Rabu, 06 Januari 2021

Review Novel "Kami yang Tersesat pada Seribu Pulau"

 


Judul            : Kami yang Tersesat pada Seribu Pulau

Penulis        : Andaru Intan

Penerbit      : BasaBasi

Editor          : Farrahnanda

Layout         : Amara

Cover           : Airawan Ratra

Cetakan       : Pertama, Mei 2018

Tebal            : 184 hlm

ISBN              : 978-602-5783-09-8


Blurb:


"Halaman berikutnya, Ayah menuliskan jadwal-jadwal yang berhubungan dengan pekerjaannya. Kemudian nama dan jabatan rekan-rekan kerjanya. Sampai pada beberapa lembar setelahnya, tulisan Ayah sudah tak dapat dibaca. Beberapa lembar juga sudah disobek. Sepertinya Ayah berusaha menulis, tapi gagal beberapa kali sampai ia kesal dan memenuhi lembaran itu dengan coretan. Lembar demi lembar agenda terlewati sampai-sampai aku tak sadar air mataku menetes begitu saja."


Tia tumbuh berjarak dengan Ayah. Sampai, suatu hari, Tia gagal masuk perguruan tinggi negeri dan harus tinggal bersama Ayah di Ternate. Bersama Alang, seorang laki-laki pegiat komunitas baca yang dikenalnya dalam suatu insiden kecil, Tia mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian masuk perguruan tinggi negeri tahun depan dan menghadapi kenyataan bahwa Ayahnya pelan-pelan diserang demensia.


Alur Cerita:

Tia pernah mengalami masa lalu yang buruk, bahkan nyaris hancur karena gejolak asmara muda. Beruntung, Tuhan masih memberikannya kesempatan untuk memperbaiki diri. Gagal masuk perguruan tinggi negeri sesuai impian ayahnya seolah menjadi puncak dan titik balik dari semua kelalaian Tia selama ini. Akhirnya ia memutuskan ke Ternate, tinggal bersama Ayah untuk menebus rasa bersalahnya.

"Mengetahui kegagalanku, rupanya Ayah tidak marah--tapi (tentu saja) kecewa."_(hal 33)

Suatu hari Tia tercebur ke laut karena terdorong oleh serombongan anak kecil yang sedang asyik berlarian. Seorang laki-laki langsung terjun menolongnya. Tia tidak apa-apa, tapi hapenya tidak bisa diselamatkan.

"Lelaki yang terjun ke laut itu bernama Alang. Kami berkenalan di atas motor bebeknya sewaktu dia mengantarkanku pulang--tanpa berjabat tangan."_(hal 40)

Alang mengajak Tia bergabung di rumah baca yang dikelolanya bersama Ita dan Rambo. Tia sempat ragu, tapi karena orang-orang di rumah baca itu sangat bersahabat, akhirnya dia bersedia. Padahal sebenarnya salah satu alasannya karena dia mulai senang melihat Alang. Tia hanya tidak menyadari, ada satu hal di rumah baca itu yang luput dari pantauannya.

"Alang bilang, anak-anak di rumah baca, tidak butuh seorang yang cerdas, yang pandai, atau yang memukau--mereka hanya butuh seseorang yang mau menemani mereka belajar, yang bisa membimbing mereka untuk menentukan pilihan hidup mereka."_(hal 57)

Di tengah kesibukan barunya, serta hari-hari yang semakin berwarna berkat kehadiran Alang, Tia mendapati fakta baru yang membuatnya sangat terpukul. Ayahnya mengalami demensia sehingga terpaksa pensiun dini dan kembali ke Surabaya. Tia sangat berat meninggalkan Alang, tapi dia tidak punya pilihan.

"Aku akan merindukannya. Dan aku tak tahu apa yang akan terjadi padaku nantinya."_(hal 135)

Lantas, bagaimanakah kelanjutan hubungan Tia dan Alang? Mampukah mereka mempertahankannya dari pulau yang berbeda?

Yuk, segera miliki novel ini dan temukan sendiri jawabannya.


Review:

Aku selalu suka cerita bertema orangtua, banyak pesan yang bisa dipetik. Apalagi dalam novel ini, didampingi kisah romance yang elegan dan jauh dari kesan menye-menye.

Novel ini dominan narasi, terlebih di awal-awal. Dan entah kenapa aku kurang menikmati openingnya. Sampai pada saat Tia kembali ke Ternate, aku baru nemu feel-nya. Aku suka karakter Tia, benar-benar menggambarkan sosok remaja cewek kebanyakan. Melalui POV 1, penulis memaparkan segala kekurangan dan keterbatasannya dengan sangat meyakinkan.

Jujur, novel ini tidak sesuai ekspektasiku. Pas baca blurbnya, kupikir bakal disuguhi hubungan ayah-anak yang dramatis, mengharu biru, atau apalah. Benar, sih, kisah Tia dan ayahnya cukup mengaduk emosi, tapi kurang nendang. Untungnya hal itu tertutupi dengan keindahan alam serta ragam khas Ternate yang dimunculkan penulis di titik-titik yang pas.

Tidak ada yang salah dengan novel ini, hanya saja jika dibandingkan dengan "Teman Hidup" dan "33 Senja di Halmahera", yang ini agak di bawah. Setelah dibikin tercengang oleh kedua karya spektakuler itu, yang ini jadi terasa biasa aja. Ini balik lagi soal selera, dan mungkin aku yang telanjur berharap dibikin terpukau lagi sejak awal. Tapi apa pun itu, aku selalu suka karya penulis ini, dan insyaallah akan selalu berburu karyanya.

Overall, novel ini cocok banget untuk kamu yang butuh bacaan bernutrisi. Settingnya Indonesia banget, konfliknya pun membumi. Dari awal sampai akhir banyak banget pelajaran yang bisa diambil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar