Minggu, 14 Januari 2024

Benih Terlarang (Bab 1)

 


Cinta lelaki tangguh itu sudah klimaks. Perkara aku mau menerima atau tidak, baginya sudah tidak terlalu penting. Membahagiakanku adalah caranya membahagiakan diri sendiri.


---


Apa yang kamu tahu dari senja? Ketika warna jingga transit di langit sore untuk menyambut malam? Indah dan menenangkan? Setahuku begitu. Namun, lebih dari pada itu, akulah Senja. Entah sebab apa orangtuaku memberikan nama itu. Awalnya kupikir karena aku lahir di waktu senja. Nyatanya tidak. Aku pernah tak menyukai nama yang kusandang sejak lahir ini. Menurutku, senja berarti sesaat. Apa yang bisa dibanggakan dari sesaat?

Waktu itu umurku sepuluh tahun, ketika kami sekeluarga berlibur ke pantai. Tangan lembut Mama mendarat di pundakku, ketika aku lena mengamati hamparan laut yang seolah bergandengan tangan dengan langit. Tengadah, kutemukan senyum Mama yang selalu menenangkan.

"Kamu tahu, pertemuan Mama dan Papa terjadi ketika senja." Senyum Mama merekah. "Senja selalu membawa getar halus pada hati yang bahagia, serta sekuntum damai untuk hati yang gelisah. Kami menamaimu "Senja" karena kamu adalah anugerah terindah dari Tuhan. Sama seperti senja yang mempertemukan kami." Suara Mama pelan, tapi berbobot.

Sejak saat itu kutemukan hal ajaib di balik namaku. Persis ketika jingga keemasan berlaga di langit. Senja.

Selain nama, aku juga pernah mempertanyakan perihal kecintaanku pada bunga petunia. Seingatku, tidak ada momen sakral di masa lalu yang melibatkan petunia, tahu-tahu aku begitu mendewakannya. Padahal jelas-jelas umur bunganya pendek, tidak bisa berlama-lama menemaniku.

Orang-orang dengan mudah akan tahu bahwa aku penyuka petunia, sekali pun baru kenal. Termasuk Ruwanta, lelaki bermata elang yang berhasil menabur rindu di hati sejak percakapan pertama kami.

"Kenapa kamu suka petunia?" tanyanya ketika menghampiriku yang sedang menyendiri di taman. Waktu itu kami sedang menjalani masa ospek, jadi belum banyak yang kukenal.

"Kok, tahu?" Setelah pertanyaan itu terlontar, aku disadarkan oleh notebook, pulpen, hingga jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiri, semuanya bermotif petunia ungu. Selain memelihara petunia di beranda, mengoleksi benda-benda bermotif bunga kecil itu memang salah satu kesenangan.

Ruwanta entah orang keberapa yang langsung menebak kesukaanku pada bunga petunia di perjumpaan pertama. Sudah terlalu banyak. Alih-alih menakar jumlah tak penting itu, diam-diam aku tertawan sesuatu dari Ruwanta, senyumnya. Lengkungan manis itu serupa kelopak petunia diterpa cahaya sore. Lebih dari sekadar indah. Menenangkan.

"Kamu tahu, apa yang kupikirkan sebelum menemukanmu di sini?"

Aku mengernyit. Penting, ya? Kurang kerjaan banget aku harus meramal isi pikirannya. Aku hanya menggeleng kemudian ketika tatapan lekatnya seolah memintaku lekas bersuara.

"Memutuskan kuliah di sini berarti siap menghabiskan sebagian besar waktu kita di tempat ini selama bertahun-tahun. Tentu sangat membosankan jika tidak diselingi hal-hal menarik. Beruntung, satu menit sebelumnya aku telah menemukannya."

"Apa?" Sial. Kenapa juga aku harus sedemikian penasaran? Tanpa sengaja aku menimpali ucapannya tanpa jeda.

"Petunia berjalan. Kamu!"

Ini mungkin konyol. Tapi anehnya, tampang Ruwanta teramat serius. Bahkan bisa kurasakan tatapannya lebih hangat dari sebelumnya.

Berawal dari percakapan singkat yang terkesan sok kenal sok dekat itu, otakku mulai berproses mencari tahu lebih jauh apa pun tentang Ruwanta. Sekadar ingin tahu, selain mata elang dan senyum manis, apa lagi yang ia punya?

***

Matahari tampak ceria. Sinarnya yang serupa mengandung bara serta-merta memenuhi kawasan Universitas Advent Indonesia. Jam kuliah baru saja berakhir. Aku mempercepat langkah menunju mobil. Bukan saking takutnya kulit terbakar, tapi karena melihat orang itu. Yudit, lelaki yang telah menjelma sebagai pejuang cinta paling tangguh sejak kami masih sama-sama mengenakan seragam putih abu-abu.

Tiga tahun di SMA hari-hariku tak pernah lepas darinya. Menurut pengakuannya, ia jatuh cinta padaku sejak hari pertama masuk sekolah dan ditakdirkan menempati kelas yang sama. Awalnya kupikir berlebihan dan hanya perasaan sesaat. Ternyata ia berhasil membuktikannya hingga saat ini. Bahkan, ia menolak keinginan orangtuanya untuk menyekolahkannya di luar negeri demi tetap besamaku. Melanjutkan perjuangan lebih tepatnya.

Yudit berasal dari keluarga berada. Papanya pengusaha tambang minyak yang memiliki jaringan hingga ke luar negeri. Tak heran jika banyak perempuan yang meleleh dibuatnya. Entah naksir orangnya atau malah mobil sport keluaran terbaru yang selalu menemani kesehariannya.

Di samping kaya, Yudit juga sangat beruntung terlahir dengan tampang yang rupawan. Darah chinese papanya menurun dengan baik. Belum lagi otak super encer yang tidak pernah bermasalah dengan pelajaran apa pun. Selama di SMA dia selalu juara umum. Luar biasanya, meski seolah punya segalanya, dia tetap humble, beda jauh dengan lelaki kaya dan sok ganteng pada umumnya. Karena itu, terkadang menurutku ia teramat sempurna.

Yang mampu merasa dalam dadaku adalah hati, bukan batu yang tak bisa Yudit taklukkan bagaimana pun keras usahanya selama bertahun-tahun. Namun, aku telanjur menganggapnya sebatas teman. Bukankah sejak dulu perasaan memang tidak bisa dipaksakan? Cinta bukan perkara benda yang bisa dilepas pasang seenaknya.

Entah berapa banyak hadiah yang kuterima-secara terpaksa-darinya. Entah berapa banyak usahanya untuk memenangkan hatiku-yang tak jarang membuatku takjub. Ajaib. Untuk perhatian-perhatian kecil tak terhitung lagi. Jumlahnya mungkin sudah melebihi bintang yang menghiasi langit malam. Oke, aku memang berlebihan di bagian ini, tapi Yudit memang begitu adanya.

Semua itu membuat para penggemarnya membenciku. Di saat mereka mati-matian berjuang mendapatkan perhatian Yudit, aku malah menghindar dan mengabaikannya. Meski di beberapa kesempatan aku tidak bisa menghindar untuk tidak memanfaatkannya. Ketika mobil masuk bengkel dan butuh tumpangan misalnya, ketika ada tugas rumit yang kejar deadline, dan berbagai hal yang tak perlu kusebutkan. Bukan Yudit namanya bila tak membantu sukacita. Meski ia sadar, aku hanya memanfaatkannya.

Cinta lelaki tangguh itu sudah klimaks. Perkara aku mau menerima atau tidak, baginya sudah tidak terlalu penting. Membahagiakanku adalah caranya membahagiakan diri sendiri. Kurang lebih seperti itu.

"Senja ...!" Suaranya hinggap di telinga ketika tanganku baru saja meraih dan hendak membuka pintu mobil.

Aku menoleh dengan ekspresi yang selalu sama setiap kali berhadapan dengannya. Tidak berselera. Bergegas masuk dan mengabaikannya sepertinya terlalu kejam. Bagaimana pun, tidak bisa dipungkiri, ia sering membantuku dalam banyak hal.

"Minggu depan, kan, sudah musim liburan, aku dan keluarga berencana ke Bali. Kamu ikut, ya." Lelaki beraroma vanilla itu berucap penuh semangat. Entah dengan cara apa ia memulihkan wajah cerianya setelah kuremukkan berkali-kali. Sejak pertama kenal, ia tidak pernah ganti parfum. Selalu aroma itu yang melekat di tubuhnya. Aku sudah hafal. Konon, ia membelinya secara khusus di online shop yang berpusat di Prancis.

"Aku sudah bilang sama Papa-Mama," imbuhnya ketika otakku sibuk merancang kalimat penolakan.

Aku jadi teringat sama kedua orangtuanya. Meskipun super sibuk, keluarga tetap nomor satu. Aku mengenal mereka setelah kunjungan terpaksa waktu itu, demi kelancaran tugas makalah sejarah yang membuatku mual. Di lingkungan tempat tinggalnya, mereka dikenal sosok yang dermawan. Tak jarang nama mereka tampil sebagai donatur untuk berbagai kegiatan sosial dan aksi kemanusiaan. Om Bara dan Tante Wina, sosok orangtua yang sempurna menurutku. Mereka baik pula terhadapku.

"Aku sudah ada rencana sama Mama," kilahku kemudian.

"Gitu, ya?" Pancaran matanya perlahan-lahan meredup.

"Ya udah, aku duluan, ya." Aku masuk ke mobil dan lekas meninggalkan pelataran parkir. Dari kaca spion kulihat ia masih mematung di tempat semula, memantulkan pandangan ke lantai beton yang mungkin di benaknya serupa kerasnya pendirianku. Tuhan ... setangguh apakah hati lelaki itu?

***


[Bersambung]


Klik link di bawah untuk baca lanjutannya;

KBM

KARYAKARSA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar