Rabu, 17 Januari 2024

Benih Terlarang (Bab 3)

 


Baginya, aku tak lebih dari sekadar teman mengobrol yang asyik. Bahkan, ia tak segan bertingkah konyol di depanku. Hal-hal yang kemudian justru menguatkan akar-akar rasa di dada.


---


Seminggu berlalu dengan cepat. Selama itu otakku sibuk membayangkan kejadian-kejadian apa saja yang mungkin akan kulewati bersama Ruwanta. Berkuda mengitari perkebunan teh tentu sangat mengesankan. Bersepeda mengelilingi Kota Bogor sepertinya asyik juga. Atau sekadar memancing, menepi berdua. Ah, membayangkannya saja mampu membuat dadaku sesak-sesak manja.

Mentari pagi meretas sempurna di hari keberangkatan ini. Kabut perlahan-lahan beranjak, menampakkan wajah asri Lembang yang selalu memesona. Dingin menyapa raga. Aku sudah siap dari 15 menit yang lalu. Sweter rajut berwarna ungu dan sehelai syal merah kurasa membuat penampilanku lebih manis. Aku bukan tipe gadis yang suka dandan berlebihan. Tapi hari ini, aku menghabiskan waktu di depan meja rias tak kurang dari 40 menit. Bahkan, aku sampai mengenakan maskara-peralatan kosmetik yang paling jarang kusentuh.

Di Bogor, kami akan menempati vila milik keluarga Nila. Kalau bukan karena Ruwanta, aku lebih memilih mengisi waktu liburan di kota sendiri. Lembang memiliki cukup banyak tempat wisata yang tak kalah menarik dengan tempat-tempat lain. Terlebih hanya untuk ke Bogor. Bukan apa, aku sudah teramat sering ke sana.

Akan tetapi, ini demi si pemilik mata elang itu. Terlebih menurut pengakuan Nila, Ruwanta dan teman-temanya telah merancang konsep liburan ini dengan sangat matang. Selama lima hari di sana dijamin tidak membosankan. Mereka sudah membuat jadwal kegiatan setiap harinya. Akan ada games juga. Seheboh apa pun Nila selalu memaparkan konsep liburan yang disambutnya sangat antusias itu, alasan keikutsertaanku tetap satu, Ruwanta.

Aku menuruni tangga, berpegangan pada railing yang masih menyimpan sisa dingin tadi malam. Anak tangga itu kulalui dengan cepat. Tiba di anak tangga terakhir, aku menoleh ke kamar Mama yang tertutup rapat. Entah ia ada di dalam atau tidak. Aku tidak peduli. Soal keberangkatanku ke Bogor, aku tidak perlu pamit. Aku menghilang berapa lama pun, baginya tak masalah.

Aku mendapati bibi sedang mengepel di beranda, membersihkan ceceran noda yang dari baunya sangat kukenali. Bekas muntahan Mama. Berarti ia ada di dalam kamar tadi, tapi dalam keadaan tidak sadar dan baru saja merepotkan bibi dengan muntah sembarangan.

Lagi-lagi ia pulang pagi. Entah diantar oleh lelaki yang mana. Aku lupa menghitung wajah-wajah yang sering ia temani muncul di depan pintu dalam keadaan berantakan. Hal ini menepis getar-getar halus yang membuat senyumku mengembang sejak tadi malam, berganti genangan bening di tepian mata yang membuat keindahan petunia berayun di pandanganku.

Menyadari kehadiranku, bibi lebih gesit membersihkan ceceran noda itu, memastikan baunya tidak sampai ke hidungku. Entah ia terlalu patuh pada Mama, atau sangat menjaga perasaanku. Perempuan bertubuh gempal dengan rambut yang mulai memutih beberapa helai ini bekerja pada kami sudah sangat lama. Bahkan sebelum aku lahir. Seluk-beluk permasalahan keluarga ini, ia paham betul.

"Pagi-pagi begini, Non Senja mau ke mana?" tanyanya setelah merasa pekerjaannya selesai.

"Aku mau ke Bogor, Bi. Liburan sama teman-teman. Bibi nggak usah bilang sama Mama, ya!" Aku beranjak sebelum air mata menetes di depan perempuan berdaster tadi.

***


Kami sepakat, tidak boleh ada yang bawa mobil. Kami berkumpul di kampus sebelum berangkat bersama-sama menggunakan bus. Sepanjang perjalanan nanti tidak boleh ada yang tidur. Akan ada permainan menceritakan kejadian paling konyol yang pernah dialami. Ini salah satu bagian dari cara mereka membuat liburan kali ini berbeda dari biasanya.

Aku tiba terlalu pagi, mendapati hawa dingin belum beranjak dari kawasan Universitas Advent Indonesia. Yang lain belum kelihatan. Aku menunggu Nila di taman kampus. Tangan kananku menggenggam paper cup berisi cappuccino yang kubeli di penjual keliling di samping gerbang tadi. Hangatnya menjalar perlahan melalui pori-pori telapak tangan. Lumayan. Aku tengah menyesapinya ketika Ruwanta tiba-tiba hadir di sampingku, sedikit mengagetkan.

"Ah, kamu. Beli kopi, kok, cuma satu? Rombongan kita, kan, ada 20 orang," ujarnya dengan ekspresi yang selalu sama. Gerakan kecil di alisnya, senyumnya, suara basnya, semua terangkum untuk memenjarakanku.

"Emang kesepakatannya gitu? Mesti aku yang traktir kopi?"

"Inisiatif, kan, boleh."

"Mau?" Aku menyodorkan paper cup tadi padanya.

Tanpa menjawab, ia meraih dan mulai meneguknya hingga tiga kali. Tingkahnya sukses membuat jantungku berpacu lebih cepat.

"Kok, tumben tidak ada petunia?" tanyanya setelah mengamatiku beberapa saat, mencari corak bunga kecil itu di sweter, syal, sepatu, tas, atau di mana pun yang biasanya memang selalu ada.

"Petunia lagi tidak berbunga. Aku hanya membawa warnanya." Aku tersenyum seadanya.

Sebatas seperti itulah Ruwanta dalam keseharianku. Lelaki hitam manis yang sukses memenjarakanku dalam pesonanya dengan cara teramat sadis. Baginya, aku tak lebih dari sekadar teman mengobrol yang asyik. Bahkan, ia tak segan bertingkah konyol di depanku. Hal-hal yang kemudian justru menguatkan akar-akar rasa di dada.

Akan tetapi, ketika ia membawa sarapan untukku-nasi goreng yang ia masak sendiri di asrama, menemaniku mencari keperluan ini-itu, atau sekadar membuat lelucon ketika melihatku bersedih, membuatku selalu berharap. Perhatian-perhatian kecil macam itu ... sungguh, tanpa maksud apa-apa?

***


[Bersambung]


Klik link di bawah untuk baca lanjutannya;

KBM

KARYAKARSA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar