Minggu, 24 Januari 2021

Review Novel "Dry Firewood Meets a Flame"

 



Judul       : Dry Firewood Meets a Flame

Penulis   : Lina Purwati dan Dita Anggita

Penerbit : AT Press Makassar

Editor      : Alfian N. Budiarto

Layout     : Alfian N. Budiarto

Cover       : Andi Syamsuryani W

Cetakan   : Pertama, Oktober 2020

Tebal        : 94 hlm

ISBN         : 978-623-7991-40-3

Blurb:


Malam tahun baru, Bandara Narita terpaksa menghentikan semua penerbangan karena badai salju. Saat itulah di kafe bandara Sam bertemu Sophia yang duduk di sebelahnya. Menanti waktu delay mereka membicarakan banyak hal sambil menikmati pesta kembang api di kejauhan, diselingi mengumpat pasangan masing-masing yang tidak sesuai keinginan mereka.


Tanpa memperkenalkan diri satu sama lain, mereka lalu berpisah dan membuat sebuah janji untuk kembali bertemu di malam tahun baru berikutnya, di kafe bandara yang sama. Pertemuan singkat mereka tadi seolah membuat Sam dan Sophia sadar kalau mereka bisa menemukan pasangan idealnya.


Apakah mereka benar-benar akan kembali bertemu di malam tahun baru yang akan datang? Atau pertemuan singkat mereka hanya bagai kembang api, meletup-letup sesaat, lalu reda? Atau bahkan juga seperti kayu kering yang terbakar api? Menghangat secepat kilat, lalu hilang tanpa sisa.


***


Review singkat:

Sebagai juara kedua di Makassar Tournament, novel ini memang sangat menarik sejak awal. Openingnya tipe yang bisa bikin pembaca meleleh dan tiba-tiba memikirkan berbagai kemungkinan. Ini modal yang sangat bagus untuk menamatkan cerita tanpa menemui titik jenuh.

Temanya sangat relate sama 99% pasangan di muka bumi ini. Cerita bergulir di sisi Sam dan Sophia secara bergantian dengan porsi yang seimbang. Hal ini memungkinkan pembaca untuk menilik seperti apa sebenarnya pasangan yang diidam-idamkan perempuan, pun sebaliknya. Jadinya cocok banget untuk dibaca kaum Adam ataupun Hawa.

Aku paling suka sama penokohannya, kuat dan rasional banget. Sosok Sam dan Dwiki berhasil menjadi sosok lelaki apa adanya. Aku setuju banget dengan semua pemikirannya. Begitupun dengan Sophia dan Farah yang tidak melenceng dari sosok perempuan pada umumnya. Alhasil, ini salah satu novel paling mengedepankan logika yang pernah saya baca. Meskipun sebenarnya saya berharap sesuatu yang lebih dramatis, tapi setelah dipikir-pikir sebaiknya memang begini.

Aku juga suka tarik ulur yang dimainkan penulis. Sebentar-sebentar ngasih kode A, eh, tahu-tahunya balik ke B. Kejutan-kejutannya juga lumayan bikin "wah", lalu manggut-manggut dan nggak sabar pengin ketemu ending.

Kurangnya, beberapa hal terasa tiba-tiba. Mungkin karena sebelumnya penulis tidak melibatkan elemen yang cukup.

Overall, ini bacaan yang cocok banget untuk kamu yang sedang dalam tahap penjajakan. Meski porsinya kecil, di sini ada tips bagaimana menyikapi pasangan.

Selasa, 19 Januari 2021

Review Novel "Different 5"

 



Judul        : Different 5

Penulis    : Aldi.A

Penerbit : AT Press

Editor      : Aldi.A

Layout     : Alfian N. Budiarto

Cover       : Gusti Riant

Cetakan  : Pertama, November 2019

Tebal       : 142 hlm

ISBN         : 978-623-7303-50-3

Blurb:


Seorang perempuan ditemukan tewas mengenaskan. Tangan dan kakinya terikat. Luka tusuk tergambar di area perut dan paha. Yang lebih tragis, kepala korban dibungkus menggunakan kantong plastik, mulut disumpal kemasan botol bekas air mineral, dan kedua telinganya hilang.


Cara pembunuhan tersebut benar-benar mengingatkan empat orang pemuda dan seorang gadis, pada kasus pembunuhan seekor kucing berbulu cokelat-putih di lab bahasa semasa SMA dulu.


Apakah pelaku pembunuhan sadis perempuan tadi sama dengan pelaku pembunuhan kucing delapan tahun silam?


Hanya 'Different' yang bisa mengungkapnya!


***


Review singkat:

Aku suka banget openingnya, berhasil mendongkrak minat baca. Sedari awal penulis sengaja mengajak kita untuk menebak-nebak, dan ternyata banyak jebakan yang disiapkan di bab-bab selanjutnya.

Unsur persahabatan dan bunuh-bunuhan dipadukan dalam tempo yang lumayan cepat dengan pola bab yang singkat-singkat. Meski dominan narasi, aku tetap enjoy karena rapi banget. Rapi banget!

Idenya unik. Di balik kasus pembunuhan yang meresahkan, penulis mencoba mengkampanyekan betapa tidak kecenya orang-orang yang suka buang sampah sembarangan. Sebagian orang mungkin menganggap itu hal sepele, tapi sampah sekecil apa pun pada akhirnya akan merugikan.

Kurangnya, aku hanya merasa segala sesuatunya serba cepat. Konfliknya sangat potensial untuk berkembang, tapi semacam tidak menemukan ruang.

Overall, ini bacaan wajib untuk kamu yang masih suka buang sampah sembarangan. Sadarlah, bahwa tidak semua orang di luar sana bisa terima dengan kebiasaan buruk itu. Bahkan, ada, loh, orang yang phobia sama sampah.

Rabu, 06 Januari 2021

Review Novel "RITUAL"

 


Judul        : Ritual


Penulis    : Jounatan dan Guntur Alam


Penerbit  : Elex Media


Tebal        : 245 hlm


ISBN          : 978-623-00-1633-2


Blurb:


Siapkan pakaian si gadis, tiga helai rambutnya, dupa, bunga kenanga juga kamboja, dan ... peti mati. Lalu datangi lokasi yang diyakini jadi tempat arwah gadis-gadis berkumpul. Niscaya roh yang tersesat akan menemukan jalan pulang ke jasadnya.


Satu-satunya cara membangunkan Nayla dari koma adalah dengan menggelar ritual untuk memanggil rohnya. Tak sembarang orang bisa melakukannya, risikonya juga tidak main-main. Nayla bisa saja mati!


Namun tepat pada tengah malam, gerbang dunia roh pun dibuka selebar-lebarnya, meski tahu bahwa imbalannya adalah darah dan nyawa ....


Review singkat:
Jujur, saya bukan penyuka novel horor, meski untuk film saya malah suka banget. Bukan karena takut, ya, tapi ... apa ya? Intinya kurang bisa menikmati. Mungkin karena hal itu, di awal saya tidak menaruh ekspektasi apa-apa terhadap novel ini. Dan, ini dosa besar!

Pas baca openingnya, wah, berasa nonton film. Tahu, kan, film-film horor biasanya diawali penampakan apa gitu. Sama, novel ini juga. Tapi yang saya acungi jempol, penggambarannya detail banget hingga ketegangan terbangun dengan sendirinya. Sebagai pembaca saya langsung bisa merasakan keresahan tokoh utamanya.

Temanya lumayan umum, tapi penulis berhasil menjadikannya sesuatu yang terasa baru. Adegan-adegan kematian dituliskan secara cantik. Maksudnya, nggak gitu-gitu aja. Penampakan hantunya juga sesuai porsi, nggak maksa pembacanya untuk takut. Justru itu yang bikin keren. Malah, saya kadang menoleh ke pojokan, mana tahu yang lagi diceritain malah ada di situ. 😁

Sebenarnya tagline cukup membocorkan isi cerita. Kendati demikian, saya tetap penasaran: kenapa dan bagaimana. Saya paling suka adegan pas ritual itu sendiri. Sumpah, kece parah. Suasananya, propertinya, ekspresi tokohnya, semuanya teracik manis. Bahkan, menurut saya adegan ini lebih kece dari kekacauan puncak menjelang ending.

Endingnya lurus-lurus aja, sesuai prediksi. Kecuali satu kalimat terakhir yang menimbulkan spekulasi baru. Mungkin karena hal ini juga si dukun dari Thailand itu nggak pernah lagi dimunculkan (ini murni spekulasi saya selaku pembaca, karena lumayan jengkel juga si dukun itu nggak pernah muncul lagi. Kesannya lari dari tanggung jawab atau emang begini rencana awalnya).

Kekurangan novel ini mungkin hanya di bagian editing yang kurang rapi. Masih ada dialog tag yang salah. Lebih parah lagi ada kata yang menempel tanpa spasi. Dan ini lumayan banyak (untuk ukuran penerbit sekelas Elexmedia).

Overall, saya sangat terhibur dengan novel ini. Bisa jadi dari sini saya jadi suka novel horor.

Review Novel "Kami yang Tersesat pada Seribu Pulau"

 


Judul            : Kami yang Tersesat pada Seribu Pulau

Penulis        : Andaru Intan

Penerbit      : BasaBasi

Editor          : Farrahnanda

Layout         : Amara

Cover           : Airawan Ratra

Cetakan       : Pertama, Mei 2018

Tebal            : 184 hlm

ISBN              : 978-602-5783-09-8


Blurb:


"Halaman berikutnya, Ayah menuliskan jadwal-jadwal yang berhubungan dengan pekerjaannya. Kemudian nama dan jabatan rekan-rekan kerjanya. Sampai pada beberapa lembar setelahnya, tulisan Ayah sudah tak dapat dibaca. Beberapa lembar juga sudah disobek. Sepertinya Ayah berusaha menulis, tapi gagal beberapa kali sampai ia kesal dan memenuhi lembaran itu dengan coretan. Lembar demi lembar agenda terlewati sampai-sampai aku tak sadar air mataku menetes begitu saja."


Tia tumbuh berjarak dengan Ayah. Sampai, suatu hari, Tia gagal masuk perguruan tinggi negeri dan harus tinggal bersama Ayah di Ternate. Bersama Alang, seorang laki-laki pegiat komunitas baca yang dikenalnya dalam suatu insiden kecil, Tia mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian masuk perguruan tinggi negeri tahun depan dan menghadapi kenyataan bahwa Ayahnya pelan-pelan diserang demensia.


Alur Cerita:

Tia pernah mengalami masa lalu yang buruk, bahkan nyaris hancur karena gejolak asmara muda. Beruntung, Tuhan masih memberikannya kesempatan untuk memperbaiki diri. Gagal masuk perguruan tinggi negeri sesuai impian ayahnya seolah menjadi puncak dan titik balik dari semua kelalaian Tia selama ini. Akhirnya ia memutuskan ke Ternate, tinggal bersama Ayah untuk menebus rasa bersalahnya.

"Mengetahui kegagalanku, rupanya Ayah tidak marah--tapi (tentu saja) kecewa."_(hal 33)

Suatu hari Tia tercebur ke laut karena terdorong oleh serombongan anak kecil yang sedang asyik berlarian. Seorang laki-laki langsung terjun menolongnya. Tia tidak apa-apa, tapi hapenya tidak bisa diselamatkan.

"Lelaki yang terjun ke laut itu bernama Alang. Kami berkenalan di atas motor bebeknya sewaktu dia mengantarkanku pulang--tanpa berjabat tangan."_(hal 40)

Alang mengajak Tia bergabung di rumah baca yang dikelolanya bersama Ita dan Rambo. Tia sempat ragu, tapi karena orang-orang di rumah baca itu sangat bersahabat, akhirnya dia bersedia. Padahal sebenarnya salah satu alasannya karena dia mulai senang melihat Alang. Tia hanya tidak menyadari, ada satu hal di rumah baca itu yang luput dari pantauannya.

"Alang bilang, anak-anak di rumah baca, tidak butuh seorang yang cerdas, yang pandai, atau yang memukau--mereka hanya butuh seseorang yang mau menemani mereka belajar, yang bisa membimbing mereka untuk menentukan pilihan hidup mereka."_(hal 57)

Di tengah kesibukan barunya, serta hari-hari yang semakin berwarna berkat kehadiran Alang, Tia mendapati fakta baru yang membuatnya sangat terpukul. Ayahnya mengalami demensia sehingga terpaksa pensiun dini dan kembali ke Surabaya. Tia sangat berat meninggalkan Alang, tapi dia tidak punya pilihan.

"Aku akan merindukannya. Dan aku tak tahu apa yang akan terjadi padaku nantinya."_(hal 135)

Lantas, bagaimanakah kelanjutan hubungan Tia dan Alang? Mampukah mereka mempertahankannya dari pulau yang berbeda?

Yuk, segera miliki novel ini dan temukan sendiri jawabannya.


Review:

Aku selalu suka cerita bertema orangtua, banyak pesan yang bisa dipetik. Apalagi dalam novel ini, didampingi kisah romance yang elegan dan jauh dari kesan menye-menye.

Novel ini dominan narasi, terlebih di awal-awal. Dan entah kenapa aku kurang menikmati openingnya. Sampai pada saat Tia kembali ke Ternate, aku baru nemu feel-nya. Aku suka karakter Tia, benar-benar menggambarkan sosok remaja cewek kebanyakan. Melalui POV 1, penulis memaparkan segala kekurangan dan keterbatasannya dengan sangat meyakinkan.

Jujur, novel ini tidak sesuai ekspektasiku. Pas baca blurbnya, kupikir bakal disuguhi hubungan ayah-anak yang dramatis, mengharu biru, atau apalah. Benar, sih, kisah Tia dan ayahnya cukup mengaduk emosi, tapi kurang nendang. Untungnya hal itu tertutupi dengan keindahan alam serta ragam khas Ternate yang dimunculkan penulis di titik-titik yang pas.

Tidak ada yang salah dengan novel ini, hanya saja jika dibandingkan dengan "Teman Hidup" dan "33 Senja di Halmahera", yang ini agak di bawah. Setelah dibikin tercengang oleh kedua karya spektakuler itu, yang ini jadi terasa biasa aja. Ini balik lagi soal selera, dan mungkin aku yang telanjur berharap dibikin terpukau lagi sejak awal. Tapi apa pun itu, aku selalu suka karya penulis ini, dan insyaallah akan selalu berburu karyanya.

Overall, novel ini cocok banget untuk kamu yang butuh bacaan bernutrisi. Settingnya Indonesia banget, konfliknya pun membumi. Dari awal sampai akhir banyak banget pelajaran yang bisa diambil.

Review Novel "Timeless Love"

 


Judul        : Timeless Love

Penulis    : Nurmala Sjahrazad

Penerbit : Qanita

Editor      : Rini Nurul Badariah

Layout     : Nono

Cover       : Muhammad Usman

Cetakan   : Pertama, Juli 2013

Tebal        : 200 hlm

ISBN          : 978-602-9225-89-1

Blurb:


Mama:
Sabar dan berjiwa besar, tapi terlalu lemah bila menyangkut lelaki satu itu. Dan itu yang aku benci.


Papa:
Tak bertanggung jawab. Pengecut. Paling kubenci di dunia.


2012,
Malika: pemalas, pemberontak, dan pembenci laki-laki. Dia suka gonta-ganti pacar sebagai wujud protesnya terhadap sang ayah yang menghilang saat dia masih 5 tahun. Dia kesal dengan Mama yang dianggapnya terlalu pemaaf bila menyangkut lelaki satu itu.


1982,
Akibat jatuh dari loteng, Malika terdampar di masa lalu. Masa ketika sang Mama dan sang Papa baru bertemu. Masa ketika kedua orangtuanya memperjuangkan cinta mereka. Dari pengalamannya ini, Malika mendapat jawaban atas menghilangnya sang Papa.
Tetapi, di tahun itu pula Malika bertemu dengan Damar, sahabat karib papanya. Tak disangka benih-benih cinta tumbuh di antara mereka. Bagaimanakah akhir kisah cinta mereka?


Alur Cerita:

Malika sangat membenci Papa, karena dia sudah meninggalkan Mama setelah kecelakaan dan lumpuh. Karena itu Malika ingin balas dendam dengan menyakiti banyak lelaki.

"Justru saat ini Lika sedang memberi balasan yang setimpal atas sakit hati yang pernah Lika alami! Lika akan membuat laki-laki itu merasakan bagaimana sakitnya dipermainkan dan dikhianati!"_(hal 18)

Suatu hari Malika jatuh dari loteng dan membuatnya terdampar ke masa lalu. Saat terbangun tahu-tahu dia sudah berada di Salatiga, tepatnya rumah Bu Lastri, Neneknya. Di rumah itu Malika bertemu Panji, papanya yang masih muda. Malika kaget luar biasa saat mendapati kalender di dinding bertuliskan tahun 1982. Karena masih mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi padanya, dan bingung saat ditanya asal-usul, akhirnya Malika pura-pura lupa ingatan. Kemudian dia diberi nama, Arum.

"Kamu sampai lupa tahun juga, ya? Sekarang masih tahun 1982. Tahun baru masih dua bulan lagi."_(hal 34)

Saat pertama kali melihat Malika, Panji dan Bu Lastri merasa tidak asing. Selain karena wajahnya sangat mirip dengan Sekar, mereka merasa punya ikatan batin. Malika sadar, Sekar yang mereka maksud pasti mamanya. Dia jadi penasaran ingin bertemu mamanya yang seumuran dengannya di tahun itu.

"By the way ... Mama mana, ya?"_(hal 45)

Akhirnya Malika punya kesempatan mengantarkan surat Panji kepada Sekar. Dari situ terbongkar, ada seseorang yang tidak menginginkan mereka bersatu. Surat-surat mereka sebelumnya tidak pernah sampai.

"Sudah hampir lima kali aku mengirim surat ke Mas Panji, tapi baru sekarang aku dapat balasannya."_(hal 59)

Di tengah kerumitan itu, Damar muncul. Lelaki itu sahabat karib Panji. Dia sudah lama merantau ke Jakarta. Dan kepulangannya kali ini karena rencana perjodohan. Nahas, perempuan yang akan dijodohkan dengannya ternyata Sekar.

"Aku tidak tahu kalau perempuan yang akan dijodohkan denganku itu kekasih Panji, Rum."_(hal 83)

Bagaimana persahabatan Panji dan Damar setelah ini?
Lalu Malika, berhasilkah dia menemukan sesuatu yang akan mengubah pandangannya terhadap Papa selama ini? Bisakah dia kembali ke zamannya?

Review:

Cerita tentang seseorang yang terlempar ke masa lalu bukan hal baru, tapi motif yang dihadirkan cerita ini cukup unik dan menarik. Namun, entah kenapa aku kurang bisa menikmati. Rasanya ada sesuatu yang kurang. Tahun 1982 pun menurutku kurang dieksplor. Aku tidak menemukan sesuatu yang 'wow' di sana. Untungnya kehadiran Damar lumayan menyelamatkan, agar kisah ini nggak hambar-hambar amat.

Cerita ini disampaikan dengan ringan, gaya bertutur penulis juga rada slengean, menyesuaikan dengan karakter Malika sebagai si pencerita.

Aku suka banget endingnya, sempat dibikin berkaca-kaca.

Overall, novel ini cocok banget buat kamu yang butuh bacaan ringan tapi tetap menghibur. Kita juga semakin yakin, bahwa keluarga memang harta yang paling berharga.

Review Novel "Seven Days"

 



Judul        : Seven Days

Penulis    : Rhein Fathia

Penerbit : Qanita

Editor      : HP Melati

Layout     : Nono

Cover       : Aditya Satyagraha

Cetakan   : Pertama, Februari 2013

Tebal        : 296 hlm

ISBN          : 978-602-9225-72-3

Blurb:


Nilam's Diary


Day 1
Selamat pagi, Pantai Kuta. Selamat pagi, Shen.


Day 2
Ah, kamu membawaku ke Pasar Seni Sukowati, tempat favoritku.


Day 3
Sendratari Ramayana ini membuatku bertanya-tanya, apa aku sudah bertindak tidak setia?


Day 4
"Aku juga punya rasa takut. Aku takut kamu terluka!"


Day 5
Seminyak, kamu, kejutan, dan pantai di malam ini.


Day 6
Pantai Padang-Padang ini menjadi saksi kamu mengacaukan semuanya ....


Day 7
Bandara Ngurah Rai. Kami, sepasang sahabat sejak kecil, yang kini bersikap seperti orang asing .....


Alur cerita:

Nilam sangat ingin ke Bali, tapi dari sekian kesempatan, selalu saja ada halangan. Makanya, saat kesempatan itu datang lagi, dia sangat antusias. Apa lagi perginya bareng Shen, sahabatnya sejak kecil, yang bisa diandalkan dalam segala hal. Shen terbiasa hidup penuh perencanaan, segala sesuatunya dipersiapkan jauh-jauh hari. Termasuk keberangkatan mereka ke Bali. Nilam yakin, tidak akan ada masalah selama bersama Shen.

"Dia terbiasa mengerjakan segala sesuatu dengan taktis dan terencana."_(hal 19)

Seperti pengalaman pertama pada umumnya, Nilam sangat menikmati penerbangan pertamanya. Ada letupan dalam dadanya yang tak perlu diutarakan ke orang lain, cukup untuk dia terjemahkan sendiri.

"Perasaanku begitu takjub. Tanpa sadar aku melambaikan tangan, entah pada siapa."_(hal 26)

Dan pada akhirnya Nilam tiba di Bali, tempat yang sudah lama didambakannya. Di sini dia akan menikmati liburan selama 7 hari bersama Shen. Sederet tempat-tempat wisata pun sudah diagendakan. Shen yang mengatur semuanya.

"Akhirnya, aku menjejakkan kaki di pulau istimewa ini!"_(hal 27)

Nilam sangat menikmati petualangannya bersama Shen dari hari ke hari. Sampai-sampai dia tidak sadar ada konspirasi kecil-kecilan di balik liburan ini. Dan bagaimana jika 7 hari berhasil mengubah sesuatu dalam diri Nilam? Nilam harus ekstra hati-hati, sebab sepulang dari sini dia berencana menjawab lamaran Reza, pacarnya.

"Sore ini, dalam balutan jingga di pantai penuh pesona, di tengah riuh yang tidak memedulikan keberadaan kami, sudut hatiku berujar dengan jujur."_(hal 228)

Apa yang akan terjadi setelah petualangan Nilam dan Shen di Bali berakhir?
Yuk, segera baca novel ini dan temukan sendiri jawabannya.

Review:

Hal pertama yang bikin aku tertarik sama novel ini adalah konsepnya. Bab diatur sesuai jumlah hari petualangan Nilam dan Shen di Bali. Hal ini membuat kita berasa benar-benar terlibat dalam liburan mereka.

Temanya terbilang umum, alurnya juga aman-aman saja. Tidak ada kejutan yang 'wow' serta ending yang sudah jelas banget arahnya. Tapiii ... Penulis punya jurus jitu hingga cerita ini menjerat dan kamu tidak tega melepaskannya sebelum tamat.

Di awal-awal kita diajak menikmati suasana jalan-jalan, mengunjungi tempat-tempat wisata terkenal di Bali. Kemudian perlahan-lahan kita mulai dibikin geregetan dengan sesuatu yang tengah merambat. Pada akhirnya menarik napas panjang.

Dari awal sampai akhir cerita ini benar-benar terasa hidup. Karakter Shen dan Nilam berhasil menggerakkan cerita serealistis mungkin. Interaksi mereka manis-manis gimana gitu. Sentuhan romantis diberikan dengan takaran yang pas, tanpa menanggalkan status mereka sebagai sahabat. Justru yang rada tanggung ini yang bikin semangat pengin terus baca. Kekonyolan-kekonyolan Nilam pun jadi bumbu pelengkap, membikin kisah ini makin segar.

Aku hanya kurang nyaman dengan kemunculan salah satu tokoh menjelang ending. Mungkin lebih baik kalo tokoh ini disinggung sedikit di awal, agar kemunculannya tidak terkesan dadakan.

Overall, novel ini cocok banget buat kamu yang pengin baca sambil jalan-jalan, pengin melihat dan mengenal tempat-tempat di Bali sambil tetap rebahan di kamar. Bukan cuma diajak jalan-jalan, loh, tapi ada pengenalan singkat juga seputar sejarah beberapa tempat yang dikunjungi. Keren banget, kan?