Jumat, 12 Januari 2024

Rahasia Idola (Bab 10)

 


Gilang menolak ke rumah sakit. Ia hanya meminta Alea membantu membersihkan lukanya. Sekarang mereka berada di taman kota, setelah sebelumnya mampir ke apotek membeli cairan pembersih luka, kapas, betadine, dan plester luka.

Gilang meringis ketika Alea mulai mengusapkan kapas yang telah dibasahi cairan anti bakteri ke luka-lukanya.

"Lo kenapa nggak bilang itu pestanya Aira?"

"Kalau gue bilang, lo pasti nggak mau ikut."

"Tapi kejadiannya nggak akan kayak gini." Alea menuang lagi cairan pembersih ke kapas di tangannya.

"Kalau dengan bonyok gini lo jadi perhatian, gue rela, kok."

Gerakan tangan Alea berhenti, lalu menggantung di udara ketika Gilang menikamnya dengan tatapan penuh makna. Alea ingin berpaling, tapi susah.

"Gue nggak akan nyuruh lo belah dada gue biar bisa percaya, itu terlalu mengerikan." Gilang menyingkirkan kapas yang terapit di jemari Alea, lalu meletakkan tangan itu di dadanya. "Tapi coba rasakan ini, adakah detak keraguan?"

Alea bisa merasakan debaran jantung Gilang, yang sebenarnya tidak seberapa dibanding debaran jantungnya sendiri.

"Gue serius sayang sama lo, meski cara gue menyampaikannya mungkin terlihat main-main."

Alea menarik tangannya. "Jangan ngaco!" lalu pura-pura sibuk mengambil kapas baru dan kembali membasahinya dengan cairan pembersih.

Kali ini Gilang benar-benar kesakitan, sebab Alea melakukannya tak selembut tadi.

"Nanti lo nganterin pulang sampai pagar aja, ya. Nggak usah masuk."

"Kok...?"

"Kalau Mama lihat lo bonyok gini, bisa panjang urusannya. Lo nggak mau, kan, izin keluar sama lo diblokir sama Mama?"

Gilang manggut-manggut. "Terus, jawaban lo?"

"Muka bonyok gini masih mikirin cinta." Alea bersungut sambil memasang plester luka di ujung alis kiri Gilang.

Gilang tersenyum geli. Ia paham betul, cewek di depannya ini sedang berjuang keras mengatasi salah tingkah, yang sepertinya kurang berhasil.

***

Gilang ingin masuk, tapi teringat perkataan Alea tadi. Lebih baik menurut kali ini, daripada izin keluar Alea diblokir. Ia memegang pagar besi rumah Alea yang hanya setinggi dada, sambil memerhatikan langkah kecil cewek itu yang membawanya perlahan-lahan menjauh.

Selangkah lagi tiba di teras, tiba-tiba Alea berbalik, tampak ragu-ragu sebelum akhirnya menegakkan kepala dan mempertemukan tatapannya dengan Gilang.

"Thanks untuk malam ini."

"Karena gue bonyok?" Gilang menunjuk wajahnya, lalu terkekeh.

Alea mulai menyukai sepasang mata Gilang yang nyaris berupa garis saja ketika terkekeh seperti itu.

"Lo bonyok karena tidak terima cowok tadi ngatain gue. Jujur, gue terharu." Intonasi suara Alea sangat berbeda kali ini, ada sedikit getaran di ujungnya. Hal itu memaksa Gilang menghentikan kekehannya. Menyadari telah berbuat sesuatu yang bernilai di mata Alea, tiba-tiba Gilang merasakan hatinya dihuni ribuan kupu-kupu, penuh warna.

"Lo masih nunggu jawaban, kan?"

Deg!

Gilang yakin, sekian detik jantungnya berhenti berdetak. Tanpa sadar ia mencengkram pagar besi di depannya lebih kuat. Ia butuh pegangan lebih dari sekadar pagar jika Alea menolaknya.

"Ya!"

"Ya?" Gilang mengernyit.

Alea mengangguk.

"Lo, gue ...?"

Alea kembali mengangguk, disertai senyum lebar kali ini.

Maka lihatlah Gilang, ia langsung memeragakan tarian yang entah dipelajarinya dari suku mana. Ia belum pernah sekonyol itu sebelumnya.

Alea terpingkal-pingkal sambil memegangi perutnya.

Tanpa sadar Gilang melangkah melewati pintu pagar, tapi Alea buru-buru meluruskan tangannya ke depan, stop, katanya lewat tatapan.

Gilang menurut. Yang penting ia sudah berhasil memenangkan hati satu-satunya cewek yang mampu membuatnya bertingkah konyol seperti tadi. Ia berjalan mundur sambil melayangkan ciuman jauh.

Alea merespons, pura-pura menangkap lalu meletakkan di dadanya. Hal itu lagi-lagi membuat Gilang bertingkah konyol di samping mobilnya.

***

"Tahu, nggak, pagi-pagi matahari ngaduh sama Papa." Hadi berucap santai sambil mengoles rotinya dengan selai kacang.

Alea mengernyit, berhenti menyendok nasi gorengnya. Papa memang sering menggodanya, tapi kali ini ucapannya benar-benar absurd.

"Katanya, wajahmu mengalahkan sinarnya hari ini."

"Apaan, sih, Pa?"

"Papa senang, deh, lihat kamu senyum-senyum terus. Ada apa, sih? Habis dapat banyak paket buku, ya?"

Alea meletakkan sendoknya, meneguk isi gelas di sampingnya, lalu menepuk-nepuk pipinya. Ia juga tidak menyadari kalau sedari tadi senyum-senyum sendiri.

"Bukan karena dapat paket buku, Pa, tapi tadi malam habis jadian," sela Rahma yang muncul dari arah dapur bersama tiga gelas susu hangat. Meski sudah berpakaian dinas, Rahma tetap gesit menyiapkan sarapan untuk keluarga kecilnya.

Alea mendadak kenyang, lalu salah tingkah. Padahal ia bermaksud menyembunyikan fakta jadian itu dari kedua orangtuanya untuk beberapa waktu. Bukan karena belum diizinkan pacaran, tapi tidak ingin di-bully seperti yang akan berlangsung.

"Masa, sih?" Saraf-saraf kepo Hadi langsung beraksi.

"Mama ngintip, ya?" Alea memasang tampang pura-pura sewot.

"Bukan ngintip, tapi nggak sengaja lihat Gilang kasih ciuman jauh. Terus kamu tangkap, Hap ...." Rahma mempraktekkan gaya Alea tadi malam. "Terus kamu taruh di dada seperti ini." Rahma menjelma jadi pemain teater yang sengaja mendramatisir adegannya, membuat Alea mual.

Alea buru-buru meminum susu yang tadi diletakkan Mama. Semoga susu ampuh mengusir rona merah yang pasti memenuhi pipinya saat ini.

"Pokoknya, Papa kalah romantis dari Gilang."

Sepasang suami istri itu tertawa puas, sedang Alea merasa ditelan hidup-hidup.

Alea memutuskan mundur dari serangan Papa-Mama ketika ponsel di saku seragamnya bergetar. WA dari Gilang.

Gilang : Sayang, aku udah di depan.

Sayang? Aku? Ya, sepertinya memang tidak perlu perundingan khusus untuk kedua perubahan kecil itu. Alea hanya merasa geli, belum terbiasa.

"Gilang udah jemput, ya? Suruh masuk dulu, dong. Sekalian sarapan bareng," usul Rahma sambil main mata dengan suaminya.

"Nggak! Bisa-bisa sarapan ini berubah jadi acara talkshow." Alea mengantongi kembali ponselnya, lalu meraih tas selempang yang disampirkan di sandaran kursi. "Pa, Ma, Alea duluan, ya." Alea beralih mencium tangan kedua orangtuanya, lalu berlari-lari kecil ke luar, mengabaikan senyuman mereka yang seolah sedang merencanakan sesuatu yang berpotensi mengganggu ketentramannya.

***

"Jujur, deh, yang ngeroyok lo sampai bonyok gitu anak-anak SMK Garuda lagi, kan?" Delon ketemu Gilang di pertigaan koridor saat jam pulang, tampak sedang menunggu seseorang.

"Gue harus ngomong berapa kali, sih? Serius, ini hanya masalah kecil di pesta Aira tadi malam. Namanya juga cowok."

Padahal mereka sudah membahas hal ini tadi malam. Delon hanya tidak suka kalau sepupunya itu masih berhubungan dengan anak-anak SMK Garuda, musuh bebuyutan sekolah lamanya. Karena itulah Delon bersikeras membujuk Gilang pindah ke sekolah ini agar terhindar dari rutinitas tawuran yang pernah hampir melenyapkan nyawanya.

"Hei, ternyata udah pada nungguin di sini." Dari jarak lima meter Ratih berlari-lari kecil sambil menyeret Alea. "Kita jadi jalan, kan? Nonton. Makan. Gilang yang traktir," sembur Ratih kegirangan. Ia benar-benar sudah melupakan perasaannya terhadap Gilang. Semoga benar-benar hanya emosi sesaat.

"Ada apa, nih?" Delon mengernyit. "Perasaan, ultah lo masih jauh, deh."

"Lo, mah, emang selalu kudet. Gilang sama Alea, kan, baru jadi ...." Ucapan Ratih tenggelam dalam bekapan Alea.

Ratih menggeliat dan menepis tangan Alea. "Kenapa, sih, lo?"

"Jangan kenceng-kenceng ngomongnya!"

"Malu? Masa punya cowok sepopuler Gilang nggak diumumin ke dunia?" cerocos Ratih sambil merapikan posisi bandananya yang agak geser selepas aksi pembekapan tadi.

"Kalian pacaran?" Delon menatap Alea dan Gilang bergantian.

Gilang mengangguk antusias dengan tatapan berbinar. Sedang Alea, buru-buru jongkok merapikan tali sepatu yang baik-baik saja.

"Aduh, nanti aja ngobrolnya. Udah lapar, nih!" Ratih mengerucutkan bibir.

"Oke. Pakai mobil gue aja, ya." Gilang hendak beranjak.

"Eh, gue nggak ikut, ya. Kebetulan ada jadwal latihan futsal."

"Bukannya lo latihan dua kali seminggu? Senin Rabu kemarin, kan, udah." Ratih menatap curiga, merasa ada yang disembunyikan sahabat yang lebih mirip partner perangnya itu. Ratih memang tipikal sahabat yang langka. Omongannya memang kadang nyelekit, tapi diam-diam sangat perhatian. Lihat saja, ia sampai hafal jadwal latihan Delon.

"Sekarang jadi tiga kali seminggu," jelas singkat Delon yang ditutup cengiran lebar.

"Sejak kapan?" timpal Ratih masih belum yakin.

"Sejak rapat panitia kemarin sore."

Ratih memicingkan mata, mencium aroma kebohongan.

"Udah, ah, debat mulu." Gilang menengahi. "Kali ini lo boleh nggak ikutan, tapi next time, nggak ada alasan!" Gilang menepuk pelan pundak Delon. "Kita duluan, ya."

"Yakin, lo nggak mau gabung?" Akhirnya Alea bersuara. Sedari tadi ia merasa aneh dengan sikap Delon yang tidak biasanya terlihat kikuk seperti itu.

Delon hanya menaikkan alis sambil memaksakan tersenyum lebar.

***

[Bersambung]

Klik link di bawah untuk baca lanjutannya;

KBM

KARYAKARSA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar