Kamis, 25 Januari 2024

Benih Terlarang (Bab 10)

 


Haruskah aku diam selamanya?


---


Aku benar-benar tidak tidur tadi malam. Pemandangan Mama bergelayut di lengan Ruwanta, juga ketika mereka berdampingan di meja makan, menghantuiku tanpa jeda. Kupaksa otakku berpikir hingga titik yang belum pernah dicapainya selama ini. Membuat kepala pening serta napas tak beraturan. Aku belum pernah merasa setersiksa ini.

Ruwanta yang harus bertanggung jawab atas kehamilanku sudah tampak di depan mata. Aku bisa saja langsung menggaet dan tak akan melepasnya lagi. Namun, kenapa ia harus muncul sebagai pacar Mama? Aku takut Mama akan semakin hancur setelah mengetahui hal sebenarnya. Namun, aku tidak yakin bisa cukup tangguh untuk menyembunyikannya lebih lama.

Pagi ini, sebelum sinar matahari sempurna menyapu embun, aku sudah membuat sebuah keputusan. Perihal keseriusan Ruwanta, entah apa pun alasannya mendekati Mama, bagiku terlalu drama. Aku yakin, kabar yang berembus benar; ia hanya mengincar harta Mama. Betapa bodoh jika aku membiarkannya. Aku akan menjelaskan kepada Mama. Semuanya. Aku harus mendapatkan pertanggungjawaban dari ayah biologis penghuni rahimku.

Aku keluar kamar, masih dengan pakaian yang sama tadi malam. Mataku perih, tapi sama sekali tidak mengantuk. Aku menuruni tangga dengan cepat. Langsung mencari Mama ke setiap ruangan. Langkah tegesa-gesa tadi terhenti setelah menemukan Mama di ruang makan. Mama yang ditemani Bibi tengah sibuk menyiapkan sarapan. Pemandangan itu membuatku tercengang. Aku mengira akan menemukan Mama terkapar di kamar, tidur bersama botol-botol kosong minuman keras. Tapi nyatanya, aku seolah menemukan sekeping memori usang yang dipaksa terputar ulang. Sosok anggun, senyum tulus itu ... kembali.

"Sayang, kok, mukanya berantakan gitu? Belum cuci muka, ya?" tanya Mama seraya merapikan posisi beberapa piring di hadapannya.

Suara barusan benar-benar hangat seperti dulu.

"Tadi malam ngapain? Kok, langsung tidur nggak ganti baju dulu?"

Aku mematung, masih belum yakin dengan pemandangan yang ada.

"Kok, malah bengong? Ayo sini, sarapan dulu."

Kali ini Mama yang mendekat setelah melihatku tak bergeser sedikit pun. Ia langsung meraih kedua tanganku, menggenggamnya. Ada kehangatan yang mengalun perlahan di sana. Membasahi kuncup, memekarkan sejumput kenangan di masa kecil, ketika Mama masih sering membacakan dongeng pengantar tidur. Aku benar-benar merasa kembali ke sana. terlebih ketika salah satu tangannya membelai pipiku kemudian. Genangan bening perlahan mengaburkan pandangan.

"Mama minta maaf, Sayang, atas semua waktu yang terbuang selama ini. Mulai hari ini, kita akan menemukannya lagi. Mari sepakat melupakan kejadian kemarin. Masa berkabung, masa menjahit luka telah berlalu. Mama telah sembuh dan berhasil lebih kuat." Suara Mama bergetar. Aku tak bisa membaca mimik wajahnya. Kepiluan masih terpancar di sana.

Tak satu pun kata mampu terucap. Dadaku belum cukup lapang untuk memaafkan dan melupakan semua kegilaan Mama selama ini. Namun, genangan tadi luruh saat Mama menarikku ke dalam dekapannya. Sangat erat. Hangat. Belaian tangannya menjamah setiap helai rambutku.

"Tolong, beri Mama kesempatan untuk memperbaiki semuanya, kembali menjadi ibu seutuhnya buat kamu." Mama memperdengarkan kesungguhan. Air mataku menderas.

Mama membawaku ke meja makan. Kemudian menarik kursi dan mempersilakan duduk. Ia menuang susu hangat untukku, juga meletakkan sepotong roti bakar yang sudah dilumuri selai kacang di atas piring kecil di hadapanku. Suasana seperti ini ... sudah lama tidak terjadi. Lamat-lamat kudengar isak tangis Bibi yang berusaha ia sembunyikan dengan pura-pura sibuk mengerjakan hal yang tidak terlalu penting. Sepertinya Bibi terharu, ikut bahagia.

"Ayo dimakan, Sayang!" pinta Mama setelah melihatku masih mematung.

Aku meraih gelas tadi, menuntun secuil isinya merayapi tenggorokanku. Hangat. Sehangat suasana yang mendadak kembali ini.

Aku memerhatikan Mama yang tengah sibuk mengoleskan selai pada roti yang baru dikeluarkannya dari alat pemanggang. Make up menor ia singkirkan, kecantikan alaminya kembali. Namun, benarkah? Sungguh, Mama yang dulu sudah kembali? Lantas, setega apa jika aku harus mengacaukannya lagi?

Aku lega telah menemukan Mama kembali, meski diam—menyembunyikan masalah sebenarnya—bukan keputusan yang tepat.

***


Hari ini semuanya terasa kacau. Aku tidak bisa fokus ke materi yang disampaikan dosen. Hubungan Mama dan Ruwanta membentuk lingkaran hitam di benakku. Semakin membesar dan bertambah pekat. Akhirnya aku izin ke toilet, padahal ingin melarikan diri ke taman untuk mencari udara segar. Aku merasa semakin penat!

Aku belum sempurna merelakan hubungan Mama dengan Ruwanta. Lebih tepatnya, aku tengah memilah langkah serta kalimat yang tepat untuk membeberkan semuanya. Diamku hanya bersifat sementara. Pagi ini aku memang menemukan sosok Mama yang dulu, setelah berhari-hari tidak pulang dan kembali bersama Ruwanta yang kemudian diakuinya sebagai pacar baru. Di balik kehangatan senyum Mama tadi pagi ada fakta yang tersirat: perubahannya berkat Ruwanta. Lelaki yang telah menyemai benih di rahimku itu memang pandai membuat nyaman dan mengembalikan semangat hidup seseorang. Buktinya, aku betah ia tawan bertahun-tahun tanpa kepastian. Sama Mama, entah jurus macam apa yang ia lancarkan.

Betapa pun bahagianya aku melihat Mama kembali sehangat dulu, aku tidak mungkin mengabaikan janin di dalam kandunganku yang terus berkembang. Ia harus segera mendapatkan pengakuan dari Ruwanta. Terlebih setelah mencoba kembali untuk mengerti motif di balik keputusan Ruwanta memacari Mama. Dari sekian kemungkinan yang berseliweran di dalam kepala, kesimpulannya cuma satu; ujung-ujungnya duit.

Aku tidak sepenuhnya egois jika memilih merebut Ruwanta dari Mama. Di sisi lain, aku justru menyelamatkannya. Bagaimana jika Ruwanta benar-benar hanya mengincar harta Mama? Bukankah ia bisa jauh lebih hancur setelahnya? Aku tidak akan membiarkannya!

"Petunia sedang bermekaran di pertingaan, kamu malah murung di sini." Yudit tiba-tiba datang mengisi kekosongan di sampingku, selalu dengan cara sopan dan terkontrol.

Perihal ucapan barusan, aku mengernyit ke arahnya kemudian. Petunia bermekaran di pertigaan?

"Di ujung jalan ada pedagang bunga keliling sedang mangkal. Ia menjual petunia dalam pot kecil yang cocok banget buat dijadikan suvenir atau dibawa ke mana-mana kalau kamu mau."

Entahlah. Sejak insiden di Bogor, terlebih setelah kemunculan Ruwanta bersama Mama kemarin, reaksiku tidak sedahsyat dulu saat mendengar apa pun yang bersinggungan dengan petunia. Ada bagian dari diriku yang layu dan merapuh perlahan-lahan.

"Ke sana, yuk! Kamu pasti gemas melihat warna ungunya." Senyum Yudit mengembang sempurna di ujung kalimatnya.

Selama ini aku selalu menampik segala tawaran lelaki berkulit putih bersih ini. Tapi kali ini, aku malah beranjak mendahuluinya setelah mengangguk perlahan. Sekilas kulihat ekspresinya, sempat tercengang beberapa saat sebelum rona bahagia memenuhi pancaran matanya. Bukan masalah besar jika sesekali membahagiakan orang yang telah begitu baik terhadapku selama ini. Lebih tepatnya, mencintaiku sepenuh hati. Tulus. Lagipula, sepertinya aku memang butuh hiburan.

Kami tiba di tempat yang dimaksud. Benar, petunia bermekaran di pertigaan. Bermodal mobil pickup bertendakan terpal, pedagang itu menghiasi pertigaan dengan aneka bunga yang ditata sedemikian rupa. Hal ini jadi pemandangan tersendiri di tengah riuh kendaraan yang lalu-lalang. Kenapa tidak setiap hari saja seperti ini?

Pandanganku tercuri sempurna oleh petunia-petunia yang bergelayut manja dalam pot kecil. Digantung, berjajar rapi pada tiang pipa yang disediakan khusus. Seolah tak sabaran, aku langsung memilih beberapa untuk dibawa pulang. Benar kata Yudit, petunia-petunia ini sangat menggemaskan. Sejenak aku mampu melupakan Ruwanta, juga segenap kerumitan yang ada. Hanya ada Yudit bersamaku saat ini, kembali meyadarkan akan keindahan yang tersemat di setiap helai kelopak petunia.

***


Dari pertigaan yang mendadak berhiaskan aneka bunga tadi, Yudit mengajakku menikmati es krim buah-buahan di salah satu kedai yang berposisi di Jalan Setiabudi. Lagi-lagi aku mengangguk. Aku benar-benar membuatnya bahagia sekaligus heran hari ini. Padahal aku tidak begitu suka dengan sajian dingin berhiaskan potongan-potongan buah segar itu. Hanya saja, dulu, Yudit sering mengajakku ke sana. Lebih tepatnya aku terpaksa menuruti ajakan lelaki penggemar es krim itu demi kelancaran berbagai tugas sekolah yang kerap ia kerjakan untukku. Tapi hari ini, aku sama sekali tidak merasa terpaksa. Malah semangkuk es krim ini ampuh meredam gemuruh di dada. Meski hanya sesaat.

"Sudah lama, ya, tidak main ke sini."

Aku hanya tersenyum lemah.

"Tempat ini tidak berubah. Sama seperti kita, dari dulu tetap sama." Ada nada sumbang di kalimat barusan. Aku yakin, Yudit berusaha menyampaikan sesuatu. Sesaat air wajahnya mendadak asing, bukan yang selalu kulihat selama ini.

Dari kedai es krim, aku minta diantar kembali ke kampus untuk mengambil mobil. Aku langsung pulang dan benar-benar melalaikan semua mata kuliah hari ini. Aku tiba di rumah sekitar pukul satu. Cuaca lumayan panas siang ini. Di dalam kamar, aku meletakkan kelima petunia—yang kubeli dari pedagang keliling tadi—di bingkai jendela. Kelimanya tentu saja berwarna ungu, meski tekstur warna dan bentuk kelopak tidak sama persis. Dua di antaranya adalah pilihan Yudit. Kuberi jarak yang cukup agar mereka leluasa bernapas. Aku dan petunia sudah sehati. Aku paham apa yang mereka butuhkan. Namun, mengapa aku tidak cukup mengerti apa yang dibutuhkan Ruwanta, setelah bertahun-tahun merasa telah sangat memahaminya? Ah, sudahlah! Petunia dan Ruwanta jelas-jelas tidak bisa disamakan.

Setelah memastikan posisi petunia tadi sudah pas, aku turun untuk menemui Bibi. Perutku mulai terasa lapar. Aku memang selalu menyempatkan diri untuk membantu pekerjaan Bibi di dapur, memintanya mengajariku berbagai resep masakan tradisional yang katanya turun temurun di keluarganya. Meski tak jarang aku malah merepotkannya. Kebiasaan Bibi di dapur, ia sering menceritakan semua gosip-gosip murahan selebriti tanah air yang ditontonnya sambil mengepel ruang tengah setiap pagi. Pernah sekali ia membuatku terbahak hingga mulas. Ia memeragakan gaya bicara presenter-nya yang katanya sengaja me-mayun-kan bibir untuk terlihat seksi. Begitulah Bibi, sesekali suka bertingkah ajaib. Kami memang sangat dekat. Ia sudah kuanggap keluarga sendiri.

Tapi hari ini, ada pemandangan janggal di dapur. Bibi sudah tampak sibuk ketika aku tiba. Bukan kesibukan itu yang janggal, tapi kehadiran Mama yang tampak jauh lebih sibuk.

"Eh, Sayang. Kok, jam segini sudah pulang? Dosennya nggak masuk, ya?" Mama berbasa-basi sambil tetap cekatan mengerjakan ini-itu.

Sejak kapan Mama peduli dengan jam pulangku?

"Kamu datang tepat waktu. Hidangan istimewa Mama sebentar lagi siap disajikan. Tinggal tunggu beberapa menit lagi agar dagingnya empuk sempurna. Benar, kan, Bi?"

Bibi menyambut tatapan Mama dengan anggukan antusias.

Aku duduk, menyaksikan kesibukan keduanya tengah menyiapkan hidangan istimewa yang masih dirahasiakan namanya. Aku mulai mencium aroma yang sungguh menggugah selera. Tak lama kemudian, Mama mematikan kompor. Ia membuka tutup panci. Asap tipis beraroma sedap langsung mengepul, memencar ke sudut-sudut ruangan. Kemudian Mama menyajikan masakan yang sepertinya belum pernah kucoba itu ke dalam tiga mangkuk kaca berukuran kecil untuk kami nikmati bersama.

"Nah, cium aromanya, kamu jadi nggak sabar, kan?" Mama menyodorkan mangkuk berisi kuah pekat dengan potongan-potongan daging menyerupai dadu. Pemukaannya sudah ditaburi bawang goreng.

Aku mencicipi kuahnya terlebih dahulu, kemudian potongan daging yang benar-benar lembut di mulut. Aku takjub, rasanya luar biasa. Aku banyak mencoba makanan hasil olahan daging, tapi belum pernah ketemu yang seperti ini. Aku bisa saja langsung memuji kepiawaian Mama memasak makanan ini. Hanya saja ... perihal hubungannya dengan Ruwanta, serta niat untuk menceritakan masalah yang tengah menerpaku, sungguh mengurangi kedamaian suasana. Andai saja pacar baru Mama bukan Ruwanta, 90% hidupku yang dulu pasti sudah kembali.

"Nama makanan ini Coto Makassar, makanan khas dari tanah kelahiran Ruwanta."

Aku langsung tersedak. Apa? Tanah kelahiran Ruwanta?

"Kamu kenapa, Sayang?" Mama berhenti menyendok makanannya.

Aku hanya menggeleng, kemudian melegakan tenggorokan dengan beberapa teguk air putih.

"Mama merasa beruntung, ibu Ruwanta berkenan mengajari cara memasak makanan ini sedetail-detailnya. Makanya bisa seenak ini." Mama jeda, sesendok makanan masuk ke mulutnya. "Tapi yang terpenting, beliau bisa menerima Mama sebagai calon menantu. Itu yang paling membuat Mama betah di Makassar," lanjutnya setelah menelan makanan tadi.

Ekspresi bahagia, nyaman, damai, dan entah apa lagi tampak jelas di wajah Mama ketika mengucapkan kalimat barusan. Sedang aku? Ada sesuatu yang kurasakan semakin hancur. Bisa kusimpulkan, selama beberapa hari menghilang Mama berada di Makassar—tanah kelahiran Ruwanta. Lebih tepatnya, ia diajak oleh Ruwanta untuk diperkenalkan ke orangtuanya. Sudah sejauh itukah hubungan mereka? Fakta ini sketika mengubur selera makanku.

Aku tahu Ruwanta, ia tidak akan mengajak seorang perempuan ke rumahnya untuk diperkenalkan ke orangtuanya, kecuali ia benar-benar serius dengan perempuan tersebut. Artinya, hubungan Mama dan Ruwanta bukan main-main. Lantas, aku harus bagaimana?

Aku benar-benar nyaman saat ini, setelah Mama kembali seperti dulu. Terlepas dari hubungannya dengan Ruwanta yang serupa racun dan menjalar di dalam tubuh perlahan-lahan. Tapi, haruskah aku diam selamanya? Melahirkan tanpa suami? Membayangkannya saja aku tidak sanggup!

***


[Bersambung]




Klik link di bawah untuk baca lanjutannya;

KBM

KARYAKARSA 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar