Kamis, 04 Januari 2024

Rahasia Idola (Bab 5)

 


Setibanya, Gilang langsung menarik cewek bernama Aira itu menjauh dari Alea. Aira tidak mengelak. Ia terus mengikuti langkah cepat Gilang menuju mobil yang terparkir di depan gerbang sekolah. Tatapan Alea mengekori mereka sambil bertanya-tanya, siapa cewek itu?

"Gilang sama siapa, tuh? Cantik banget." Delon menghentikan motornya tepat di samping Alea yang masih mematung.

Alea hanya melirik sekilas. Ia berusaha mencerna kejadian barusan. Ia hanya tidak ingin bermasalah dengan siapa pun tanpa tahu penyebab pastinya.

"Lo kenapa sendirian di sini? Ratih mana?"

Alea menoleh ke belakang, mobil Ratih sudah tidak ada di sana.

"Gue nebeng sama lo, ya."

"Siap!"

Gilang membanting pintu mobilnya lalu mencengkram setir kuat-kuat. Dadanya naik turun, pertanda ada amarah meluap-luap di sana. ia menjatuhkan punggung di sandaran jok lalu menghela napas panjang beberapa kali.

"Gue nggak ngerti dengan sikap lo barusan," ucapnya setelah cukup tenang.

"Lo emang nggak pernah ngerti, Lang, dan nggak pernah mau ngerti." Aira menunduk, memerhatikan jemari tangannya yang sibuk saling mengusik.

"Please, Ra, kita udah sering bahas ini." Gilang memelankan suaranya. Tangannya berangsur dari setir ke pundak Aira yang semakin dalam menunduk. Rambut yang sengaja dibikin ikal dari tengah ke ujung mulai kusut, menutupi sebagian wajahnya.

"Lo nggak pernah mau jujur soal alasan lo pindah ke sekolah ini. Tapi hari ini sepertinya gue udah tahu. Selain untuk ngehindarin gue, juga karena cewek tadi."

Gilang ingin menyanggah, tapi Aira buru-buru keluar tanpa menoleh sedikit pun. Ia bergegas ke mobilnya yang terparkir di seberang jalan, menerobos kepadatan kendaraan yang lalu-lalang, mengabaikan suara klakson yang bersahutan karena ulahnya.

Gilang cukup khawatir melihat kenekatan Aira, tapi ia hanya bisa mengawasinya dari dalam mobil.

***

Gilang sedang melototi akun instagram Alea sambil tiduran. Sudah cukup jauh scroll ke bawah, namun hanya foto-foto buku yang bermunculan. Ya iyalah, namanya juga akun booksstagramer, rutuknya dalam hati. Nyaris saja ia menghentikan pencariannya, ketika menemukan foto selfie Alea bersama setumpuk buku di tangan kanannya. Gilang mengabaikan ­caption-nya, telanjur terpikat sama senyum yang mulai meracuninya akhir-akhir ini.

Alea memang tidak secantik Aira, tapi entah apa yang membuat mata betah memandanginya lama-lama. Lihat gigi gingsul yang turut mengintip di sela senyumnya, cowok mana yang tidak gemes? Mau-maunya Delon hanya bersahabat dengan cewek semanis ini, renung Gilang.

Gilang senyum-senyum sendiri, diam-diam jempolnya mengusap pipi Alea di layar ponselnya. Saat itulah Delon menyelonong dan langsung banting diri di sampingnya. Gilang buru-buru mengantongi ponselnya.

"Lo nonton bokep, ya?" tuduh Delon setelah menangkap keterkejutan sepupunya itu. Ia senyum-senyum jail sambil mengacungkan telunjuk di depan wajah Gilang yang masih tampak aneh.

"Sembarangan, lo. Siapa yang nonton bokep?" Gilang pura-pura bergidik lalu menepis telunjuk Delon.

"Terus, kenapa hapenya buru-buru dikantongin? Apa, coba, kalau nggak lagi browsing yang aneh-aneh?"

"Kepo, lo."

"Iya juga nggak apa-apa, kok. Gue ngerti. Sesama cowok nggak usah ditutup-tutupinlah." Delon terus menggoda Gilang sambil memainkan alisnya.

Gilang tidak merespons. Ia menautkan jemari tangan di bawah kepala, tatapannya menyelami langit-langit kamar. Ia kembali terbayang Alea. Foto tadi harus di-screenshot setelah Delon keluar dari kamar ini.

"Betewe, lo betah, kan, di rumah ini?"

Gilang hanya mengangguk.

"Emang, sih, tidak semewah apartemen lo yang kemarin, tapi di sini ada gue, Dandi, Papa, Mama. Setidaknya lo nggak selalu sendirian. Atau jangan-jangan, lo sering masukin cewek nggak bener ke apartemen lo?"

"Ngomong apa, sih, lo? Gue senang, kok, di sini. Tante Maya dan Om Lukman juga baik banget sama gue."

"Syukurlah!" Delon hendak bangun, tapi kemudian malah beralih memiringkan badan menghadap Gilang. Ia menopang kepalanya dengan sebelah tangan. "Eh, siapa cewek yang lo seret-seret tadi siang?"

"Cantik, ya? Mau gue kenalin?"

"Dia ganggu Alea, kan?"

Gilang mengernyit.

"Alea pulang sama gue, dia cerita," terang Delon setelah membaca pertanyaan tersirat di wajah sepupunya itu.

Gilang memasang tampang menyesal. Ia baru ingat, ia belum menghubungi Alea untuk minta maaf soal kejadian tadi siang. Bagaimana pun, ia penyebabnya.

"Ingat, gue nggak akan maafin siapa pun yang berani nyakitin sahabat gue." Delon turun dari tempat tidur setelah menekankan kalimat barusan, bahkan sedikit bernada mengancam.

Gilang ikut bangun. Tatapannya mengekori punggung Delon hingga menghilang di balik pintu. Sampai segitunya? Gilang merasa, ekspresi Delon saat mengucapkan kalimat tadi agak berlebihan jika sampai saat ini ia hanya menganggap Alea sahabat.

Berselang lima detik, Delon kembali. Ia hanya melongok kali ini. "Gue sampai lupa. Tadi gue ke sini karena disuruh Mama. Lo disuruh turun ke dapur."

"Ngapain?"

"Bantuin Mama bikin kue."

"What?"

"Lo tinggal di sini nggak gratis-gratis amat, kali. Bayarannya, lo harus ikhlas saat Mama minta dibantuin bikin kue. Makasih, ya. Berkat ada lo, Mama jadi punya pilihan, nggak melulu mesti gue yang bantuin dia bikin kue." Delon menahan tawa.

"Lo jadiin gue tumbal?"

Tawa Delon meledak kali ini.

"Gue bantuin kerjaan Om Lukman aja, deh, atau motongin rumput di halaman. Asal jangan bikin kue."

"Eits ... nggak pake tawar menawar." Delon berlalu setelah memasang tampang puas.

Gilang tepuk jidat.

***

"Kamu di mana sekarang? Kalau kita ketemu, apa kamu masih bisa ngenalin aku? Aku nggak ingat wajah kamu." Alea bicara pada mobil-mobilan kayu berwarna merah di sudut meja belajarnya.

Di depannya, soal-soal PR Kimia menanti untuk diselesaikan. Alih-alih lekas mengerjakannya, Alea malah meraih ponsel. Ia mengecek postingan terbarunya di instagram. 204 likes, tapi tidak ada nama Ratih di sana. Biasanya cewek itu yang paling cepat merespons postingan Alea, meski kadang-kadang komennya nggak nyambung. Jelas-jelas postingan Alea seputar ulasan buku, Ratih malah nanyain tugas-tugas sekolah di kolom komentar. Atau yang paling horor, malah membahas diskonan produk kecantikan di online shop langganannya.

Alea memang harus tabah memiliki sahabat sejenis Ratih. Tapi sebenarnya kesemuanya itulah yang terkadang dirindukan Alea, terlebih untuk saat ini. Ratih salah paham, dan sepertinya benar-benar marah kali ini.

***

Alea tak mungkin mengharapkan jemputan Ratih hari ini. WA-nya semalam saja tidak dibalas. Karena itu ia berangkat bareng Delon, setelah mengabaikan ajakan Gilang yang meneleponnya di pagi buta.

"Lo kenapa nggak berangkat bareng Gilang aja, sih?" Alea setengah teriak demi mengalahkan deru angin. Delon melajukan motornya dengan kecepatan di atas rata-rata. Alea tahu, mereka tinggal bareng. Tapi anehnya masih berangkat sendiri-sendiri.

"Lo kayak nggak tahu gue aja. Gue nggak bisa pisah sama Si Merah." Tentu saja yang dimaksud Delon adalah motor yang saat ini mereka tumpangi. Motor itu dibelikan papanya di tahun pertama masa putih abu-abu.

Sebenarnya Alea sudah paham meski Delon tak perlu menjawab pertanyaannya barusan.

"Lagian kita punya urusan masing-masing. Gue ngerasa nggak bebas kalau bareng Gilang," imbuh Delon, lalu menambah kecepatan motornya setelah tikungan.

Alea mengencangkan pegangannya di pinggir jaket Delon.

Alea melihat mobil Ratih sudah terparkir di tempat biasa. Berarti benar, Ratih sengaja menghindarinya. Tidak biasanya ia berangkat sepagi ini.

"Kalian marahan lagi?" tanya Delon setelah melepas helm dan mengunci motornya.

Alea hanya mengangkat bahu lalu mulai melangkah meninggalkan area parkir.

Setibanya di kelas, Alea melihat Ratih pindah duduk di bangku paling belakang. Alea meletakkan tas selempangnya di meja lalu duduk perlahan-lahan dengan isi kepala berkecamuk. Ia harus menghampiri Ratih, ia sedang memikirkan kalimat yang akan diucapkannya untuk mengakhiri kesalahpahaman ini.

Alea hendak berdiri ketika tiba-tiba tangan Gilang menahan pundaknya. Alea benar-benar tidak fokus, sampai-sampai tidak melihat Gilang masuk.

"Lo nggak mau berangkat bareng gue, tapi malah berangkat bareng Delon?" Gilang tidak terima, kentara dari nada suaranya.

Alea kembali mengenyakkan diri di bangkunya. Dia membenturkan tatapan di permukaan meja, sedang tidak berselera menerima tatapan Gilang yang duduk berlawanan arah di depannya.

"Tapi nggak apa-apa. Gue sadar, kok, gue cuma orang baru di kehidupan lo yang sedang berusaha mengakrabkan diri. Tentu saja butuh waktu. Nggak seharusnya gue cemburu sama Delon, yang jelas-jelas udah sahabatan lama sama lo." Untung saja Gilang cepat menormalkan situasi sebelum emosi Alea terpancing. Kalimat panjang barusan cukup ampuh membuat Alea merasa bersalah, sedikit iba.

"Maaf, ya, gue ...." Kalimat Alea terputus saat Gilang menempelkan jari telunjuk di bibirnya.

"Lo nggak salah. Gue yang harus berjuang lebih keras lagi demi bisa dekat sama lo." Gilang tersenyum, senyum yang terlalu manis untuk dinikmati sepagi ini. Mata sipitnya semakin kecil saat otot-otot pipinya tertarik ke samping. Mungkin pemandangan seperti ini yang menyihir hampir semua cewek yang pernah melihatnya. Dan Alea baru menyadarinya? Ke mana saja ia selama ini? Dada Alea mendadak sesak, terlebih posisi jari telunjuk Gilang masih menempel di bibirnya.

Bola mata Alea terputar ke bawah, menatap jari telunjuk Gilang yang seolah tak berdaya ia tepis meski telah membuatnya tidak nyaman. Gilang tersadar dan lekas menarik jari telunjuknya, beralih pura-pura merapikan kerah seragamnya.

Sedetik dua detik, Alea berusaha menormalkan kerja jantungnya. Ada apa ini? Karena senyuman, atau malah sentuhan jari telunjuk Gilang? Ah, sepertinya ia hanya kurang tidur tadi malam.

"Gue minta maaf soal kejadian kemarin," ucap Gilang dengan tampang menyesal.

Alea mengernyit. Sorot matanya seolah berkata, untuk?

"Yang kemarin hampir labrak lo, namanya Aira, teman gue di sekolah yang lama."

Alea paham sekarang. Mau tidak mau ia jadi ingat kejadian yang cukup mengacaukan suasana hatinya itu. Seumur-umur ia tidak pernah bermasalah dengan orang, terlebih hanya karena cowok.

"Oh ya, gue minta pendapat lo, dong." Gilang mengeluarkan ponsel dari saku seragamnya setelah lama menunggu respons Alea yang tak kunjung tiba. Ia tampak sibuk mencari sesuatu. Sekejap kemudian, ia menghadapkan layar ponselnya ke Alea. "Penerbit sudah mengirimi tiga option bakal kover buku kedua gue. Lo suka yang mana?"

Alea memerhatikan tiga gambar kover di sana, tapi ia belum bisa berkonsentrasi sepenuhnya.

"Kok nanya ke gue? Lo juga bakal ngadain voting di Wattpad, kan?"

Gilang mengangguk. "Tapi gue mau, lo orang pertama yang kasih suara. Dan kalau pun natinya pilihan lo gagal mengumpulkan suara terbanyak, gue tetap bakal milih itu."

"Kok, gitu?" protes Alea. Sekilas tatapannya beralih dari layar ponsel ke sepasang mata Gilang.

"Biarin! Lagian, lo, kan, bookstagramer kece, nih, seleranya pasti nggak asal-asalan, dong."

Alea tersenyum tipis. Ia merasa lucu dengan sebutan itu, "bookstagramer kece".

"Gue yang mana aja, deh. Semuanya bagus."

"Yah, kok, gitu, sih?" Gilang memasang tampang pura-pura kecewa. Itu malah membuatnya terlihat semakin cute. Ia hanya tidak sadar, sedari tadi tatapan semua cewek di kelas itu tak lepas darinya. Termasuk Ratih, di bangku paling belakang.

"Anggap aja ini foto cowok yang harus lo pilih salah satunya untuk nikahin lo. Nggak mungkin, kan, lo milih semuanya?" Mereka terbahak bersama, tampak akrab, membuat iri semua cewek di kelas itu.

Alea melihat-lihat sekali lagi sebelum memberikan suara, ketika tiba-tiba Ratih berjalan melalui mereka dengan hentakan kaki dibuat-buat. Alea bergegas menyusulnya, meninggalkan Gilang yang kebingungan.

***

[Bersambung]

Klik link di bawah untuk baca lanjutannya;

KBM

KARYAKARSA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar