Sabtu, 06 Januari 2024

Rahasia Idola (Bab 7)

 


Gilang mengenali sedan hijau yang terparkir di pinggir jalan depan rumah keluarga Delon, mobil Aira. Cewek itu pasti datang mencarinya. Gilang belum sekali pun menceritakan soal kepindahannya ke rumah ini, tapi bukan hal baru jika Aira gampang melacak keberadaannya.

Berawal dari kekaguman saat menyaksikan aksi Gilang di lapangan basket saat PORSENI di tahun kedua, Aira mulai mencari tahu apa-apa soal cowok bermata sipit itu. Selaku model yang diberkahi wajah cantik, Aira tahu betul bagaimana tampil menarik di setiap kesempatan. Berbekal semua itu, dengan mudah ia bisa mendekati teman-teman Gilang untuk mengorek informasi.

Aira tak butuh waktu lama untuk mengantongi banyak hal yang dirasa cukup untuk mengenal Gilang lebih jauh. Kecuali soal kegemarannya menulis puisi, ia baru tahu setelah Gilang menelurkan buku perdananya beberapa bulan yang lalu. Hal itu seolah menegaskan, bahwa ia belum benar-benar berhasil memasuki kehidupan Gilang.

Gilang tak pernah menepis pertemanan yang ditawarkan Aira. Siapa yang tidak senang berteman dengan cewek sepopuler Aira? Hanya saja Gilang mulai jaga jarak ketika Aira tampak menginginkan lebih. Terlebih saat ia benar-benar memintanya di awal semester ganjil tahun ketiga.

Tidak ada yang salah dengan Aira. Cowok mana pun pasti akan tertarik ketika ia memasang senyum simpul dengan sepasang mata bulat yang benar-benar hidup. Termasuk Gilang sebenarnya. Hanya saja untuk menjalin hubungan yang pernah diminta Aira, entah kenapa, Gilang belum merasa klik.

Gilang melangkah masuk setelah memarkir mobil di garasi. Dari ruang tamu ia bisa mendengar suara-suara akrab yang sesekali diselingi tawa sedang mengobrol entah apa di ruang tengah--suara Aira dan Tante Maya. Yang benar saja mereka langsung seakrab itu?

Setibanya di ambang pintu ruang tengah, Gilang melihat Aira dan Tante Maya duduk di sofa panjang dan benar-benar terlihat akrab. Sedang Delon berbaring hanya beralaskan karpet bulu di depan tivi. Tante Maya dengan antusias menunjukkan album koleksi resep kue keringnya. Aira yang memang juga hobi bikin kue, menyimak tak kalah antusias.

Naluri ingin memiliki anak perempuan lagi-lagi tampak jelas dari gerak-gerik Maya saat berinteraksi dengan Aira. Di usia pernikahannya yang sudah 21 tahun, Tuhan belum juga memercayakannya merawat bayi perempuan. Kakak Delon laki-laki, meninggal di usia 14 tahun karena leukimia. Adik Delon lagi-lagi laki-laki, bocah kelas enam SD yang sangat sulit ditemukan di rumah di jam segini.

Keseruan dua perempuan beda generasi itu terjeda saat menyadari kehadiran Gilang.

"Eh, Gilang. Kamu sudah pulang rupanya. Saking serunya ngobrol sama Aira, Tante sampai nggak dengar suara mobil kamu." Maya menutup album resepnya lalu menyelipkannya di bawah meja.

Sadar Gilang sudah pulang, Delon langsung bangkit menghampirinya.

"Lo sama Alea mampir ke mana dulu? Kok, baru nyampe rumah?"

Gilang mengernyit menerima todongan dari Delon. Ia bahkan belum bergeser dari ambang pintu.

"Gue lihat Alea masuk ke mobil lo," terang Delon seolah paham ekspresi Gilang.

"Lo mata-matain gue?"

"Yaelah, cuma nggak sengaja lihat."

Sekarang Gilang paham, Delon tidak benar-benar nonton tivi tadi, tapi sedang menunggunya. Lagian tumben jam segini ia turun ke ruang tivi, biasanya juga di kamar lantai atas, sibuk dengan laptopnya.

"Gue nggak mau lo cuma mainin Alea." Delon memelankan suaranya, tapi memastikan Gilang masih bisa mendengarnya dengan jelas.

"Maksud lo?"

"Tuh, permaisuri lo dari tadi nungguin."

Sekilas Gilang menatap Aira, permaisuri yang dimaksudkan Delon. Cewek itu masih mengenakan seragam sekolah. Pasti dari sekolah langsung ke sini.

"Eh, ngapain malah ngobrol di situ?" sela Maya. "Ayo duduk sini. Saya mau kalian nyobain kue bikinan Aira tadi. Rasanya benar-benar enak. Pokoknya nggak nyesel." Maya memastikan kedua cowok itu duduk bergabung bersama Aira sebelum ia beralih ke dapur.

Ruang tivi mendadak kaku. Delon sebenarnya ingin langsung ke kamar, membiarkan Gilang menyelesaikan urusannya dengan cewek cantik itu. Tapi Delon tidak akan berani menolak mencicipi kue Mama. Uang saku taruhannya. Maka ia hanya bisa terenyak pasrah di samping Gilang, menunduk, seolah memberi ruang jika memang ada hal penting yang harus dibicarakannya dengan Aira.

"Dari tadi?" Gilang memulai dengan kikuk. Entah kenapa harus sekaku itu, padahal tidak pernah benar-benar ada masalah di antara mereka.

Aira hanya menggeleng, masih disertai senyum simpul yang selalu membuatnya terlihat manis.

Gilang yakin, gelengan itu mengandung arti bertolak belakang. Buktinya, ia sempat membantu Tante Maya bikin kue, yang tentu butuh waktu di atas 30 menit.

Maya hadir kembali dengan senyum antusias penuh percaya diri. Baki di tangannya berisi setoples kue dan tiga gelas susu cokelat yang masih berhiaskan asap tipis di permukaannya.

"Saya jamin kalian pasti suka," katanya sambil meletakkan sajiannya di atas meja.

Aira cekatan meraih sendiri gelas susu untuknya, bermaksud membantu.

Tanpa aba-aba lebih lanjut, Delon dan Gilang lekas mengambil sebiji. Dimakannya pelan-pelan.

"Gimana, enak, kan?"

"Em ... enak banget, Tante," seru Gilang sambil manggut-manggut.

Sedang Delon hanya mengacungkan jempol kirinya.

"Tuh, kan! Aira, loh, yang bikin." Maya mengusap lengan Aira. Ada kasih sayang yang mengalir di sana. Aira bisa merasakannya. "Tante senang, deh, kalau kamu mau sering-sering main ke sini. Tante jadi punya teman. Soalnya mereka susah banget disuruh bantuin Tante bikin kue. Banyak alasan." Maya mencebik ke arah dua cowok di depannya.

Aira tersenyum geli, membanyangkan ekspresi Gilang saat diminta membantu hobi Tante Maya di dapur.

"Gilang, kalau nggak suka bantuin Tante bikin kue, kamu harus sering-sering ajak Aira ke sini!"

Tenggorokan Gilang mendadak terasa kering, nyaris tersedak. Ia melegakannya dengan aliran susu hangat, lalu pura-pura mengiyakan permintaan Tante Maya.

"Gue ke sini mau ngasih undangan ini." Aira mengeluarkan amplop kecil bercorak kembang-kembang dari tas selempangnya dan meletakkannya di atas meja.

Menyadari kemungkinan adanya pembicaraan yang tak seharusnya mereka campuri, Maya beranjak setelah memberi kode mata kepada Delon untuk meninggalkan ruangan itu juga. Delon memang tidak berminat berlama-lama di situ. Ia membawa serta susu cokelatnya.

Setelah ditinggal berdua, malah hening sesaat.

"Lo masih ingat, kan, hari ulang tahun gue?"

"Inget, kok." Gilang meraih kartu undangan yang tadi disodorkan Aira, tanpa menatap si pemberi.

"Kita benar-benar nggak bisa kayak dulu lagi, ya?"

"Nggak ada yang berubah, kok, Ra." Gilang sebenarnya antara tidak suka dan tidak tega jika Aira mulai memperdengarkan suara bergetar seperti barusan. Pertanda cewek itu merapuh lagi, merasa terabaikan dan tersakiti lagi.

"Gue masih ingat, lo begitu antusias nyiapin pesta ulang tahun gue tahun kemarin. Tapi sekarang? Mau datang aja, gue kurang yakin."

"Bukannya nggak peduli lagi. Tapi ... lo tahu sendiri, kan, sekarang kita udah beda sekolah, gue juga udah pindah ke sini, otomatis segala sesuatunya nggak segampang dulu lagi."

"Lo sengaja, kan, merancang semua ini? Biar lo bisa ngehindar dari gue."

Gilang menghela napas berat. Mereka sudah sering melalui percakapan seperti ini. Entah bagaimana lagi menjelaskan kepada cewek di depannya tentang perubahan-perubahan yang sulit diterimanya belakangan ini.

"Gue pasti datang, kok." Gilang tersenyum meyakinkan, memastikan Aira tidak meneteskan air mata.

Bahkan dipaksakan pun, senyum itu tetap damai di hati Aira. Entah sudah sedalam apa cinta tak berbalas yang masih terus diyakininya itu.

"Oh ya, karier lo apa kabar? Lo beneran nolak tawaran kerjasama dengan brand luar itu?" Pengalihan basi sebenarnya, tapi cuma obrolan seputar karier modelling-nya yang bisa disambut Aira tanpa perlu basa-basi panjang lebar.

"Iya. Mama-Papa nggak ngizinin. Katanya harus lulus dulu dengan nilai bagus, baru boleh ngambil job yang menyita banyak waktu." Senyum Aira perlahan-lahan kembali hadir, dan mulai menceritakan pengalaman-pengalaman baru yang ia dapatkan di lokasi pemotretan belakangan ini.

Gilang masih seantusias dulu, menyimak kata per kata yang keluar dari mulut Aira. Tapi tetap, ia masih belum bisa melebihkan status teman di antara mereka.

***

Dengan tampang gusar Alea menumpahkan semua isi tas sekolahnya di atas meja belajar. Ia langsung mengacak-acak setelah buku-buku serta alat tulis berserakan di sana. tampangnya semakin tak keruan setelah tidak menemukan sesuatu yang dicarinya.

Gerakan tangannya terhenti, mencoba mengingat-ingat kembali. Ia yakin membawanya ke sekolah tadi pagi. Lalu, ke mana perginya? Terjatuh di suatu tempat? Oh, God, betapa Alea tidak ingin kehilangan. Tubuhnya merosot di kursi, lalu menopang kepalanya yang mulai terasa berat dengan kedua tangan yang bertumpu di siku. Saat itulah ponsel di samping kanannya bergetar. Rupanya WA dari Gilang. Ia mengirimkan gambar.

Gilang mengirimkan foto benda yang membuat Alea panik lima detik sebelumnya, mobil-mobilan kayu berwarna merah.

Gilang : Merasa kehilangan ini?

Demikian captionnya.

Alea terbelalak dengan mulut menganga pula.

***

[Bersambung]

Klik link di bawah untuk baca lanjutannya;

KBM

KARYAKARSA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar