Jumat, 26 Januari 2024

Belahan Jiwa dari Dunia Lain (Bab 1)


 

Keenam orang yang sedang mengitari meja bundar dalam ruangan ini pasti merasakan hal yang sama: bangga, senang, tidak sabar, dan mungkin sedikit tegang. Buktinya, beberapa kening tampak dihiasi bintik-bintik keringat, sementara AC dalam kondisi on dan berfungsi dengan baik.

Berkali-kali Indah menarik napas panjang. Sejak tiga minggu yang lalu, sejak Prof. Hamdani akhirnya mengumumkan nama-nama yang dipilihnya untuk bergabung dalam tim ekspedisinya kali ini, sampai detik ini euphoria dalam diri Indah belum reda. Akhirnya ia mendapatkan kesempatan langka ini.

Bergabung dengan tim ekspedisi yang dibentuk per dua tahun ini adalah impian semua mahasiswa Arkeologi di Universitas Kencana, terlebih untuk penghuni semester akhir seperti Indah. Indah sering dengar dari senior, bahwa ilmu yang dipaparkan Prof. Hamdani di kelas tidak ada apa-apanya dibanding apa yang didapatkan setelah terlibat langsung di lapangan. Itu yang membuat Indah sangat menantikan kesempatan ini.

Diam-diam Indah mengamati ekspresi kelima rekan yang akan diajaknya bekerjasama di ekspedisi pertamanya ini. Di antara mereka hanya Raya yang sudah pernah terlibat di ekspedisi Prof. Hamdani sebelumnya. Bisa dibilang, ia paling berpengalaman. Kendati demikian, ekspresinya terlalu kaku untuk dibilang santai. Sedang untuk Eva dan Dian, pengalaman pertama ini membuatnya lebih pendiam dari sebelumnya. Indah yakin, Tio juga sama tegangnya. Hanya saja lelaki kribo yang terkenal kocak itu punya gesture andalan agar bisa terlihat biasa-biasa saja. Yang terakhir, Kevin. Ah, Indah malas membahasnya. Kenapa juga Prof. Hamdani harus memilihnya?

Indah dan Kevin dulunya sahabat, sebelum Kevin menghancurkan segalanya dengan sebuah pengakuan yang membuat Indah memilih menjauh. Menurut Indah, cinta yang tumbuh dalam persahabatan adalah kekonyolan. Sedang menurut Kevin, kekonyolan yang dimaksud Indah adalah sesuatu yang berhak tersampaikan. Sampai sekarang mereka masih sahabatan. Ya, setidaknya itu yang terlihat dari luar. Karena sejatinya hubungan mereka tidak bisa sehangat dulu lagi.

Keenamnya kompak menoleh ke arah pintu yang baru saja dibuka oleh Prof. Hamdani. Kehadiran profesor paling tersohor di kampus itu, lelaki jangkung yang tetap gagah di usianya yang hampir berkepala lima, membuat suhu ruangan kian meningkat. Pandangan mereka tak lepas dari sosok Prof. Hamdani, hingga lelaki berkacamata itu mengisi kursi kosong di salah satu sisi meja.

Prof. Hamdani mengeluarkan sebuah buku lusuh yang pinggiran sampulnya mulai mengelupas dari tas kerjanya, lalu membenarkan posisi kacamatanya dan mengedarkan pandangan sebelum mulai bicara.

"Apa kabar semuanya?"

"Baik, Prof," jawab mereka serentak.

"Jadi, persiapan apa yang sudah kalian lakukan selama tiga minggu ini?"

Mereka bersitatap, tapi tidak ada yang menjawab dengan tegas. Hanya terdengar gumaman berisi jawaban klise.

"Saya harap kalian sudah memanfaatkan waktu dengan baik, karena jadwal keberangkatan kita dimajukan."

Karena sudah lelah memangku rasa tidak sabar, tentu saja mereka menyambut perubahan jadwal itu dengan senang hati. Meski tak dipungkiri mereka pun lebih tegang di saat bersamaan. Mereka khawatir persiapan yang telah dilakukan belum cukup. Dan berbagai pemikiran-pemikiran tidak penting yang sangat manusiawi untuk sebuah pengalaman pertama.

"Saya, dibantu beberapa teman, sudah mengunjungi lokasi untuk meminimalisir hambatan yang akan kita temui nantinya. Karena semuanya dirasa sudah beres, lusa kita berangkat."

Deg!

Rasa tidak sabar yang dibalut ketegangan kian jelas memancar di wajah mereka.

"Pada ekspedisi kali ini kita akan melakukan penelitian terhadap benda ini." Prof. Hamdani memperlihatkan sebuah gambar cincin di salah satu halaman buku tadi.

Semua tatapan mengarah ke gambar itu.

"Cincin naga berkepala manusia ini tersemat di jari manis patung putri di sebuah gua yang berlokasi di pedalaman hutan Papua."

"Putri?" Eva, gadis bertubuh ceking yang pertama kali mengikis tumpukan tanda tanya dalam kepalanya.

"Ya, putri. Sosok gadis berparas cantik, sesuai yang tertulis dalam buku ini."

"Lalu, apa keistimewaan cincin itu, Prof?" timpal Dian, gadis yang dikenal berwatak keras.

"Konon, barang siapa yang berhasil mencabutnya, maka berhak mengucapkan satu permintaan yang pasti terkabulkan."

Mereka tercengang mendengar penuturan Prof. Hamdani. Beberapa memasang tampang sangsi.

"Satu permintaan yang pasti terkabul? Apakah seperti dalam dongeng Jin Lampu?" Tio bermaksud serius, tapi tetap saja tampangnya terlihat kocak.

"Mungkin. Tapi ini jelas-jelas bukan dongeng. Sejarah lengkapnya terpapar dalam buku ini." Prof. Hamdani mengangkat bukunya. "Sudah banyak arkeolog yang tertarik untuk menemukan cincin itu. Mereka datang dari berbagai belahan dunia. Tapi selalu gagal. Bahkan masuk ke guanya pun tidak bisa."

"Apa yang menyebabkan kegagalan mereka, Prof?" tanya Kevin, lelaki berwajah oriental dengan aroma farfum kelas dunia yang selalu melekat di tubuhnya.

"Itu yang harus kita temukan jawabannya."

Mereka bersitatap. Rasa tidak sabaran semakin pekat.

"Kita akan melakukan perjalanan jauh dan meninggalkan zona nyaman. Jangan pernah berpikir ini akan mudah. Tolong persiapkan diri kalian. Fisik maupun mental!"

Mereka mengangguk samar.

"Saya harap, saya tidak salah pilih orang."

"Siap, Prof!" seru mereka serentak.

***


Meski gambar cincin naga berkepala manusia dalam buku Prof. Hamdani terus terbayang di benak Indah, keluar dari ruangan itu langkahnya begitu riang dengan senyum mengembang sempurna. Sejak Prof. Hamdani mengumumkan akan membentuk tim baru, sejak itu pula hara-harap cemas memenuhi dada Indah. Mengingat sudah semester akhir, ia sangat berharap bisa terpilih, atau tidak sama sekali. Wajar setelah keinginannya terwujud, ia sangat bahagia.

Entah apa yang membuat Indah sangat tertarik dengan dunia arkeologi. Padahal penampilannya yang super girly sama sekali tidak menampakkan ketertarikannya pada benda-benda kuno. Menurutnya, benda-benda kuno menyimpan sejarah tersendiri yang selalu menarik untuk dikaji.

Sepertinya minat itu turunan dari almarhum papanya, yang semasa hidup merupakan arkeolog terkenal yang sukses dalam berbagai ekspedisi besar. Dunia berkali-kali memberitakannya. Meskipun pada akhirnya nyawanya harus melayang sebagai bayaran dari sebuah ekspedisi yang gagal. Namun Peristiwa itu sama sekali tak mengurangi semangat Indah dalam menekuni dunia arkeologi. Bahkan sebaliknya, ia malah terpacu untuk mengulang kesuksesan Papa suatu hari nanti.

"Woe, tungguin." Tanpa menoleh Indah tahu, itu suara Rina. Indah memelankan langkahnya hingga gerakan setengah berlari gadis bertubuh mungil itu berhasil menyajarinya.

"Eh, serius lusa lo berangkat?" tanya Rina setelah pola napasnya kembali teratur.

"Tahu dari mana?"

"Anak-anak pada ngomongin."

"Terus?"

"Prof. Hamdani itu selalu ngadain ekspedisi di tempat-tempat aneh. Kalau nggak terpencil, ya serem. Lo nggak takut, apa?" Rina bergidik.

"Please, deh, Rin. Gue ini mahasiswi arkeologi semester akhir, tapi selama ini cuma berada di dalam kelas dan bergelut dengan teori dan teori. Ini benar-benar kesempatan emas agar gue bisa bersentuhan langsung dengan dunia arkeologi yang sesungguhnya." Indah sengaja melakukan penekanan di beberapa kata.

"Lo seantusias ini bukan karena Kevin juga gabung, kan?"

Indah memutar bola mata malas.

"Kabar tentang dia nembak lo minggu lalu jadi topik hangat seantero kampus, loh."

"Bukan nembak, Rin. Cuma biar gue tahu aja."

"Bedanya apa?"

"Terserah lo, deh." Indah mempercepat langkahnya.

"Eh, gue nebeng sama lo, ya."

"Mobil lo ke mana lagi?"

"Masih di bengkel pas habis nabrak pagar kemarin."

Seketika Indah terpingkal mengingat kejadian lucu beberapa hari yang lalu. Sahabatnya itu memang belum terlalu lancar mengemudikan mobil. Berbagai kecelakaan-kecelakaan kecil pun mewarnai hari-harinya. Terakhir, ia menabrak pagar kampus.

***


Rasa bahagia yang berbaur dengan kemisteriusan cincin naga berkepala manusia itu mengiringi perjalanan pulang Indah. Setelah mengantarkan Rina, sengaja ia tidak mampir ke mana-mana, langsung ke rumah. Ia sudah tidak sabar menyampaikan jadwal keberangkatannya kepada Ranti, mamanya. Setelah memarkir mobil di garasi, Indah berlari-lari kecil memasuki rumah berlantai dua bergaya minimalis kontemporer itu.

"Ma ... Mama! Ma ...!" panggil Indah setengah teriak. Ia menemukan Mama tengah bersantai di ruang tengah sambil membaca majalah perempuan favoritnya. Ia langsung mengambil posisi bersisian.

Ranti sekaligus merangkap sebagai ayah untuk Indah sejak beberapa tahun terakhir. Selaku single parent, wajar jika ia agak over protectif. Sebenarnya ia tidak pernah setuju Indah kuliah di jurusan arkeologi, karena hal itu seolah mendekatkannya pada musibah yang pernah menimpa almarhum papanya. Terlebih saat Indah mengabarkan keterlibatannya di tim ekspedisi tiga minggu yang lalu. Saat itu juga Ranti langsung menyatakan tidak setuju. Tapi Indah bersikeras. Dan Ranti paling tidak berdaya untuk menolak keinginan putri bungsunya itu.

"Ada apa, Sayang? Kok, tumben pulang kuliah nggak langsung ke kamar?" Ranti merangkul Indah.

"Lusa aku berangkat." Sepasang mata cerlang Indah ditemani senyum sedemikian lebar.

Ranti langsung paham keberangkatan apa yang dimaksud putrinya. Ya, ekspedisi yang sampai detik ini masih ia harap agar batal. Perlahan Ranti melepas rangkulannya. Ia mendadak lesu. Duka yang ia rasakan beberapa tahun silam kembali berkelebat.

Indah menyadari perubahan yang terjadi pada ekspresi Mama.

"Mama masih belum bisa ngizinin aku, ya?"

"Bukan gitu, Sayang! Tapi ...." Ranti tercekat.

"Karena aku perempuan, atau karena Mama takut aku bernasib sama seperti Papa? Itu, kan, yang ada di pikiran Mama?" Suara Indah meninggi. "Dari dulu selalu seperti itu. Tolong beri aku kesempatan, Ma." Indah memelas.

"Kamu tidak akan mengerti bagaimana perasaan Mama." Ranti kalut. Ia sungguh tidak rela Indah terlibat dalam ekspedisi itu.

Indah bangkit dari duduknya. "Tolong, Ma, jangan rusak kebahagiaan Indah hari ini!" tegasnya, lalu beranjak pergi.

Ranti hanya bisa terdiam melihat Indah menjauh dengan segenap kekecewaan. Ia paham sebenarnya. Ia pasti mendukung apa pun cita-cita Indah di luar dunia arkeologi. Ia hanya tidak ingin kehilangan untuk kedua kalinya dengan kasus yang sama. Sebagai seorang ibu, posisinya sangat sulit.

***


[Bersambung]


Klik link di bawah untuk baca lanjutannya;

KBM

KARYAKARSA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar