Minggu, 17 Desember 2017

Review Novel: Pieces of Us



Judul            : Pieces of Us

Penulis        : Handi Namire

Penerbit      : Clover

Editor           : Vivekananda Gitandjali TD

Kover           : Jeanne

Cetakan       : Pertama, 2017

Tebal            : 257 hlm

ISBN             : 9786024286774

Blurb:
Kayrin pendiam dan jarang bergaul. Kesukaannya pada warna hitam dan hobi mengenakan pakaian hitam membuatnya semakin terkucil. Tak ada yang tahu bahwa sebenarnya, Kayrin menyimpan obsesi untuk menjadi penari balet.

Pertemuan dengan Evan, pemuda yang selalu berpenampilan ala anak punk, membawa perubahan dalam hidup Kayrin. Hanya Evan yang tahu mimpi Kayrin. Dan melalui Evan pula, Kayrin terlibat hubungan aneh dengan roh seorang gadis korban kecelakaan yang tengah koma, Fania.

Gara-gara Fania, untuk pertama kalinya, Kayrin melihat "hantu". Hantu yang memiliki satu tujuan, yakni menyelamatkan Evan. Dan Fania menyeret-nyeret Kayrin dalam lingkaran rumit hubungan Evan dan Fania, yang mungkin juga akan berpengaruh pada obsesi Kayrin.

_*_

Alur Cerita:
Kayrin yang berpenampilan serba hitam tidak sengaja bertemu pemuda perpenampilan ala punk di dalam lift rumah sakit. Perpaduan keduanya terang saja mengundang tatapan aneh dua perawat yang kebetulan bergabung dengan mereka.

Sekadar tatapan aneh meningkat jadi sindiran, dan pemuda itu tidak terima dibilang aneh. Ia nyaris mencelakai salah seorang perawat itu kalau saja pintu lift tidak terbuka. Sial, pas ada sekuriti. Pemuda itu segera kabur dan membawa serta Kayrin dalam pelariannya.

Begitulah awal interaksi Kayrin dengan pemuda itu. Mereka berdebat, saling menyalahkan atas insiden di dalam lift.

Sekolah Kayrin didatangi geng motor dari SMA Buana XI, geng motor yang siapa pun tahu tidak akan selamat jika berurusan dengan mereka. Ketua mereka merangsek masuk dan mendatangi kelas Kayrin, mencari Wildan, ketua tim basket.

Saat ketua geng motor itu melepas helmnya, Kayrin tersentak. Ia pemuda aneh berpenampilan ala punk yang ditemuinya di rumah sakit.

“Si pengemudi itu adalah pemuda punk di rumah sakit kemarin. Pemuda yang berpenampilan punk lengkap dengan tindik, sepatu bot, dan jaket kulit yang membungkus seragam putih abu-abu. Seperti kemarin, Kayrin merasakan tatapan dingin di mata pemuda itu. Namun, kali ini mungkin lebih ekstrem karena di wajahnya tersirat kemarahan. Ia berjalan ke arah kelas Kayrin. Seolah dari awal, pemuda itu memang mengincar seseorang yang ada di dalam kelas XI MIA-D itu.”_(hal 34)

Namanya Evan Satria. Umurnya 19 tahun, setahun lebih tua dibanding umur sewajarnya anak SMA kelas XII. Itu karena ia sering pindah sekolah sebelum masuk ke SMA Buana XI yang dikenal sebagai sarang preman.

Evan dengan kemarahan memuncak, menyeret Wildan ke lapangan basket dan membuatnya babak belur di sana. Ia punya alasan kuat atas kebrutalannya itu. Bahkan gertakan wali kelas Wildan pun yang tiba di lokasi, tidak membuatnya gentar.

Sebelum pergi setelah puas melampiaskan amarahnya, Evan mengenali salah seorang siswi sebagai orang yang tidak sengaja terlibat insiden di lift rumah sakit kemarin, gadis berpakaian serba hitam. Ini kali kedua Evan melihatnya, tentu saja dengan tampilan siswi SMA pada umumnya, tanpa pakaian serba hitamnya.

Kali ketiga bertemu Kayrin, Evan makin terenyak. Ia menemukan gadis itu sebagai guru balet adik sepupunya. Astaga, tiga kali pertemuan dengan image yang berbeda. Hal ini diam-diam membuat Evan penasaran akan sosok Kayrin yang sebenarnya.

“Lalu sekarang gadis itu mengenakan leotard dengan rok pendek dan stocking yang memperlihatkan lekuk tubuhnya. Juga sepatu balet yang terlihat feminin. Siapa sih cewek ini?”_(hal 57)

Suatu hari ia mengajak Kayrin mengunjungi temannya yang sedang koma di rumah sakit, seorang gadis cantik berkulit pucat bernama Fania. Sehabis menjenguk gadis inilah sebelum pertemuan pertamanya dengan Kayrin di lift waktu itu. Sedang Kayrin, sama seperti Evan, juga habis menjenguk temannya.

Evan bercerita banyak soal Fania yang katanya punya banyak kemiripan dengan Kayrin. Sebenarnya Kayrin lebih penasaran kecelakaan apa yang menyebabkan Fania koma, tapi tampaknya Evan belum mau mengungkit hal itu.

Sepulang dari rumah sakit, di tangga gedung menuju studio apartemennya, Kayrin berpapasan dengan sosok aneh. Lebih aneh lagi, sosok itu adalah gadis koma di rumah sakit yang baru saja ditemuinya, Fania.

Benarkah sosok itu Fania?

Kata Evan, Fania pun penari balet seperti Kayrin. Perihal kesukaannya pada balet, Kayrin tidak pernah bercerita ke siapa pun selain Mama, termasuk Rilan, sahabatnya sejak SD.

Fania lega. Setelah cukup lama berputar-putar tidak jelas antara hidup dan mati, akhirnya ada orang yang bisa melihatnya, Kayrin. Ia pun memohon kepada Kayrin agar mau menampungnya untuk sementara. Kayrin tentu saja kaget. Tapi setelah Fania memelas dengan penjelasan panjang lebar, Kayrin tidak punya pilihan.

Namun nyatanya tak sampai di situ, Fania malah meminta Kayrin bicara sama Evan, mencari tahu penyebab kecelakaannya. Ia berencana meminjam tubuh Kayrin untuk dirasukinya. Tentu saja Kayrin keberatan.

“Kayrin bergidik dengan ide yang dilontarkan Fania. Sangat tidak masuk akal baginya. Bahkan sampai mati pun rasanya tidak ada orang yang mau dimintai permintaan semacam itu.”_(hal 88)

Namun Fania menjanjikan sesuatu yang sangat berkaitan dengan impian Kayrin. Pada akhirnya Kayrin tidak bisa mengelak. Dan sejujurnya ia pun sangat penasaran dengan kejadian sebelum Fania terbaring koma.

Kecelakaan apa yang dialami Fania? Berhasilkah Kayrin mengabulkan permintaannya? Apa pula yang dijanjikannya sebagai balasan? Penasaran? Segera miliki buku ini dan temukan jawabannya.

_*_

Review:
Ini pertama kalinya saya membaca novel yang mengangkat unsur balet dengan porsi cukup besar. Sungguh pengalaman baca yang baru. Kisah di luar horor yang melibatkan "roh" memang bukan hal baru, tapi yang ini dikemas unik dan didukung banyak faktor pembeda yang sangat sayang untuk dilewatkan.

Novel ini unik, teenlit, tapi aura-auranya nggak berasa teenlit banget yang sejauh pengamatan saya identik dengan bahasa sederhana, ngepop, dan cenderung to the point. Struktur bahasanya berbobot, banyak quote menarik, bahkan beberapa bagian terkesan puitis.

Di lembar-lembar pertama penulis bercerita dengan bahasa yang menggebu-gebu, penuh semangat, dan mengalir lancar. Penulis mengabaikan embleng-embleng tidak penting, mengupayakan secepat mungkin kita menyatu dengan kisah yang sedang disajikan.

Karakter masing-masing tokoh sangat kuat. Sejak pengenalan pertama, mereka langsung tercetak jelas di ruang imaji. Selain itu, yang membuat cerita ini sukses menyedot perhatian adalah kesukaan Kayrin yang sungguh di luar koridor. Perpaduan warna hitam dan balet sungguh langka, membuat cerita ini cukup memorable.

Di awal saya sempat geli, bahkan meragukan kemampuan penulis bisa konsisten hingga akhir tanpa cacat. Nyatanya salah besar. Dari awal hingga akhir penulis berhasil mempertahankan suhu cerita. Kayrin dan dunianya berhasil membuat saya jatuh cinta, dan mulai membuka pikiran bahwa tidak ada salahnya memadukan hal-hal yang awalnya mungkin terkesan aneh.

Novel ini mengandung banyak percikan teka-teki yang sukses membuat "tak ingin berpaling", rasanya gatal pengin terus membalik halamannya. Dan yang paling saya suka adalah cara penulis membuat Kayrin menggapai impiannya, it's real, tetap melibatkan kegagalan dan kondisi tokoh hingga jauh dari kesan basi. Saya juga suka latar belakang kehidupan Evan yang sukses menyentuh titik haru saya.

Namun, sepanjang bercerita penulis kurang konsisten untuk penyebutan "pemuda" dan "laki-laki". Ada yang memang sesuai konteks, tapi ada juga yang seharusnya tetap pakai salah satunya. Saya juga menemukan dua kali salah penulisan nama.

Overall, novel ini cocok banget untuk remaja yang tengah berjuang meraih mimpi, apa pun. Bahwa selalu ada hal yang merintangi langkah, dan selalu pula ada jalan lain untuk menuju ke sana. Dan yang paling penting, kita harus selalu bisa berdamai dengan kenyataan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar