Selasa, 30 Januari 2024

Belahan Jiwa dari Dunia Lain (Bab 4)

 


Dalam perjalanan, mereka banyak bertemu dengan rombongan wisatawan asing maupun domestik yang tengah melakukan pendakian menuju Puncak Carstensz. Matahari semakin meninggi. Medan terasa semakin berat. Keringat mulai bercucuran, diiringi hela napas tersengal. Mereka selalu berusaha menunjukkan senyum tetap semangat di mata Prof. Hamdani, tapi yang terbaca di mata profesor penggemar jagung bakar itu malah keinginan untuk beristirahat sejenak. Ia pun mengabulkannya setelah mencapai salah satu pos pendakian.

Setelah berjalan sekitar delapan jam dan melintasi Sungai Kemabu, mereka tiba di kawasan Desa Ugimba, desa terakhir dan terdekat dengan Puncak Carstensz. Di desa ini kebanyakan rumah penduduknya masih berbentuk honai yang terbuat dari kayu dan jerami tanpa paku yang menyerupai jamur raksasa. Letak rumah warga terpisah-pisah dengan jarak berjauhan.

Ratusan orang tinggal di Ugimba. 90% merupakan suku Moni, sisanya suku Dani. Keseharian mereka, perempuan berkebun untuk menanam kol, kedelai, dan bayam. Sementara lelaki masuk ke hutan untuk berburu. Di desa inilah terdapat hutan hujan tropis terbesar di Papua. Hutan yang masih jarang dimasuki oleh manusia, bahkan masyarakat Desa Ugimba sendiri. Konon, di dalam hutan itulah gua patung putri cantik itu berada.

Sore menjelang senja. Sebentar lagi kekuatan gelap akan turun menyelimuti bumi. Mereka masih bisa beristirahat di pos pendakian, sebelum besok mulai masuk menembus belantara dan hanya bisa mengandalkan peralatan yang mereka punya. Yang lain terlihat sangat pulas, sementara Prof. Hamdani masih terjaga. Ia terus memandangi peta lokasi gua yang terdapat di salah satu halaman buku kuno yang membahas segala macam hal yang berkaitan dengan cincin naga berkepala manusia itu. Entah apa yang akan mereka temui di dalam hutan sana. Prof. Hamdani bertekad akan memberikan totalitasnya di ekspedisi ini. Ia tidak ingin gagal.

***


Prof. Hamdani meminta anggota timnya membentuk lingkaran kecil. Mereka berdoa sebelum memasuki hutan. Untuk pertama kalinya mereka melakukan ritual ini. Seketika rasa tegang bercampur hawa dingin pagi hari Desa Ugimba mencekam. Mereka mulai bergerak ketika kabut masih menyelubungi beberapa sudut desa itu.

Memasuki kawasan hutan, Indah takjub. Hampir seluruh permukaan hutan ditumbuhi lumut. Hijau lumut dan hijau daun tergores indah di kanvas keagungan Sang Pencipta. Sejauh mata memandang, Indah dimanjakan nuansa hijau, warna yang memang ia gemari selama ini.

Mereka berjalan sangat hati-hati di permukaan tanah berlumut yang sangat licin. Mereka terkadang harus saling membantu untuk melewati akar-akar pohon besar dan kokoh, atau berjalan sambil jongkok demi menembus semak belukar yang berpadu dengan tumpukan ranting-ranting kering pohon yang telah tumbang.

Perjalanan mereka diwarnai insiden tergelincir beberapa kali. Yang terakhir Tio, ia kehilangan keseimbangan ketika berjalan di atas bangkai pohon yang ternyata mulai lapuk. Untungnya tidak ada luka serius, hanya goresan-goresan kecil yang sepertinya memang sudah wajib untuk ekspedisi semacam ini.

Sudah lumayan jauh mereka berjalan, ditemani suara-suara serta aroma hutan yang khas. Mereka menemukan sebidang tanah lapang yang sepertinya cocok untuk mendirikan tenda, tepat di saat raga mulai lunglai.

"Baiklah, kita akan mendirikan tenda di sini. Kita lanjutkan lagi setelah makan siang," terang Prof. Hamdani sambil menyeka peluh di keningnya.

"Prof, kenapa kita nggak istirahat di gubuk itu aja?" Indah menunjuk sesuatu.

Mereka menoleh ke tempat yang dimaksudkan Indah. Lalu bersitatap. Heran. Gubuk apa sebenarnya yang dimaksud Indah? Prof. Hamdani kembali menatap Indah yang masih mengacungkan jari telunjuknya.

"Indah, kamu baik-baik saja?"

Indah malah tersenyum. Suasana mendadak tegang. Mereka merapat.

"Lihat, Prof, mereka melambai."

"Mereka siapa?" tanya Kevin sambil memegang kedua pundak Indah.

"Masa lo nggak lihat? Orang-orang di gubuk itu." Alih-alih menjelaskan lebih lanjut, Indah malah beranjak ke sana setelah menepis kedua tangan Kevin di pundaknya. Ia berjalan pelan dengan telunjuk tetap mengacung.

"Indah, jangan!" Kevin berusaha mencegah.

"Biarkan! Kita harus tahu apa sebenarnya yang ia lihat." Prof. Hamdani meraih tangan Kevin.

Semua mata tertuju pada Indah, tak berkedip sedikit pun. Kevin sudah ancang-ancang kalau sampai terjadi hal buruk.

Beberapa saat kemudian, Indah kembali dengan sesuatu di tangan kirinya.

"Lo ngapain di sana?" sambut Raya.

"Pinjam tikar."

"Tikar?" Raya berbalik menatap yang lain. Mereka pun sama herannya.

Raya mengguncang pelan pundak Indah.

"Perhatikan baik-baik apa yang lo pegang!" pinta Raya kemudian.

Indah memandang benda di tangannya. Matanya seketika melotot. Tangannya gemetar dan langsung melemparkan benda itu. Indah menoleh ke arah gubuk tadi. Ia menggeleng cepat berkali-kali. Wajahnya mendadak pucat. Sama sekali tidak ada gubuk di sana, hanya semak belukar.

"Kok? Mana gubuk tadi? Mana tikarnya?" Indah terlihat kacau. Ribuan pertanyaan berkejar-kejaran di kepalanya.

Raya meraih kedua tangan Indah. Yang lain merapat.

"Lo harus tenang. Dari tadi di sana emang nggak ada apa-apa. Terlebih tikar. Hanya ranting kering itu yang lo bawa dari sana.

"Nggak. Lo bohong!" timpal Indah.

Indah beralih menghampiri Prof. Hamdani.

"Prof, mereka bohong, kan?" Kepanikan membuncah di wajah Indah.

"Indah, tenangkan dirimu!"

Sejenak hening.

Tiba-tiba Indah tampak ketakutan. "JANGAN!!!" jeritnya kemudian. Ia melangkah mundur sambil mengentak-entakkan tangan, seolah berusaha mencegah atau mengusir sesuatu.

Indah melihat bocah laki-laki dengan wajah berlumuran darah. Tangan kirinya buntung, sementara tangan kanannya mengacungkan belati berkarat berujung runcing. Anak itu terus menghampiri Indah.

"Jangan! Jangan bunuh aku! Jangan mendekat!" Indah panik, tangisnya meraung.

Kevin mendekap Indah dari belakang.

"Tenang, Ndah!"

"Dia mau bunuh gue." Indah makin histeris.

"Sadar, Ndah, di sini nggak ada siapa-siapa selain kita."

"Tolong gue, Vin! Dia semakin dekat." Sekujur tubuh Indah bergetar, keringatnya bercucuran.

Kevin menyapu pandang sekeliling. Siapa sebenarnya yang dilihat Indah? Mereka merapat ke arah Prof. Hamdani. Tingkah Indah membuat mereka takut.

"TIDAK!!!" jerit Indah sekencang-kencangnya, sebelum terkulai dalam dekapan Kevin. Ia pingsan.

***


Prof. Hamdani menjaga Indah yang belum siuman, yang lain cepat-cepat mendirikan tenda. Indah sadar setelah teman-temannya selesai menyiapkan tenda. Kepalanya terasa berat. Indah dibiarkan istirahat, sementara yang lain sibuk mengumpulkan ranting kering untuk menyalakan api unggun nanti malam.

Malam pertama di dalam hutan. Jauh dari keramaian, dekat dengan alam. Sungguh sangat mengesankan bagi jiwa-jiwa arkeolog. Suasana makan malam sederhana namun dibalut hangat kebersamaan dalam sebuah misi yang kuat, baru saja berlangsung. Sekarang mereka bercengkerama di depan api unggun.

"Lo udah baikan?" tanya Kevin yang duduk bersisian dengan Indah.

Indah mengangguk seraya tersenyum lemah. Indah beralih menatap Prof. Hamdani. "Prof yakin, keanehan tadi siang hanya halusinasi?"

"Menurut saya begitu."

"Tapi semuanya begitu jelas," tegas Indah.

"Kita tidak pernah tahu apa sebenarnya yang ada di dalam hutan ini. Mulai sekarang, kita harus lebih berhati-hati. Semoga kejadian serupa tidak terulang lagi."

Mereka manggut-manggut.

"Tadi lo bikin kita takut," celetuk Tio, setelah suasana sempat menegang sesaat.

"Terutama dia, tuh, Ndah," timpal Dian.

"Enak aja. Lo, tuh, yang nyaris pingsan duluan," balas Tio.

"Eh, jangan-jangan penunggu hutan ini nggak suka sama lo, Ndah," lanjut Tio dengan mimik yang didramatisir.

"Hus! Jangan ngomong sembarangan!" Eva menimpali.

"Masa, sih, setan nggak suka sama cewek secantik Indah?" bantah Kevin dengan nada pembelaan. Ia melirik Indah sekilas. "Atau jangan-jangan, setannya nggak suka sama rambut lo," imbuh Kevin setengah terkekeh.

Serentak semua tertawa. Tio tidak bisa berkutik, hanya meraba rambut kribonya yang kian hari kian lebat.

"Sudah, cukup bercandanya!" Suara Prof. Hamdani menyela tawa mereka. "Setelah ini kalian harus istirahat. Besok kita akan mulai melakukan penyisiran di sekitar tempat ini. Sesuai petunjuk di peta, gua itu tidak jauh dari sini."

Rasa tidak sabaran merekah di wajah mereka.

***


[Bersambung]


Klik link di bawah untuk baca lanjutannya;

KBM

KARYAKARSA

Senin, 29 Januari 2024

Belahan Jiwa dari Dunia Lain (Bab 3)

 


Hari ini adalah hari keberangkatan. Indah akan mulai benar-benar bersentuhan langsung dengan dunia arkeologi yang sesungguhnya. Gadis penggemar warna hijau itu sangat bersemangat.

Tim ekspedisi yang ditemani keluarga masing-masing terlebih dahulu berkumpul di kampus, kemudian bersama-sama berangkat ke bandara menggunakan bus. Indah hanya ditemani Mama, Farel dan Rina. Sepagi ini, Sasha punya kesibukan di kantor yang tidak bisa ditunda. Ya, jauh lebih penting ketimbang melepas kepergian sang adik. Tidak heran, karena sejak awal ia memang tidak pernah setuju dengan keputusan Indah.

Seperti biasa, hiruk-pikuk khas menyambut mereka setibanya di Bandara Soekarno-Hatta. Sebentar lagi pesawat mereka akan take off. Semua anggota tim memanfaatkan waktu yang tersisa untuk berpamitan dengan kerabat masing-masing, termasuk Indah.

"Ma, Indah berangkat, ya!" Indah memeluk Mama. Tak banyak yang bisa diucapkannya.

"Jaga dirimu baik-baik, ya, Sayang!" Suara Ranti bergetar. Ia berusaha keras agar air matanya tidak jatuh.

Indah mengangguk disertai senyum yang ia harap bisa menegaskan, bahwa ia akan baik-baik saja.

"Jangan lama-lama, ya, di sana! Nanti nebeng sama siapa kalau mobil gue masuk bengkel lagi?" Rina meraih dan menggenggam tangan sahabatnya.

"Lo ada-ada aja, deh!" Indah tertawa kecil sambil menyeka air matanya.

Saat menoleh ke Farel, rambut Indah langsung diacak di bagian pucuk kepala, hal yang memang selalu lelaki itu lakukan padanya. Waktu kecil Indah sangat menyukainya, tapi setelah mengerti bahwa perlakuan itu bentuk kasih sayang seorang kakak kepada adiknya, Indah tak lagi menyukainya. Ia benci menerima kenyataan, bahwa posisinya di sisi Farel selama ini tak lebih dari seorang adik.

"Di sana jangan nakal, ya!"

"Siap!" Indah mengacungkan kedua jempolnya. Meski tersenyum lebar, suasana hatinya berbanding terbalik. Jika boleh memilih, lebih baik Farel tidak usah turut mengantarnya. Ia khawatir usaha penerimaannya lebih payah setelah ini.

Dari sudut lain, tingkah akrab Indah dan Farel secara tidak sengaja disaksikan oleh Kevin. Lelaki berwajah oriental itu seolah punya indera keenam yang bisa menembus ruang hati Indah. Sebagai seseorang yang pernah sangat dekat dengan Indah, tak heran jika Kevin tahu banyak seluk-beluk perasaan Indah ke Farel. Bagaimana tidak, di setiap kesempatan, pembahasan Indah ketika mereka bersama tidak jauh-jauh dari lelaki yang kini jadi calon suami kakaknya.

Sama Kevin, tidak ada yang Indah tutup-tutupi. Sejak kapan ia menyukai Farel, bagaimana ia menjaga perasaan yang tak pernah tersampaikan itu, semuanya diceritakan. Pun patah hatinya kemudian, setelah mendapati perasaannya bertepuk sebelah tangan dan Farel malah melabuhkan hati ke kakaknya.

Setiap kali mendengar Indah memaparkan kekagumannya kepada Farel, hati Kevin seperti ditaburi bibit luka. Bukan tanpa disadari, tapi Kevin selalu punya cara untuk mematikannya sebelum bibit itu berkembang.

Namun pada akhirnya Kevin mengakhirinya. Bukan tidak kuat lagi. ia hanya tidak ingin bernasib sama seperti Indah, merasakan kehilangan sebelum melakukan apa-apa untuk mendapatkan. Karena itu, Kevin mengutarakan perasaannya, meski tahu betul konsekuensinya.

Imbauan agar segera naik ke pesawat sudah menggema. Lekas, Indah mendekap mamanya sekali lagi.

"Mama jangan terlalu khawatir. Indah akan baik-baik saja!"

Upaya menahan tangis membuat Ranti tak mampu berucap. Ia hanya mengangguk.

Sambil berjalan menjauh, Indah menoleh dan melambai. Senyumnya mengembang sempurna. Sekali lagi berusaha menegaskan, bahwa ia akan baik-baik saja.

***


Prof. Hamdani beserta rombongan menempuh perjalanan udara yang cukup melelahkan. Setelah transit di Makassar sekitar 30 menit, penerbangan berlanjut hingga mendarat di tanah Papua, tepatnya di Kota Biak. Dari Biak mereka masih harus menempuh perjalanan udara sekitar sejam untuk tiba di Nabire. Setidaknya mereka mengudara sekitar 6,5 jam.

Mereka tiba di Nabire menjelang senja. Karena itu mereka langsung menyewa penginapan agar bisa lekas beristirahat. Besok petualangan yang sesungguhnya baru akan dimulai. Mereka harus mempersiapkan segala sesuatunya, terutama stamina.

"Besok kita akan melakukan perjalanan darat yang jauh lebih menguras tenaga. Malam ini tolong jangan ada yang begadang. Tidur yang cukup agar besok bisa bangun dalam kondisi lebih fit. Ingat, jangan berpikir ini akan mudah!"

"Baik, Prof!" seru mereka serentak.

Prof. Hamdani bernapas lega melihat semangat timnya tetap berkobar sejauh ini.

***


Angin yang berembus dari arah Pantai MAF menebar hawa sejuk di setiap sudut Kota Nabire. Hal ini mengundang rasa malas untuk beranjak dari pembaringan. Tapi Prof. Hamdani beserta rombongan harus segera bergerak. Menikmati keindahan Kota Nabire bukan tujuan mereka.

Pagi-pagi sekali mereka berangkat menuju Kabupaten Paniai menggunakan angkutan umum. Mereka tiba di sana menjelang sore, setelah menempuh perjalanan sekitar tujuh jam. Tujuan selanjutnya adalah Sugapa, sebuah desa kecil di kaki Pegunungan Carstensz. Untuk tiba di Sugapa, mereka harus melintasi beberapa desa kecil. Dari desa satu ke desa lainnya mereka naik ojek dengan tarif yang cukup mahal. Yang lebih parah, beberapa desa harus dilintasi dengan berjalan kaki. Sama sekali tidak ada cara lain. Hal ini semakin menegaskan ucapan Prof. Hamdani, "Ini tidak akan mudah!"

Prof. Hamdani sudah lama merancang ekspedisi ini. Ia tahu akan mendapati kondisi seperti ini. Bahkan, ia sudah bersiap untuk hal-hal buruk yang sewaktu-waktu bisa terjadi. Salah satu hal yang sudah melalui tahap perancangan yang cukup matang, adalah orang-orang yang tergabung dalam tim itu sendiri. Ia benar-benar tidak salah pilih. Setidaknya untuk sejauh ini.

Perjalanan dari Paniai ke Sugapa memakan waktu tiga hari. Tentu saja dengan segala tantangan yang tidak biasa bagi orang kota seperti mereka. Indah sangat menikmati perjalanannya. Tekad untuk menjadi arkeolog terkenal mampu menjadi penawar setiap kali rasa capek mulai menguasai raganya.

Mereka memutuskan untuk menginap di Sugapa. Mereka harus memulihkan stamina sebelum melanjutkan perjalanan. Berkat pendekatan yang baik oleh Prof. Hamdani, mereka beruntung bisa diterima dengan baik dan diberi tumpangan oleh Kepala Suku.

Malam ini Indah susah tidur. Setelah meninggalkan Kota Jakarta selama beberapa hari, ia mulai merindukan orang-orang terdekat, terutama Mama. Indah merasa semakin dekat dengan impiannya setelah berhasil menaklukkan berbagai rintangan dan tiba di titik ini. Indah sadar, sekarang ia bagai terisolasi di pedalaman Papua. Sebisa mungkin ia tidak akan membiarkan rindu mengganggu konsentrasinya. Akan ia simpan rindu itu untuk nanti. Ia harus pulang membawa kesuksesan.

***

Pagi-pagi sekali mereka harus bergerak ke Desa Ugimba, desa terdalam di tanah Papua. Desa yang jauh dari peradaban modern, bahkan belum tersentuh jaringan listrik dan sinyal telepon. Untuk mencapai Ugimba, mereka harus berjalan sejauh 20 kilometer. Sebelum berangkat mereka membeli persediaan bahan makanan. Di sana tidak ada pasar atau semacamnya.

"Hari ini kita akan menempuh medan menanjak. Sugapa ini merupakan titik awal pendakian menuju Puncak Carstensz. Tujuan kita adalah Desa Ugimba, sekitar 20 kilometer di atas sana. Setelah memasuki Ugimba tidak ada jaringan telepon. Jadi setelah ini, saya beri kesempatan kepada kalian untuk menelepon keluarga masing-masing. Harapannya, semoga kalian bisa lebih semangat setelah mendengar suara mereka." Prof. Hamdani menjelaskan.

Mereka sangat antusias menyambut kesempatan ini. Setelah dibubarkan, mereka langsung memencar mencari posisi yang enak untuk menelepon. Orang pertama yang dihubungi Indah tentu saja Mama. Obrolan mereka singkat. Karena berusaha keras menyembunyikan tangisnya, Ranti tidak bisa berkata banyak. Dan walau sudah disembunyikan, nada sedu sedan itu masih tertangkap oleh pendengaran Indah. Indah memaklumi sekaligus prihatin sebenarnya. Karena itu, ia berusaha menegaskan, bahwa ia baik-baik saja.

Selanjutnya Indah menghubungi Rina. Seketika obrolan panjang penuh gelak tawa terjalin begitu saja. Dari dulu mereka memang tidak pernah kehabisan topik. Sampai-sampai Indah melupakan batas waktu yang diberikan oleh Prof. Hamdani. Indah mengakhiri obrolannya ketika Prof. Hamdani memberikan aba-aba untuk berkumpul kembali.

Sejenak Indah tertegun. Seharusnya tadi ia menyisihkan sedikit waktu untuk menghubungi Farel. Tidak! Indah menggeleng cepat, membuang pikiran salah yang baru saja menyambangi otaknya. Untuk apa lagi, coba?

Saat hendak kembali ke titik Prof. Hamdani meminta mereka berkumpul kembali, tanpa sengaja pandangan Indah bertautan dengan Kevin. Lelaki itu sedari tadi hanya asyik merokok, tidak terlihat menelepon siapa pun.

Sejak mengetahui perasaan Kevin yang sesungguhnya, Indah memang mulai jaga jarak. Tapi sekarang mereka ada di satu tim ekspedisi penting. Mereka harus bisa mengesampingkan hal-hal pribadi. Dan lagi, Indah yakin tahu penyebab Kevin tampak murung. Karena itu Indah menghampirinya, saat lelaki berkemeja dongker itu baru saja menjatuhkan puntung rokoknya, lalu mematikannya dengan cara diinjak.

"Lo nggak hubungi keluarga lo?"

"Nggak ada yang tahu gue di sini," jawab Kevin sekenanya.

"Lah, memangnya nggak pamit?" Indah mengernyit.

"Lo kayak nggak tahu aja." Tawa getir Kevin mengudara sesaat.

Ya, bisa dibilang Indah bertanya seperti tadi sekadar basa-basi. Ia tahu betul bagaimana hubungan Kevin dengan kedua orangtuanya. Mereka sibuk menyembah uang. Selalu seperti itu Kevin menggambarkan kesibukan orangtuanya. Wajar, mereka mengelola bisnis berskala internasional. Kevin keseringan ditinggal sendiri di sebuah apartemen mewah. Kevin sampai beranggapan bahwa kedua orangtuanya memperlakukannya seperti hewan peliharaan, yang cukup diberi makan setiap hari. Mereka ingin menggantikan perannya dengan uang.

"Mereka masih di luar negeri. Mungkin sampai kita balik dari sini, mereka belum pulang."

Meski ucapannya terdengar santai, Indah tahu persis bagaimana perasaan Kevin setiap kali membicarakan orangtuanya. Kalau sudah seperti ini, Indah selalu bingung bagaimana harus merespons. Sebagai gantinya, ia menepuk pelan pundak lelaki yang pernah sangat dekat dengannya itu.

***


[Bersambung]


Klik link di bawah untuk baca lanjutannya;

KBM

KARYAKARSA

Sabtu, 27 Januari 2024

Belahan Jiwa dari Dunia Lain (Bab 2)

 


Setibanya di kamar, Indah melempar tas selempangnya ke atas meja rias, lalu membanting diri di tempat tidur. Wajahnya masih ditekuk, jengkel dengan sikap kontra Mama. Ia baru hendak bangkit untuk ganti pakaian saat ponsel di saku jinsnya bergetar. Ia mengeluarkan benda pipih persegi itu dan menemukan panggilan dari Farel.

"Mama bilang, lusa kamu berangkat, ya?" Dari seberang sana, Farel langsung menodong dengan nada kaget. Mendengar hal itu, sesaat Indah hanya memutar bola mata malas. Ini kebiasaan Mama yang paling tidak disukai Indah, mengaduh sama lelaki yang dianggap bisa membujuknya.

"Kalau iya, kenapa?" Indah malah bertanya balik dengan nada ogah-ogahan.

"Nggak. Kamu nggak boleh ikut-ikutan dalam ekspedisi itu."

Demi mendengar cegahan itu, Indah sampai bangkit dari baringnya dan terduduk di tepi tempat tidur.

"Cukup, Rel, aku bukan anak kecil lagi yang bisa kamu atur seenaknya. Aku sudah cukup dewasa untuk bisa memilih jalan hidup sendiri. Berhenti mencampuri urusanku!" Tanpa sadar, Indah berucap setengah teriak. Setelah menandaskan kalimatnya, ia membanting asal ponselnya. Ada amarah dan luka diam-diam di balik aksinya barusan. Ini kali pertama ia berkata kasar kepada Farel, lelaki yang diam-diam ia cintai selama ini.

Mau tidak mau ingatan Indah kembali lagi jauh ke belakang, saat pertama kali ia bertemu Farel. Suatu siang sepulang sekolah, Indah yang saat itu baru memulai tahun pertamanya di SMP, ketibang sial. Dari ujung gang yang lengang tiba-tiba muncul seekor anjing hitam yang langsung berlari ke arahnya sambil menggonggong. Indah yang panik langsung berlari ketakutan sambil menangis. Saat anjing itu semakin dekat, Indah hampir menyerah. Beruntung, pertolongan datang tepat waktu. Seorang pengendara motor berhenti beberapa meter di depan Indah.

"Dek, ayo naik!" kata cowok berseragam putih abu-abu itu.

Tanpa pikir panjang, Indah langsung melompat ke boncengan cowok itu. Setelah merasakan gadis kecil di belakangnya duduk dan berpegangan dengan baik, cowok itu kembali melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Kendati sudah selamat dari buruan si anjing, tangis Indah belum reda. Ia bahkan membenamkan wajahnya di punggung cowok yang telah menyelamatkannya itu.

Merasa sudah aman, cowok itu menepikan motornya, bermaksud menenangkan Indah yang masih terus menangis.

"Udah dong nangisnya. Anjingnya udah gak kelihatan, kok."

Tersadar, Indah melerai lingkaran tangannya dari pinggang cowok itu. Kedua tangannya beralih membersihkan air mata di pipinya.

"Rumahmu di mana? Biar sekalian aku anterin."

Sambil berusaha meredam sisa-sisa tangis, Indah menyebutkan sebuah alamat. Cowok itu tersenyum, lalu kembali melajukan motornya. Kali ini pelan saja.

Setibanya di depan rumah, Indah lekas turun dari motor, lalu mengucapkan terima kasih.

"Sama-sama," balas cowok itu sambil tersenyum ramah.

"Kakak tinggal di mana?" Indah bertanya cepat saat melihat cowok penyelamatnya itu kembali menstarter motornya.

"Tuh." Dengan santainya, cowok itu menunjuk rumah putih berlantai dua di seberang jalan.

Lingkar mata Indah seketika membesar. Ia antara kaget dan senang mendapati kenyataan, bahwa cowok penyelamatnya itu adalah tetangganya. Menurut cerita Mama, rumah di seberang jalan yang sempat kosong beberapa bulan itu, minggu lalu dibeli dan langsung ditempati keluarga Pak Kumar. Mereka datang dari Makassar. Cowok jangkung berlesung pipi ini pasti putra mereka, yakin Indah dalam hati.

"Nama Kakak, siapa?" tanya Indah lagi saat cowok itu sudah mengarahkan setang motornya ke rumah yang tadi ditunjuk.

"Farel." Demikian cowok itu menyebutkan namanya disertai sebaris senyum tipis, sebelum benar-benar berlalu.

Hingga cowok itu menghilang di balik gerbang rumah putih di seberang jalan, Indah tak lepas memandang punggungnya. Tanpa sadar, senyumnya mengembang sempurna. Dan tiba-tiba saja hatinya menghangat disertai denyut aneh.

***


Ponsel yang tadinya dibuang asal, kembali berdering. Malas-malasan, Indah meraihnya. Kali ini nama Sasha yang tertera di layar, kakaknya.

"Halo." Indah menyapa ogah-ogahan.

"Serius lusa kamu berangkat? Pergi dan tidak menghadiri pernikahan Kakak dengan Farel, gitu? Please, Ndah, ini momen paling spesial dalam hidup Kakak. Kamu harus ada. Pokoknya kamu nggak boleh pergi."

"Kak, ekspedisi ini juga nggak kalah spesial dalam hidupku. Aku sudah menunggu lama untuk ini. Dan setelah terpampang nyata di depan mata, Kakak dengan seenaknya minta aku untuk mundur?" Indah mengembuskan napas kasar, yang pasti didengar jelas oleh sang kakak di seberang sana. "Nggak! Nggak bisa! Aku nggak akan melewatkan kesempatan ini."

"Kamu, tuh, ya ...." Sasha tercekat di tengah usahanya menahan luapan kekesalan. "Ya udah, Kakak mau kembali kerja. Nanti kita omongin lagi di rumah." Sasha memutus sambungan telepon tanpa perlu menunggu Indah berucap apa pun.

Tangan Indah yang memegang ponsel terjatuh lemas di pangkuannya. Beragam pemikiran menyesaki ruang kepalanya. Salah satunya perihal pernikahan Sasha dan Farel yang akan dilangsungkan minggu depan. Sebagai adik, seharusnya ia memang menghadiri momen sakral yang tidak hanya membahagiakan untuk pasangan pengantin, tapi juga keluarga besar.

Hanya saja kalau boleh jujur, justru pernikahan itulah yang kian memantapkan hati Indah untuk terbang ke Papua. Sambil memulai sepak terjangnya sebagai arkeolog yang sesungguhnya, diam-diam ada aksi pelarian dari kenyataan di balik keantusiasannya itu. Ia tidak yakin bisa tetap kuat melihat lelaki yang lama bersarang di ruang harapnya malah bersanding dengan sang kakak.

Indah menggeleng cepat, menghalau pikiran-pikiran buruk mengikis lebih dalam energi positif dalam dirinya. Saat ini ia harus fokus pada ekspedisi itu. Lupakan hal-hal lain yang tidak berkaitan. Ia harus bisa membuktikan kepada Prof. Hamdani, bahwa ia memang layak diberi kesempatan.

***


Indah tidak suka seperti ini, diadili di meja makan. Nafsu makannya langsung hilang ketika tanpa basa-basi semua orang seolah kompak mengutarakan kembali kalimat-kalimat kontra perihal keterlibatannya di ekspedisi itu. Termasuk Farel, yang menurut Indah sengaja ikut makan malam di sini untuk misi yang bisa ditebaknya.

"Ndah, please dipikir-pikir lagi. Kakak mau nikah, loh. Bukan sekadar ulang tahun yang bisa dirayain lagi tahun depan." Meski sangat hati-hati, Sasha tetap menekankan beberapa kata di kalimatnya.

Ranti memasang pendengaran prima sambil pura-pura tetap menikmati makanannya.

"Papua itu, kan, jauh. Siapa yang akan jagain kamu di sana?" Padahal sebentar lagi Indah akan menyelesaikan kuliahnya, tapi nada bicara Farel masih memperlakukan gadis itu seperti waktu pertama kali mengenalnya, gadis SMP yang lincah, cerewet, dan ngegemesin.

"Aku bisa jaga diri." Indah menyapukan pandangan, seolah perkataannya ditujukan ke semuanya, bukan sebatas menjawab pertanyaan Farel. "Lagian yang jadi ketua tim Prof. Hamdani, profesor dengan jam terbang paling tinggi di kampus, yang sering aku certain. Sama seperti ekspedisinya yang selalu sukses selama ini, beliau pasti sudah mempersiapkannya matang-matang. Tidak semua orang bisa mendapatkan kesempatan ini."

Selama Indah bicara, mereka bahkan berhenti mengunyah, lalu saling pandang, seolah saling dukung untuk menemukan kalimat penyanggah.

"Kali ini aku mohon pengertiannya." Indah meletakkan sendok dan garpunya, lalu meneguk isi gelas di sampingnya. Setelahnya, ia menatap Sasha dan Farel bergantian. "Untuk pernikahan kalian, ada atau tanpa aku, sama aja. Selamat, ya, aku turut bahagia." Indah memaksakan sebaris senyum sebelum meninggalkan meja makan itu.

Setibanya di kamar, air mata Indah langsung meruah. Hal ini bukan hanya karena sikap kontra mereka. Indah kalut setelah menemukan dirinya teramat payah untuk sekadar menerima kenyataan, bahwa Farel sebentar lagi resmi menjadi kakak iparnya. Angkat kaki dari kota ini sepertinya memang jalan terbaik, agar Indah tidak bertingkah konyol di hari pernikahan mereka.

Setelah diselamatkan dari kejaran anjing waktu itu, sore harinya Indah menemui Farel di rumahnya. Ia membawakan sekotak es krim sebagai tanda terima kasih. Di luar dugaan, Farel malah membagi es krim itu untuk Indah. Mereka makan bersama di teras. Setelah itu, seiring waktu bergulir, begitu cepat mereka akrab. Hampir setiap hari Indah main ke rumah Farel, begitu pun sebaliknya. Satu hal yang tidak diketahui Indah, diam-diam Farel naksir sama Sasha, kakak Indah yang kebetulan satu sekolah dengannya. Sebagai murid baru, Farel senang punya teman satu sekolah yang tetanggaan.

Di mata Indah, Farel sosok pahlawan di segala cuaca. Kapan pun bisa dimintai tolong. Sedang di mata Farel, Indah adik kecil yang menyenangkan untuk diajak melewati waktu luang. Hingga mereka tumbuh dewasa, Farel tetap menganggap Indah sebatas adik, tak peduli sudah sedekat apa mereka selama ini. Sedang Indah, dengan segala kesempurnaan rasa kagumnya bermetamorfosis menjadi cinta. Yang kemudian menyeretnya pada situasi rumit ini.

Bahkan saat Farel memutuskan untuk menjalani pendidikan masternya di Universitas Malaya, Malaysia, Indah tetap teguh merawat perasaan yang belum tersampaikan itu dari jauh. Indah berusaha berpikir positif, bahwa Farel belum memberikan sinyal-sinyal cinta karena ingin konsen ke pendidikannya.

Sekembalinya Farel ke tanah air setelah berhasil meraih gelar masternya, saat itulah kiamat kecil di hidup Indah terjadi. Indah benar, selama ini Farel tidak menunjukkan sinyal-sinyal cinta karena ingin konsen di pendidikannya. Tapi setelah tiba waktunya memunculkan sinyal-sinyal cinta itu, sayangnya bukan untuk Indah.

Seminggu setelah kedatangannya, Farel yang ditemani kedua orangtuanya mendatangi rumah Indah untuk melamar Sasha. Indah yang saat itu menguping pembicaraan mereka dari bibir pintu ruang tengah, seketika merasakan persendiannya tidak berfungsi. Tubuhnya merosot hingga terduduk tak berdaya di lantai. Tahu-tahu air matanya sudah berlinang.

Sejak hari itu, Indah butuh waktu beberapa hari untuk memahami bentuk rasa sakit yang kini menetap di dadanya. Di lain sisi ia harus tetap bersikap biasa, agar tak seorang pun yang melayangkan tatapan curiga, terlebih tatapan iba.

***


Hari ini Indah menjalani aktivitas di kampus dengan semangat yang belum pernah semenggebu ini. Rasa tak sabar bertemu dengan setumpuk pengalaman baru membuat waktu terasa lebih cepat berlalu. Ekspedisi ini benar-benar ampuh membuatnya lupa pada sakit hati yang sebenarnya masih menganga. Sebelum pulang, Indah dan anggota tim yang sudah terpilih kembali diminta berkumpul di ruangan Prof. Hamdani. Sekadar mematangkan persiapan untuk keberangkatan besok, termasuk merincikan perlengkapan penting yang harus dibawa.

Saat Prof. Hamdani membagikan surat izin dan persetujuan yang harus ditandatangani orangtua atau wali, Indah sempat bingung. Tapi kemudian ia mencoba untuk berpikir positif, ia pasti bisa membujuk Mama untuk menandatanganinya.

***


Kesibukan Indah saat mengemasi barang-barang yang akan dibawanya ke ekspedisi pertamanya ini sempat terhenti, saat ia teringat surat izin yang tadi sore diserahkan ke Mama. Di ruang tengah tadi, Mama tidak berucap sepatah kata pun saat Indah menyerahkan surat itu sambil menjelaskan secara singkat tujuannya. Entah Mama sudah menandatanganinya atau belum. Semoga saja sudah. Besok pagi surat itu harus diserahkan kembali ke Prof. Hamdani sebagai syarat keikutsertaan. Indah tidak bisa membanyangkan bagaimana jadinya jika Mama menolak untuk menandatanganinya.

Indah menggeleng samar, lalu kembali menyusun rapi ke dalam ransel barang-barang yang sudah dipilahnya. Mengingat lokasi ekspedisi di pedalaman hutan, jangan sampai ada yang kurang. Ia sangat detail. Terbayang pengalaman-pengalaman seru yang akan ia dapatkan selama ekspedisi, membuat aktivitas packing Indah menyenangkan. Di sisi lain, ketidaksetujuan orang-orang terdekatnya masih sangat mengganjal di hati. Ia tidak dapat memungkirinya. Tapi besok adalah hari keberangkatan, sebisa mungkin ia menepis pikiran-pikiran yang berpotensi mengganggu konsentrasinya.

Ranti terpaku di depan pintu kamar Indah yang setengah tertutup. Sejak tadi ia di sana, memperhatikan Indah yang begitu antusias mempersiapkan segala sesuatunya. Ia masih sangat kalut. Entah bagaimana harus melepas kepergian putrinya itu.

Ranti melangkah pelan, menghampiri Indah di antara tumpukan barang-barang yang masih berantakan.

"Kamu jadi berangkat besok?" tanyanya hati-hati.

Indah terdiam sejenak. Ia sangat mengerti makna yang tersirat di balik pertanyaan Mama.

Indah menoleh. "Maafkan aku, Ma!" Seketika mata Indah berkaca-kaca.

"Kamu tidak salah, Sayang. Mama yang salah. Mama selalu lupa bahwa putri kecil Mama sudah sebesar ini, sudah cukup dewasa untuk menentukan jalan hidupnya." Nada getar membuat Ranti tercekat sesaat. "Mama akan berusaha mengikhlaskan kepergianmu. Mama akan selalu mendoakanmu. Selamat berjuang, Sayang. Buktikan ke Mama kalau kamu memang bisa." Ranti sudah tidak mampu menahan air matanya.

Refleks, Indah berdiri dan langsung mendekap Mama sangat erat. Seketika kamar itu diselubungi rasa haru yang pekat. Air mata Indah pun luruh.

Setelah Indah melerai dekapannya, Ranti menyerahkan surat izin yang sudah ditandatanganinya.

"Terima kasih, Ma!" Indah menerimanya dengan kelegaan yang luar biasa.

***


[Bersambung]


Klik link di bawah untuk baca lanjutannya;

KBM

KARYAKARSA 

Jumat, 26 Januari 2024

Belahan Jiwa dari Dunia Lain (Bab 1)


 

Keenam orang yang sedang mengitari meja bundar dalam ruangan ini pasti merasakan hal yang sama: bangga, senang, tidak sabar, dan mungkin sedikit tegang. Buktinya, beberapa kening tampak dihiasi bintik-bintik keringat, sementara AC dalam kondisi on dan berfungsi dengan baik.

Berkali-kali Indah menarik napas panjang. Sejak tiga minggu yang lalu, sejak Prof. Hamdani akhirnya mengumumkan nama-nama yang dipilihnya untuk bergabung dalam tim ekspedisinya kali ini, sampai detik ini euphoria dalam diri Indah belum reda. Akhirnya ia mendapatkan kesempatan langka ini.

Bergabung dengan tim ekspedisi yang dibentuk per dua tahun ini adalah impian semua mahasiswa Arkeologi di Universitas Kencana, terlebih untuk penghuni semester akhir seperti Indah. Indah sering dengar dari senior, bahwa ilmu yang dipaparkan Prof. Hamdani di kelas tidak ada apa-apanya dibanding apa yang didapatkan setelah terlibat langsung di lapangan. Itu yang membuat Indah sangat menantikan kesempatan ini.

Diam-diam Indah mengamati ekspresi kelima rekan yang akan diajaknya bekerjasama di ekspedisi pertamanya ini. Di antara mereka hanya Raya yang sudah pernah terlibat di ekspedisi Prof. Hamdani sebelumnya. Bisa dibilang, ia paling berpengalaman. Kendati demikian, ekspresinya terlalu kaku untuk dibilang santai. Sedang untuk Eva dan Dian, pengalaman pertama ini membuatnya lebih pendiam dari sebelumnya. Indah yakin, Tio juga sama tegangnya. Hanya saja lelaki kribo yang terkenal kocak itu punya gesture andalan agar bisa terlihat biasa-biasa saja. Yang terakhir, Kevin. Ah, Indah malas membahasnya. Kenapa juga Prof. Hamdani harus memilihnya?

Indah dan Kevin dulunya sahabat, sebelum Kevin menghancurkan segalanya dengan sebuah pengakuan yang membuat Indah memilih menjauh. Menurut Indah, cinta yang tumbuh dalam persahabatan adalah kekonyolan. Sedang menurut Kevin, kekonyolan yang dimaksud Indah adalah sesuatu yang berhak tersampaikan. Sampai sekarang mereka masih sahabatan. Ya, setidaknya itu yang terlihat dari luar. Karena sejatinya hubungan mereka tidak bisa sehangat dulu lagi.

Keenamnya kompak menoleh ke arah pintu yang baru saja dibuka oleh Prof. Hamdani. Kehadiran profesor paling tersohor di kampus itu, lelaki jangkung yang tetap gagah di usianya yang hampir berkepala lima, membuat suhu ruangan kian meningkat. Pandangan mereka tak lepas dari sosok Prof. Hamdani, hingga lelaki berkacamata itu mengisi kursi kosong di salah satu sisi meja.

Prof. Hamdani mengeluarkan sebuah buku lusuh yang pinggiran sampulnya mulai mengelupas dari tas kerjanya, lalu membenarkan posisi kacamatanya dan mengedarkan pandangan sebelum mulai bicara.

"Apa kabar semuanya?"

"Baik, Prof," jawab mereka serentak.

"Jadi, persiapan apa yang sudah kalian lakukan selama tiga minggu ini?"

Mereka bersitatap, tapi tidak ada yang menjawab dengan tegas. Hanya terdengar gumaman berisi jawaban klise.

"Saya harap kalian sudah memanfaatkan waktu dengan baik, karena jadwal keberangkatan kita dimajukan."

Karena sudah lelah memangku rasa tidak sabar, tentu saja mereka menyambut perubahan jadwal itu dengan senang hati. Meski tak dipungkiri mereka pun lebih tegang di saat bersamaan. Mereka khawatir persiapan yang telah dilakukan belum cukup. Dan berbagai pemikiran-pemikiran tidak penting yang sangat manusiawi untuk sebuah pengalaman pertama.

"Saya, dibantu beberapa teman, sudah mengunjungi lokasi untuk meminimalisir hambatan yang akan kita temui nantinya. Karena semuanya dirasa sudah beres, lusa kita berangkat."

Deg!

Rasa tidak sabar yang dibalut ketegangan kian jelas memancar di wajah mereka.

"Pada ekspedisi kali ini kita akan melakukan penelitian terhadap benda ini." Prof. Hamdani memperlihatkan sebuah gambar cincin di salah satu halaman buku tadi.

Semua tatapan mengarah ke gambar itu.

"Cincin naga berkepala manusia ini tersemat di jari manis patung putri di sebuah gua yang berlokasi di pedalaman hutan Papua."

"Putri?" Eva, gadis bertubuh ceking yang pertama kali mengikis tumpukan tanda tanya dalam kepalanya.

"Ya, putri. Sosok gadis berparas cantik, sesuai yang tertulis dalam buku ini."

"Lalu, apa keistimewaan cincin itu, Prof?" timpal Dian, gadis yang dikenal berwatak keras.

"Konon, barang siapa yang berhasil mencabutnya, maka berhak mengucapkan satu permintaan yang pasti terkabulkan."

Mereka tercengang mendengar penuturan Prof. Hamdani. Beberapa memasang tampang sangsi.

"Satu permintaan yang pasti terkabul? Apakah seperti dalam dongeng Jin Lampu?" Tio bermaksud serius, tapi tetap saja tampangnya terlihat kocak.

"Mungkin. Tapi ini jelas-jelas bukan dongeng. Sejarah lengkapnya terpapar dalam buku ini." Prof. Hamdani mengangkat bukunya. "Sudah banyak arkeolog yang tertarik untuk menemukan cincin itu. Mereka datang dari berbagai belahan dunia. Tapi selalu gagal. Bahkan masuk ke guanya pun tidak bisa."

"Apa yang menyebabkan kegagalan mereka, Prof?" tanya Kevin, lelaki berwajah oriental dengan aroma farfum kelas dunia yang selalu melekat di tubuhnya.

"Itu yang harus kita temukan jawabannya."

Mereka bersitatap. Rasa tidak sabaran semakin pekat.

"Kita akan melakukan perjalanan jauh dan meninggalkan zona nyaman. Jangan pernah berpikir ini akan mudah. Tolong persiapkan diri kalian. Fisik maupun mental!"

Mereka mengangguk samar.

"Saya harap, saya tidak salah pilih orang."

"Siap, Prof!" seru mereka serentak.

***


Meski gambar cincin naga berkepala manusia dalam buku Prof. Hamdani terus terbayang di benak Indah, keluar dari ruangan itu langkahnya begitu riang dengan senyum mengembang sempurna. Sejak Prof. Hamdani mengumumkan akan membentuk tim baru, sejak itu pula hara-harap cemas memenuhi dada Indah. Mengingat sudah semester akhir, ia sangat berharap bisa terpilih, atau tidak sama sekali. Wajar setelah keinginannya terwujud, ia sangat bahagia.

Entah apa yang membuat Indah sangat tertarik dengan dunia arkeologi. Padahal penampilannya yang super girly sama sekali tidak menampakkan ketertarikannya pada benda-benda kuno. Menurutnya, benda-benda kuno menyimpan sejarah tersendiri yang selalu menarik untuk dikaji.

Sepertinya minat itu turunan dari almarhum papanya, yang semasa hidup merupakan arkeolog terkenal yang sukses dalam berbagai ekspedisi besar. Dunia berkali-kali memberitakannya. Meskipun pada akhirnya nyawanya harus melayang sebagai bayaran dari sebuah ekspedisi yang gagal. Namun Peristiwa itu sama sekali tak mengurangi semangat Indah dalam menekuni dunia arkeologi. Bahkan sebaliknya, ia malah terpacu untuk mengulang kesuksesan Papa suatu hari nanti.

"Woe, tungguin." Tanpa menoleh Indah tahu, itu suara Rina. Indah memelankan langkahnya hingga gerakan setengah berlari gadis bertubuh mungil itu berhasil menyajarinya.

"Eh, serius lusa lo berangkat?" tanya Rina setelah pola napasnya kembali teratur.

"Tahu dari mana?"

"Anak-anak pada ngomongin."

"Terus?"

"Prof. Hamdani itu selalu ngadain ekspedisi di tempat-tempat aneh. Kalau nggak terpencil, ya serem. Lo nggak takut, apa?" Rina bergidik.

"Please, deh, Rin. Gue ini mahasiswi arkeologi semester akhir, tapi selama ini cuma berada di dalam kelas dan bergelut dengan teori dan teori. Ini benar-benar kesempatan emas agar gue bisa bersentuhan langsung dengan dunia arkeologi yang sesungguhnya." Indah sengaja melakukan penekanan di beberapa kata.

"Lo seantusias ini bukan karena Kevin juga gabung, kan?"

Indah memutar bola mata malas.

"Kabar tentang dia nembak lo minggu lalu jadi topik hangat seantero kampus, loh."

"Bukan nembak, Rin. Cuma biar gue tahu aja."

"Bedanya apa?"

"Terserah lo, deh." Indah mempercepat langkahnya.

"Eh, gue nebeng sama lo, ya."

"Mobil lo ke mana lagi?"

"Masih di bengkel pas habis nabrak pagar kemarin."

Seketika Indah terpingkal mengingat kejadian lucu beberapa hari yang lalu. Sahabatnya itu memang belum terlalu lancar mengemudikan mobil. Berbagai kecelakaan-kecelakaan kecil pun mewarnai hari-harinya. Terakhir, ia menabrak pagar kampus.

***


Rasa bahagia yang berbaur dengan kemisteriusan cincin naga berkepala manusia itu mengiringi perjalanan pulang Indah. Setelah mengantarkan Rina, sengaja ia tidak mampir ke mana-mana, langsung ke rumah. Ia sudah tidak sabar menyampaikan jadwal keberangkatannya kepada Ranti, mamanya. Setelah memarkir mobil di garasi, Indah berlari-lari kecil memasuki rumah berlantai dua bergaya minimalis kontemporer itu.

"Ma ... Mama! Ma ...!" panggil Indah setengah teriak. Ia menemukan Mama tengah bersantai di ruang tengah sambil membaca majalah perempuan favoritnya. Ia langsung mengambil posisi bersisian.

Ranti sekaligus merangkap sebagai ayah untuk Indah sejak beberapa tahun terakhir. Selaku single parent, wajar jika ia agak over protectif. Sebenarnya ia tidak pernah setuju Indah kuliah di jurusan arkeologi, karena hal itu seolah mendekatkannya pada musibah yang pernah menimpa almarhum papanya. Terlebih saat Indah mengabarkan keterlibatannya di tim ekspedisi tiga minggu yang lalu. Saat itu juga Ranti langsung menyatakan tidak setuju. Tapi Indah bersikeras. Dan Ranti paling tidak berdaya untuk menolak keinginan putri bungsunya itu.

"Ada apa, Sayang? Kok, tumben pulang kuliah nggak langsung ke kamar?" Ranti merangkul Indah.

"Lusa aku berangkat." Sepasang mata cerlang Indah ditemani senyum sedemikian lebar.

Ranti langsung paham keberangkatan apa yang dimaksud putrinya. Ya, ekspedisi yang sampai detik ini masih ia harap agar batal. Perlahan Ranti melepas rangkulannya. Ia mendadak lesu. Duka yang ia rasakan beberapa tahun silam kembali berkelebat.

Indah menyadari perubahan yang terjadi pada ekspresi Mama.

"Mama masih belum bisa ngizinin aku, ya?"

"Bukan gitu, Sayang! Tapi ...." Ranti tercekat.

"Karena aku perempuan, atau karena Mama takut aku bernasib sama seperti Papa? Itu, kan, yang ada di pikiran Mama?" Suara Indah meninggi. "Dari dulu selalu seperti itu. Tolong beri aku kesempatan, Ma." Indah memelas.

"Kamu tidak akan mengerti bagaimana perasaan Mama." Ranti kalut. Ia sungguh tidak rela Indah terlibat dalam ekspedisi itu.

Indah bangkit dari duduknya. "Tolong, Ma, jangan rusak kebahagiaan Indah hari ini!" tegasnya, lalu beranjak pergi.

Ranti hanya bisa terdiam melihat Indah menjauh dengan segenap kekecewaan. Ia paham sebenarnya. Ia pasti mendukung apa pun cita-cita Indah di luar dunia arkeologi. Ia hanya tidak ingin kehilangan untuk kedua kalinya dengan kasus yang sama. Sebagai seorang ibu, posisinya sangat sulit.

***


[Bersambung]


Klik link di bawah untuk baca lanjutannya;

KBM

KARYAKARSA

Kamis, 25 Januari 2024

Benih Terlarang (Bab 10)

 


Haruskah aku diam selamanya?


---


Aku benar-benar tidak tidur tadi malam. Pemandangan Mama bergelayut di lengan Ruwanta, juga ketika mereka berdampingan di meja makan, menghantuiku tanpa jeda. Kupaksa otakku berpikir hingga titik yang belum pernah dicapainya selama ini. Membuat kepala pening serta napas tak beraturan. Aku belum pernah merasa setersiksa ini.

Ruwanta yang harus bertanggung jawab atas kehamilanku sudah tampak di depan mata. Aku bisa saja langsung menggaet dan tak akan melepasnya lagi. Namun, kenapa ia harus muncul sebagai pacar Mama? Aku takut Mama akan semakin hancur setelah mengetahui hal sebenarnya. Namun, aku tidak yakin bisa cukup tangguh untuk menyembunyikannya lebih lama.

Pagi ini, sebelum sinar matahari sempurna menyapu embun, aku sudah membuat sebuah keputusan. Perihal keseriusan Ruwanta, entah apa pun alasannya mendekati Mama, bagiku terlalu drama. Aku yakin, kabar yang berembus benar; ia hanya mengincar harta Mama. Betapa bodoh jika aku membiarkannya. Aku akan menjelaskan kepada Mama. Semuanya. Aku harus mendapatkan pertanggungjawaban dari ayah biologis penghuni rahimku.

Aku keluar kamar, masih dengan pakaian yang sama tadi malam. Mataku perih, tapi sama sekali tidak mengantuk. Aku menuruni tangga dengan cepat. Langsung mencari Mama ke setiap ruangan. Langkah tegesa-gesa tadi terhenti setelah menemukan Mama di ruang makan. Mama yang ditemani Bibi tengah sibuk menyiapkan sarapan. Pemandangan itu membuatku tercengang. Aku mengira akan menemukan Mama terkapar di kamar, tidur bersama botol-botol kosong minuman keras. Tapi nyatanya, aku seolah menemukan sekeping memori usang yang dipaksa terputar ulang. Sosok anggun, senyum tulus itu ... kembali.

"Sayang, kok, mukanya berantakan gitu? Belum cuci muka, ya?" tanya Mama seraya merapikan posisi beberapa piring di hadapannya.

Suara barusan benar-benar hangat seperti dulu.

"Tadi malam ngapain? Kok, langsung tidur nggak ganti baju dulu?"

Aku mematung, masih belum yakin dengan pemandangan yang ada.

"Kok, malah bengong? Ayo sini, sarapan dulu."

Kali ini Mama yang mendekat setelah melihatku tak bergeser sedikit pun. Ia langsung meraih kedua tanganku, menggenggamnya. Ada kehangatan yang mengalun perlahan di sana. Membasahi kuncup, memekarkan sejumput kenangan di masa kecil, ketika Mama masih sering membacakan dongeng pengantar tidur. Aku benar-benar merasa kembali ke sana. terlebih ketika salah satu tangannya membelai pipiku kemudian. Genangan bening perlahan mengaburkan pandangan.

"Mama minta maaf, Sayang, atas semua waktu yang terbuang selama ini. Mulai hari ini, kita akan menemukannya lagi. Mari sepakat melupakan kejadian kemarin. Masa berkabung, masa menjahit luka telah berlalu. Mama telah sembuh dan berhasil lebih kuat." Suara Mama bergetar. Aku tak bisa membaca mimik wajahnya. Kepiluan masih terpancar di sana.

Tak satu pun kata mampu terucap. Dadaku belum cukup lapang untuk memaafkan dan melupakan semua kegilaan Mama selama ini. Namun, genangan tadi luruh saat Mama menarikku ke dalam dekapannya. Sangat erat. Hangat. Belaian tangannya menjamah setiap helai rambutku.

"Tolong, beri Mama kesempatan untuk memperbaiki semuanya, kembali menjadi ibu seutuhnya buat kamu." Mama memperdengarkan kesungguhan. Air mataku menderas.

Mama membawaku ke meja makan. Kemudian menarik kursi dan mempersilakan duduk. Ia menuang susu hangat untukku, juga meletakkan sepotong roti bakar yang sudah dilumuri selai kacang di atas piring kecil di hadapanku. Suasana seperti ini ... sudah lama tidak terjadi. Lamat-lamat kudengar isak tangis Bibi yang berusaha ia sembunyikan dengan pura-pura sibuk mengerjakan hal yang tidak terlalu penting. Sepertinya Bibi terharu, ikut bahagia.

"Ayo dimakan, Sayang!" pinta Mama setelah melihatku masih mematung.

Aku meraih gelas tadi, menuntun secuil isinya merayapi tenggorokanku. Hangat. Sehangat suasana yang mendadak kembali ini.

Aku memerhatikan Mama yang tengah sibuk mengoleskan selai pada roti yang baru dikeluarkannya dari alat pemanggang. Make up menor ia singkirkan, kecantikan alaminya kembali. Namun, benarkah? Sungguh, Mama yang dulu sudah kembali? Lantas, setega apa jika aku harus mengacaukannya lagi?

Aku lega telah menemukan Mama kembali, meski diam—menyembunyikan masalah sebenarnya—bukan keputusan yang tepat.

***


Hari ini semuanya terasa kacau. Aku tidak bisa fokus ke materi yang disampaikan dosen. Hubungan Mama dan Ruwanta membentuk lingkaran hitam di benakku. Semakin membesar dan bertambah pekat. Akhirnya aku izin ke toilet, padahal ingin melarikan diri ke taman untuk mencari udara segar. Aku merasa semakin penat!

Aku belum sempurna merelakan hubungan Mama dengan Ruwanta. Lebih tepatnya, aku tengah memilah langkah serta kalimat yang tepat untuk membeberkan semuanya. Diamku hanya bersifat sementara. Pagi ini aku memang menemukan sosok Mama yang dulu, setelah berhari-hari tidak pulang dan kembali bersama Ruwanta yang kemudian diakuinya sebagai pacar baru. Di balik kehangatan senyum Mama tadi pagi ada fakta yang tersirat: perubahannya berkat Ruwanta. Lelaki yang telah menyemai benih di rahimku itu memang pandai membuat nyaman dan mengembalikan semangat hidup seseorang. Buktinya, aku betah ia tawan bertahun-tahun tanpa kepastian. Sama Mama, entah jurus macam apa yang ia lancarkan.

Betapa pun bahagianya aku melihat Mama kembali sehangat dulu, aku tidak mungkin mengabaikan janin di dalam kandunganku yang terus berkembang. Ia harus segera mendapatkan pengakuan dari Ruwanta. Terlebih setelah mencoba kembali untuk mengerti motif di balik keputusan Ruwanta memacari Mama. Dari sekian kemungkinan yang berseliweran di dalam kepala, kesimpulannya cuma satu; ujung-ujungnya duit.

Aku tidak sepenuhnya egois jika memilih merebut Ruwanta dari Mama. Di sisi lain, aku justru menyelamatkannya. Bagaimana jika Ruwanta benar-benar hanya mengincar harta Mama? Bukankah ia bisa jauh lebih hancur setelahnya? Aku tidak akan membiarkannya!

"Petunia sedang bermekaran di pertingaan, kamu malah murung di sini." Yudit tiba-tiba datang mengisi kekosongan di sampingku, selalu dengan cara sopan dan terkontrol.

Perihal ucapan barusan, aku mengernyit ke arahnya kemudian. Petunia bermekaran di pertigaan?

"Di ujung jalan ada pedagang bunga keliling sedang mangkal. Ia menjual petunia dalam pot kecil yang cocok banget buat dijadikan suvenir atau dibawa ke mana-mana kalau kamu mau."

Entahlah. Sejak insiden di Bogor, terlebih setelah kemunculan Ruwanta bersama Mama kemarin, reaksiku tidak sedahsyat dulu saat mendengar apa pun yang bersinggungan dengan petunia. Ada bagian dari diriku yang layu dan merapuh perlahan-lahan.

"Ke sana, yuk! Kamu pasti gemas melihat warna ungunya." Senyum Yudit mengembang sempurna di ujung kalimatnya.

Selama ini aku selalu menampik segala tawaran lelaki berkulit putih bersih ini. Tapi kali ini, aku malah beranjak mendahuluinya setelah mengangguk perlahan. Sekilas kulihat ekspresinya, sempat tercengang beberapa saat sebelum rona bahagia memenuhi pancaran matanya. Bukan masalah besar jika sesekali membahagiakan orang yang telah begitu baik terhadapku selama ini. Lebih tepatnya, mencintaiku sepenuh hati. Tulus. Lagipula, sepertinya aku memang butuh hiburan.

Kami tiba di tempat yang dimaksud. Benar, petunia bermekaran di pertigaan. Bermodal mobil pickup bertendakan terpal, pedagang itu menghiasi pertigaan dengan aneka bunga yang ditata sedemikian rupa. Hal ini jadi pemandangan tersendiri di tengah riuh kendaraan yang lalu-lalang. Kenapa tidak setiap hari saja seperti ini?

Pandanganku tercuri sempurna oleh petunia-petunia yang bergelayut manja dalam pot kecil. Digantung, berjajar rapi pada tiang pipa yang disediakan khusus. Seolah tak sabaran, aku langsung memilih beberapa untuk dibawa pulang. Benar kata Yudit, petunia-petunia ini sangat menggemaskan. Sejenak aku mampu melupakan Ruwanta, juga segenap kerumitan yang ada. Hanya ada Yudit bersamaku saat ini, kembali meyadarkan akan keindahan yang tersemat di setiap helai kelopak petunia.

***


Dari pertigaan yang mendadak berhiaskan aneka bunga tadi, Yudit mengajakku menikmati es krim buah-buahan di salah satu kedai yang berposisi di Jalan Setiabudi. Lagi-lagi aku mengangguk. Aku benar-benar membuatnya bahagia sekaligus heran hari ini. Padahal aku tidak begitu suka dengan sajian dingin berhiaskan potongan-potongan buah segar itu. Hanya saja, dulu, Yudit sering mengajakku ke sana. Lebih tepatnya aku terpaksa menuruti ajakan lelaki penggemar es krim itu demi kelancaran berbagai tugas sekolah yang kerap ia kerjakan untukku. Tapi hari ini, aku sama sekali tidak merasa terpaksa. Malah semangkuk es krim ini ampuh meredam gemuruh di dada. Meski hanya sesaat.

"Sudah lama, ya, tidak main ke sini."

Aku hanya tersenyum lemah.

"Tempat ini tidak berubah. Sama seperti kita, dari dulu tetap sama." Ada nada sumbang di kalimat barusan. Aku yakin, Yudit berusaha menyampaikan sesuatu. Sesaat air wajahnya mendadak asing, bukan yang selalu kulihat selama ini.

Dari kedai es krim, aku minta diantar kembali ke kampus untuk mengambil mobil. Aku langsung pulang dan benar-benar melalaikan semua mata kuliah hari ini. Aku tiba di rumah sekitar pukul satu. Cuaca lumayan panas siang ini. Di dalam kamar, aku meletakkan kelima petunia—yang kubeli dari pedagang keliling tadi—di bingkai jendela. Kelimanya tentu saja berwarna ungu, meski tekstur warna dan bentuk kelopak tidak sama persis. Dua di antaranya adalah pilihan Yudit. Kuberi jarak yang cukup agar mereka leluasa bernapas. Aku dan petunia sudah sehati. Aku paham apa yang mereka butuhkan. Namun, mengapa aku tidak cukup mengerti apa yang dibutuhkan Ruwanta, setelah bertahun-tahun merasa telah sangat memahaminya? Ah, sudahlah! Petunia dan Ruwanta jelas-jelas tidak bisa disamakan.

Setelah memastikan posisi petunia tadi sudah pas, aku turun untuk menemui Bibi. Perutku mulai terasa lapar. Aku memang selalu menyempatkan diri untuk membantu pekerjaan Bibi di dapur, memintanya mengajariku berbagai resep masakan tradisional yang katanya turun temurun di keluarganya. Meski tak jarang aku malah merepotkannya. Kebiasaan Bibi di dapur, ia sering menceritakan semua gosip-gosip murahan selebriti tanah air yang ditontonnya sambil mengepel ruang tengah setiap pagi. Pernah sekali ia membuatku terbahak hingga mulas. Ia memeragakan gaya bicara presenter-nya yang katanya sengaja me-mayun-kan bibir untuk terlihat seksi. Begitulah Bibi, sesekali suka bertingkah ajaib. Kami memang sangat dekat. Ia sudah kuanggap keluarga sendiri.

Tapi hari ini, ada pemandangan janggal di dapur. Bibi sudah tampak sibuk ketika aku tiba. Bukan kesibukan itu yang janggal, tapi kehadiran Mama yang tampak jauh lebih sibuk.

"Eh, Sayang. Kok, jam segini sudah pulang? Dosennya nggak masuk, ya?" Mama berbasa-basi sambil tetap cekatan mengerjakan ini-itu.

Sejak kapan Mama peduli dengan jam pulangku?

"Kamu datang tepat waktu. Hidangan istimewa Mama sebentar lagi siap disajikan. Tinggal tunggu beberapa menit lagi agar dagingnya empuk sempurna. Benar, kan, Bi?"

Bibi menyambut tatapan Mama dengan anggukan antusias.

Aku duduk, menyaksikan kesibukan keduanya tengah menyiapkan hidangan istimewa yang masih dirahasiakan namanya. Aku mulai mencium aroma yang sungguh menggugah selera. Tak lama kemudian, Mama mematikan kompor. Ia membuka tutup panci. Asap tipis beraroma sedap langsung mengepul, memencar ke sudut-sudut ruangan. Kemudian Mama menyajikan masakan yang sepertinya belum pernah kucoba itu ke dalam tiga mangkuk kaca berukuran kecil untuk kami nikmati bersama.

"Nah, cium aromanya, kamu jadi nggak sabar, kan?" Mama menyodorkan mangkuk berisi kuah pekat dengan potongan-potongan daging menyerupai dadu. Pemukaannya sudah ditaburi bawang goreng.

Aku mencicipi kuahnya terlebih dahulu, kemudian potongan daging yang benar-benar lembut di mulut. Aku takjub, rasanya luar biasa. Aku banyak mencoba makanan hasil olahan daging, tapi belum pernah ketemu yang seperti ini. Aku bisa saja langsung memuji kepiawaian Mama memasak makanan ini. Hanya saja ... perihal hubungannya dengan Ruwanta, serta niat untuk menceritakan masalah yang tengah menerpaku, sungguh mengurangi kedamaian suasana. Andai saja pacar baru Mama bukan Ruwanta, 90% hidupku yang dulu pasti sudah kembali.

"Nama makanan ini Coto Makassar, makanan khas dari tanah kelahiran Ruwanta."

Aku langsung tersedak. Apa? Tanah kelahiran Ruwanta?

"Kamu kenapa, Sayang?" Mama berhenti menyendok makanannya.

Aku hanya menggeleng, kemudian melegakan tenggorokan dengan beberapa teguk air putih.

"Mama merasa beruntung, ibu Ruwanta berkenan mengajari cara memasak makanan ini sedetail-detailnya. Makanya bisa seenak ini." Mama jeda, sesendok makanan masuk ke mulutnya. "Tapi yang terpenting, beliau bisa menerima Mama sebagai calon menantu. Itu yang paling membuat Mama betah di Makassar," lanjutnya setelah menelan makanan tadi.

Ekspresi bahagia, nyaman, damai, dan entah apa lagi tampak jelas di wajah Mama ketika mengucapkan kalimat barusan. Sedang aku? Ada sesuatu yang kurasakan semakin hancur. Bisa kusimpulkan, selama beberapa hari menghilang Mama berada di Makassar—tanah kelahiran Ruwanta. Lebih tepatnya, ia diajak oleh Ruwanta untuk diperkenalkan ke orangtuanya. Sudah sejauh itukah hubungan mereka? Fakta ini sketika mengubur selera makanku.

Aku tahu Ruwanta, ia tidak akan mengajak seorang perempuan ke rumahnya untuk diperkenalkan ke orangtuanya, kecuali ia benar-benar serius dengan perempuan tersebut. Artinya, hubungan Mama dan Ruwanta bukan main-main. Lantas, aku harus bagaimana?

Aku benar-benar nyaman saat ini, setelah Mama kembali seperti dulu. Terlepas dari hubungannya dengan Ruwanta yang serupa racun dan menjalar di dalam tubuh perlahan-lahan. Tapi, haruskah aku diam selamanya? Melahirkan tanpa suami? Membayangkannya saja aku tidak sanggup!

***


[Bersambung]




Klik link di bawah untuk baca lanjutannya;

KBM

KARYAKARSA 

Rabu, 24 Januari 2024

Benih Terlarang (Bab 9)

 


Aku lebih merasa dipermainkan daripada dikhianati.


---


Usia kandunganku memasuki bulan ketiga. Masih belum ada titik terang perihal keberadaan Ruwanta. Aku mulai panik, gelisah, dan sedikit takut. Bagaimana jika Ruwanta benar-benar tak menampakkan diri hingga kandungan ini tak dapat lagi kusembunyikan? Sekarang saja, aku mulai ekstra hati-hati memilih pakaian jika hendak keluar rumah. Terutama ke kampus. Jangan sampai mereka menyadari bentuk perutku yang mulai tidak rata. Meski pipi yang bertambah tembam tak bisa kusembunyikan—efek susu formula yang rutin kuminum sesuai anjuran yang tertera pada kemasan.

"Kamu lagi proses penggemukan, ya?" tukas Nila suatu hari. "Ngapain? Bentuk tubuh kamu sebelumnya sudah bagus," imbuhnya.

"Ah, enggak, kok!" elakku sambil merapikan ujung sweterku.

Akhir-akhir ini aku memang lebih nyaman mengenakan sweter ke mana-mana. Dengan begini, lekuk tubuh di bagian perut bisa tersamarkan. Nila pernah protes dengan penampilan baruku. Aku hanya menganggapinya dengan senyum iseng. Entahlah, hingga detik ini aku belum siap menceritakan masalah ini padanya.

***


Kau pernah tidak percaya terhadap sesuatu yang nyata-nyata terpatri di depan mata, berharap semua itu hanya mimpi dan kau akan segera terbangun? Aku pernah membaca hal semacam ini di sebuah novel, juga menemukannya di beberapa film. Dan sekarang, aku mengalaminya.

Aku sedang berada di ruang tengah bersama Bibi, menikmati program talk show di salah satu stasiun tivi swasta. Bibi tampak serius. Ia memang suka dengan acara ini. Demi menyaksikan acara yang dipandu oleh host botak bersetelan hitam itu, ia akan menunda semua pekerjaannya, atau buru-buru menyelesaikannya di awal. Aku tidak pernah mempermasalahkannya. Selama ini Bibi sudah bekerja sangat baik.

Tiba-tiba seseorang di luar sana memencet bel, minta segera dibukakan pintu. Aku beranjak, membiarkan Bibi bersama acara favoritnya.

Maka di sinilah aku, seperti yang kubilang di awal. Mama berdiri di depan pintu bersama seorang lelaki. Ia bergelayut manja di lengan lelaki itu. Teman atau pacar baru? Ia berusaha memberikan senyum terbaik. Pergi tanpa kabar dan tak pulang selama berhari-hari seolah bukan kesalahan. Hal itu terbukti dengan tidak adanya pancaran rasa bersalah di matanya.

Kemudian Mama memperkenalkan lelaki tadi sebagai pacar barunya. Aku tersentak. Selama sekian detik aku kesulitan menarik napas. Bukan lantaran Mama berganti pasangan lagi, bukan pula karena lelaki yang dipilihnya kini tampak sebaya denganku. Lebih dari itu, lelaki yang kini sedang mengulurkan tangan dan baru saja menyebutkan namanya adalah Ruwanta, orang yang kucari selama ini demi pengakuan untuk bakal malaikat kecil di rahimku.

Lantas, kenapa jadi seperti ini? Aku beku, memelototi Ruwanta yang tampak sangat santai dengan senyum palsunya. Bahkan saat aku menyambut tangan kekarnya, aku masih berharap, ini hanya mimpi buruk yang akan segera berakhir.

Maka tak ada pilihan selain mengikuti alur permainan Ruwanta—pura-pura tidak saling kenal di depan Mama. Di adegan perkenalan itu—saat menyebutkan nama—aku mendadak merasa sangat konyol. Bodoh! Tolol!

Drama ini berlanjut di ruang tamu. Tengah duduk pun, Mama tak hentinya bergelayut di lengan Ruwanta. Sesekali ia akan menyandarkan kepalanya dengan manja di bahu yang seharusnya lebih pantas menopang masalah yang tengah menerpaku. Sedang Ruwanta, ia tampak nyaman dengan kepura-puraannya, ahli dalam perannya. Aku sempat mengira ia sedang amnesia. Ada sesuatu yang terbakar di dalam dada. Bila tak kucegah, seketika akan menghanguskan sepasang bola mataku juga.

Dengan nada riang, Mama bercerita tentang Ruwanta, mengenalkannya lebih jauh. Sebagian besar cerita Mama sudah kudengar langsung dari Ruwanta. Semua sifat-sifat Ruwanta yang dijelaskan Mama, aku lebih tahu. Sudah sejauh itukah Mama mengenal Ruwanta? Sudah berapa lama mereka berhubungan?

"Iya, kan, Sayang?"

Ruwanta hanya akan mengangguk seraya tersenyum setiap kali Mama meminta penegasan. Senyumnya kali ini dibaluri kepalsuan. Menyeramkan! Aku muak!

"Ruwanta juga kuliah di Advent, loh! Masa kalian nggak pernah ketemu, sih?" Dengan gamblang Mama melontarkan pertanyaan barusan. Tidakkah ia risi tengah memacari lelaki yang lebih pantas jadi anaknya? Kematian serta perselingkuhan Papa benar-benar membuatnya gila. Tapi kali ini kurasa Ruwanta jauh lebih gila.

"Kampus kami luas, Ma. Mahasiswanya bukan cuma satu dua orang," kilahku seraya menahan perih di tenggorokan. Aku benar-benar tersiksa dengan situasi ini.

Lebih dari sekadar ketemu, Ma. Kami akan punya anak.

Saat di meja makan pun, Mama masih berceloteh tentang Ruwanta. Kali ini Mama bercerita seputar pertemuannya dengan Ruwanta. Perkenalan singkat yang berujung hubungan serius. Aku tidak begitu menyimak, tidak penting. Pikiranku mendadak dipenuhi gosip tentang Ruwanta yang merebak di kampus akhir-akhir ini.

"Eh, kamu tahu kenapa Ruwanta nggak pernah kelihatan batang hidungnya?" tanya Nila pada suatu siang, saat tengah menikmati semangkuk bakso di kantin langganan kami.

Aku mengernyit.

"Dia jadi gandengan tante-tante. Kabarnya, mereka tengah liburan ke luar kota." Bukan Nila namanya jika ekspresinya tidak berlebihan saat bicara.

Seketika mataku membola, tapi tak lantas percaya begitu saja.

"Serius? Kamu tahu dari mana?" Aku meletakkan sendok dan garpu, mendadak tidak berselera.

"Astaga! Kamunya aja yang belum tahu. Padahal seantero kampus tengah membicarakannya."

"Masa, sih?" Aku masih memasang tampang tak percaya.

"Sadisnya lagi, ia melakukan itu semata-mata demi uang. Kabarnya, tante-tante gandengannya sangat tajir.

Aku terdiam. Entah bagaimana harus merespons omongan Nila. Jujur, aku sama sekali tidak percaya. Aku mengenal Ruwanta lebih dari siapa pun. Aku tahu latar belakang keluarganya. Ia memang kerap bercerita perihal kesulitan ekonomi yang melanda mereka. Tapi aku yakin, Ruwanta bukan tipe orang yang akan mengambil jalan pintas untuk menyelesaikan permasalahan apa pun. Terlebih dengan menggadaikan harga diri.

Setelah Nila menyampaikan gosip itu, aku makin sering mendengarnya dari teman-teman yang lain. Demi menemukan kejelasan, aku menemui Tio. Di luar dugaan, lelaki berambut kribo itu pun membenarkan kabar itu. Lucunya, aku masih saja belum percaya. Bahkan hingga malam ini, ketika semuanya terpampang nyata di depan mata, aku masih berusaha untuk tidak percaya. Kalau memang benar, kenapa harus Mama? Takdir terlalu kejam!

"Senja, bukannya makan, kok, malah ngelamun?" Teguran mama menghentikan gerakan tanganku yang sedari tadi mengaduk makanan tidak jelas.

Sesaat Ruwanta berhenti menguyah makanannya. Memerhatikanku. Kemudian tersenyum aneh. Masih senyum palsu yang sedari tadi memperburuk keadaan.

"Sebenarnya ... aku masih kenyang, Ma, dan sedikit capek. Maaf, aku istirahat duluan." Aku beranjak, tak bisa bertahan lebih lama dalam sandiwara ini. Sekilas aku masih sempat melirik Ruwanta. Entah ilmu apa yang ia gunakan hingga bisa setenang itu. Apa jadinya jika aku tiba-tiba membeberkan sejauh mana hubungan kami di depan Mama?

Setibanya di kamar, kabut yang sedari tadi menggantung di pelupuk mataku pun luruh. Tumpah sejadi-jadinya. Aku benar-benar merasa sendiri dalam masalah ini. Siapa yang harus kuajak berbagi? Siapa yang harus kusalahkan? Aku dan Ruwanta hanya pernah terjebak dalam kesalahan atas dasar suka sama suka. Selebihnya, ia hanya pemilik pesona, sedang aku tawanannya. Ikatan, janji, atau apa pun yang merujuk ke suatu hubungan serius tidak pernah ada. Maksudku, Ruwanta tidak pernah memulainya. Aku lebih merasa dipermainkan daripada dikhianati.

Sebenarnya tidak terlalu aneh jika Ruwanta tergoda oleh Mama. Meskipun umurnya sudah berkepala empat, Mama sangat menjaga penampilan. Ia rutin melakukan berbagai rangkaian perawatan kecantikan. Sebelum Papa membuatnya gila, kami sering dikira kakak-adik jika jalan berdua. Hanya saja ... perihal Ruwanta serius atau tidak, itu yang sedari tadi bercokol di benakku. Aku masih tidak habis pikir.

Suara Nila kembali terngiang di sela isak tangisku ....

"Ia melakukan itu semata-mata demi uang."

***


[Bersambung]


Klik link di bawah untuk baca lanjutannya;

KBM

KARYAKARSA

Senin, 22 Januari 2024

Benih Terlarang (Bab 8/

 


Aku tiba di puncak rindu, akan semua hal-hal kecil yang kerap ia warnakan di hari-hariku.


---


Hari-hariku kacau. Tak ada hal menarik yang bisa kunikmati. Waktu terasa lebih lambat. Meski demikian, dua purnama telah terjalin sejak insiden di Bogor. Kesehatanku menurun akhir-akhir ini. Beberapa minggu terakhir sering mual. Masuk angin. Hal ini disebabkan makan serta tidur tidak teratur. Tugas kuliah menumpuk. Ditambah sosok Ruwanta yang sering merangsek dan mengacaukan pikiranku semaunya. Belum lagi Mama yang semakin jarang pulang. Semoga saja ia tak jadi pelakor. Aku mulai malas memikirkannya. Tidak peduli.

Dan hari ini, babak baru kerumitan kisah ini sedang dimulai. Dokter berkacamata yang baru saja memeriksaku menyampaikan, bahwa di rahimku ada janin berumur delapan minggu. Hal yang kutakutkan setelah dua kali tamu bulananku mangkir, benar-benar terjadi. Kemampuan berpikirku seketika melesat entah ke mana. Persendianku tidak berfungsi. Otot-ototku lemas. Aku bahkan tak punya kekuatan untuk sekadar membalas perkataan dokter tadi.

Sesuatu yang perih berlaga di tenggorokan. Genangan bening menghiasi tepian mata. Bibirku gemetar. Rasa takut, bersalah, bodoh, bingung, dan banyak lainnya mencekam bersamaan. Aku benar-benar merasa sendiri sekarang. Entah kepada siapa harus kubagi beban ini.

Pesan dari Nila menggetarkan ponsel di dalam tas jinjing yang kupangku. Dokter tadi tampak sibuk menulis sesuatu. Mungkin semacam resep.

Nila: Kamu di mana?

Wajar Nila mencari, atau mungkin mengkhawatirkanku. Ia tahu, kesehatanku tidak baik akhir-akhir ini. Sedang tadi, aku buru-buru meninggalkannya selepas jam kuliah dan menolak untuk diantar. Aku juga tidak bilang tentang rencana memeriksakan diri hari ini. Benar saja, untung ia tidak di sini—mendengar hasil pemeriksaan dokter. Ini masalah pertama yang kusembunyikan dari sahabatku itu.

Aku beranjak, berjalan gontai meninggalkan klinik. Aku mendapati langit berwajah suram, biru baru saja berpaling darinya. Setelah berada di dalam mobil, wajah suram tadi serta-merta menumpahkan isinya. Hujan kali ini serupa gemuruh dalam dada.



***


Aku mulai memerhatikan kesehatan. Aku membeli susu formula khusus untuk menjaga kesehatan janin, sesuai yang kubaca di internet. Sebisa mungkin kuatur pola makan dan tidur. Sekalut apa pun aku menghadapi masalah ini, aku tidak akan terang-terangan berbuat dosa besar kedua dengan menggugurkannya. Bakal malaikat kecil dalam rahimku suci tak berdosa. Ia berhak lahir dalam keadaan sehat. Sudah kuputuskan untuk mempertahankannya, apa pun yang terjadi.

Namun untuk itu, tentu saja aku harus menemukan Ruwanta secepatnya. Aku harus memintanya bertanggung jawab. Aku tak ingin melahirkan tanpa suami. Tapi, seisi asrama tidak ada yang tahu keberadaan Ruwanta, termasuk Tio yang selama ini tidur sekamar dengannya. Menurut teman sekelasnya, sudah hampir sebulan ia bolos kuliah.

Aku mengeluarkan ponsel dari dalam tas jinjing, bermaksud menghubungi Ruwanta.

"Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Silakan coba beberapa saat lagi!"

Lagi-lagi yang kudapati hanya suara operator. Selalu seperti ini.

Ruwanta ... kamu di mana?

Setelah mengikuti mata kuliah terakhir hari ini, aku menenangkan pikiran di kantin Empok Ratih. Di kampus ini ada beberapa kantin, tapi kantin ini yang paling sering kutongkrongi bersama Nila. Juga Ruwanta, dulu. Selain karena tempatnya bersih dan harga terjangkau, jaraknya juga paling dekat dari fakultasku. Kali ini aku sendiri. Nila pamit pulang duluan. Ia harus mengantarkan mamanya check up.

Aku duduk di pojok, sengaja agak menjauh dari keramaian. Pelayan baru saja mengantarkan pesananku—roti bakar saus kacang dan segelas cola float. Bila sudah duduk bersama makanan seperti ini, biasanya Ruwanta akan muncul dari arah tak terduga. Mengagetkan, lalu mencomot makananku tanpa permisi. Sesukanya. Tapi tidak kali ini. Di saat aku sangat mengharapkan kehadirannya, ia malah sempurna menghilang.

Mataku kembali memanas, meski tenggorokan sudah kubasahi dengan minuman dingin di depanku. Aku tiba di puncak rindu, akan semua hal-hal kecil yang kerap ia warnakan di hari-hariku. Tentang omongan-omongan melantur, tingkah konyol, alunan melodi, cerita tentang bintang, aku ingin semuanya kembali. Lebih dari itu, aku ingin ia tahu, aku tengah mengandung bintangnya.

***


[Bersambung]


Klik link di bawah untuk baca lanjutannya:

KBM

KARYAKARSA

Minggu, 21 Januari 2024

Benih Terlarang (Bab 7)

 


Lihatlah, betapa bodohnya aku. Bahkan sekadar tersenyum atau mengangguk untuk sedikit menyenangkan lelaki berhati malaikat ini pun tidak becus.


---


Liburan selesai. Untunglah. Jika tidak, sepertinya aku akan menciptakan kasus kematian terlangka pertama di muka bumi ini. Ada banyak hal yang kurasakan di balik peralihan sikap Ruwanta. Apa pun alasannya, sadar atau tidak, bagiku sakit.

Tadi malam aku punya kesempatan baik untuk mendekatinya. Berduaan, bicara dari hati ke hati. Tapi setelah kutemani kesendiriannya di dipan, ia langsung sibuk menerima telepon-yang entah dari siapa. Benarkah ia tengah menelepon? Atau mendadak menjelma jadi aktor andal? Dan sekarang ia memilih tempat duduk paling belakang, menjauh dariku. Udara di dalam bus mendadak panas, meski sudah dilengkapi alat pendingin khusus.

Bibi tergopoh-gopoh menyambutku di halaman. Ia langsung mengambil alih barang-barangku.

"Mama ada?" tanyaku lesu.

Bibi tidak menjawab, hanya menunjukkan ekspresi yang sudah kuhafal, yang berarti Mama tidak ada.

Aku menghela napas berat, seberat langkah yang seolah menolak untuk dilanjutkan. Beberapa kelopak petunia di beranda berguguran. Sehelai dua helai daunnya tampak menguning. Kali ini aku sama sekali tidak berselera menyentuhnya.

Kamar Mama yang terpaksa kulewati jika hendak ke kamar, kudapati pintunya setengah tertutup, menampakkan isi yang super berantakan. Pakaian kotor berserakan di mana-mana, seprai tidak terpasang pada tempatnya, ditambah aroma alkohol yang menelisik hidung. Isi kepalaku sukses dibuatnya semakin kacau.

Setibanya di kamar, aku langsung mengempaskan diri dan lara di ranjang. Aku mengeluarkan ponsel dari saku celana, bermaksud menghubungi Nila untuk menceritakan semuanya. Sesak yang ada pasti akan berkurang jika kubagi dengan sahabat yang punya segudang solusi itu. Namun, urung. Aku belum siap siapa pun mengetahui kebodohan ini.

Jadinya, aku malah mengamati foto Ruwanta yang diam-diam kujadikan wallpaper selama ini. Melihat senyum di dalam foto, tak seharusnya ia membuatku gelisah seperti ini. Tangga kepastian harusnya sudah kami jajaki setelah kejadian terlarang itu.

Suara bel pintu bertamu di pendengaranku, ketika hening dan sepi larut mencumbu malam. Setelah kejadian itu dan menyadari perubahan sikap Ruwanta, sudah pasti aku jadi susah tidur. Aku lekas turun. Bibi tampak tergopoh-gopoh, tapi aku tiba duluan untuk membuka pintu. Amarah seketika berkecamuk melihat Mama di depan pintu. Ia dipapah oleh lelaki berkumis tebal. Kondisinya sangat berantakan. Selalu seperti itu.

Genangan bening serta-merta mengaburkan pandangan. Lelaki tadi hendak berkata sesuatu ketika lebih dulu kubanting pintu sekuatnya. Aku berlari kembali ke kamar. Sekilas, kulihat bibi lekas membuka pintu itu kembali, mengambil alih nyonyanya dari tangan si lelaki.

***


Musim semester baru tiba. Aku merasa asing dengan diriku sendiri. Selalu ada yang terasa kurang, sekeras apa pun usahaku untuk terlihat baik-baik saja. Suasana kampus kurasakan lebih damai dibandingkan rumah sendiri yang dilingkupi kesepian. Hanya ada bibi yang tak pernah letih membersihkan bangunan berlantai dua itu, meski tubuhnya semakin menua. Di kampus, setidaknya aku merasa dekat dengan Ruwanta, berharap bisa menemukan sepenggal dua penggal kata dari mulutnya yang mampu binasakan resah di hati. Namun saat ketemu tadi ....

"Hai, Ta!" tegurku saat berpapasan.

"Hai!" Senyumnya masih sama, meski kurang lebar.

"Mana gitarmu?" Aku memancing obrolan.

"Ada di kelas."

Aku kembali memikirkan hal yang bisa membuat obrolan ini lebih panjang. Namun, ia malah pamit. Katanya ada janji dengan teman-teman komunitas. Komunitas apa? Sejak kapan Ruwanta bergelut di komunitas? Kok, aku baru tahu? Aneh! Aku beku memandang punggung Ruwanta menjauh. Tampak tergesa-gesa.

Di beberapa kesempatan lain, Ruwanta hanya menampilkan senyum datar saat kami berpapasan. Biasanya ia selalu meluangkan waktu untuk sekadar berceloteh hal-hal lucu atau memeragakan tingkah-tingkah konyolnya. Aku merindukan itu. Aku kehilangan.

Di bangku taman ini kami pernah membahas perihal rumah impian. Entah bagaimana mulanya. Tapi jika bersama Ruwanta, segala bahan obrolan memang selalu jadi menyenangkan. Meski kadang dibuatnya ngawur.

"Aku nggak mengidamkan rumah mewah. Yang penting ada kolam renang, studio musik, dan ruang khusus yang dilengkapi berbagai macam teropong untuk mengamati bintang."

Aku tergelak. Rupanya yang ia idamkan memang bukan rumah mewah, tapi lebih dari sekadar mewah. Ada-ada saja.

"Kalau kamu?" tanyanya balik.

Aku berpikir sejenak. "Aku menginginkan konsep hunian sederhana, dengan sebuah kebahagiaan di dalamnya yang akan selalu membuatnya sempurna. Tidak perlu terlalu luas, membersihkannya susah." Aku jeda, tergelak. "Dan yang paling penting, harus ada petunia di beranda. Wajib!"

"Petunia bergelantungan di pinggir kolam renang sepertinya unik. Di dalam studio musik atau ruang khusus untuk mengamati bintang, bisa juga, kan?

"Kamu ngaco. Petunia harus mendapatkan sinar matahari yang cukup. Ia tidak boleh diletakkan di sembarangan tempat. Apalagi di ruang tertutup."

"Aku akan membuatnya bertahan hidup di sana, dengan caraku sendiri." Mendadak tatapan Ruwanta sedikit aneh waktu itu. Ada makna mendalam di balik bidikan mata elangnya. Bisa kurasakan, meski samar-samar. Aku tidak kaget. Ia memang selalu seperti itu, membiarkanku sekadar berharap dan berharap.

Aku kembali teringat saran Nila. Gadis penggemar kelinci itu memintaku untuk menyatakan perasaan lebih dulu. Menurutnya, tipe lelaki seperti Ruwanta memang ada. Lelaki yang terang-terangan memberi sinyal, tapi sulit untuk mengakui. Lelaki seperti itu kadang-kadang memang perlu disadarkan. Perkataan Nila cukup masuk akal. Namun, apa pun kondisinya, aku tidak akan memulai duluan. Terlebih setelah kejadian kemarin. Semuanya terasa lebih kacau.

"Hai! Kok, melamun di sini?" Yudit datang, menempati ruang kosong di sampingku, yang biasanya selalu diisi oleh Ruwanta. Dari caranya menyapa dan duduk, Yudit lebih tenang. Berbeda dengan Ruwanta yang suka menepuk pundakku agak keras. Cara duduknya banyak gaya, serta bicaranya suka melantur. Dari dulu mereka memang berbeda. Ini tentang orang yang sangat mencintai dan kucintai.

Namun selembut apa pun cara Yudit bicara padaku, aku selalu bingung menanggapinya. Lebih tepatnya, aku tidak berselera mengobrol dengannya.

"Nih, oleh-oleh dari Bali. Mama, loh, yang pilihin." Senyumnya mengembang sempurna saat menyerahkan kotak berwarna ungu pucat. Di salah satu sudutnya terdapat kembang pita putih sebagai pemanis. Bukankah ini sempurna untuk ukuran hadiah di luar momen tertentu? Aku telanjur dibutakan oleh pesona Ruwanta. Sepertinya aku perempuan satu-satunya di dunia ini yang tidak bahagia mendapatkan perlakuan semacam ini dari lelaki sesempurna Yudit. Belum lagi bingkisan yang baru saja aku terima ini dipilihkan khusus oleh mamanya. Kurang apa lagi?

Aku bisa saja membalas cinta Yudit sekarang juga dan melupakan obsesiku terhadap Ruwanta yang hanya berisi harapan kosong belaka. Tapi, mengalihkan perasaan ke lain hati tak semudah memotong rumput di halaman.

Sebuah kaus khas Bali bercorak kelopak petunia mengisi bingkisan tadi. Aku ingat, ini kaus yang di foto waktu itu. Benar, kan? Tanpa kurespons pun, ia tahu yang kusuka. Entah ia yang pilih sendiri atau benar-benar mamanya. Maksudku, keluarga mereka benar-benar paham kesukaanku.

Sama seperti pemberian-pemberian sebelumnya, kaus berbahan halus itu menguarkan harapan. Sesuatu yang meredup, namun tak pernah letih untuk berpijar.

"Kamu suka?" Mata cerlang Yudit sebenarnya enak dipandang lama-lama, seolah tak pernah ada luka di sana.

Aku diam sempurna. Lihatlah, betapa bodohnya aku. Bahkan sekadar tersenyum atau mengangguk untuk sedikit menyenangkan lelaki berhati malaikat ini pun tidak becus.

***


[Bersambung]


Klik link di bawah untuk baca lanjutannya;

KBM

KARYAKARSA

Sabtu, 20 Januari 2024

Benih Terlarang (Bab 6)

 


Lelaki itu ... aku selalu tidak mengerti bagaimana caranya mencintaiku.


---


Aku bangun, mengikuti ritual sarapan bersama mereka. Aku tak yakin benar-benar tidur tadi. Setelah puas menemani Ruwanta menikmati bintang, aku memang kembali ke kamar menjelang pagi, memaksakan untuk tidur. Sepertinya memang berhasil tidur sebentar, meski bayangan senyum si pemilik mata elang itu tak pernah beranjak.

Sarapan pun ada aturannya, tidak boleh makan seenaknya. Sesuatu yang dimakan harus seragam dan serentak, sesuai urutan yang telah ditentukan. Pertama-tama makan buah, minum susu, dan diakhiri sepotong roti bakar tanpa selai. Selainya menyusul setelah rotinya tandas. Gila. Lama-lama liburan ini tak ubahnya sebuah pelatihan militer. Tapi ide yang tercetus entah dari kepala siapa ini, kami berhasil menikmatinya. Ini benar-benar bukan liburan biasa.

Aku mengecek ponsel setelah menghabiskan makananku. Aku hanya menemukan ucapan selamat pagi dari Yudit di WA. Mama benar-benar tidak mencariku.

Agenda hari ini outbound. Karena lokasinya tidak terlalu jauh, kami memilih berangkat menggunakan motor sewaan. Aku berharap bisa berangkat bareng teman berkudaku kemarin. Tapi Tio-si lelaki kribo-sudah lebih dulu meloncat ke boncengan Ruwanta. Aku lekas mengambil alih salah satu sepeda motor yang masih nganggur, alih-alih meredam kekecewaan. Nila serta-merta meloncat ke boncenganku dengan girang. Tangannya langsung melingkar di pinggang, meminta segera berangkat.

"Yuk!" ucapnya, kemudian nyengir.

Kami menyusuri hamparan kebun teh sebelum tiba di jalan raya yang cukup padat. Kami sengaja memilih pusat outbound yang ramai agar bisa berbaur dengan pengunjung lain. Setibanya, kami menyewa pondok berkamar satu untuk sekadar mengamankan barang-barang berharga. Setelahnya, kami langsung berbaur, mencoba berbagai wahana yang ditawarkan. Nila sibuk mengambil gambar dari berbagai sudut, nyaris mengabadikan setiap langkah kami.

Aku tidak begitu suka aktivitas luar ruangan semacam ini. Namun, kali ini mereka berhasil membuatku menikmatinya. Setelah ketagihan dengan beberapa wahana sebelumnya, kecelakaan ringan pun terjadi saat mencoba wahana sky run. Keseimbanganku tidak begitu bagus ketika meniti balok besi yang dipasang setinggi delapan meter. Aku pun terpeleset. Untunglah, tali pengaman yang dipasang oleh instruktur tadi benar-benar berguna.

Meski demikian, sepertinya ada sedikit masalah di kaki kiriku. Kurasakan pergelangannya berdenyut-denyut. Sakit. Ternyata benar, setelah diturunkan, aku kepayahan untuk berjalan. Kakiku terkilir.

"Kamu nggak apa-apa? Bagian mana yang sakit?" telisik Nila saat melihat mimik tak beres di wajahku. Ia memang selalu menyimpan rasa khawatir berlebih terhadap segala hal.

Aku hanya menggeleng, kemudian memintanya memapahku kembali ke pondok penyimpanan barang-barang kami. Sebisa mungkin aku tidak ingin merusak kesenangan teman-teman yang lain.

Melihat tubuh mungil Nila agak kewalahan, Ruwanta berinisiatif menggantikannya. Ia meraih tangan yang kutumpangkan di pundak Nila.

"Sini, biar aku saja," ucapnya kemudian.

Bukannya memapah, Ruwanta malah menggendongku.

"Mau aku temani?" tanya Nila sebelum Ruwanta mengawali langkah, masih dengan ekspresi sekhawatir tadi.

"Nggak usah. Kamu sama yang lain lanjut aja. Setelah baikan, aku gabung lagi, kok."

"Kalau butuh apa-apa, langsung telepon, ya."

Aku mengangguk. Ruwanta mulai melangkah.

Ruwanta menggendongku hingga ke dalam kamar. Kemudian perlahan-lahan mendudukkanku di tepi ranjang. Ia keluar sebentar. Sekembalinya, ia membawa segelas air putih dan kotak P3K. Setelah menyodorkan segelas air tadi, ia langsung beraksi dengan kotak berwarna putih yang entah di mana menemukannya. Barangkali memang sengaja dipersiapkan oleh pihak pengelola.

Ia mengeluarkan sebotol minyak urut dan langsung mengoleskannya ke bagian yang tampak mulai bengkak. Ruwanta mulai mengurut pergelangan kakiku yang terkilir. Lumayan sakit, membuatku meringis.

"Tahan, ya. Ini nggak akan lama," ucapnya sambil menuang beberapa tetes lagi minyak urut tadi ke telapak tangannya.

Setelah beberapa menit terasa sakit, bahkan nyaris tak tertahankan, perlahan-lahan berangsur membaik. Sekarang benar-benar tidak sakit lagi. Lelaki ini cukup berpengalaman rupanya. Ia masih melanjutkan aksinya, dengan senyum yang sesekali ditunjukkan padaku. Entah sengaja atau tidak, senyuman itu terlalu indah untuk seseorang yang tengah mengurut. Setelah melewati rasa sakit tadi, aku baru mampu membalas senyumannya. Terima kasih yang tersirat.

Tatapan kami terpaut kemudian. Waktu mendadak terasa lambat, seiring gerakan tangan Ruwanta di pergelangan kakiku yang terasa berbeda dari sebelumnya. Ada hal aneh yang mengaliri tatapan kami, dengan cepat menyesaki rongga dada. Sesuatu yang tak mampu kurangkai dengan kata. Senyum kami redam, meski tatapan masih saling mendalami. Tarikan itu merangsek tanpa aba-aba, seketika mempertemukan bibir kami. Entah bagaimana mulanya. Selanjutnya, kami punya cara untuk menepis hawa dingin yang setia menunggangi Kota Bogor.



Perih itu, tak seharusnya kurasakan sekarang. Air mataku meleleh. Penyesalan dan sejumput rasa bahagia mengilhaminya di saat bersamaan. Aku merasakan tubuhku dilumuri dosa paling akut.

Ruwanta baru saja beranjak ke kamar mandi. Tampak tergesa-gesa setelah berhasil mencapai puncak permainan. Ia sedang membersihkan diri. Dari sini, suara guyuran air terdengar jelas. Aku bangkit, meski masih letih. Kupunguti pakaianku yang berserakan di lantai. Setelah terpasang rapi, aku kembali menjatuhkan diri ke pembaringan. Aku tidak berselera melanjutkan aktivitas hari ini. Aku benar-benar kalut. Semuanya terjadi begitu cepat dan di luar kendali.

Bagaimanapun terpesonanya aku sama Ruwanta, tak seharusnya kuserahkan kado terindah yang kupersiapkan untuk lelaki yang menikahiku di malam pertama nanti. Lantas, siapa yang harus disalahkan? Ruwanta sama sekali tidak memaksaku. Aku? Cinta jelas-jelas menolak untuk disalahkan.

"Aku minta maaf. Seharusnya aku bisa mengontrol diri." Ruwanta berucap sambil berpakaian sekembalinya dari kamar mandi.

Posisiku memunggungi Ruwanta. Aku menutup wajah dengan bantal. Ada dua hal yang kusembunyikan di sana: tangis dan malu. Tak perlu kulihat raut penyesalan, rasa bersalah, atau apa pun yang ingin ia tunjukkan. Semuanya sudah terjadi. Aku tak mampu berkata apa-apa.

Kudengar derap kaki Ruwanta menjauh. Entah akan kembali bergabung dengan rombongan, atau sekadar keluar untuk menenangkan pikiran.

***


"Bagaimana kakimu?"

"Udah nggak apa-apa, kok." Aku memaksakan tersenyum.

"Kirain parah. Sampai-sampai kamu nggak bisa gabung lagi."

Udara tidak terlalu dingin malam ini. Aku dan Nila tengah menikmati teh hangat di balkon. Yang lain sedang nonton tivi di bawah. Aku melirik dipan di pojok halaman. Kali ini tak ada Ruwanta di sana. Sedang apa ia sekarang? Apa yang ia pikirkan? Rasa ingin tahuku segala hal tentang Ruwanta berlipat ganda dari sebelumnya, sebelum kejadian tadi siang.

"Padahal tadi seru banget, loh. Masih banyak banget wahana yang sayang jika dilewatkan."

Bukan Nila namanya jika tak heboh. Ia hanya tak tahu bencana yang telah menimpaku tadi. Aku yakin, ia membaca ketidakberesan di wajahku, makanya lebih memilih menemaniku ketimbang ikut seru-seruan dengan yang lain di bawah. Mungkin di pikirannya, penyebab murungku masih sisa insiden terkilir tadi siang. Benar, semua memang berawal dari insiden itu. Ah, sudahlah. Sebisa mungkin kucoba untuk tidak menyesal, atau aku akan hancur dengan sendirinya.

***


Kupastikan gagal menikmati hari libur yang tersisa, seperti apa pun agenda yang telah disusun. Rasanya mau pulang saja. Butuh waktu untuk merenung, memahami dosa besar yang telah kuperbuat. Terlebih hari ini. Kami mengunjungi salah satu pasar tradisional untuk hunting berbagai jajanan khas penduduk setempat. Aku suka kue-kue tradisional, hanya saja perubahan sikap Ruwanta membuatku hilang selera. Meski tak terbaca oleh yang lain, ia seolah menghindariku. Ia mendadak asing, bukan si pemilik mata elang yang kukenal selama ini.

Aku membayangkan ia akan menawariku beberapa jenis kue untuk dicicipi bersama, meminta pendapatku sebelum memutuskan untuk membeli. Biasanya selalu seperti itu. Tapi kali ini, melihatku saja jarang. Ia tampak jaga jarak dan keseringan sok sibuk dengan hal-hal yang tidak penting. Aku juga kehilangan tingkah konyolnya. Liburan ini tidak asyik lagi.

Di hari berikutnya, di berbagai kesempatan aku berusaha mendekati Ruwanta. Aku mulai muak. Tingkahnya sangat biasa. Ia berhasil menganggap kejadian itu tidak pernah ada. Semudah itukah? Setelah sesuatu paling berharga dari diriku ia koyak, tidak bisakah ia memedulikan perasaanku? Yang kami perbuat itu bukan permainan, yang setelah usai lantas dilupakan atau beralih ke permainan lain. Aku harus mengajaknya bicara serius, tentang aku di matanya setelah ia menyesapi keindahan tubuhku. Tapi susah, ia tak pernah terlihat sendiri. Sedang aku tak ingin siapa pun tahu masalah ini. Termasuk Nila.

Aku menyendiri di balkon, tempat yang semakin kusuka sejak Ruwanta membuatku kalut dengan sikapnya yang tak biasa. Senja segera tiba, meracuni langit dengan semburat jingga yang memesona. Pikiranku melambung jauh, kembali ke awal pertemuan dengan Ruwanta. Namun, sulit kutemukan awal ia menjadikanku tawanan pesonanya. Serentetan kenangan lucu, manis, dan segala hal berkelebat kemudian. Kurasa kisah kami telah memasuki babak baru setelah sama-sama larut dalam dekapan setan. Setelah ini ... entahlah! Aku tak menemukan titik terang untuk hubungan kami. Lebih tepatnya, ikatan yang kuperjuangkan selama ini.

Ponselku bergetar. WA dari Yudit mengangkatku dari lamunan.

Yudit: Bagaimana liburannya? Semoga menyenangkan. Cuaca di Bogor tentu selalu dingin. Kalau mau beraktivitas di luar ruangan, jangan lupa pakai sweter, ya! Ditambah syal pemberianku juga boleh. Hehehe .... Jaga diri kamu baik-baik!

Dari mana Yudit tahu aku ada di sini? Ah, sudahlah. Ia memang selalu tahu segala hal tentangku. Lelaki itu ... aku selalu tidak mengerti bagaimana caranya mencintaiku. Ia tetap baik dan perhatian seperti dulu, bahkan setelah jelas-jelas aku membohongi sekaligus menolak ajakannya ke Bali. Sepintas aku teringat syal yang ia maksud. Syal ungu bermotif kelopak petunia. Entah kusimpan di mana benda malang itu. Aku tidak pernah memakainya.

Kali ini jemari tanganku tergerak untuk mengetik pesan balasan.

Senja: Terima kasih!

Terkirim. Tiba-tiba air mataku menderas.

Aku gagal jaga diri, Yud ....

***


[Bersambung]


Klik link di bawah untuk baca lanjutannya;

KBM

KARYAKARSA