatku berhenti berpikir. Jauh di dalam pikiranku, aku merasa pernah mendengarnya. Tetapi di mana?"_(hal 100)

Aruna berhasil menemukan Drupadi. Namun siapa sangka, amarahnya luntur seketika. Yang terjadi selanjutnya sungguh di luar kendali. Tidak ada kisah yang selamanya mulus. Pasti ada guncangan yang akan membuat kita berpikir untuk menyerah. Tapi Aruna dan Drupadi punya cara masing-masing untuk bertahan. Dan itu berangkat dari patahhati-patahhati sebelumnya.

"Ia tersenyum tipis padaku, tetapi itu lebih dari cukup untuk mengaduk jiwaku, membuatku tak mengenali diriku sendiri."_(hal 109)

Lalu, bagaimana kisah Aruna dan Drupadi selengkapnya setelah dipertemukan oleh marginalia?
Yuk, miliki novel ini dan bersiaplah untuk larut dalam pertikaian emosi.

***

Review:

Awalnya kupikir marginalia sebatas nama kafe dan hanya akan jadi gaya-gayaan di awal. Nyatanya, ini benang merah yang berkesinambungan hingga akhir. Penulis berhasil menautkan takdir kedua tokoh utama dengan cara yang tidak biasa. Unik banget. Kemudian selaku pembaca, aku menemukan segurat teka-teki di setiap bab yang akan sangat menghantui jika tidak lekas dituntaskan.

Novel ini menggunakan POV 1 jamak. Kendati demikian, penokohannya kuat banget sehingga kita bisa menemukan warna yang berbeda di part Aruna dan Drupadi. Meskipun peralihannya cukup rapat, sama sekali tidak menggangu karena pemenggalan atau peralihannya selalu di titik yang tepat.

Bahasanya segar. Manis-manis gimana gitu. Aku suka kehidupan Aruna sebagai artis tidak terlalu digembor-gemborkan. Penulis malah menyajikannya dari sisi paling realistis.

Keunggulan novel ini di pengolahan konfliknya. Astaga ... gila! Rumit, menjebak, tapi tidak membingungkan. Penasaran banget, iya. Hehehe ....

Di 1/4 menjelang ending, aku bacanya udah kayak dikejar anjing, saking gak sabar pengin tahu seperti apa penyelesaiannya.


Bicara kekurangan, entahlah. Rasanya tidak ada waktu memikirkan ini. Anggap aja aku tidak menemukannya. Hanya saja, cara Aruna membuktikan cintanya dengan membaca semua buku di Marginalia ... gimana, ya? Penerimaanku terlalu dangkal untuk adegan itu. Terkesan maksa dan agak janggal akan dilakukan oleh pribadi seperti Aruna. Terus, saat Drupadi dibimbing untuk menemukannya, apa iya, dia masih sempat buka-buka buku saat kondisinya lagi kacau balau? Itu aja, sih.

Overall, ini sajian kisah yang cocok banget buat kamu yang merindukan pengalaman baru dalam membaca. Kita diajak untuk percaya keajaiban, dan semua yang terjadi hari ini, bisa jadi petunjuknya sudah ada di tahun-tahun sebelumnya tanpa kita sadari.



Selasa, 31 Maret 2020

Review Novel: Always be in Your Heart


Judul            : Always be in Your Heart

Penulis         : Shabrina Ws

Penerbit       : Qanita

Editor            : HP Melati

Layout          : Nono

Cover            : Agung Wulandana

Cetakan        : Pertama, Februari 2013

Tebal             : 236 hlm

ISBN              : 978-602-9225-77-8

Blurb:

Marsela

Aku selalu menantimu dari matahari di timur, matahari di barat, hingga terbit lagi.
Aku telah melewati musim yang berganti berulang kali.
Tapi, kau tak pernah hadir di sini.
Kini setelah sepuluh tahun kulewati, aku tak yakin lagi, bahkan pada hatiku sendiri.

Juanito

Siapakah kita, ketika pada akhirnya sejarah telah bicara.
Bahkan, sungai bisa saja berubah muara, sekuat apa pun aku bertahan, sepuluh tahun telah mengubah banyak hal.
Dan nyatanya, keadaan memang tak lagi sama.

***

Alur Cerita:

Sela dan Juan tumbuh bersama. Mereka tetangga, bahkan halaman rumah mereka menyatu. Juan yang lebih tua tiga tahun selalu memosisikan Sela sebagai adik. Sela tidak keberatan. Meski terkadang Juan penuh aturan dan suka memaksa, nyatanya gadis itu aman dan nyaman berada di sisi Juan. Begitu seterusnya, hingga Juan sadar dan menemui batasan untuk memulai atau memastikan sesuatu yang baru.

"Kamu bukan anak-anak lagi. Aku tidak bisa lagi menjagamu seperti dulu, dan mengenalkan kepada semua teman-temanku kalau kamu adalah adikku."_(hal 60)

Namun, rencana yang sudah disusun rapi terpaksa dilupakan. Semuanya berantakan di balik referendum 99. Bentrok di mana-mana mengharuskan semua orang mengambil keputusan dengan cepat dan tegas, termasuk Sela dan ayahnya.

"Pilihan keluarga mereka berbeda. Kini jelas sudah."_(hal 77)

Perpisahan tiba-tiba membentangkan jarak, rindu, serta puing-puing harapan yang tidak menentu.

"Ermera telah jauh tertinggal di belakang sana. Kebun kopi, koto, Royo, Sungai Gleno, dan semua impiannya bersama Juanito. Semua menjelma menjadi satu nama, kenangan."_(hal 81)

Di tanah pengungsian, Sela berusaha menjalani kehidupannya senormal mungkin, termasuk menerima kehadiran Randu, lelaki yang seringkali membuat Sela tercengang akan kebaikannya.

"Ayahnya sesekali mengatakan pada Marsela bahwa Randu adalah laki-laki yang baik dan sopan. Marsela tak pernah menanggapi, dia tak ingin semakin lama pembicaraan tentang Randu semakin jauh."_(hal 93)

Sepuluh tahun berlalu, Sela masih saja mendapati aroma kopi dari Ermera sana memanggil dengan bahasa paling tulus. Ia harus menetapkan pilihan sekali lagi. Kembali? Atau menjauh dan melupakan segalanya? Dan kalau pun ia akhirnya kembali, apa yang akan ditemuinya? Masihkah keadaan tetap sama?

"... Yang pasti aku ingin menengok tanah kelahiranku."_(hal 164)

Penasaran?
Yuk, temukan novel ini, baca sendiri dan temani Sela menetapkan pilihan.


***

Review:

Di awal membaca prolog, aku agak tertatih. Tapi pas tahu yang sedang bercerita adalah seekor anjing, wah, antusiasme naik beberapa tingkat.

Di bab pertama masih selow, tapi setelah ketemu jalan utama cerita ini, selanjutnya hanyut dan tahu-tahu udah ending. Astaga, semelenakan itu?

Permainan alur maju mundur cantik sekali, meski rasanya ada beberapa bagian yang buru-buru. Masih ingin berlama-lama dengan kebersamaan Juan dan Sela tapi penulis udah berganti topik.

Entahlah, aku selalu merasa akan lebih baik kalo masa lalu Juan dan Sela ditampilkan lebih banyak. Tapi segini aja udah cukup, kok. Sensasinya lumayan mematikan untuk pembaca yang baperan. Hehehe ....

Uniknya, kisah ini dilatarbelakangi masa-masa saat Timor Leste akan memisahkan diri, sampai sepuluh tahun setelahnya. Jadi nggak hanya kisah romance, tapi novel ini juga menyuguhkan salah satu sejarah penting. Aku yang tidak begitu tahu peristiwa referendum 99 sangat berterima kasih kepada penulis.

Ohya, tadi aku udah singgung soal anjing, kan? Di sini ada dua anjing, Lon dan Royo. Pada akhirnya mereka paling membekas di benakku. Bagaimana penulis memosisikan mereka di cerita ini keren banget. Mungkin penulis lain akan berpikiran sama, tapi nggak yakin akan sedetail ini. Anjing-anjing itu dibikin bukan sebatas figuran.

Soal kekurangan, aku tidak menemukannya. Mungkin saking asyiknya atau memang tidak ada. Aku hanya kepikiran Randu setelah cerita ini selesai. Lah, kenapa? Baca, deh. Kamu akan tahu. Kekeliruan kecil pasti ada, tapi itu umum banget.

Overall, novel ini recommended banget buat kamu yang menyukai kisah romance berlatar sejarah. Meski kerusuhan di balik referendum tidak ditampilkan secara brutal, tapi nuansa mencekamnya cukup terasa. Dan aku nyesel banget baru baca sekarang.

Senin, 23 Maret 2020

Review Novel: Hati yang Berbalut Sutra di Pangkuan Sengkang




Judul             : Hati yang Berbalut Sutra di Pangkuan Sengkang

Penulis         : Ammy Nurrahmi

Penerbit       : Jejak Publisher

Editor            : Ansar Siri

Layout          : Tim CV Jejak

Cover            : Meditation Art

Cetakan        : Pertama, Januari 2020

Tebal             : 243 hlm

ISBN              : 978-623-247-048-4

Blurb:

Berbekal selembar sutra peninggalan sang bapak, Nadiyah Halim nekat ke tempat yang belum pernah dia kunjungi. Dia harus bertemu dengan seseorang yang bisa menjadi walinya saat menikah nanti dan juga demi mendapat restu akan hubungannya dengan sang kekasih, Aliff Imran.

Pencarian Nadiyah membawanya bertemu dengan Alfandy Shidqy, sepupunya yang merupakan hafidz yang akhirnya banyak membantu proses hijrahnya. Kedekatan itu berbuah perjodohan dari pihak keluarga mereka.

Diam-diam Aliff juga memulai proses hijrahnya. Memantaskan diri untuk menjadi pendamping dan pemimpin yang ideal bagi Nadiyah.

Dan Tuhan pun menunjukkan kasih sayang-Nya, menyatukan hati yang tertaut oleh doa, menciptakan alur cerita tanpa melukai hati hamba-Nya. Lalu, kepada hati siapakah kasih sayang itu tercurah?

***

Alur Cerita:

Nadiyah sama sekali tidak punya gambaran akan kampung halaman bapaknya di Indonesia. Tetapi untuk sebuah tujuan mulia, dia harus ke sana. Banyak hal yang memberatkan langkahnya untuk meninggalkan Singapura, salah satunya Aliff, kekasihnya. Dia harus meyakinkan lelaki itu terlebih dahulu, akan maksud kepergiannya.

"Jika Abang serius dan nanti kita akan menikah, harus ada yang menjadi wali Nadiyah menggantikan Bapak."_(hal 23)

Berkat paket pelayanan lengkap sebuah homestay yang dipesannya sebelum berangkat, Nadiyah berhasil tiba di Sengkang tanpa hambatan. Selanjutnya dia akan mencari keberadaan keluarga almarhum bapaknya.

"Butuh waktu sekitar lima jam menempuh jarak Makassar ke Sengkang. Tepat pukul 01.00 dini hari, Nadiyah tiba di Sengkang."_(hal 30)

Kota Sengkang tidak begitu besar. Dengan mengandalkan identitas pusat produksi sutra--ikon kota itu--Nadiyah berhasil menemukan keluarga bapaknya, meski sempat diwarnai insiden kecil.

"Belum Nadiyah mengucapkan sepatah kata, wanita di depannya terkejut sambil memegang dada saat melihat benda yang dipegang Nadiyah."_(hal 42)

Nadiyah bersyukur, keluarga almarhum bapaknya menyambutnya dengan hangat. Mereka keluarga besar yang sangat rukun dan religius. Hal ini berdampak besar terhadap Nadiyah. Di tengah keluarga yang sangat membudayakan makan bersama itu, dia menemukan banyak hal yang belum disadarinya selama ini. Dan terkhusus untuk Fandy, sepupunya, Nadiyah memendam sebentuk kekaguman yang berbeda. Lelaki itu tipe imam idaman.

"Dia yang jadi imam salat Subuh tadi. Lantunannya indah, kan? Wajahnya juga tidak mengecewakan. Fansnya banyak, loh."_(hal 55)

Lantas, bagaimana keseharian Nadiyah di kampung halaman bapaknya? Masihkan dia ingat tujuan utamanya? Dan bagaimana dengan semua hal yang ditinggalkannya di Singapura?

Jangan cuma menduga-duga, ya, karena kisah ini punya plot twist yang cukup menjebak tapi manis. Yuk, segera miliki novel ini.


***

Review:

Novel ini dipaparkan dengan sederhana. Ibarat jalanan, tikungannya nggak banyak. Konfliknya juga bukan tipe yang bikin kening berkerut, tapi dari semua itulah keunggulannya. Di setiap bab aku menemukan letupan-letupan yang membikin betah. Semacam keberanian melangkah, kehangatan keluarga besar, hati yang diam-diam terketuk hidayah, dan penafsiran cinta dengan cara yang agung. Sungguh, semua itu melenakan.

Aku bangga sama penulisnya, cukup peka untuk mengangkat sutra yang menjadi ikon kotanya menjadi benang merah cerita. Idenya sederhana tapi berdampak luar biasa. Dia seolah menegaskan kembali sesuatu yang mulai redup dari Kota Sengkang. Karena kebetulan kota kelahiranku bertetangga dengan Sengkang, jadinya cukup tahu, bahwa dulu pemaknaan sutra memang sesakral itu. Meski porsinya kecil, penulis berhasil mengeksplor Kota Sengkang dan menghidupkannya dengan aura sutra dalam cerita ini.

Hal yang paling Kusuka dari cerita ini adalah gambaran kehangatan sebuah keluarga besar. Kalau kamu bacanya pas lagi di perantauan, dijamin langsung kangen pulang kampung. Selain itu nuansa religinya cukup kental dan tidak dipaksakan. Setiap tokoh digambarkan secara wajar, sehingga kita pun mudah diajak terlibat dalam setiap adegan.

Menurutku kekurangannya cuma satu, penulis kurang hati-hati menyimpan senjata pamungkasnya sehingga berpotensi ketahuan sebelum waktunya. Aku sendiri bisa menebak, tapi makin ke belakang makin banyak hal yang membuat kita betah. Ohya, untuk para cewek, siap-siap jatuh cinta sama sosok Fandy. Hehehe ....

Overall, novel ini cocok banget untuk kamu yang butuh siraman rohani secara tidak langsung. Tidak ada kalimat menggurui dalam novel ini, semuanya tersampaikan dengan halus dan sesuai porsi latar belakang parah tokohnya. Sepanjang cerita, ada bagian-bagian yang membuat hati bergetar dan tiba-tiba ingat Tuhan.

Sabtu, 22 Februari 2020

Review Novel: Atambua, Cukup Luka Itu yang Terakhir




Judul            : Atambua, Cukup Luka Itu yang Terakhir

Penulis         : Ferdiansyah Soenaryo

Penerbit       : Jejak Publisher

Editor            : Ansar Siri

Layout          : Tim CV Jejak

Cover            : M. Gustiar Perdana

Tebal             : 237 hlm

Cetakan        : Pertama, Januari 2020

ISBN              : 978-623-247-050-7

Blurb:

Tidak ada yang lebih diinginkan Hanan Ardinata selain segera menyelesaikan program internsip di Atambua. Terlebih adanya Resti Karenina, gadis super cerewet yang membantunya dan terkadang menyuruh melakukan hal-hal yang sangat membosankan.

Tapi senyum Resti membuat Hanan bertanya-tanya, bagaimana ia bisa berpikir pemilik senyum pelangi itu sangatlah membosankan.

Resti beranggapan tidak ada yang lebih buruk dari bekerja membantu dokter asing maha cuek dan menyebalkan.

Tapi senyum Hanan Ardinata terkadang membuat jantung Resti seolah berhenti berdegup, sampai-sampai ia takut kehilangan lengkungan manis yang membuatnya kembali punya harapan.

***

Alur Cerita:

Meski menjadi dokter bukanlah cita-cita Hanan sejak kecil, tapi sekarang ia sudah meraihnya dan merasa wajib untuk bertanggung jawab sepenuhnya. Termasuk saat ia harus menempuh program internsip di Atambua. Meninggalkan zona nyaman, memasuki kehidupan baru, tentu tidak sepenuhnya menyenangkan. Belum apa-apa ia sudah jengkel. Pesawat delay, belum lagi orang yang akan menjemput dan mengantarnya ke tempat tinggalnya di Atambua, terlambat.

"Hanan tidak menyukai membuang-buang waktu hanya untuk melakukan hal-hal yang tidak berguna, menunggu salah satunya."_(hal 14)

Resti sangat menyesal karena lupa menjemput dokter yang akan ditugaskan di klinik kesehatan dekat tempat tinggalnya. Ia ditunjuk langsung oleh Bupati Belu untuk mendampingi dokter itu selama bertugas. Akhirnya, saat ketemu di bandara, dokter itu teramat ketus. Ini bukan pertemuan pertama yang mengesankan, tapi demi tugas, mau tidak mau mereka harus berurusan untuk waktu yang cukup lama.

"Jadi, masihkah saya harus menunggu permintaan maaf dan berdiri di sini lebih lama?"_(hal 20)

Hanan memenuhi gambaran dokter pada umumnya di benak Resti, tinggi, putih, bersih, dan ganteng. Tapi galak. Sementara di mata Hanan, Resti gadis yang cerewet, suka memperdebatkan hal-hal kecil, dan suka menyuruh tiba-tiba. Tapi, dia periang, cerdas, berwawasan luas, dan mungkin juga cantik.

"Gadis itu terlihat lebih kuat dari yang ia lihat semula."_(hal 22)

Di Atambua, akhirnya Hanan menemukan banyak hal baru, yang pada akhirnya mematangkan mentalnya untuk menjadi dokter yang sesungguhnya. Lewat Resti, Hanan belajar bagaimana memahami perasaan orang lain, bagaimana harus mengutamakan kepentingan orang banyak daripada diri sendiri. Seiring semua itu, perlahan-lahan Hanan mengenal sosok Resti, juga mengetahui apa yang selama ini disembunyikan gadis itu.

"Dokter di sampingnya itu kini berangsur menjadi orang paling manis sedunia. Mulai ramah, memedulikan orang lain dengan cara yang hangat, juga komunikasinya yang tidak berlebihan."_(hal 83)

Di saat Hanan mulai merasa tertarik pada Resti, seseorang dari masa lalu gadis itu (Arkha) tiba-tiba hadir. Arkha tentu saja lebih mengenal Resti dalam segala hal, membuat Hanan merasa tersisih. Kendati demikian, waktu yang telah ia lalui bersama Resti juga tidak bisa dianggap tidak ada apa-apanya. Pada akhirnya Resti harus memilih, dan Hanan harus siap dengan segala keputusan, sekali pun itu adalah luka.

"Terima kasih karena mengizinkan saya untuk mengenalmu. Sekali lagi, saya tidak mau kamu terbebani dengan pengakuan ini."_(hal 169)

Bagaimana akhir kisah mereka? Bagaimana Atambua meninggalkan kesan di hidup Hanan? Segera miliki buku ini dan temukan sendiri jawabannya.

***

Review:

Pertama-tama saya mau muji covernya, karena komposisi warna dan ilustrasinya sangat mewakili isi cerita.

Masih ada perasaan yang sulit dibahasakan setelah menyelesaikan cerita ini. Intinya, penulis berhasil menjadikan saya tokoh utama dalam ceritanya.

Novel ini bagian dari ASSP " City Series" yang bisa dibilang dalam pemilihan kota cukup berani. Banyak yang tidak tahu Atambua, termasuk saya, dan akhirnya tahu berkat novel ini. Pada dasarnya City Series bertujuan untuk mengenalkan kota-kota di Indonesia dalam sajian cerita fiksi. Meski masih kurang eksplor, tapi novel ini sudah cukup berhasil mengenalkan Atambua.

Saya jatuh cinta dengan novel ini sejak pertemuan pertama Hanan dan Resti. Interaksi awal mereka benar-benar menjanjikan jalinan cerita yang kuat. Kepribadian keduanya yang bertolak belakang memberi bumbu-bumbu humor yang cukup menggelitik tapi tetap elegan. Kemudian bagaimana kisah mereka bergulir dengan latar kota yang cukup asing, sangat menarik untuk diikuti.

Dari sekian keunggulan novel ini, yang paling saya soroti adalah penokohannya. Penulis berhasil menghidupkan karakter Hanan dengan sangat baik. Mulai dari kegelisahannya saat harus memasuki kota terpencil, sampai kekesalannya saat menghadapi kecerewetan Resti, benar-benar terasa.

Novel ini tidak hanya menghibur, tapi juga memotivasi. Bagaimana seseorang harus berjuang untuk mencapai impian, bagaimana seseorang harus berkorban melewati fase pertumbuhan menuju pribadi yang lebih baik, dan bagaimana seseorang harus merelakan. Kita juga bisa memetik nilai-nilai kehidupan dari profesi Hanan yang diharuskan terjun langsung ke masyarakat. Dari sini sedikit banyak kita bisa menilik pola hidup dari kacamata seorang dokter.

Kekurangan novel ini hanya terdapat pada pengulangan kata yang kurang efektif di beberapa bagian. Ada beberapa narasi juga yang masih perlu dipadatkan agar lebih enak dibaca. Tapi hal itu sama sekali tidak mengurangi kenikmatan cerita. Sosok Hanan dijamin banget bakal bikin kamu jatuh cinta dan betah diajak keliling Atambua. Percayalah.

Overall, novel ini cocok banget untuk kamu yang masih mencari jati diri dan terkadang bingung menentukan sikap. Di sini kamu akan menemukan beberapa hal yang secara tidak langsung merangsang untuk berpikir, bagaimana jika kamu yang di posisi itu.

Jumat, 07 Februari 2020

Review Novel: Too Far to Hold



Judul             : Too Far to Hold

Penulis          : Fifi Alfiana

Penerbit        : Bentang Belia

Editor             : Adham T. Fusama dan Dila Maretihaqsari

Cover             : Dilidita

Cetakan         : Kedua, 2018

Tebal              : 286 hlm

ISBN               : 978-602-430-227-6

Blurb:

Mustahil bisa dapetin hati Wingga! Alana yakin itu. Ia selalu merasa cowok itu terlalu keren untuk dekat dengannya. Jadi, yang bisa Alana lakukan hanyalah mengagumi Wingga diam-diam.

Akan tetapi, rupanya semesta mendekatkan Alana dengan Wingga secara nggak sengaja. Saat Wingga pingsan di perpustakaan, Alana menolongnya. Sejak itu, Alana tahu lebih banyak tentang Wingga. Bukan Wingga yang sering menyabet juara olimpiade sains, melainkan Wingga yang punya rahasia dan luka hati.

Ingin rasanya Alana membantu cowok itu menghadapi kehidupan peliknya. Masalahnya, maukah Wingga mengizinkan Alana memasuki kehidupannya?

***

Alur cerita:

Selama ini Alana merasa cukup dengan menjadi pengagum rahasia Wingga. Semua foto yang ia ambil diam-diam untuk ia nikmati sendiri, tanpa harus orangnya tahu.

"Senyum bak malaikat miliknya praktis membuat aku terpesona, sampai membuatku seolah terbang dibawa angin ke atas awan dan bertemu burung-burung serta pelangi."_(hal 3)

Tapi setelah ditolong saat pingsan di perpustakaan, Wingga jadi punya kesempatan untuk tahu isi kamera Alana. Namun, dasar Wingga emang nggak peka, masih saja tidak paham maksud semua itu. Akhirnya kedekatan mereka sebatas gitu-gitu aja. Tapi Alana bersyukur, itu jauh lebih baik dibanding sebelumnya hanya mengamati sosok Wingga dari jauh. Bahkan, ia jadi tahu apa yang tidak diketahui kebanyakan orang.

"Aku tahu itu egois. Aku tahu aku pernah bilang bahwa aku tidak takut ketahuan mencintai seseorang lebih dari 100%. Tapi, sekarang aku sendiri takut dia tahu aku diam-diam jatuh cinta kepadanya."_(hal 90)

Meski sudah lebih saling mengenal, soal perasaan tidak lantas mulus-mulus saja. Ada-ada saja tikungan yang mesti dilalui. Lantas, bagaimana akhir kisah Alana dan Wingga? Bersatu atau malah belajar untuk saling melupakan?

Yuk, jemput mereka di toko buku terdekat dan temukan sendiri jawabannya.
***

Review:

Membius. Itu yang saya rasakan saat mulai membaca bab satu. Entah karena apa, tahu-tahu saya kesetrum dan nggak mau berpaling. Akhirnya bab-bab selanjutnya saya lahap dengan mudah, ibarat berhadapan dengan makanan sesuai selera.

Bahasanya khas teenlit, ringan dan mudah dipahami. Kedua tokoh utama juga lumayan hidup tanpa harus digambarkan berlebihan. Saya suka interaksi mereka yang sederhana tapi manis.

Saya suka banget penggunaan POV1 bergantian antara Wingga dan Alana, meski agak aneh tiba-tiba Roger nyempil di tengah-tengah. Saya paham, bagian itu memang harus ada, hanya saja agak merusak citarasa yang sudah terbangun sejak awal. Problem seperti ini memang sering muncul di POV1.

Secara garis besar novel ini tidak memiliki kekurangan, hanya saja rahasia dan luka hati Wingga menurut saya kurang nendang. Jadi pas diungkap ekspresi saya datar-datar aja. Padahal sejak dia pingsan di perpustakaan ekspektasi saya sudah melambung. Selain itu, di akhir-akhir menurut saya agak terburu-buru, jadi bacanya juga tidak seenak di awal-awal.

Overall, novel ini salah satu novel teenlit paling nagih yang pernah saya baca. Nggak percaya? Cobain, deh. Di sini kamu bakal disadarin, bahwa nggak ada yang nggak mungkin. Tinggal bagaimana kita mau dan terus mengupayakan yang terbaik.

"Tapi, sulit bukan berarti mustahil. Jauh pun bukan berarti tidak teraih." Ini kalimat penutup sebelum tulisan "The End" yang saya suka banget.