Kamis, 28 Desember 2017

Review Kumcer: Jomblo, So What?



Judul            : Jomblo, So What?

Penulis        : Ikhsan Ardiansyah

Penerbit      : PPMPI Publisher

Editor          : Tim PPMPI

Layout         : Tim PPMPI

Kover           : Tim PPMPI

Cetakan       : Pertama, Agustus 2017

Tebal            : 162 hlm

ISBN             : 978-602-5557-04-0

Nukilan:
Dari baca judul saya bisa menyimpulkan, wah, buku ini berisi cerita-cerita ringan namun kaya tema, sepertinya. Dan kocak adalah atmosfer pertama yang saya rasakan.

“Emang tampangku kayak gudang, ya? Kok, dijadiin tempat penyimpanan curhatan massal.”_(Kutipan cerpen Say_hal 10)

Dari cerita-cerita sederhana, saya mencoba mencari kelebihan apa yang ingin ditunjukkan penulis. Nasihat tersembunyi bisa jadi salah satunya.

“Biar bagaimanapun, mereka adalah orangtua kandungku. Apa yang telah mereka lakukan juga demi kepentingan masa depanku.”_(Kutipan cerpen Old Friend_hal 33)

Meski cerita-cerita yang diangkat cukup sederhana, namun penulis tak lupa menuangkan biasan sosial yang cukup sering kita jumpai di keseharian.

“Aku salut sama Nina. Sebagai bos dia tidak hanya duduk manis menunggu setoran, tapi juga ikut terjun langsung ke lapangan.”_(Kutipan cerpen Salah Paham_hal 45)

Dan sejauh ini saya menemukan satu cerpen romantis yang menjadikan ayam dan soto lamongan sebagai benang merah. Unik.

“Enak, kan? Soto ayam yang tadi lo makan adalah makanan khas lamongan. Jadi, nggak perlu takut lagi dengan ayam. Lo berhasil mengalahkan trauma lo.”_(Kutipan cerpen Gara-Gara Soto Lamongan_hal 80)

Ada satu cerpen yang cukup unik, Cinta Indonesia. Di sini saya merasakan getaran haru dan banyak hal yang ingin disampaikan penulis. Misal tanggung jawab selaku anak sulung.

“Aku tidak ingin adik-adik putus sekolah lantaran tidak punya biaya. Maka kuputuskan untuk tidak melanjutkan sekolah dan memilih untuk bekerja.”_(Kutipan cerpen Cinta Indonesia_hal 112)

Dan yang saya acungi jempol, kutipan berikut. Keren.

“Aku tersenyum getir. Dalam hati ingin sekali marah dan berteriak kepada seluruh dunia bahwa Indonesia bukan negara teroris seperti yang mereka kecamkan.”_(Kutipan cerpen Cinta Indonesia_hal 114)

Bagian belakang buku ini menyuguhkan cerita dengan judul cukup menohok, yang oleh penulis kemudian dijadikan judul buku. Namun dalam cerita ini ada hal positif yang bisa dipetik, terutama untuk mereka yang selalu malu berstatus jomblo. Hehehe ....

“Di saat jomblo, kita nggak akan dipusingin soal pacar dan tetek-bengek semacamnya. Dan yang paling penting adalah memanfaatkan ke-jomblo-an itu untuk hal-hal positif. Salah satunya adalah berkarya.”_(Kutipan cerpen Jomblo? So What?_hal 149”

Di cerpen terakhir, ada peringatan lawas yang sering dilontarkan para orang tua, yang semakin dipikir semakin benar adanya.

“Dengar, ya, anak muda, untuk membina rumah tangga itu tidak cukup hanya bermodal cinta, tapi juga materi.”_(Kutipan cerpen Cinta Sehari_hal 156)

Seperti apa buku ini secara keseluruhan? Yuk, segera miliki bukunya.

_*_

Review:
Buku ini berisikan kumpulan cerita yang sangat berkaitan dengan keseharian. Ceritanya ringan, mengangkat banyak tema dan disampaikan dengan lugas. Saya tidak menemukan upaya penulis untuk memadukan diksi yang wow, semua mengalir apa adanya. Mungkin memang seperti itu konsep yang diusung. Namun di situlah kelebihannya. Saya lebih merasa membaca curhatan seseorang ketimbang cerpen. Usaha penulis menyampaikan maksud cerita menurut saya cukup berhasil.

Meskipun cerita dalam buku ini biasa kita jumpai di kehidupan nyata, tapi penulis menyelipkan pesan-pesan tersembunyi dengan makna cukup dalam, menjadi poin plus di tiap-tiap cerita.

Namun, masih banyak typo dan beberapa pondasi cerita kurang kuat, ngambang, hingga terasa agak bertele-tele.

Overall, buku ini cocok buat kamu yang ingin memetik banyak pelajaran namun dalam balutan kisah yang membumi.

Sabtu, 23 Desember 2017

Review Novel: Star of You



Judul            : Star of You

Penulis        : Shan A. Fitriani

Penerbit      : Namina Books

Editor           : Ayesha Azrina Ruby

Cetakan        : Pertama, 2017

Tebal             : 384 hlm

ISBN              : 978-602-60229-2-9

Blurb:
Emily sangat mencintai seorang pria yang terpaut delapan tahun lebih tua darinya, sejak ia masih kecil. Rasa cintanya bermula ketika pria itu menolongnya ketika ia masih berumur sembilan tahun. Walau pria itu sering bersikap dingin dan mengeluarkan kata-kata pedas, hal itu tidak pernah menyurutkan rasa cintanya. Baginya, Eric cinta pertama dan terakhirnya.

Bagi Eric, Emily tidak lebih dari seorang pengganggu dan perusak hari-hari. Entah kenapa dia begitu benci melihat Emily. Ia selalu menyuruh gadis itu pergi, tapi gadis itu malah tersenyum dan kembali ke sisinya. Suatu hari ia melakukan hal yang melebihi batas sehingga Emily tak hanya pergi dari hadapannya, melainkan juga pergi dari kehidupannya.

_*_

Alur Cerita:
Sejak diselamatkan dari dua bocah nakal yang ingin merebut permennya waktu masih berumur sembilan tahun, Emily menganggap Eric adalah pangerannya, meski pria yang delapan tahun lebih tua darinya itu sangat benci dengan apa pun kelakuan Emily.

Fakta paling menyenangkan dari kawasan hunian yang baru ditinggali Emily bersama keluarganya adalah, ternyata ia tetangga dengan pangerannya, Eric.

Maka hari-hari menyenangkan bagi Emily, namun memuakkan bagi Eric pun dimulai. Emily dengan pembawaan yang ceria selalu bersemangat menunggu atau sengaja mencuri momen untuk melihat Eric. Baginya, itu sumber energi. Meski selalu bersikap dingin, bahkan sesekali agak kasar, Eric tetap selalu memesona di mata Emily, pria itu tetap pangeran penyelamatnya.

“Setiap pagi sebelum berangkat sekolah dia menyapa Eric. Ketika sore hari ia akan menyempatkan waktu berkunjung ke rumah Eric untuk melihat pria itu sambil bermain dengan kucing peliharaan Merida. Saat malam datang, ia akan berdiri di beranda kamar, menunggu Eric yang mengerjakan tugas kuliah ditemani secangkir kopi panas.”_(hal 20-21)

Emily yang kadang bertingkah kelewat batas sebenarnya hanya ingin menarik perhatian Eric. Sesederhana itu. Eric benci dengan kemunculan Emily karena selalu saja merusak hari-harinya. Pun sesederhana itu. Dan jika dipadukan, ini jelas tidak sederhana, teramat rumit malah.

Eric selalu dingin, dan tak pernah menganggap keberadaan Emily. Namun cinta gadis itu terlampau besar untuk membuatnya patah semangat. Ia tetap selalu bisa kembali ceria dan lagi-lagi mencari perhatian Eric dengan berbagai cara. Untung mamanya Eric menyukainya, itu banyak membantu.

“Hampir setiap saat ia memimpikan hal yang begitu indah tentang Eric. Mulai dari mendengar pernyataan cinta Eric, memeluk Eric, hingga berciuman dengan Eric seperti semalam layaknya mereka adalah pasangan kekasih yang paling bahagia. Sepertinya, rasa cintanya yang begitu besar terhadap pria itu membuatnya terbawa mimpi. Bagaimana tidak? Setiap hari yang ada di pikirannya hanyalah Eric, Eric, dan Eric.”_(hal 79)

Meski sangat jarang dan kadang dilakukan karena terpaksa, Eric bisa menjelma bak pangeran sungguhan di mata Emily di balik sikap dinginnya. Sebenernya yang pria itu lakukan bukan apa-apa, tapi sangat manis dan berkesan di mata Emily, membuatnya semakin bersemangat memperjuangkan cinta yang telah dipeliharanya selama delapan tahun.

Di samping perjuangan cinta Emily, ada misteri yang menguar, hadir dari seseorang yang diam-diam mengumpulkan informasi apa pun tentang Emily. Juga Alex, teman sekelas Emily yang bergaya kutu buku yang diam-diam punya sisi mencurigakan.

Ini bukan masalah sepeleh, keluarga Emily ternyata berhutang pada perusahaan tempat ayahnya bekerja. Jumlahnya pun tak tanggung-tanggung dan sudah jatuh tempo. Jalan keluar satu-satunya hanya jika Emily bersedia menerima lamaran pemimpin perusahaan itu.

Gawat! Ini bukan hanya soal menikah dengan orang yang tidak dicintai, tapi juga perihal melepas obsesinya terhadap Eric.

Namun, bagaimana jika ternyata Emily mengenal pria yang telah melamarnya melalui kedua orangtuanya itu? Dan ternyata sangat baik, bahkan berhasil meyakinkan Emily?

Eric merasa kembali hidup normal setelah cinta masa lalunya kembali, sampai-sampai ia semakin ketus kepada Emily. Puncaknya ketika ia benar-benar memuntahkan seluruh kedongkolannya dan sukses menyakiti hati Emily kali ini. Sangat sakit. Pada akhirnya Emily sadar, ia harus mengakhiri obsesinya terhadap pria yang tak pernah menghargainya itu.

“Dan satu lagi, aku takkan mengganggumu dan kehidupan bodohmu lagi. Sepertinya aku terlalu buta mencintaimu hingga mengabaikan semua keburukanmu padaku.”_(hal 157)

Lantas, akankah Emily menerima lamaran itu dan melupakan Eric selama-lamanya? Sedang Eric, benarkah Emily sebatas pengganggu di hidupnya selama ini? Segera miliki buku ini dan temukan jawabannya.

_*_

Review:
Saya jatuh cinta dengan opening novel ini yang teramat manis. Di sana penulis semacam memanjakan pembaca dengan bahasa yang cute namun berenergi, sebelum menyuguhkan kerumitan yang sesungguhnya.

Tentang memperjuangkan cinta sejati menjadi sangat menarik karena dibalut kekocakan Emily yang beberapa bagian sukses bikin ngakak. Namun dilembar berikutnya bisa jadi kita kembali prihatin. Itulah uniknya. Penulis menggambarkan karakter Emily cukup baik. Tingkahnya sukses bikin gemes, sebel, kasihan, pokoknya campur aduk.

Selain Emily, kemisteriusan Alex juga sukses menyedot perhatian, yang membuat kita tak sabaran untuk melangkah ke halaman selanjutnya. Sumpah, sosok Alex ini membuat saya menerka-nerka di awal hingga pertengahan cerita.

Tema cerita macam ini sebenarnya sudah lumayan banyak digunakan, tapi rahasia-rahasia kecil yang disembunyikan penulis sukses membuat cerita ini berbeda. Meski di beberapa bagian interaksi Emily dan Eric kurang natural, agak dipaksakan menurut saya. Tapi hal ini tertutupi dengan kedetailan penulis dalam bercerita, hingga kita bisa dengan mudah memvisualisasikan tiap adegannya. Meski untuk setting masih samar-samar. Selain itu, ada beberapa kata di luar dialog yang tidak baku.

Secara tampilan novel ini sudah kece, layout-nya cantik. Hanya perlu ditambahkan pemenggalan kata agar baris katanya tidak terlalu renggang.

Overall, novel ini cocok banget untuk kamu yang sedang memperjuangkan cinta sejati, atau kamu yang belum bisa memilah, mana cinta yang patut dipertahankan. Meski bertemakan perjuangan cinta, tapi kisahnya tidak terlalu rumit, kok, gak bakal bikin pening. Hehehe .... Dari sini kamu juga bisa menemukan banyak pelajaran.

Minggu, 17 Desember 2017

Review Novel: Pieces of Us



Judul            : Pieces of Us

Penulis        : Handi Namire

Penerbit      : Clover

Editor           : Vivekananda Gitandjali TD

Kover           : Jeanne

Cetakan       : Pertama, 2017

Tebal            : 257 hlm

ISBN             : 9786024286774

Blurb:
Kayrin pendiam dan jarang bergaul. Kesukaannya pada warna hitam dan hobi mengenakan pakaian hitam membuatnya semakin terkucil. Tak ada yang tahu bahwa sebenarnya, Kayrin menyimpan obsesi untuk menjadi penari balet.

Pertemuan dengan Evan, pemuda yang selalu berpenampilan ala anak punk, membawa perubahan dalam hidup Kayrin. Hanya Evan yang tahu mimpi Kayrin. Dan melalui Evan pula, Kayrin terlibat hubungan aneh dengan roh seorang gadis korban kecelakaan yang tengah koma, Fania.

Gara-gara Fania, untuk pertama kalinya, Kayrin melihat "hantu". Hantu yang memiliki satu tujuan, yakni menyelamatkan Evan. Dan Fania menyeret-nyeret Kayrin dalam lingkaran rumit hubungan Evan dan Fania, yang mungkin juga akan berpengaruh pada obsesi Kayrin.

_*_

Alur Cerita:
Kayrin yang berpenampilan serba hitam tidak sengaja bertemu pemuda perpenampilan ala punk di dalam lift rumah sakit. Perpaduan keduanya terang saja mengundang tatapan aneh dua perawat yang kebetulan bergabung dengan mereka.

Sekadar tatapan aneh meningkat jadi sindiran, dan pemuda itu tidak terima dibilang aneh. Ia nyaris mencelakai salah seorang perawat itu kalau saja pintu lift tidak terbuka. Sial, pas ada sekuriti. Pemuda itu segera kabur dan membawa serta Kayrin dalam pelariannya.

Begitulah awal interaksi Kayrin dengan pemuda itu. Mereka berdebat, saling menyalahkan atas insiden di dalam lift.

Sekolah Kayrin didatangi geng motor dari SMA Buana XI, geng motor yang siapa pun tahu tidak akan selamat jika berurusan dengan mereka. Ketua mereka merangsek masuk dan mendatangi kelas Kayrin, mencari Wildan, ketua tim basket.

Saat ketua geng motor itu melepas helmnya, Kayrin tersentak. Ia pemuda aneh berpenampilan ala punk yang ditemuinya di rumah sakit.

“Si pengemudi itu adalah pemuda punk di rumah sakit kemarin. Pemuda yang berpenampilan punk lengkap dengan tindik, sepatu bot, dan jaket kulit yang membungkus seragam putih abu-abu. Seperti kemarin, Kayrin merasakan tatapan dingin di mata pemuda itu. Namun, kali ini mungkin lebih ekstrem karena di wajahnya tersirat kemarahan. Ia berjalan ke arah kelas Kayrin. Seolah dari awal, pemuda itu memang mengincar seseorang yang ada di dalam kelas XI MIA-D itu.”_(hal 34)

Namanya Evan Satria. Umurnya 19 tahun, setahun lebih tua dibanding umur sewajarnya anak SMA kelas XII. Itu karena ia sering pindah sekolah sebelum masuk ke SMA Buana XI yang dikenal sebagai sarang preman.

Evan dengan kemarahan memuncak, menyeret Wildan ke lapangan basket dan membuatnya babak belur di sana. Ia punya alasan kuat atas kebrutalannya itu. Bahkan gertakan wali kelas Wildan pun yang tiba di lokasi, tidak membuatnya gentar.

Sebelum pergi setelah puas melampiaskan amarahnya, Evan mengenali salah seorang siswi sebagai orang yang tidak sengaja terlibat insiden di lift rumah sakit kemarin, gadis berpakaian serba hitam. Ini kali kedua Evan melihatnya, tentu saja dengan tampilan siswi SMA pada umumnya, tanpa pakaian serba hitamnya.

Kali ketiga bertemu Kayrin, Evan makin terenyak. Ia menemukan gadis itu sebagai guru balet adik sepupunya. Astaga, tiga kali pertemuan dengan image yang berbeda. Hal ini diam-diam membuat Evan penasaran akan sosok Kayrin yang sebenarnya.

“Lalu sekarang gadis itu mengenakan leotard dengan rok pendek dan stocking yang memperlihatkan lekuk tubuhnya. Juga sepatu balet yang terlihat feminin. Siapa sih cewek ini?”_(hal 57)

Suatu hari ia mengajak Kayrin mengunjungi temannya yang sedang koma di rumah sakit, seorang gadis cantik berkulit pucat bernama Fania. Sehabis menjenguk gadis inilah sebelum pertemuan pertamanya dengan Kayrin di lift waktu itu. Sedang Kayrin, sama seperti Evan, juga habis menjenguk temannya.

Evan bercerita banyak soal Fania yang katanya punya banyak kemiripan dengan Kayrin. Sebenarnya Kayrin lebih penasaran kecelakaan apa yang menyebabkan Fania koma, tapi tampaknya Evan belum mau mengungkit hal itu.

Sepulang dari rumah sakit, di tangga gedung menuju studio apartemennya, Kayrin berpapasan dengan sosok aneh. Lebih aneh lagi, sosok itu adalah gadis koma di rumah sakit yang baru saja ditemuinya, Fania.

Benarkah sosok itu Fania?

Kata Evan, Fania pun penari balet seperti Kayrin. Perihal kesukaannya pada balet, Kayrin tidak pernah bercerita ke siapa pun selain Mama, termasuk Rilan, sahabatnya sejak SD.

Fania lega. Setelah cukup lama berputar-putar tidak jelas antara hidup dan mati, akhirnya ada orang yang bisa melihatnya, Kayrin. Ia pun memohon kepada Kayrin agar mau menampungnya untuk sementara. Kayrin tentu saja kaget. Tapi setelah Fania memelas dengan penjelasan panjang lebar, Kayrin tidak punya pilihan.

Namun nyatanya tak sampai di situ, Fania malah meminta Kayrin bicara sama Evan, mencari tahu penyebab kecelakaannya. Ia berencana meminjam tubuh Kayrin untuk dirasukinya. Tentu saja Kayrin keberatan.

“Kayrin bergidik dengan ide yang dilontarkan Fania. Sangat tidak masuk akal baginya. Bahkan sampai mati pun rasanya tidak ada orang yang mau dimintai permintaan semacam itu.”_(hal 88)

Namun Fania menjanjikan sesuatu yang sangat berkaitan dengan impian Kayrin. Pada akhirnya Kayrin tidak bisa mengelak. Dan sejujurnya ia pun sangat penasaran dengan kejadian sebelum Fania terbaring koma.

Kecelakaan apa yang dialami Fania? Berhasilkah Kayrin mengabulkan permintaannya? Apa pula yang dijanjikannya sebagai balasan? Penasaran? Segera miliki buku ini dan temukan jawabannya.

_*_

Review:
Ini pertama kalinya saya membaca novel yang mengangkat unsur balet dengan porsi cukup besar. Sungguh pengalaman baca yang baru. Kisah di luar horor yang melibatkan "roh" memang bukan hal baru, tapi yang ini dikemas unik dan didukung banyak faktor pembeda yang sangat sayang untuk dilewatkan.

Novel ini unik, teenlit, tapi aura-auranya nggak berasa teenlit banget yang sejauh pengamatan saya identik dengan bahasa sederhana, ngepop, dan cenderung to the point. Struktur bahasanya berbobot, banyak quote menarik, bahkan beberapa bagian terkesan puitis.

Di lembar-lembar pertama penulis bercerita dengan bahasa yang menggebu-gebu, penuh semangat, dan mengalir lancar. Penulis mengabaikan embleng-embleng tidak penting, mengupayakan secepat mungkin kita menyatu dengan kisah yang sedang disajikan.

Karakter masing-masing tokoh sangat kuat. Sejak pengenalan pertama, mereka langsung tercetak jelas di ruang imaji. Selain itu, yang membuat cerita ini sukses menyedot perhatian adalah kesukaan Kayrin yang sungguh di luar koridor. Perpaduan warna hitam dan balet sungguh langka, membuat cerita ini cukup memorable.

Di awal saya sempat geli, bahkan meragukan kemampuan penulis bisa konsisten hingga akhir tanpa cacat. Nyatanya salah besar. Dari awal hingga akhir penulis berhasil mempertahankan suhu cerita. Kayrin dan dunianya berhasil membuat saya jatuh cinta, dan mulai membuka pikiran bahwa tidak ada salahnya memadukan hal-hal yang awalnya mungkin terkesan aneh.

Novel ini mengandung banyak percikan teka-teki yang sukses membuat "tak ingin berpaling", rasanya gatal pengin terus membalik halamannya. Dan yang paling saya suka adalah cara penulis membuat Kayrin menggapai impiannya, it's real, tetap melibatkan kegagalan dan kondisi tokoh hingga jauh dari kesan basi. Saya juga suka latar belakang kehidupan Evan yang sukses menyentuh titik haru saya.

Namun, sepanjang bercerita penulis kurang konsisten untuk penyebutan "pemuda" dan "laki-laki". Ada yang memang sesuai konteks, tapi ada juga yang seharusnya tetap pakai salah satunya. Saya juga menemukan dua kali salah penulisan nama.

Overall, novel ini cocok banget untuk remaja yang tengah berjuang meraih mimpi, apa pun. Bahwa selalu ada hal yang merintangi langkah, dan selalu pula ada jalan lain untuk menuju ke sana. Dan yang paling penting, kita harus selalu bisa berdamai dengan kenyataan.

Rabu, 13 Desember 2017

Review Kumcer: Dua Sejoli



Judul            : Dua Sejoli

Penulis        : IkhsanArdiansyah

Penerbit      : PPMPI Publisher

Editor          : Tim PPMPI

Kover           : Tim PPMPI

Layout         : Tim PPMPI

Cetakan       : Pertama, Oktober 2017

Tebal            : 178 hlm

ISBN             : 9786025422874

Nukilan:
“Pada dasarnya semua orang adalah penulis. Hanya saja mereka perlu mengasah kemampuan dan meningkatkan keterampilan dalam menulis.”_(Ikhsan Ardiansyah_hal 1)

Untuk pertama kalinya saya obrolin buku kumpulan cerita mini komedi. Ini semacam petualangan baru. Jujur, saya sangat penasaran seperti apa penulis menuang ide dalam buku ini.

“Sayang, aku ganteng, tidak?”
“Gaaanteng banget.”
“Terima kasih.”
“Kalau lagi sendiri.”
“Apa?”_(hal 2)

Bagian-bagian awal saya disuguhkan komedi ala-ala rayuan gombal yang sudah marak kita dengar. Namun di sini penulis memberikan pelesetan, jadinya nggak basi.

“Satu tambah satu berapa?”
“Nggak mau jawab. Pasti jawabannya tiga.”
“Yeee ... salah.”
“Terus apa?”
“Tetap satu.”
“Kok bisa?”
“Soalnya satu cinta untuk kamu.”
“So sweet. Terus, satu lagi ke mana?”
“Buat dia.”
“Maksudmu cewek lain?”
“Ups.”
Plakk! Sandal melayang._(hal 22-23)

Harus saya akui, buku berkonsep sederhana ini kaya akan tema.

“Yang, aku baca status para penulis, mereka mengeluhkan penerbit abal-abal. Itu penerbit apa ya?”
“Penerbit abal-abal itu penerbit yang suka main bola. Tendang sana tendang sini.”_(hal 40)

Saya salut dengan kejelian penulis memetik ilham dari situasi apa pun. Dan hasilnya memang lucu. Hehehe ....

“Kira-kira jadi nih lebaran besok?”
“Kayaknya tidak jadi, deh.”
“Loh, memang sudah diumumkan sidang isbatnya?”
“Sudah. Katanya dipending bulan depan. Soalnya belum beli baju lebaran.”_(hal 42)

Asyik sekali membaca buku ini. Ada sensasi yang tidak ditemukan di buku lain. Meskipun cuma cerita mini, penulis tak lupa mengingatkan pentingnya bersikap nasionalis.

“Yang, kunci inggrisnya dong.”
“Sayang, kamu ini pintar melucu. Kita ini lagi di Indonesia. Harusnya kamu pakai kunci Indonesia. Lagipula kamu itu orang Indonesia, masa suka yang inggris-inggris? Mana jiwa nasionalismemu?”
“Kamu itu ngomong apa, sih, Sayang? Yang kamu pegang itu namanya kunci inggris!”_(hal 93)

Di samping itu, sudut agamawi pun tak dilupakan.

“Berarti dia kayak mi kemasan. Serba instan. Kita doakan, ya, Sayang, semoga dia masuk surga secara instan. Tidak perlu beribadah, beramal sholeh dan berbuat baik pada orang.”_(hal 109)

Makin ke belakang buku ini semakin lucu saja, ketika penulis menggunakan peribahasa lawas sebagai ide dasar cerita.

“Yang, renang, yuk.”
“Renang di mana?”
“Bagaimana kalau di kolam belakang rumah temanku. Gratis. Tidak usah bayar.”
“Yang di kampung sebelah itu? Tapi kan airnya keruh.”
“Tidak apa-apa. Nanti kan kita bisa sambil memancing.”
“Memang ada ikannya?”
“Kan ada peribahasanya. Memancing ikan di air keruh. Berarti di air keruh banyak ikannya. Iya, kan?”_(hal 124)

Yang tak lupa saya soroti, penulis juga mampu menuang cerita dari hal-hal kecil, yang mungkin tidak terpikirkan oleh penulis lain.

“Yang, lihat deh kucing itu, mereka bermain pasir berdua. Romantis banget, ya.”
“Romantis apanya. Mereka bukan lagi bermain pasir, tapi siap-siap mau buang hajat! Dasar peak!”_(hal 140)

Selebihnya, segera miliki saja buku ini dan bersiaplah untuk terpingkal-pingkal. Hehehe ....

_*_

Review:
Upaya menghibur diri benar-benar berhasil dengan membaca buku ini. Secara garis besar buku ini berisi rangkuman interaksi dua sejoli gokil yang entah bermukim di mana. Bahasanya sangat keseharian, meski ada beberapa cerita yang lucunya agak maksa.

Menurut saya ini semacam spontanitas yang menemukan wadah kreatif yang tepat. Serapan dari segenap realita kehidupan yang dikemas apik dengan tujuan yang jelas, menghibur. Penyalurannya sungguh positif.

Meski buku ini mengambil potret kehidupan sehari-hari, menurut saya temanya cukup luas. Penulis meleluasakan diri membahasakan apa pun. Perasaan saat membacanya jadi campur aduk. Kadang gemes, melongo, geli, dan banyak lainnya.

Namun, pengulangan tema untuk beberapa cerita menurut saya kurang efektif. Bahkan, ada beberapa cerita yang nyaris sama persis.

Overall, buku ini bisa banget menemani aktivitas kita sehari-hari. Maksudnya gini, bisa dibaca sambil nunggu antrean, atau saat terjebak macet. Daripada bersungut-sungut tidak jelas, kan?

Jumat, 08 Desember 2017

Review Novel: Head Over Heels


Judul            : Head Over Heels

Penulis        : IndahHanaco

Penerbit      : Histeria

Editor           : Sony Adams

Kover            : Janat Tajri

Cetakan        : Pertama, Oktober 2017

Tebal             : 390 hlm

ISBN              : 978-602-6673-80-0

Blurb:
Mereka punya cerita patah hati sendiri yang tidak tersembuhkan oleh waktu. Hingga mereka bertemu di Pulau Nias, di suatu dini hari. Pagi yang belum merekah sempurna itu menjadi awal kisah serupa benang kusut yang menautkan Milo dan Btari.

Keduanya bertengkar dan saling bantah tak kenal musim. Sampai di titik jenuh yang menjungkirbalikkan semua. Btari dan Milo tak pernah menduga, cinta bisa menaklukkan keduanya.

_*_

Alur Cerita:
Entah bagaimana mulanya cinta yang teramat agung tumbuh di hati Btari untuk Felix, tetangganya yang kemudian menetap di San Diego setelah menyelesaikan pendidikan. Sepintas, mengingat sosok Felix yang rupawan, mungkin mudah menemukan jawabannya. Namun lebih daripada itu, Btari punya alasan tersendiri.

Jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, Btari hanya ingin punya kesempatan bisa menunjukkan perasaannya. Mungkin ia akan punya sedikit keberanian setelah tumbuh dewasa. Namun sebelum itu terjadi, Felix telanjur menetap di San Diego.

Celakanya, sosok Felix perlahan-lahan meracuni kehidupan asmara Btari yang tak pernah langgeng. Semua pria yang dekat dengannya dibanding-bandingkan dengan Felix. Terakhir Keenan, yang sebenarnya memenuhi standar untuk menjadi pria idaman wanita.

“Felix sangat menyerupai hantu, menyelinap dalam setiap kesempatan saat aku bersama pacarku. Meski cuma berupa gema nama dan bayangan yang tidak nyata belaka. Aku putus asa saat tahu aku tak mampu melupakannya. Padahal, kami tidak punya hubungan spesial yang bisa dikenang.”_(hal 22)

Btari harus menjalani episode baru patah hatinya, sebab Felix akan bertunangan di sana, dan segera menikah.

Berbeda dengan Btari, Milo punya kasus patah hati sendiri. Ia sengaja sekolah, lalu bekerja di Sidney demi meninggalkan Jakarta, kota yang melatarbelakangi kisah suramnya bersama Anneke. Namun suatu hari ia kembali. Selain menerima tawaran kerja, memenuhi keinginan orangtuanya, ada alasan lain yang sulit dijabarkan.

Lalu, kedua insan dengan cerita patah hati masing-masing itu dipertemukan di Pulau Nias. Percayalah, pertemuan mereka terlalu buruk untuk ukuran pertemuan pertama, kejadian konyol yang merembes ke mana-mana. Tapi, di sinilah kisah mereka bermula.

Setelah dipertemukan oleh kejadian konyol di suatu dini hari, ada-ada saja yang membuat hari-hari Milo dan Btari saling bertautan. Perdebatan ringan nan menggelitik pun tak terelakkan. Hal ini membuat selera liburan Btari surut seketika. Hari-hari menyenangkan di Pulau Nias yang dibayangkannya sebelum tiba di tempat itu, menguap entah ke mana. Namun ada hal lain yang membuat Btari takjub, karena sibuk mengurusi kekesalannya pada Milo, ia mampu melupakan Felix. Berhasil melalui beberapa hari tanpa menggemakan nama pria itu, sungguh sebuah prestasi.

Bagi Btari, kejadian dini hari itu cukup mengesalkan dan tidak perlu dibahas. Namu bagi Milo, kejadian itu cukup menyenangkan untuk terus diungkit-ungkit. Dan Tuhan malah membuka jalan untuk itu. Sekembalinya dari Nias, Milo mendapati Btari sebagai salah satu karyawati di kantor barunya. Maka perdebatan menggelitik di Nias sepertinya akan berlanjut di sini.

Menyadari kehadiran Milo sebagai manajer baru di bagian promosi di perusahaan tempatnya bekerja, sungguh bencana bagi Btari. Ia sudah membayangkan betapa tidak menyenangkannya hari-hari selanjutnya di kantor itu.

“Btari mengira dirinya terkena penyakit asma tiap kali melihat Milo. Pria itu, dengan caranya sendiri, telah membuat teror menakutkan untuk Btari. Tiap kali mereka berpapasan, Milo memberikan tatapan--jangan bertindak bodoh kalau ingin rahasiamu aman--yang membuat mual. Btari dengan amat sangat terpaksa cuma mampu menahan kesal.”_(hal 136)

Setiap hari Btari menghindar sepenuhnya, mengusahakan tak ada kontak sedikit pun dengan pemilik nama tak kreatif itu (menurut Btari, nama Milo hanya hasil nyontek merek susu cokekat terkenal). Berbeda dengan Milo, ia malah berusaha mengakrabkan diri dengan gadis yang dipanggilnya anak kecil itu. Bahkan terkadang melangkahi batas atasan dan bawahan.

Entah kenapa naluri untuk menggoda Btari dirasakan begitu kuat oleh Milo. Ada kesenangan tersendiri saat mendapati gadis itu bersungut-sungut. Tingkahnya menggemaskan.

"Milo tidak tahu mengapa dia selalu mendapat dorongan aneh untuk mengganggu Btari dalam berbagai kesempatan. Meski berusaha keras mencari tahu dan bertanya pada dirinya sendiri berkali-kali, tidak ada jawaban yang memuaskan. Monolog panjang di benaknya tidak menghasilkan petunjuk apa pun."_(hal 140)

Sedang Btari, di balik kepasrahan dan ketabahannya digodai Milo bersenjatakan masih kejadian dini hari di Pulau Nias itu, diam-diam tanpa sadar, ia kadang memuji pria yang memang rupawan itu. Terutama senyumnya.

Selain memang sedikit mengesalkan dengan sikap keingintahuan yang tinggi, Btari menghindari Milo hanya karena tidak ingin jadi bahan gosip di kantor. Demi apa coba seorang manajer baru langsung sok akrab dengannya?

Tapi sayang, aksi menghindar Btari sangat dibenci Milo. Ia ingin mereka bersikap normal layaknya orang dewasa yang memang pernah kenal sebelumnya sebelum di kantor itu. Sebenarnya Btari paham, tapi entah kenapa, dekat-dekat dengan pemilik nama tak kreatif itu seolah mengancam keselamatannya. Ketentraman lebih tepatnya.

Maka hari-hari panjang tak mengenakkan bagi Btari, namun menasyikkan bagi Milo dengan segala keusilannya, terus bergulir. Hingga pada titik yang tak disadari keduanya, perlahan-lahan interaksi mereka mulai normal. Dan Btari semakin kehilangan kemampuan untuk menolak apa pun keinginan Milo.

Bagaimana Btari menghadapi semua keusilan Milo? Dan seperti apa hubungan mereka pada akhirnya? Yuk, miliki bukunya dan jadilah saksi betapa menggelitik interaksi keduanya.

_*_

Review:
Dua bab pertama novel ini membuat saya langsung jatuh cinta. Di sana penulis mengawali kisah ini dengan memaparkan struktur patah hati kedua tokoh utama kita yang nantinya bikin gemes dengan segala bentuk interaksinya. Penggunaan POV1 dari masing-masing kacamata tokoh membuat kita lebih cepat mengenal mereka. Opening yang sukses menurut saya. Tidak hanya membangun mood, tapi juga menjadi pondasi yang menjanjikan untuk bangunan cerita yang kokoh.

Secara garis besar kisah ini berputar di sekitar Milo dan Btari, bagaimana awal pertemuan mereka yang tak lazim, hingga cara menyadari perasaan masing-masing yang juga tak lazim. Meski demikian, interaksi keduanya sangat natural. Kalimatnya empuk. Saya banyak menemukan padanan kata yang tak lazim yang membuat jalinan kalimatnya semakin berbobot. Di samping itu, penulis punya banyak detail kecil yang berhasil membuat cerita ini memorable. Contoh kecil, julukan "Pria Bernama Tak Kreatif".

Yang tak lupa saya garis bawahi, setiap bab diawali kutipan yang sukses memicu rasa penasaran dan kecepatan baca. Dan, di salah satu bagian penulis mengenalkan tradisi Bawomataluo. Saya selalu terkesima dengan penulis yang berhasil menuang unsur lokal dalam karyanya. Itu semacam slogan "Saya Indonesia" (apa, sih?). Hehehe ....

Namun, alur cerita terasa agak lamban di tengah-tengah. Beberapa bagian bahkan terkesan jalan di tempat. Mungkin karena saya tipe pembaca yang nggak sabaran dan pengin selalu ada hal baru di setiap lembarnya. Ini soal selera. Hehehe ....
Oh ya, ada cacat produksi yang semoga tidak terjadi di buku lainnya, cukup di buku di tangan saya ini aja. Lumayan mengganggu kenikmatan baca soalnya.

Overall, novel ini cocok banget untuk kamu yang suka roman dengan konflik yang terbilang ringan, tapi berhasil mengaduk-aduk perasaan karena dieksekusi sedemikian apik. Dari sini kita kembali belajar, bahwa sesuatu yang berawalan "C" selalu datang dengan cara terajaib.