Selasa, 02 Januari 2024

Rahasia Idola (Bab 3)

 


Alea meluruskan punggung setelah mengkhatamkan novel yang harus di-review-nya minggu ini. Ia meraih ponsel di sisi bantal. Tanpa peduli dengan tumpukan notifikasi dari berbagai sosial media, ia langsung buka Wattpad, mana tahu ada puisi terbaru Gilang yang ia lewatkan.

Ternyata belum ada pembaruan sejak sore tadi. Kendati demikian, ia tetap berlama-lama di sana, mencecap kembali puisi-puisi kemarin yang selalu terasa baru untuknya. Selesai membaca dua-tiga puisi, tatapannya beralih ke tubuhnya sendiri yang dilapisi kaus bertandatangan Gilang. Senyumnya seketika mengembang, ada bahagia yang menyusup.

Ia membuka galeri foto dan menemukan satu-satunya foto bersama Gilang yang diambil tadi sore. Ah, harusnya bisa ada dua-tiga foto, dan posenya tidak sekaku ini, rutuknya dalam hati. Sedetik kemudian ia kembali tersenyum. Yang satu ini juga sudah sangat spesial. Tiba-tiba rasa ingin berterima kasih meluap di benaknya. Ia memang sempat berterima kasih secara langsung tadi, tapi di tengah kebisingan suara-suara iri penggemar yang lain, sepertinya Gilang kurang menyimak.

Alea bermaksud mengirimi Gilang DM, ia sudah mengetiknya malah, ketika kembali berpikir untuk benar-benar mengirimnya atau tidak. Dalam sekali tarikan napas panjang, akhirnya jempolnya mengetuk ikon send dan cepat-cepat menyelipkan ponselnya di bawah bantal. Jantungnya mendadak bekerja lebih cepat dari biasanya, dan ia gelisah bukan main.

Alea meraih kembali ponselnya setelah bergetar, dan langsung menemukan pesan balasan dari Gilang.

Gilang : Sama-sama.

Balasan itu disertai smile emoticon. Tangan dan kaki Alea seketika menghentak asal tak keruan saking senangnya. Ia tak menyangka Gilang akan merespons pesannya secepat itu, mengingat pasti banyak sekali fans yang mengiriminya DM.

Alea menghentikan celebration-nya setelah menyadari satu hal, ia wajib pamer sama kedua sahabatnya.

Alea : Gila, Gilang bales DM gw.

Teks itu langsung meluncur ke WA Delon dan Ratih.

Delon : So?

Alea : Ah, lo nggak asyik!

Tidak ada lagi balasan dari Delon. Kalau sama Ratih pasti jadi panjang urusannya. Tapi, tumben memasuki menit kelima, Miss Drama itu belum juga merespons.

***

Alea sedang mengikat tali sepatunya ketika panggilan Ratih menggetarkan ponselnya. Ia mengeluarkan benda persegi gepeng itu lalu menjepitnya di telinga dengan pundak.

"Halo, Rat."

"Gue nggak bisa masuk, nih, lagi kurang enak badan. Lo minta jemput sama Delon aja, ya!"

"Oh, oke. Cepat sembuh, ya."

"Oh ya, chat lo semalam baru gue baca tadi. Jadi apa kata Gilang? Kalian ngomongin apa aja?"

Alea memutar bola mata. Padahal lagi sakit, tapi masih saja kepo. "Nggak usah ngomongin itu dulu. Udah jam berapa ini, takut telat." Alea memutus sambungan telepon. Ia beralih menelepon Delon.

"Lo di mana?" tanyanya langsung begitu Delon menyahut di seberang sana.

"Masih di jalan."

"Belum lewat rumah gue, kan?"

"Belum. Kenapa?"

"Ratih nggak bisa masuk hari ini. Gue nebeng sama lo, ya!"

"Siap!"

Entah kapan cowok itu tidak bilang "siap" setiap kali Alea minta tolong. Meski tak pernah diungkapkan terang-terangan, Alea sangat bersyukur memiliki sahabat seperti Delon dan Ratih, yang bisa ia jadikan tempat pelampiasan apa pun. Sikap saling mengerti serta tidak mudah tersinggung yang membuat persahabatan mereka awet sejauh ini, sejak tahun pertama masa putih abu-abu.

Waktu kelas X mereka bertiga sekelas. Tapi setelah naik kelas XI, Alea dan Ratih di IPA 2, sedang Delon terpisah di IPA 1. Tidak terlalu masalah, kelas mereka berdempetan, tetap bisa ngerusuh tanpa batas.

Kesekian kalinya Alea melirik jam tangannya ketika mobil sport hitam mengilap memelan dan berhenti tepat di depannya. Sejenak ia abai, menengok lagi ke ujung jalan, menanti Delon muncul bersama Ninja-nya. Perhatiannya tersita ketika kaca jendela mobil turun dan senyum Delon mengembang di sana.

"Delon?"

"Iya, kali ini gue datang dengan mobil keren, tapi nggak usah mangap gitu, dong."

Alea masih terperangah. Delon punya mobil mewah dan sopir pribadi? Sejak kapan?

"Mau masuk sendiri atau gue gendong?"

Alea tersadar. Ia menarik pintu belakang dan bergegas masuk. Alea merapikan rok setelah mobil mulai berjalan pelan.

"Sori, ya, mobilnya rada berantakan. Di jok belakang suka ada remah keripik soalnya."

Alea sempat memeriksa keadaan di sekitarnya ketika menyadari satu hal, suara tadi bukan suara Delon. Lantas, sopirnya? Alea menegakkan kepala. Saat itulah ia mendapati senyum itu. Iya, senyum Gilang. Alea sempurna mematung. Waktu terasa berhenti selama mereka berpandangan. Alea berusaha menemukan kesadarannya ketika Gilang sudah kembali fokus mengamati jalanan.

Berangkat ke sekolah menggunakan mobil mewah dan disopirin Gilang? Tidak! Ini pasti cuma mimpi! Mulai dari ia mengikat tali sepatu sambil menerima telepon Ratih tadi, itu hanya mimpi. Bisa jadi sekarang raganya masih beringsut di balik selimut yang berusaha ditarik paksa oleh Mama.

"Mulai hari ini Gilang pindah ke sekolah kita." Delon akhirnya bersuara.

Mereka satu sekolah? Sempurna. Ini benar-benar cuma mimpi.

Menyadari sedang disopirin Gilang, dan sekarang malah satu sekolah, harusnya Alea senang bukan main. Tapi ... nyatanya tak begitu. Apa-apaan ini? Entahlah! Alea masih terus-terusan beranggapan ini cuma mimpi, meski sudah beberapa kali meringis akibat mencubit lengan sendiri.

"Kok, diam aja, sih, Al?" Gilang kembali bersuara, tapi kali ini tanpa menoleh.

Gilang menyapa Alea seakrab itu? Mereka, kan belum benar-benar kenalan. Alea semakin tidak berdaya.

***

Jam pelajaran pertama dilalui Alea dalam renungan. Terlebih tak ada Ratih yang suka usil di sampingnya. Pikirannya masih berputar di 30 menit terakhir. Bahkan ketika ia menjabat tangan Gilang di parkiran tadi untuk perkenalan yang sesungguhnya, ia masih belum percaya dengan yang dilaluinya pagi ini. Tadi ia langsung memisahkan diri, sedang Delon mengantar Gilang ke ruang tata usaha. Alea bahkan tidak sempat tahu kelas Gilang.

"Lo sakit?" tanya Delon ketika mereka bertiga sedang makan di kantin. Ya, bertiga sama Gilang.

Alea hanya menggeleng.

"Lo benar-benar beda hari ini."

Tampak jelas Alea malas menanggapi.

"Oh, gue tahu. Lo pasti jaim karena ada Gilang, kan?"

"Apaan, sih, lo?" Alea menyikut Delon.

Gilang senyum-senyum saja.

Sungguh, jaim bukan sifat Alea. Entah kenapa kalau sekarang malah terlihat seperti itu.

Gilang memang bukan artis sinetron, hanya penulis puisi yang kebetulan berhasil menarik perhatian pengguna Wattpad. Kemunculannya juga baru beberapa bulan terakhir. Wajar jika kehadirannya hanya terdeteksi beberapa orang saja, yang kebetulan segolongan dengan Alea—gila baca.

Tapi nyatanya siang ini, seisi kantin mengarahkan pandangannya ke Gilang. Yang cewek tentu saja terpikat sama ketampanannya. Benar kata Ratih, sepintas Gilang memang mirip Song Joong Ki. Sedang yang cowok ... entah! Sepertinya merasa tersaingi.

Di tengah bisik-bisik pengunjung kantin perihal Gilang, Alea sempat menyimak pembicaraan cowok yang sudah dipastikan jadi idola baru di sekolahnya itu dengan Delon. Biasa, basa-basi antar cowok. Tapi dari situ Alea jadi tahu, Gilang di kelas XII IPS 3.

***

Ponsel Alea bergetar setibanya di kamar Ratih. Sepulang sekolah ia langsung menjenguk sahabat super cerewetnya itu.

Delon : Lo di mana?

Alea malah bengong sesaat setelah membaca WA dari Delon.

Alea : Di rumah Ratih.

Delon : Kok, nggak bilang-bilang?

Alea tidak membalas.

Delon : Tadi mau ngajakin pulang bareng. Gue samperin ke kelas, lo udah ngilang.

Alea mengantongi kembali ponselnya.

"Habis chat sama siapa? Kok, tampangnya gitu?"

"Biasa, Delon nyariin."

"Lo nggak bilang mau ke sini?"

Alea hanya menggeleng. Ia mengeluarkan kembali ponselnya setelah dirasanya bergetar.

"Delon, ya?" todong Ratih. "Kalau mau ke sini suruh mampir ke minimarket dulu, suruh beli snack yang banyak."

"Bukan. Ini email pengumuman pencarian host untuk booktour buku kedua Gilang."

"Lo nggak diterima, ya?" Ratih sengaja memelankan suaranya.

"Diterima, kok!"

"Terus, kenapa tampang lo biasa-biasa aja?"

Alea menarik napas panjang dan mengembuskannya dengan cepat. Entah ada apa dengannya. Selama ini salah satu hal yang bisa membuatnya bahagia, adalah saat membaca puisi-puisi Gilang. Ia tahu cara menikmatinya tanpa penulisnya harus hadir di hari-harinya. Sama sekali tidak ada yang salah jika sekarang ia satu sekolah dengan Gilang. Tapi ada semacam keganjalan yang ia sendiri belum bisa menguraikan. Mungkin ini hanya sisa-sisa ketidakyakinannya pada kejadian sejak tadi pagi.

"Gilang pindah ke sekolah kita."

"What?" Meski sedang sakit, Ratih tetap memperlihatkan reaksi berlebih. Bahkan, ia sampai bangkit dari baringnya. Sekarang duduk sambil memeluk bantal, menunggu Alea kembali bersuara.

"Lo mau tahu apa lagi? Intinya, sekarang kita satu sekolah dengan Gilang."

"Kok, bisa? Alasannya? Dia di kelas mana? Anak-anak langsung pada ngomongin, nggak?"

"Tahu, ah!"

"Kalau gitu gue harus masuk besok, gue harus cari tahu sendiri. Lo emang selalu payah ngorek informasi."

"Lo udah sehat?"

Ratih mengangguk mantap, membuat Alea geleng-geleng tak habis pikir.

***

[Bersambung]


Klik link di bawah untuk baca lanjutannya;

KBM

KARYAKARSA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar