Minggu, 31 Desember 2023

Rahasia Idola (Bab 1)

 


Koridor kelas XII memang selalu ramai di jam istirahat. Tapi hari ini sedikit lebih rusuh akibat kehebohan Delon membagikan pamflet Meet and Greet Gilang Rendra. Sebelum setenar sekarang, nama Gilang Rendra mungkin hanya dikenal oleh mereka yang senang berburu bacaan gratis di Wattpad. Setelah menuai respons positif, puisi-puisi yang ia publish di dunia orange itu dilirik oleh editor dari salah satu penerbit ternama. Buku kumpulan puisi perdananya yang rilis bulan lalu pun langsung laris manis bak kacang goreng di pasaran.

Bukkk ....

Entah kali keberapa Delon menabrak seseorang karena jalan miring mirip kepiting, atau sesekali malah mundur seperti undur-undur.

"Eh, Cebol, biasa aja dong!" protes korban tabrak jalan mundur Delon kali ini sambil memegangi pundaknya.

"Sori, nggak sengaja." Delon mempersembahkan cengiran lebar. Selalu seperti itu.

Siswa itu hendak beranjak setelah bersungut-sungut ketika Delon menahannya.

"Eh, lo udah tahu, belum, Gilang bakal ngadain Meet and Greet?" Delon menyodorkan pamflet.

"Seluruh dunia udah tahu keles. Lo-nya aja yang sok heboh."

"Eh, tapi dia sepupu gue, loh!"

"Bodo amat!" Siswa itu berlalu tanpa memberikan kesempatan kepada Delon untuk meyakinkannya perihal pengakuan barusan.

Delon menghela napas berat. Pamflet yang terabaikan kini menggantung lemas bersama lengan kanannya.

Gilang emang sepupu gue, tahu.

Setelah melakukan peratapan yang sebenarnya tidak terlalu perlu, Delon kembali beraksi, memastikan seisi sekolah itu tahu jadwal Meet and Greet Gilang Rendra, se-pu-pu-nya.

Sebenarnya Ratih sudah pasang kuda-kuda begitu melihat Delon memasuki kantin. Tapi ia selalu kalah tangkas. Bakwan kesukaannya pun secepat kilat berpindah ke mulut Delon.

"Iiihhh ... kebiasaan, deh. Lo, kan bisa pesen sendiri." Dengan tampang tak rela bercampur geram, Ratih masih berusaha meraih bakwan yang bentuknya tak utuh lagi.

"Ah, kelamaan."

Ratih meraih garpu dan mengacungkannya ke arah Delon yang tampak sangat menikmati bakwan sitaannya.

"Stop!" Alea yang sedari tadi sibuk dengan poselnya, menengahi. "Belum ada, loh, kasus pembunuhan hanya gara-gara bakwan." Cewek berambut lurus sepunggung itu melayangkan tatapan meruncing ke arah keduanya secara bergantian, merasa keasyikannya terganggu. Alea memang kerap jadi wasit dadakan untuk kedua sahabatnya itu yang hobi banget meributkan hal-hal sepeleh.

Delon duduk di samping Alea, diam-diam melirik bakwan yang masih tersisa di piring Ratih.

"Gue lagi nyimak info Meet and Greet Gilang, nih. Kalian ganggu aja." Alea mengembalikan fokus ke layar ponselnya.

"Ya ampun, Al, gue punya pamfletnya, nih." Delon menyodorkan beberapa lembar pamflet yang masih tersisa. "Ngapain masih baca di situ?"

"Di sini sekalian ada info pencarian host untuk booktour buku kedua Gilang yang bakal rilis beberapa bulan lagi."

"Lo daftar?"

"Ya iyalah!" Alea berkata dengan tampang semringah. Apa-apa soal Gilang memang selalu membuatnya bersemangat.

Entah bagaimana awalnya, entah dengan cara apa. Alea pun tak sengaja menemukan puisi-puisi Gilang di Wattpad, di tengah kebosanan kala itu. Bait demi bait ia terhipnotis, selanjutnya jatuh cinta. Puisi-puisi terbaru yang di-publish tak tentu waktu pun jadi hal utama yang paling dinantikannya.

Tentunya bukan cuma Alea, puisi-puisi Gilang Rendra memang mampu menyedot banyak perhatian pengguna Wattpad. Buktinya, viewers-nya terus menanjak dan pernah bertahan di ranking pertama selama seminggu penuh. Tak heran jika penerbit ternama lalu meminangnya.

"Eh, tapi serius, lo sepupunya Gilang?"

Delon mengembuskan napas malas. Bahunya merosot. Ini bukan kali pertama Alea mengajukan pertanyaan bernada meragukan barusan.

"Gue tahu, gue ...."

"Cebol." Ratih menimpali.

"Sedang Gilang ...."

"Song Joong Ki versi Indonesia." Lagi-lagi Ratih menyela, sukses mengacaukan suasana hati Delon.

"Eh, Miss Drama, gue nggak lagi ngomong sama lo, ya!"

"Sejak kapan ngomong sama lo mesti pake permisi?"

Mata Delon membola, tanda peperangan entah season keberapa baru saja dimulai. Alea yang sudah hafal akan seperti apa adegan selanjutnya, memilih kembali ke kelas. Lagian jam istirahat segera berakhir. Ada kalanya ia menyudahi perseteruan kedua sahabatnya itu dengan cara mengabaikan. Seisi sekolah sepertinya tahu, bahwa Delon dan Ratih tak pernah akur. Itu yang terlihat dari luar. Padahal sehari saja tak bertemu, mereka saling cari. Memang hanya Alea yang benar-benar paham cara mereka bersahabat.

Delon lekas menyusul Alea setelah gerakan lincah tangannya kembali berhasil merampas bakwan di piring Ratih.

"Cebooolll ...!" pekikan cewek penggila drama Korea itu mengundang seluruh tatapan penghuni kantin ke arahnya.

***

Karena tidak ada tugas yang harus dikumpulkan besok, sesorean ini Alea bisa foto-foto buku sepuasnya. Sebagai bookstagramer newbie, Alea sangat memperhatikan konsep foto-fotonya. Ia tidak ingin feed-nya berantakan. Ia kerap mengunjungi akun bookstragmer profesional untuk mempelajari tekhnik pengambilan gambarnya, pun tata bahasa saat mengulas sebuah buku.

Demi totalitas, ia tidak segan menyisihkan uang saku untuk berburu properti. Menurutnya, presentasi menarik merupakan salah satu pertimbangan sebelum penulis atau penerbit menawarkan kerjasama.

Alea hobi membaca dan rutin menulis review di blog pribadinya sejak SMP. Tapi untuk memadukannya dengan fotografi, lalu mencicipi dunia bookstagram, baru beberapa bulan terakhir. Ternyata menyenangkan. Bila dapat tawaran kerjasama, ia bisa menuntaskan nafsu membacanya tanpa perlu mengurangi jatah jajan.

Setelah merentangkan tule di lantai kamarnya, Alea mengambil beberapa buku yang akan dibacanya minggu ini. Sepertinya ia akan menerapkan konsep foto yang baru dipelajarinya dari akun bookstagramer luar negeri. Cukup dengan memiringkan badan ke kanan, ia meraih kotak ajaibnya, kotak berisi penuh berbagai macam properti yang selalu diletakkan di bawah meja belajar. Ia lantas mengeluarkan isinya dan mulai memilah mana-mana yang cocok untuk konsep fotonya kali ini.

Tiba-tiba gerakan tangannya terhenti pada sebuah miniatur mobil berbahan kayu yang dicat warna merah. Itu sama sekali bukan bagian dari properti, entah bagaimana bisa ada di dalam kotak. Biasanya Alea lebih senang meletakkannya di rak meja belajar, dipandangi dengan leluasa di tengah aktivitas belajar atau sekadar mengejar target bacaan. Sesaat Alea menatapnya dalam-dalam. Selalu seperti itu.

Mobil-mobilan itu mengingatkannya dua sisi kenanagan bertolak belakang yang sungguh takkan pernah ia lupakan. Alea beranjak meletakkannya di tempat seharusnya. Sebelum berbalik, ia mengelusnya seraya tersenyum getir, seolah mobil-mobilan berukuran sejengkal itu sangat berarti baginya.

Alea kembali menghampiri lokasi pemotretannya ketika Ratih menyelonong masuk ke kamar bernuansa biru itu. Alea hanya berdecak sambil geleng-geleng, tidak kaget. Ratih memang selalu seperti itu, menganggap seluruh tempat di dunia ini seolah tercipta untuknya, terlebih kamar ini.

"Eh, lo mau ngadain upacara pemujaan roh, ya?" Tatapan jail Ratih menyapu hamparan tule beserta serakan properti di lantai.

Alea mengacungkan kepalan tangan kanan sambil melebarkan lingkaran matanya. Melihat ancaman itu, Ratih berlagak sok takut dan mempercepat langkahnya ke arah tempat tidur dan duduk manis di sana.

"Papa-mama lo belum balik dari Amerika?" tanya Alea yang mulai sibuk menata posisi buku dan propertinya.

"Tahu, ah! Sibuknya udah kayak putaran bumi pada porosnya, nggak akan berhenti sebelum kiamat."

Alea tergelak. Sahabatnya itu memang selalu berlebihan dalam segala hal. Tak salah jika Delon menjulukinya "Miss Drama". "Jangan ngomong gitu, dong. Mereka sesibuk itu buat masa depan lo juga."

"Papa-mama lo juga sibuk, kan? Kerja juga, kan? Tapi mereka masih punya waktu, kok, buat lo." Ratih sudah sering memperdengarkan nada iri semacam itu.

"Kesibukan PNS dan pengusaha jelas beda, Rat. Jangan disamain! Harusnya lo bersyukur punya orangtua yang bisa menuhin semua kebutuhan lo."

"Emangnya lo nggak?"

Getaran ponsel membuat Alea mengangkat sebelah tangan dengan telapak menghadap ke Ratih, aba-aba agar jangan bersuara dulu. Ratih paham, posisi seperti itu berarti Alea baru saja mendapatkan notifikasi yang menurutnya jauh lebih penting dibanding peringatan ancaman bom bunuh diri. Ya, notifikasi dari akun Wattpad Gilang.

"Uuuhhh ... Gilang publish puisi baru. So sweet banget!" Nah, benar, kan? "Gue meleleh, Rat."

"Lo masih utuh, kok."

Alea hanya melempar lirikan tajam lalu kembali fokus pada layar ponselnya, mengulang lagi membaca puisi yang bahkan sudah dibacanya tiga kali.

"Kenapa, sih, lo suka banget sama puisi Gilang? Kenapa harus Gilang? Kan, penyair Indonesia banyak, yang karyanya jauh lebih berbobot dibanding cuma serangkaian rayuan gombal macam yang lo puja itu."

"Lo kenapa suka banget drama Korea, kenapa nggak nonton sinetron Indonesia aja yang episodenya sampai ribuan?"

"Ih, beda banget, keles. Ini soal rasa, Al."

"Nah, itu."

"Udah, ah. Gue mau nemenin mama lo masak. Susah ngomong sama lo."

Alea terkekeh tanpa mengangkat pandangan dari layar ponsel. Ia masih membaca puisi tadi, ini yang kelima kalinya.

Gilang, gue jatuh cinta sama puisi lo.

***

[Bersambung]

Klik link di bawah untuk baca lanjutannya;

KBM

KARYAKARSA

Sabtu, 30 Desember 2023

Calon Besanku Cinta Pertamaku (Bab 10)

 


Bandung, tahun 2016

Waktu untuk menunaikan salat Isya baru saja berpaling dari pondok pesantren Nurul Taqwa dan sekitarnya. Raul kembali menyibukkan diri di antara buku-buku pelajaran. Ia mematangkan persiapan untuk menghadapi ujian besok. Tiba-tiba konsentrasinya buyar oleh kemunculan Fahran yang melompat masuk melewati jendela.

"Astagfirullah! Antum bikin kaget saja." Raul mengelus-elus dadanya setelah terperanjat.

"Maaf. Lagian, kamu serius banget, sih."

"Antum habis menyeberang bukit lagi, ya?"

Fahran tidak menjawab. Ia beranjak duduk di tepi tempat tidur. Ekspresi yang sudah sering ia tunjukkan itu semacam pembenaran atas pertanyaan pemuda berkoko biru malam yang telah jadi sahabatnya sejak hari pertama tiba di pondok pesantren itu.

"Kok, tumben cuma sebentar?"

"Aida enggak ada di asrama." Fahran tertunduk lesu. "Laila bilang malam ini ia nginap di kediaman orangtuanya. Ini pasti kehendak Ustaz Ansara."

"Ustaz Ansara telah mengambil tindakan yang tepat."

"Maksudnya?" Fahran mengernyit.

"Ayah mana pun enggak akan rela kalau sampai terjadi sesuatu yang buruk pada putrinya."

"Jadi sahabat ngerti dikit, dong! Kok, malah belain Ustaz?" Fahran mendengus. "Dan asal tahu aja, ya, aku sama Aida enggak pernah macam-macam."

"Aku percaya. Tapi, bukan berarti bisa dibenarkan."

"Duh, ribet, ya, ngomong sama kamu." Fahran menjatuhkan kepala tepat di tumpukan bantal. Secuil senyum tersungging di bibir Raul.

Sejenak hening.

"Malam ini Mama nginap di kediaman keluarga Kiai Maulana. Kira-kira ngomong apa, ya, sama Ustaz Ansara?"

"Menurut antum?"

"Pasti sedang memperjuangkan nasib cintaku sama Aida."

"Antum yakin cara ini akan berhasil?"

"Menurut kamu?"

Raul hanya mengedikkan bahu dengan ekspresi yang tidak jelas, membuat Fahran melempar sungutan kecil.

Selama beberapa saat tak ada suara di antara mereka. Raul berniat melanjutkan aktivitasnya, tetapi keduluan Fahran yang tiba-tiba menghadirkan topik baru.

"Oh ya, ada surat titipan lagi, nih, dari Laila." Fahran bangkit dan mengeluarkan sebuah lipatan kertas dari balik saku kokonya.

Raul tak lantas menerima surat tak beramplop itu, hanya menatapnya dengan sebentuk keraguan.

"Ayo ambil! Atau mau aku yang bacain?" goda Fahran dengan ekspresi jail.

Refleks, Raul langsung menyambar surat itu, membuat Fahran terkekeh. Pemuda itu lalu membuka lipatannya dengan hati-hati dan mulai membacanya.

Untuk Kang Raul

di tempat

Assalamualaikum Wr.Wb.

Sebelumnya saya minta maaf jika kedatangan surat ini mengusik ketenangan antum. Singkat saja, saya hanya ingin menanyakan keadaan antum, apakah baik-baik saja? Atau akhir-akhir ini sangat sibuk hingga tidak sempat membalas surat-surat yang saya kirimkan?

Saya bukannya menuntut, dan sebenarnya sangat tidak berhak mengatakan hal ini. Tapi, bisakah sekali saja antum menemui saya seperti Kang Fahran menemui Aida?

Itu saja. Maaf jika ada yang berlebih atau kurang dalam kalimat saya.

Wassalam ....

Laila

"Apa katanya?" tuntut Fahran begitu yakin Raul telah selesai membacanya.

Raul tidak menjawab, malah menyodorkan surat bertulis tangan itu.

"Eh?" Fahran tercengang.

Sungguh langka. Ini pertama kalinya Raul membiarkan sahabat sekamarnya itu turut membaca surat titipan dari Laila. Fahran semakin penasaran. Ia lekas meraih surat itu dan membacanya dengan saksama.

Hening. Fahran membaca dengan cepat.

"Kalau begitu, ayo!" Fahran bangkit berdiri setelah selesai.

"Ayo ke mana?"

"Memangnya kamu pikir ke mana lagi? Ya menemui Laila-lah. Ia ingin kamu menemuinya, kan?"

Seketika kening Raul mengerut, jelas sekali kekhawatiran menguasainya saat ini.

"Kenapa malah diam?"

"Aku takut!"

"Raul ... Raul ..., kamu takut apa, sih? Jadi orang jangan terlalu kaku. Sesekali bergerak enggak sesuai aturan, enggak terlalu masalah, kan?" Fahran menatap serius. "Laila itu sangat mencintaimu. Kamu enggak kasihan sama dia? Apa perlu, ia datang ke sini dan nyembah-nyembah di kakimu biar kamu bisa percaya?"

"Aku bukannya enggak percaya, tapi ...." Raul terlihat cemas. "Bagaimana kalau kita ketahuan?"

"Kamu terlalu banyak mikir. Kita enggak akan ketahuan. Percaya sama aku! Atau kamu mau, dicap sebagai lelaki pengecut oleh Laila?"

"Enggak!" timpal Raul seketika. Raut wajahnya lucu, membuat Fahran geli. "Tapi ... ini, kan, sudah malam," imbuhnya.

"Justru itu, kita bisa menyelinap dengan mudah."

"Soal ujian besok? Aku belum selesai belajar."

"Jangan banyak omong!" Fahran meraih tangan Raul dan menariknya berdiri. "Kamu itu sudah pintar, pintar banget malah. Tanpa belajar pun, kamu pasti bisa menghadapi ujian besok. Aku malah enggak belajar sama sekali."

"Tapi ...." Raul masih berusaha memberikan alasan, sementara Fahran sudah membawanya keluar melompat lewat jendela.

Raul sadar betul apa yang sedang dilakukannya, ia pun paham akan risikonya. Namun, langkahnya semakin gesit mengikuti langkah Fahran yang semakin cepat. Mereka terus berjalan menembus malam.

Di pengalaman pertama ini tentu saja Raul tidak setenang Fahran, jantungnya berdegup kencang. Berbagai macam kekhawatiran membentuk ketidaknyamanan dalam dirinya. Malam ini akan menjadi malam bersejarah dalam hidup pemuda bersahaja itu. Mungkin sampai kembali nanti, dirinya masih belum percaya telah melanggar salah satu peraturan tersakral di pondok pesantren itu.

Namun pada akhirnya, belajar untuk menikmati perjalanan itu merupakan pilihan terbaik bagi Raul. Mereka telah melewati puncak bukit, kini menapaki medan menurun. Kekhawatiran yang sedari tadi menggelayuti benak pemilik alis tebal itu perlahan-lahan tergantikan dengan perasaan-perasaan aneh, ketika sadar dirinya semakin dekat dengan Laila.

Raul menikmati untaian rasa aneh yang kini menyesaki dadanya. Indah dan mengesankan. Ini pertama kalinya ia akan bertemu secara langsung dengan gadis yang dicintai dan mencintainya. Ia harap durasinya lebih panjang dibanding ketika mereka sekadar berpandangan saat hari perayaan Maulid atau hari keagamaan lainnya. Sibuk memikirkan topik yang akan diobrolkan nanti membuatnya lupa dengan ujian besok. Benar-benar lupa!

***

Ustaz Ansara terdiam di sebuah dipan di tepi telaga. Keheningan serta keremangan tempat itu tepat membingkai suasana hatinya. Sedari tadi ia membuang pandangan ke permukaan telaga yang memantulkan bayangan bulan. Semakin dalam dan terus menerus.

Di pangkuannya, sebuah biola dielus-elus penuh perasaan, seperti sedang menidurkan bayi. Biola itu telah mengukir cerita panjang dalam hidupnya, bahkan separuh jiwanya tersemat di antara dawai-dawainya. Angannya melambung sungguh jauh, mengepak di antara kisah-kisah silam dan berusaha menemukan titik kesalahan yang pernah ada.

"Boleh saya duduk di sini?"

Ustaz Ansara terkesiap, ketika tiba-tiba suara itu membuyarkan lamunannya. Ia menoleh ke sumber suara dan mendapati senyum Mia dalam bias cahaya bulan.

Bukannya langsung menjawab, Ustaz Ansara malah terdiam dalam tatapannya beberapa jenak.

"Oh, te-tentu boleh!" Ustaz Ansara terbata. Ia bergeser sedikit, memberikan tempat yang cukup untuk Mia.

Mia melebarkan senyum sebelum duduk dengan kaki terjulur.

Hening. Keduanya seolah menanti aba-aba untuk memulai sebuah obrolan. Kecanggungan yang ada masih sangat kental, padahal obrolan panjang telah terjalin di antara mereka di ruang tamu tadi.

***

[Bersambung]

Klik link di bawah untuk baca lanjutannya;

KBM

KARYAKARSA

Kamis, 28 Desember 2023

Calon Besanku Cinta Pertamaku (Bab 9)

 


Rembulan tersenyum di lembaran temaram. Mia menepi seorang diri di Telaga Teratai. Beberapa minggu telah berlalu sejak kedekatannya dengan Dirga. Dari sekian banyak waktu yang mereka lalui bersama, menikmati permainan biola lelaki itu di sore hari tetap menjadi momen yang paling ditunggu Mia.

Mia melihat bintang jatuh. Seketika ia menutup mata dan membuat permohonan.

Tuhan ... jika keajaiban-Mu berpihak padaku malam ini, hadirkan ia di sisiku. Ia yang mampu getarkan jiwaku setiap saat.

Mia membuka mata perlahan-lahan.

"Kalau aku duduk di sini, ganggu, enggak?"

Tiba-tiba seseorang berdiri di samping gadis bersweter rajut ungu itu. Ia tersentak, sontak mendongak ke sumber suara.

"Dirga ...?"

Dirga merasa lucu dengan ekspresi Mia, kemudian ia duduk dengan posisi yang sama.

"Ini benar-benar kamu, Dir?"

"Kaget, ya?"

Mia mengulum senyum.

Tuhan ... keajaiban-Mu sungguh nyata.

"Malam-malam suka ke sini juga?"

Mia hanya mengangguk.

"Enggak takut?"

"Gimana, ya? Sejak kecil aku sudah terbiasa dengan tempat ini. Aku merasa ... air, bunga teratai, dan pepohonan yang ada di sini adalah teman-temanku. Jadi sama sekali enggak takut."

"Gitu, ya?" Dirga tersenyum geli.

Mia kembali mengangguk.

"Oh ya, kok, datangnya malam-malam begini? Ada hal penting, ya?"

"Enggak juga. Tadinya lagi suntuk, dan entah kenapa yang ada di pikiranku hanya tempat ini."

"Masa, sih?"

Dirga mengangguk tegas sembari tersenyum. Lalu keduanya membiarkan hening mengambil alih untuk sesaat.

"Kamu pernah pacaran?" pelan Dirga.

Pertanyaan tidak terduga itu membuat Mia menoleh dengan mata setengah memicing. Ia lantas menggeleng.

"Kenapa?"

"Enggak ada, tuh, yang mau sama aku." Jawaban Mia disusul cengiran.

"Kalau misalnya ada?"

"Emang ada?" Pandangan Mia menghunjam ke mata Dirga.

"Ya ... kan, misalnya." Dirga cepat-cepat mengalihkan suasana, menghalau apa-apa yang berpotensi membuatnya salah tingkah.

Sesaat hening kembali di antara mereka.

"Kamu sendiri, pernah pacaran?"

Tadinya Dirga sudah berhasil menguasai diri, tapi pertanyaan barusan kembali menggandakan detak jantungnya. Tenggorokannya mendadak kering. Lelaki berkemeja abu-abu itu pun menggeleng saat Mia menoleh meminta jawaban.

"Yang bener?" Telunjuk Mia mengacung ke wajah Dirga yang tampak malu-malu.

"Selama ini aku terlalu fokus kuliah dan kerja, sampai lupa pacaran."

Keduanya terkekeh. Dirga sangat menyukai tawa Mia. Rasanya ingin dibungkus dan dibawa pulang.

"Mia ...."

"Hm?" Mia kembali melabuhkan tatapannya di manik mata Dirga, dengan tawa yang belum reda sepenuhnya.

"Entah apa yang spesial di dirimu."

"Maksudnya?" Sisa tawa Mia menguap seketika.

"Selama ini aku termasuk pribadi yang tertutup. Aku bukan tipe orang yang gampang dekat dengan seseorang, terlebih cewek. Tapi, sama kamu beda. Belum pernah aku merasa senyaman ini. Sampai-sampai kondisi keluargaku kuceritakan tanpa sungkan."

Mendengar kalimat Dirga, Mia tak mampu menyembunyikan bercak-bercak kebahagiaan yang tiba-tiba memenuhi pori-pori wajahnya. "Ternyata rasanya semenyenangkan ini mengetahui seseorang merasa nyaman bersama kita."

Tatapan mereka terpaut lebih lama dari biasanya, saling mendalami. Sesuatu meronta-ronta dalam kepala Dirga, tapi gagal menemukan jalan keluar. Semakin diupayakan rasanya malah semakin tersesat.

Mia yang lebih dulu memutus kontak mata di antara mereka, setelah menyadari ada yang berbeda di tatapan Dirga kali ini. Sesuatu yang membuat paru-parunya seperti kekurangan pasokan oksigen.

Dirga menggosokkan kedua telapak tangannya, menata kalimat sebaik mungkin untuk kembali memulai obrolan. "Oh ya, sebenarnya aku ke sini mau memberikan undangan ini." Dirga mengeluarkan sebuah undangan bercorak unik dari saku kemejanya.

"Undangan apa ini?" Mia meraihnya.

"Festival musik."

Mia menyorotkan tanya.

"Bukan festival biasa, ini tingkat nasional. Acaranya besok pagi jam sepuluh di stadion kota. Insan-insan musik yang akan tampil merupakan tim-tim terbaik perwakilan dari universitas di seluruh tanah air, yang sebelumnya telah disaring juga di daerah masing-masing."

"Wah, ini acara besar, dong." Atensi Mia meningkat.

"Ya, begitulah. Makanya, kamu wajib datang." Dirga mengulas senyum. "Bisa, kan?"

"Pasti! Aku enggak akan melewatkannya."

Dirga bahagia melihat antusias Mia

"Dengan undangan itu kamu akan mendapatkan hak-hak istimewa. Salah satunya tempat duduk yang strategis, plus snack. Enggak semua orang bisa mendapatkan undangan seperti itu. Panitia hanya memberikan masing-masing dua untuk setiap peserta. Nah, undangan dariku satunya buat kamu, satunya lagi buat sahabat terbaikku."

"Sahabat terbaik?" Mia berharap seseorang yang dimaksud Dirga bukan perempuan.

"Seseorang yang memiliki peranan penting di kehidupanku. Besok aku kenalin. Kalian akan duduk bersebelahan, karena kursi tamu istimewanya sudah diberi nomor sesuai yang ada di undangan itu."

"Wah, jadi enggak sabar menunggu besok." Mia membolak-balik kartu undangan di tangannya, memperhatikannya dengan saksama.

Keduanya tertawa kecil.

Sejurus kemudian, tiba-tiba riak tawa di wajah Dirga surut hingga nyaris tak berbekas. Sesuatu meredamnya begitu cepat.

Mia langsung menyadarinya. "Kenapa, Dir ...?"

Dirga butuh jeda sebelum menjawab. "Sebenarnya ... festival besok merupakan puncak pemilihan duta Indonesia untuk tampil di ajang internasional," pelan Dirga-sangat hati-hati.

"Maksudnya?" Mia mengawasi sepasang mata Dirga di balik kerutan keningnya.

"Festival musik akbar yang akan diadakan di Thailand."

Mendengar nama negara tetangga itu membuat Mia tersentak.

Mia mengalihkan pandangan dari wajah Dirga. Sebentuk rasa takut seketika merayapi bilik hatinya.

"Kamu berharap bisa lolos dan pergi ke sana?" Mia menggeser posisi, nyaris memunggungi Dirga. Tiba-tiba saja terasa berat untuk menatap langsung wajah lelaki di sampingnya ini.

"Entahlah. Ada satu hal yang membuatku berat untuk melangkah. Sesuatu yang masih samar." Helaan napas panjang menjeda kalimat Dirga. "Di sisi lain, ajang internasional seperti ini merupakan impian musisi di seluruh dunia, terlebih aku yang masih dalam tahap belajar. Meskipun mahasiswa sepertiku hanya akan jadi pelengkap di festival itu, tapi pasti banyak pengalaman berharga di sana. Itu pun kalau aku dan tim bisa menampilkan yang terbaik di festival besok."

"Aku sudah bisa menebak, kamu sangat berharap bisa ke sana."

Dirga sempurna dalam diam.

"Berapa lama?" Kali ini Mia benar-benar memunggungi Dirga.

"Sekitar tiga bulan. Bisa jadi lebih, karena ada pelatihannya juga."

Mia menghela napas berat, kemudian menoleh dan memaksakan sebuah senyum melengkung di wajahnya. "Jika ini memang mimpimu, maka berjuanglah. Jangan biarkan pikiran-pikiran enggak penting menghalau konsentrasimu. Aku yakin, kamu bisa menampilkan yang terbaik di festival besok."

"Kamu rela aku ke sana?"

Mia tidak menjawab. Ia malah menunduk setelah mematahkan senyumnya.

"Jika memang aku dan tim berhasil, lusa kami langsung berangkat ke Thailand."

"Secepat itu?" Batin Mia terlonjak.

Dirga mengangguk pelan.

Inikah saatnya ramalan itu terjadi?

Mia berjuang keras untuk tidak memelihara ramalan itu dalam kepalanya, tapi sia-sia.

Keduanya terdiam cukup lama, seolah begitu takzim menyimak suara-suara dari dalam kepala masing-masing.

"Aku rasa ... aku perlu memberikan ini," ujar Mia seraya memutar badan.

Dirga menoleh dan langsung memperhatikan sesuatu di tangan Mia.

"Liontin itu ...?"

"Benar atau enggak kata peramal itu, aku hanya ingin kamu memilikinya." Mia menatap Dirga dalam-dalam.

Lelaki itu terharu. Secara tidak langsung kalimat barusan menampakkan seperti apa posisinya di hati Mia.

"Kamu mau, kan, menerimanya?"

Dirga mengangguk tegas. Matanya berkaca-kaca. Tanpa disuruh, ia pun merundukkan kepala agar Mia bisa memasangkan kalung itu. Maka bertemulah pandangan mereka di jarak yang sangat dekat. Dua pasang mata itu berusaha mengaduh tentang rasa yang terdiam di hati masing-masing.

Darah di pipi Mia memanas menatap keindahan wajah Dirga sedekat itu. Sementara Dirga, merasakan tulang-tulangnya remuk dan dadanya kian sesak. Entah hawa apa yang tercipta di antara mereka. Aneh dan tiada daya untuk menepisnya.

Kalung berliontin merpati itu telah melingkar di leher Dirga, tetapi kedua tangan Mia bertahan di pundak lelaki itu.

"Apakah aku benar-benar berarti buat kamu?" tanya Dirga berat, bibirnya kaku.

"Sangat ...!" Suara Mia setengah berbisik.

"Kamu yakin?"

Mia mengangguk, dan bening itu pun tergelincir dari sudut matanya. Air mata itu membingkai kesungguhannya.

Dirga bermaksud menyekanya, tetapi tiba-tiba letupan rasa aneh bergejolak di dadanya. Ia mengurungkan niatnya, khawatir melampaui batas.

"Sepertinya aku harus pergi. Besok, aku sangat mengharapkan kehadiranmu."

Mia hanya mengangguk.

"Aku pergi, ya. Selamat malam!" Dirga beranjak. Tergesa-gesa, alih-alih menghalau hasrat yang hampir membuatnya lupa batas.

"Tunggu, Dir!" cegah Mia.

Seketika langkah Dirga terkunci. Ia memutar badan.

"Kamu enggak ingin mengatakan sesuatu?" Tangis tertahan menggetarkan suara Mia.

Sesaat Dirga bungkam.

"Enggak," pungkasnya kemudian.

Jawaban singkat itu menghunjamkan pilu di hati Mia. Air matanya kembali meleleh.

"Maksud aku ... enggak untuk saat ini." Tak ada lagi yang mampu terucap. Dirga meninggalkan Mia tanpa kepastian.

***

Dirga memasuki indekos dengan langkah berat. Wajahnya ditekuk bak tercengkeram ribuan tanya yang tak terjawab. Ia mengetuk pintu kamar kedua dari pintu utama. Wawan yang sudah mengenakan piama muncul saat pintu terbuka. Dirga langsung masuk tanpa permisi dan membanting diri di tempat tidur.

"Kok, tumben, baru pulang enggak langsung ke kamar sendiri? Kamu baik-baik aja, kan? Kamu enggak salah masuk kamar, kan?" Wawan heran dengan tingkah sahabatnya itu.

Dirga tak menggubris omongan Wawan, pandangannya menembus langit-langit kamar.

"Atau jangan-jangan, hari ini kamu salah makan sesuatu?"

Masih tidak ada respons. Wawan melangkah menghampiri Dirga dan duduk di tepi tempat tidur. "Ada apa, sih, Man? Lagi ada masalah, ya?"

"Aku lagi bingung." Kali ini Dirga menjawab sekenanya.

"Bingung kenapa?"

"Tadi, aku menemuinya."

"Cewek yang di TPU itu?"

Dirga hanya mengangguk tanpa menoleh.

"Terus?"

"Aku rasa ... tadi itu waktu yang pas buat nembak dia," ucap Dirga diiringi helaan napas berat.

"Terus?" Wawan seolah tak menginginkan jeda di kalimat Dirga. Ia membenahi posisi duduknya sebagai tanda keseriusan untuk menyimak.

"Aku malah pergi sebelum mengatakan yang seharusnya kukatakan."

"Ya, ampun! Jadi, sampai sekarang belum jadian juga?" Wawan tercengang di akhir kalimatnya.

Dirga terdiam.

"Kamu masih ragu atau enggak berani?"

Dirga masih terdiam.

"Apa, sih, yang bikin kamu ragu? Padahal sudah jelas kalau kalian itu saling mencintai."

"Tadinya, kupikir aku akan memiliki keberanian itu. Aku sudah berusaha, tapi nyatanya sulit."

"Lebih sulit mana dibanding kamu harus tersiksa seperti ini?"

Dirga bangkit dari baringnya, duduk bersisian dengan Wawan.

"Cinta itu akan mengalir mengikuti perasaanmu. Cukup mengawalinya dengan satu kata, selanjutnya biarkan rasa itu yang bicara."

Dirga mencerna omongan Wawan.

"Aku yakin, kamu bisa lebih dewasa dari ini."

Dirga terdiam, semua perkataan Wawan sedang terproses di otaknya.

"Oke. Besok aku akan nembak dia. Dan kali ini, aku benar-benar yakin." Dirga tersenyum, mengukuhkan kemantapan hatinya. "Kalau perlu, akan kuungkapkan di depan semua orang yang hadir di pertunjukan besok," lanjutnya dengan senyum semakin lebar.

"Enggak perlu sampai segitunya. Nanti dia malah kabur karena malu." Wawan terbahak. "Cukup buktikan ke aku."

"Sip! Thanks, ya. Ternyata ada gunanya juga punya sahabat playboy kayak kamu." Dirga menepuk pundak Wawan sebelum beranjak hendak keluar.

"Tuh, kan, ujung-ujungnya nyela juga."

Dirga yang sudah di ambang pintu masih sempat menoleh memperlihatkan senyum iseng. Wajahnya sangat kontras dengan tadi ketika memasuki kamar itu.

Wawan menggeleng sembari tersenyum. Ia turut bahagia. Jarang-jarang ia melihat sahabatnya seriang itu.

Dirga merebahkan diri di tempat tidur. Tubuhnya terasa lelah, tetapi matanya enggan terpejam. Bias-bias kebahagiaan yang kian membubung menghadirkan lengkungan senyum sempurna di wajahnya. Bayangan Mia seakan mengintai di setiap sudut ruangan. Ia tak sabar menanti hari esok.

***

[Bersambung]

Klik link di bawah untuk baca lanjutannya;

KBM

KARYAKARSA

Rabu, 27 Desember 2023

Calon Besanku Cinta Pertamaku (Bab 8)

 


Suasana TPU Islam Nurani siang ini sunyi senyap dari peziarah. Tak terlihat seorang pun di sana, kecuali Mia yang tengah sibuk mengumpulkan daun-daun yang berguguran untuk kemudian disingkirkan dari tempat itu. Ia terus mengayunkan batang sapunya, hingga tidak menyadari seseorang sedang menghampirinya.

"Lagi sibuk, nih?"

Mia tak asing lagi dengan suara itu. Ia berbalik dan langsung mengembangkan senyum.

"Kok, sendirian aja? Ayahmu ke mana?" Dirga celingukan.

"Aku suruh istirahat. Ayah lagi kurang enak badan. Sebenarnya beliau punya penyakit asma, jadi enggak boleh terlalu capek."

"Enggak dibawa ke rumah sakit?"

"Ayah enggak pernah mau. Biasanya sembuh sendiri setelah istirahat."

Dirga manggut-manggut.

"Oh ya, kamu sendiri, kok, tumben datang jam segini?"

"Sebenarnya aku ingin ngajak kamu ke suatu tempat."

Kening Mia mengerut samar.

"Suatu tempat yang akan memperlihatkan sisi lain dari kehidupanku."

"Sisi lain?" Kalimat Dirga serta-merta menyiramkan tanya di benak Mia. "Tapi kamu lihat sendiri, kan, kerjaanku masih banyak."

"Gampang. Aku bantuin."

"Eh, enggak usah. Mending sekarang kamu ke rumah, tunggu aku di sana. Ini sebentar lagi juga selesai, kok."

"Tapi kalau dikerjakan bareng bakalan lebih cepat selesai, kan? Jadinya kita bisa pergi lebih cepat juga."

Tanpa aba-aba Dirga meraih sapu lidi di bawah pohon yang biasanya digunakan oleh Pak Warto.

Mia senyum-senyum saja melihat semangat Dirga. Tak jarang Dirga menghadirkan gelak tawa di tengah-tengah aktivitas mereka. Hanya beberapa menit, semua sampah di kawasan TPU itu sudah tersingkirkan. Dirga menjadikan rutinitas itu benar-benar berbeda kali ini.

Setelah semuanya beres, keduanya mengambil posisi bersandar di bawah pohon, memanfaatkan kerindangannya untuk menyelamatkan diri dari sengatan matahari.

"Ternyata lumayan capek juga, ya. Kamu hebat, loh, bisa melakukan ini setiap hari." Napas Dirga memburu.

"Alah bisa karena biasa." Mia melirik ke arah Dirga dan tersenyum. "Tapi bukan berarti aku enggak pernah capek, ya. Capek juga, sih, tapi mau gimana lagi? Namanya juga kerja."

Dirga yang sedari tadi menatap Mia lekat-lekat tak berkomentar lagi.

"Oh ya, Dir, ke rumah dulu, ya. Aku buatin minum sekalian ganti baju dan pamit sama Ayah."

"Oke!" Dirga mengangguk.

***

Di tengah deru mesin kendaraan yang lalu lalang, Mia mencoba menebak tempat yang dimaksudkan Dirga. Sesekali ia berniat untuk menanyakannya langsung, tetapi kemudian memilih diam karena sebentar lagi ia juga akan tahu dengan sendirinya.

Rasa penasaran Mia kian membuncah saat mereka tiba di pelataran sebuah rumah sakit jiwa. Dirga langsung mengarahkan setirnya ke tempat parkir.

"Dir, ngapain, sih, kita ke sini?"

"Nanti juga tahu, kok."

Mereka jalan beriringan di koridor. Mia merasa kurang nyaman dengan beberapa pasien yang mereka jumpai di sepanjang koridor. Tingkahnya aneh-aneh.

Mia menggenggam erat tangan Dirga.

"Enggak usah takut, tenang aja," lirih Dirga seolah mampu membaca pikiran Mia.

Di pertigaan koridor, Dirga menghentikan langkah. Mia menurut saja, pandangannya masih sibuk berkeliling.

"Mia, coba kamu lihat perempuan yang duduk di sana." Dirga menunjuk ke arah taman, tepatnya pada seorang perempuan yang duduk di sebuah bangku bercat biru tua.

Mia menoleh ke tempat yang dimaksudkan Dirga.

"Ada apa dengan perempuan itu?"

"Kasihan banget, ya? Ia sendirian. Pasti sangat kesepian."

Mia merasa aneh dengan suara Dirga yang mendadak sendu.

"Dir, kamu kenal dengan perempuan itu?"

"Perempuan itu bernama Ranti. Setiap kali aku ke sini, ia selalu menyendiri di sana. Katanya sedang menunggu Ayah."

"Ayah ...? Maksud kamu?" Mia tercekat.

"Ya. Beliau ibuku." Dirga menghela napas berat. "Sudah cukup lama beliau dirawat di rumah sakit ini." Dirga tertunduk pilu.

Seketika jantung Mia berdetak tak seirama. Kemudian tanpa kata ia mengikuti langkah Dirga menghampiri perempuan itu. Hal ini sama sekali tidak pernah terlintas di benak Mia. Ia butuh waktu untuk mencerna.

Bu Ranti duduk dengan posisi tundukan miring ke kanan. Jemari tangannya terjalin, seolah berusaha merangkai apa-apa yang lalu-lalang di benaknya. Sendu matanya menyiratkan kehampaan. Rambut kusut kering dibiarkan terurai, membingkai wajah tirus yang kuyu. Tubuh cekingnya menampakkan bentangan lara.

Mia menatap lekat-lekat, sementara Dirga sudah bersimpuh di hadapan ibunya.

"Bu, Dirga datang lagi. Bagaimana keadaan Ibu?"

Perlahan-lahan Bu Ranti mengangkat kepala dan menatap Dirga.

"Malaikat ...?" lirihnya.

Dirga terenyuh mendengar panggilan itu. Matanya berkaca-kaca menerima tatapan seorang Ibu yang tak lagi mengenalinya.

"Ini Dirga, Bu. Dirga yakin, Ibu tidak mungkin lupa. Di hati kecil Ibu ada Dirga, kan?" Suara serak lelaki berambut ikal itu tertahan.

Bu Ranti terus menatap Dirga. Tak berkedip. Kian sendu.

"Kali ini Dirga mengajak teman. Namanya Mia, Bu."

Perempuan itu melirik ke arah Mia. Mia merunduk pelan sembari tersenyum. Kemudian Bu Ranti mengembalikan tatapannya ke wajah Dirga.

"Malaikat mau, kan, memainkan lagu itu lagi?" pinta Bu Ranti pelan, tetapi terdengar jelas oleh Dirga.

Lelaki berkemeja garis-garis itu mengangguk, setetes bening tergelincir dari sudut matanya.

Dirga menghela napas panjang, lalu mengeluarkan biola dari gigbag yang sedari tadi disandangnya. Ia pun mulai menarik gesekan nada pertama, membiarkan dawai-dawai biola pemberian almarhum ayahnya itu bersenandung. Matanya terpejam. Maka, terdengarlah alunan nada yang sangat indah. Getarannya bersetubuh dengan angin, menyambangi telinga siapa-siapa dengan sopan.

Mia nyaris tak kuasa menyaksikan pemandangan itu, suasana haru berbalut nada-nada syahdu. Hatinya terenyuh melihat sisi lain kehidupan Dirga.

Bukan hanya Bu Ranti, tetapi Mia pun turut larut dalam permainan biola Dirga. Bahkan terbawa begitu jauh, seolah ikut merasakan kepedihan yang terlahir dari sana. Selama sekian menit dawai-dawai biola Dirga berpadu dalam melodi, menguarkan kisah lama, harapan, serta doa-doa yang tak pernah berhenti berdenyut. Dirga mengakhirinya dengan suguhan nada penutup yang sempurna, kemudian ia meraih kedua tangan ibunya setelah memasukkan kembali biolanya ke tempat semula. Dicium, lalu digenggamnya penuh kehangatan.

Tiba-tiba dua bening membelah raut wajah Bu Ranti. Dirga menyekanya dengan ujung jemari.

"Bu, kemarin Dirga dapat pekerjaan baru, jadi ada penghasilan tambahan buat biaya hidup kita. Ibu pasti senang, kan, dengar kabar ini?"

Bu Ranti hanya menatap Dirga dalam-dalam, tak sepatah kata pun terucap dari bibirnya.

Seperti itulah setiap kali Dirga menjenguk ibunya. Meski tak pernah ada respons, ia selalu menceritakan hari-harinya. Ia yakin, hati kecil sang ibu masih mampu mendengarnya.

Dirga pamit setelah cukup lama menepis kesendirian ibunya. Sesekali dipaksakan senyumnya mengembang agar tetap terlihat kuat di depan perempuan berusia 42 tahun itu.

"Bu, Dirga pamit pulang dulu. Ibu baik-baik, ya, di sini. Ibu jangan khawatir, Dirga akan sering-sering jenguk Ibu."

Sebelum beranjak, Dirga mendaratkan kecupan hangat di kening sang ibu.

Bu Ranti kembali menundukkan kepala saat Dirga tak lagi di hadapannya. Tak ada tatapan untuk melepas kepergian putra tunggalnya itu. Ia tampak tak berdaya.

Sepanjang koridor tidak ada percakapan. Dirga yang sedang berusaha meredakan gemuruh di dadanya berjalan lurus dengan kepala ditundukkan. Hanya sesekali ia menatap jalanan di depannya. Sementara Mia yang prihatin, tidak tahu harus berbuat apa. Diam itu mengantarkan mereka tiba di area parkir.

"Makan dulu, yuk. Lapar, nih."

Mia hanya mengangguk. Paling tidak ia yakin, lelaki yang ia kagumi itu sudah mulai membaik.

Selang beberapa menit mereka sudah berada di salah satu warung makan sederhana yang terdekat dari rumah sakit, lengkap dengan pesanan yang sudah tersaji di atas meja. Mereka memilih ayam bakar sebagai menu makan siang hari ini.

"Dir, kamu enggak apa-apa, kan?" Mia memulai obrolan.

Dirga membalasnya dengan senyum hambar. Dia sudah berusaha, tapi kesedihan pasti masih tercetak jelas di wajahnya.

"Aku emang selalu seperti ini setiap kali mengunjungi Ibu." Dirga jeda sejenak, menerawang entah apa di permukaan meja. "Rasanya masih aneh setiap kali Ibu memanggilku malaikat. Beliau pikir, aku ini malaikat yang akan menjemput Ayah untuknya. Aku sering bertanya-tanya, sedalam apa sebenarnya kesedihan Ibu hingga harus seperti itu?" Dirga menyuap, tapi beberapa kunyahan tatapannya kembali terdiam kosong.

Mia menikmati makanannya pelan-pelan, sambil memosisikan diri sepenuhnya sebagai pendengar. Apa yang dialami Dirga tidak akan benar-benar dimengerti oleh siapa pun. Hanya dia yang paling tahu rasanya.

"Jujur, kadang aku pesimis dengan kesembuhan Ibu. Tapi harapan baru selalu lahir setiap kali Ibu memintaku memainkan lagu yang dulu sering kumainkan bersama almarhum Ayah. Paling enggak masih ada sepenggal kenangan yang tersisa di memorinya. Lambat laun Ibu akan mengenaliku lagi sebagai anaknya, bukan malaikat." Dirga memantapkan kalimatnya, meski getaran di beberapa bagian tak mampu ia hindari.

"Itu pasti, Dir! Aku turut berdoa untuk kesembuhan ibu kamu." Mia menguatkan.

"Aku paling enggak bisa melihat kesendiriannya, aku ingin selalu ada di dekatnya. Tapi aku harus kuliah, juga bekerja untuk membiayai hidup kami."

Mia terenyuh, terbayang betapa rumit posisi Dirga saat ini. Kalau itu terjadi padanya, belum tentu ia bisa sekuat Dirga.

"Kalau boleh tahu, apa yang terjadi sebelum ibu kamu seperti itu?" Mia berani melontarkan pertanyaan itu setelah merasa Dirga siap berbagi lebih banyak hal kepadanya.

"Ibu depresi berat, enggak sanggup menerima kematian Ayah yang mendadak."

"Mendadak?" potong Mia.

"Ayah meninggal dalam kecelakaan pesawat saat penerbangan pulang dari Tokyo selepas mengikuti festival musik di sana. Enggak ada yang selamat dari kecelakaan itu. Mendengar kabar tersebut, Ibu histeris. Ibu enggak percaya, karena sebelum pesawatnya take off, Ayah masih sempat menelepon. Aku bahkan mengingatkannya dengan oleh-oleh yang beliau janjikan." Dirga tercekat, terdengar suara serak yang berusaha ia redam.

"Sejak mendengar kabar itu, air mata Ibu tak pernah kering. Kamis, tanggal tiga Januari, jenazah Ayah tiba di rumah. Aku enggak akan lupa hari itu. Ibu langsung pingsan. Dan saat sadarkan diri, Ibu mulai bertingkah aneh."

Mia berusaha mengucapkan sesuatu, tapi tak satu kata pun yang dirasa cocok. Kegetiran yang dituturkan Dirga dengan cepat meresap ke relung hatinya.

"Berawal dari kematian Ayah, bisnis keluarga kami kian hari kian surut, hingga akhirnya bangkrut. Aku yakin, ada oknum-oknum tertentu di balik semua itu. Tapi saat itu aku tak lebih dari seorang siswa SMA, benar-benar belum tahu harus ngapain. Hal ini tentulah berdampak buruk pada kondisi kejiwaan Ibu yang memang sedang labil. Saat itu aku merasa ... akulah orang yang paling tersakiti di dunia ini. Kehancuran yang kualami benar-benar hancur." Dirga mengembuskan napas berat, semacam ada gumpalan yang membentur tulang-tulang rusuknya.

"Aku mencoba untuk bangkit, kehidupan harus tetap berjalan seburuk apa pun itu. Aku enggak ingin terpuruk. Prioritas utamaku adalah kesembuhan Ibu. Aku terpaksa menjual rumah yang kami tempati selama ini untuk biaya perawatannya. Sementara aku, mulai ngekos dan kerja serabutan. Awalnya kerja apa aja, yang penting halal dan cukup untuk makan sehari-hari. Bahkan, jual koran sampai jadi kuli bangunan pernah kulalui."

Kekaguman kian menebal di hati Mia. Ditatapnya wajah Dirga lekat-lekat, nyaris tak berkedip. Lelaki itu kembali meloloskan sesuap nasi ke mulutnya. Dikunyahnya pelan-pelan dengan tatapan yang seolah digelayuti ribuan masalah.

"Eh, ngomong-ngomong, kok, jadi ngelantur gini, sih? Kita ke sini, kan, buat makan. Kamu juga pasti risi, kan, dari tadi dengar cerita kelam hidupku?"

"Aku malah senang, kok. Karena dengan cerita semuanya, aku bisa kenal kamu lebih dalam."

"Kamu senang dengan kedekatan kita ini?"

Mia mengangguk tegas.

Dirga tersenyum. Ia tampak lebih cair.

***

[Bersambung]

Klik link di bawah untuk baca lanjutannya;

KBM

KARYAKARSA

Jumat, 22 Desember 2023

Calon Besanku Cinta Pertamaku (Bab 7)

 


Mia menepi seorang diri di sebuah telaga yang terletak tidak begitu jauh dari halaman belakang rumahnya. Tatapannya hampa, terselip di antara bunga-bunga teratai yang menutupi hampir seluruh permukaan telaga. Hening, sepi. Bagaimana mungkin ini rindu? Pemilik wajah oval itu berusaha menepisnya, tetapi harus ia namakan apa rasa itu? Rasa yang tiba-tiba menyergap, melumpuhkan.

Kenapa sore enggan menghadirkannya lagi?

Apakah dawai-dawai biolanya lelah memberiku kedamaian?

"Mia ...." Tiba-tiba seseorang memecah keheningan, ketika lamunan Mia kian akut. Dan suara itu ...?

Sontak Mia menoleh ke belakang.

"Dirga ...?" Seketika senyum berseri di wajah Mia saat kedua matanya menangkap sosok rupawan yang berdiri sekitar sedepa di belakangnya. Dirga lalu mendekat dan mengambil posisi bersisian.

"Kok, tahu, aku di sini?" Mia tak mampu menyembunyikan rona wajahnya yang meletup-letup.

"Tahu dari ayah kamu."

Sekadar menyadari lelaki ini barusan bertamu ke rumahnya, detak jantung Mia mendadak meningkat.

"Kupikir aku enggak akan melihatmu lagi."

"Kok, gitu?" Dirga mengernyit.

"Dua hari kamu membiarkanku menunggu."

"Menunggu?"

Seketika Mia menunduk, kemudian melempar pandangan salah tingkah. Ia tak menyadari kalimat yang baru saja diucapkannya. Keluar begitu saja.

"Kemarin aku sibuk, ada pekerjaan baru."

"Wah, bagus, dong," girang Mia, alih-alih berusaha mengendalikan suasana hatinya sendiri.

"Alhamdulillah. Tuhan Maha Pemurah."

"Boleh tahu kamu dapat kerjaan baru apa?" Detik selanjutnya Mia tersadar, bahwa pertanyaan barusan mungkin saja belum pas dilontarkan oleh orang yang baru kenal. Dia tidak ingin dianggap terlalu cepat ingin tahu. Namun, syukurlah, sepertinya Dirga tidak mempermasalahkan.

"Alhamdulillah, aku diterima ngajar biola di sebuah sekolah, sama ada les privat juga."

"Alhamdulillah." Mia sungguh ikut bahagia. Kegalauan akibat dua hari tidak bisa melihat lelaki di sampingnya ini sudah menguap entah ke mana. "Mereka yang jadi muridmu beruntung banget, ya, bisa diajarin violis sekeren kamu."

"Apa, sih?" Dirga terkekeh. "Biasa aja, kok."

"Selamat, ya. Permainan biolamu akan semakin bermanfaat untuk orang banyak, dan tentu saja mendatangkan penghasilan tambahan."

Dirga mengangguk samar sembari tersenyum. "Aku benar-benar bersyukur Ayah mewariskan bakat ini. Setelah beliau tiada, manfaatnya bisa langsung kurasakan. Aku membiayai hidup dengan manggung dari kafe ke kafe, dan perlahan-lahan bisa melalui masa-masa sulit itu."

Saking fokus menyimak, Mia terdiam. Tatapannya tertancap di wajah Dirga. Meski lelaki itu sesekali melempar pandang ke tak tentu arah.

"Tapi makin ke sini kebutuhan hidup makin kompleks, enggak bisa cuma mengandalkan itu." Kali ini Dirga membalas tatapan Mia. "Aku terpaksa menulis untuk mendapatkan penghasilan tambahan."

"Menulis?" Tatapan Mia masih lekat. Tentu saja ia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan mengenal lelaki ini lebih jauh.

"Iya." Dirga mengangguk samar. "Atas arahan seorang teman, tulisanku disambut baik oleh redaksi sebuah majalah remaja. Aku nulis apa saja yang mereka minta, selama masih bisa kusanggupi." Saat menoleh lagi ke arah Mia, Dirga baru sadar, gadis di sampingnya ini menatapnya terlalu lekat. Dia jadi salah tingkah. "Jangan natap seolah aku ini dewa, ah!" kekehnya.

Mia terkesiap. "Enggak, aku kagum aja. Keren, deh."

"Enggak usah berlebihan. Siapa pun bisa jika terjepit kondisi seperti yang kualami."

"Tapi enggak semua orang dianugerahi bakat seperti yang kamu punya."

"Ya, aku paham. Inilah yang membuatku semakin yakin, Tuhan Maha Adil."

Beberapa saat hening. Hanya gemuruh angin yang mengalun pelan di pendengaran mereka.

Dirga melebarkan pandangan dan menjelajahi setiap lekuk tempat itu. "Ngomong-ngomong, tempat ini asyik juga, ya," komentarnya.

"Ini tempat favoritku sedari kecil. Jarang yang tahu tempat ini. Di saat lagi bosan atau sekadar butuh suasana nyaman, aku pasti ke sini," terang Mia dengan nada yang menyiratkan rasa sukanya pada tempat itu. "Aku menamakannya Telaga Teratai," lanjutnya disertai sebaris senyum.

"Telaga Teratai?"

"Kamu bisa lihat sendiri, kan, hampir seluruh permukaannya tertutupi bunga teratai."

Dirga bahkan baru menyadari pesona yang dihadirkan teratai-teratai itu. Semakin dipandang semakin menenangkan.

"Oh ya, sebenarnya aku ke sini mau ngajak kamu jalan-jalan nanti malam."

Kalimat itu sontak membuat Mia menoleh. Tatapannya beralih cepat dari kelopak teratai ke sepasang manik Dirga. Keningnya mengerut samar. "Jalan-jalan?" Ia memastikan tidak salah dengar.

"Iya. Anggap aja perayaan kecil-kecilan atas pekerjaan baruku."

"Kok, dirayain sama aku?" selidik Mia.

"Kamu enggak bisa, ya?" Antusiasme di wajah Dirga menyusut.

"Eh, bukannya gitu. Bisa, kok!" Mia cepat-cepat mengambil alih. "Tapi, jalan ke mana?"

"Em ...." Dirga tampak menimbang. "Kalau bersuka ria di pasar malam, mau, enggak?"

"Wah, ide bagus, tuh. Aku belum pernah ke pasar malam." Suara Mia tertahan, merasa lucu dengan kepolosannya sendiri.

"Kalau gitu, jam tujuh aku jemput, ya."

Mia mengangguk sembari tersenyum-penuh semangat.

***

Sudah lebih dari tiga puluh menit Dirga mondar-mandir di depan cermin. Beberapa kali ia menukar jaket dan kaus yang dikenakannya, atau sekadar mengubah tatanan rambut. Bisa dibilang ini pertama kali ia akan jalan sama cewek, wajar jika baginya sangat berkesan. Ia berusaha untuk tampil sebeda mungkin dari hari-hari biasanya.

Tiba-tiba dari balik cermin muncul bayangan Wawan tengah memasuki kamarnya.

"Waduh, ada apa ini? Kok, tumben rapi amat?" Wawan memerhatikan Dirga dari ujung kaki hingga ke ujung rambut. Tak biasanya ia menemukan pemandangan itu. "Biasanya jam segini kalau enggak ngerjain tugas, pasti nulis. Ini, kok, malah dandan, sih?" Wawan mengamati sahabatnya itu lebih dekat.

Dirga diam saja.

"Mau pergi, ya?" Wawan yang merasa diacuhkan mulai menampakkan tingkah usilnya.

"Sorry, Man, kali ini aku enggak punya waktu untuk mendengarkan ocehanmu," tepis Dirga tanpa menoleh.

"Sombong banget, sih!"

Dirga tidak menggubris omongan Wawan, ia masih sibuk memerhatikan dirinya di dalam cermin.

"Eh, emangnya mau ke mana?" Wawan diburu rasa penasaran.

"Ada, deh." Dirga masih tak menoleh.

"Pasti mau jalan sama cewek. Sama cewek penunggu kuburan itu, kan?"

"Hus ...! Kalau ngomong bahasanya diperbaiki, dong!" Kali ini Dirga sontak menoleh. "Penunggu kubur apaan? Kamu pikir hantu?"

"Sorry, deh. Tapi benar, kan?"

Sesaat Dirga tidak merespons, tetapi kemudian ia mengiyakan dengan gerakan kecil di alis kirinya.

"Nah, gitu dong, Man." Wawan menepuk keras tangannya dan memperlihatkan antusiasme berlebihan. "Sesekali merasakan asyiknya jalan sama cewek enggak ada salahnya, kan? Sama sahabat sendiri pakai canggung segala."

"Eh, tapi aku enggak akan macam-macam, ya! Kamu jangan berpikiran yang aneh-aneh!"

"Siapa juga yang mikir aneh-aneh." Wawan menahan tawa.

"Biasanya, kan, isi pikiranmu selalu kotor."

"Waduh!" Wawan tepuk jidat.

Beberapa saat tak ada lagi yang bersuara. Dirga masih terus-terusan memperhatikan dirinya di dalam cermin-sangat detail.

"Wan, gimana, sudah oke, belum?" Dirga berbalik ke arah Wawan.

Wawan berlagak sok menilai penampilan sahabatnya itu. Telunjuk kanannya diketuk-ketukkan di dagu dengan mimik dibuat-buat.

"Wah, ini, sih, oke banget. Ternyata kalau diamati dengan saksama, kamu keren juga, ya?" puji Wawan setengah jail.

"Ke mana aja baru tahu? Tapi sayang, aku enggak punya waktu buat narsis." Nada suara Dirga meledek.

"Nyindir, nih?"

"Kayaknya," timpal Dirga sekenanya.

Wawan senyum-senyum saja melihat tingkah sahabatnya yang benar-benar beda malam ini.

"Ya udah, sekarang kamu keluar karena pintunya mau kukunci."

"Giliran sudah dipuji malah ngusir. Gimana, sih?" ketus Wawan yang tubuhnya sudah didorong paksa keluar oleh si pemilik kamar.

"Aku pergi dulu, ya." Dirga pamit sambil mengunci pintu kamarnya.

"Good luck, Man."

Dirga melepas senyum sebelum beranjak pergi.

***

Di atas sepeda motor yang melaju dengan kecepatan konstan, Mia sibuk menata perasaannya. Ia berpegangan pada pinggiran jaket abu-abu yang dikenakan Dirga. Debar-debar rasa tak menentu mengantarkan mereka tiba di sebuah pasar malam yang kebetulan sedang ramai. Bukan hanya untuk hunting benda-benda unik, tetapi tempat ini juga menyediakan berbagai macam arena hiburan dan permainan.

Seolah tak sabaran, Mia mengajak Dirga ke tengah-tengah, berbaur dengan pengunjung lainnya. Mereka pun mencoba beberapa permainan, berpindah dari satu wahana ke wahana lainnya. Rasa canggung yang tadinya kental perlahan-lahan lebur oleh hangat suasana malam. Tanpa mereka sadari, ada cinta yang mulai mengakar dan tumbuh di hati keduanya.

Di tengah riak canda tawa, tiba-tiba langkah Mia terhenti. Pandangannya tertuju pada sebuah pondok ramal yang menarik minatnya.

"Dir, ke sana, yuk." Tangan kanan Mia menggaet lengan Dirga, sementara tangan lainnya mengacung ke arah tempat yang dimaksud.

Pandangan Dirga mengikuti arah telunjuk Mia. "Kamu percaya ramalan?" selidiknya kemudian.

"Enggak juga. Buat seru-seruan aja."

"Ya udah. Yuk." Dirga mengawali langkah.

Sejurus kemudian mereka sudah berada di dalam pondok ramal itu. Bola mata keduanya langsung berputar, menyelinap ke setiap sudut. Banyak benda-benda berbau mistis. Meskipun di luar sana binar-binar kemeriahan masih terdengar jelas, tetapi tempat ini seolah menyuguhkan suasana yang berbeda.

Di hadapan mereka terdapat sebuah meja kecil yang di atasnya terletak beberapa benda aneh dan asing di mata keduanya. Di seberang meja itu, duduk perempuan tua dengan style dan make up khas seorang peramal.

"Perkenalkan, saya Mama Nendeng. Setiap pasangan yang datang ke sini pasti menginginkan ramalan tentang cinta. Kalian juga, kan?"

Dirga dan Mia diam saja. Mereka agak risi dengan tatapan peramal itu.

"Saya ahli meramal dengan berbagai metode. Tapi kali ini, cukup menggunakan mata batin. Saya bisa membaca diri kalian dengan jelas."

Tanpa aba-aba, peramal itu menatap mata Dirga dan Mia secara bergantian. Karena merasa kurang nyaman, sesekali keduanya mengalihkan pandangan.

"Kalian sepasang kekasih?"

Dirga dan Mia sontak bersitatap.

"Oh, bukan," timpal Dirga kemudian dengan nada ganjil yang membuatnya merasa tidak nyaman. Entah dengan cara apa jawaban Dirga barusan membentur sudut-sudut hati Mia, membuatnya sesak.

"Tapi saya bisa melihat ada cinta di antara kalian. Cinta yang sangat besar, tapi masih terdiam." Getaran parau suara peramal tua itu seolah ikut menegaskan.

"Maksudnya?" timpal Mia.

"Cinta yang teramat besar selalu memeluk dua hal, kebahagiaan dan kesedihan. Meski tidak pernah benar-benar bisa memilih, kalian bisa mengupayakan."

"Aku semakin enggak ngerti," pelan Mia, kemudian menunduk.

"Jangan terlalu dipaksakan. Kenali, rasa itu yang akan menuntunmu ke sana."

Sejenak hening. Sesekali Dirga dan Mia saling lirik.

"Aku rasa cukup, Ma. Kami permisi dulu." Mia hendak beranjak.

"Tunggu! Saya belum selesai."

Mia tersentak. Ia merapikan posisi duduknya kembali.

"Jika kalian terpisahkan, maka sulit untuk bertemu kembali, atau tidak sama sekali!" ucap peramal tua itu dengan mata memelotot, alih-alih menegaskan kalimatnya. "Camkan itu!"

Untuk kesekian kalinya Dirga dan Mia bersitatap, mereka semakin tidak nyaman berlama-lama di tempat itu.

"Kemarikan tanganmu." Peramal tua itu kembali bicara kepada Mia.

Disertai serumpun tanya yang tertahan, perlahan-lahan Mia mengulurkan tangan.

"Terimalah benda ini." Sesuatu dalam genggaman peramal itu berpindah ke tangan Mia.

"Apa ini?" Mia mengernyit.

"Sepasang liontin burung merpati."

Mia memandangi benda itu lekat-lekat.

"Burung merpati adalah simbol kesetiaan. Berikanlah salah satu liontin itu pada seseorang yang sangat berarti buat kamu. Selama orang itu menjaga liontinnya dengan baik, selama itu pula ia tidak akan melupakanmu. Begitu pun sebaliknya."

Ribuan tanya mengitari benak Mia. Hal ini membuatnya bingung. Ia terus memandangi sepasang liontin itu.

"Pergilah!"

"Terima kasih, Ma."

Perempuan itu melepas sebuah senyum yang sejak tadi tampak liar di wajahnya. Meski sangat hambar, Mia pun membalasnya sebelum benar-benar beranjak dari tempat itu.

Berbagai perasaan aneh mengiringi langkah Mia menjauh dari pondok ramal itu. Sesekali ia masih menoleh, sesuatu masih menyita rasa penasarannya.

"Kenapa, sih, Mia? Kok, sepertinya kamu jadi ada beban gitu?"

"Dir, kamu merasa aneh enggak sama peramal itu?"

"Semua peramal emang kayak gitu."

"Aku enggak percaya dengan ucapannya."

"Kamu pikir aku percaya?"

"Tapi bagaimana dengan liontin ini?"

"Jangan bilang kamu percaya."

Sesaat Mia terdiam. "Entahlah ...."

Purnama meninggi. Tiba saat bagi keduanya untuk mengakhiri malam indah ini. Namun sebelum meninggalkan sejuta kenangan di tempat itu, mereka mengisi perut yang lelah mengocok tawa di salah satu warung bakso yang mulai lengang. Dirga terlihat lahap menikmati baksonya, sementara Mia sejak tadi hanya memainkan sendok dan garpu di dalam mangkuk.

"Baksonya dimakan, dong. Nanti keburu dingin, loh."

Mia hanya bergumam tidak jelas.

Dirga jeda, bakso yang nyaris masuk ke mulutnya diurungkan. "Katanya enggak percaya ramalan, katanya buat seru-seruan aja, tapi, kok, jadi kepikiran gitu?"

"Aku takut kehilangan kamu, Dir!" Meski nadanya masih sama, ada penekanan di ujung kalimat Mia.

Dirga melongo. Sebutir bakso di sendoknya tergelincir kembali ke dalam mangkuk. "Kamu takut kehilangan aku?" sudut bibirnya terangkat samar-samar. Kalimat singkat itu menghadirkan getaran yang sulit dibahasakan.

Mia baru menyadari ucapannya. Ia agak kesulitan menemukan kalimat yang tepat untuk mengelak. "Oh, bukan! Maksudnya ... aku takut kalau sampai enggak bisa dengar lagi permainan biolamu."

"Bedanya apa?" Dirga jelas-jelas tersenyum kali ini.

"Ya beda!" Mia membuang pandangannya ke arah lain, berusaha menyamarkan gugup yang tiba-tiba menyergap.

Dirga hanya senyum-senyum sambil geleng-geleng. Ia kembali sibuk menikmati baksonya.

Mia menghela napas panjang. Kemeriahan dalam hatinya telanjur beku. Pikirannya tertancap tajam pada setiap kata-kata peramal tua tadi.

***

[Bersambung]

Klik link di bawah untuk baca lanjutannya;

KBM

KARYAKARSA

Kamis, 21 Desember 2023

Calon Besanku Cinta Pertamaku (Bab 6)

 


Hari berikutnya sama saja. Sore membentang tanpa sentuhan getaran dawai-dawai biola Dirga. Kegelisahan sempurna merengkuh Mia dengan cara teramat sadis. Ia takut tak bisa lagi bertemu dengan pemilik alis tebal itu, dan banyak ketakutan lainnya. Semua itu hanya bentuk lain dari kerinduan yang bahkan telah menggunung meski baru dua hari tak bertemu, melihat lebih tepatnya.

Mia mencoba membunuh ketakutannya dengan membangun keyakinan bahwa Dirga akan muncul kembali di TPU itu. Karena jika tidak, entah bagaimana ia bisa ikhlas menjalani hari-hari selanjutnya. Hatinya telanjur tercuri oleh pesona violis yang baru ia tahu namanya. Alamat dan lainnya entah.

***

Hari yang melelahkan. Dirga tiba di indekos setelah bumi berlindung di bawah payung hitam Sang Pencipta. Dengan lesu ia membuka pintu kemudian melangkah ke kamarnya. Namun, sesuatu menarik perhatiannya.

Kok, pintunya terbuka? gumamnya dalam hati.

Penuh rasa heran, Dirga bergegas masuk. Ia menemukan Wawan dengan santainya rebahan di tempat tidur.

Dirga menghela napas lega sambil mengelus dada. Sementara Wawan senyum-senyum saja menyambut kedatangan tuan kamar.

"Kamu ngapain, sih, di sini? Bikin panik aja. Tadinya kupikir ada maling, tahu!" Dirga memasukkan tasnya ke laci meja komputer yang berada di pojok ruangan, kemudian mengenyakkan diri di atas kursi plastik tepat di depan meja tadi.

"Ya ampun, Man, jam segini mana ada maling? Yang lain juga pada belum tidur, kok!" Wawan bangun, kemudian bersandar di tumpukan bantal.

"Gimana caranya kamu bisa masuk? Perasaan, sebelum berangkat pintunya kukunci." Dirga tampak berpikir.

"Kan, bisa minta kunci cadangannya sama ibu kos," timpal Wawan sesantainya.

"Terus, kenapa? Kamu mau curhat lagi? Kamu jatuh cinta lagi?"

"Iya, nih, dan kali ini ceweknya benar-benar sempurna," ucap Wawan dengan sebentuk nada antusias.

"Kemarin-kemarin kamu juga selalu bilang gitu." Dirga membumbui sedikit penekanan di ujung kalimatnya.

"Tapi kali ini ekstra sempurna, benar-benar beda, Man," timpal Wawan lagi dengan nada meyakinkan.

"Pacar-pacarmu yang kemarin mau dikemanain?"

"Sudah kuputusin semua," tandas Wawan.

"Apa?" Dirga refleks meluruskan punggung yang sedari tadi melekat di sandaran kursi. "Kamu, tuh, ya, enggak ada kapoknya. Kapan, sih, kamu bisa sedikit saja menghargai cewek? Mereka bukan mainan, mereka juga manusia yang punya hati dan perasaan."

"Salah mereka sendiri. Terlalu ribet, banyak maunya."

"Udah tahu gitu kenapa masih dipacarin?"

"Aku, kan, dalam tahap pencarian seseorang yang nantinya akan mendampingiku selamanya. Jadi kalau ada yang lebih baik, kenapa enggak?"

"Terus, kapan kamu akan merasa menemukan yang terbaik?"

"Kapan-kapan aja, kali, ya? Selama wajah gantengku ini masih mampu memikat hati para cewek cantik di luar sana, nikmatin aja dulu." Wawan tersenyum lebar dengan dagu terangkat sedikit-gaya khas saat memuji diri sendiri.

"Ganteng dari mana? Capek, deh, ngomong sama kamu. Ujung-ujungnya malah narsismu yang kumat."

Wawan cengar-cengir.

Sejenak hening. Dirga kembali menjatuhkan punggungnya di sandaran kursi. Ia menjulurkan kaki ke depan dan membenturkan pandangan di langit-langit kamar. Sesekali terdengar embusan napasnya yang berat.

"Kamu kenapa, sih? Tampangnya lesu begitu. Capek, ya? Atau jangan-jangan, ada masalah di kerjaan kamu?"

"Enggak, kok! Aku senang-senang aja dengan pekerjaan baruku. Hanya saja ... ada yang mengganggu pikiranku saat lagi kerja," terang Dirga tanpa menoleh.

"Apa itu, Man?"

"Seharian ini aku teringat sama TPU."

"Ada apa dengan TPU? Ada yang bongkar makam ayahmu?" Wawan memasang respons berlebihan.

"Hus...! Kamu ini kalau ngomong sembarangan aja," timpal Dirga dan melempari Wawan dengan lirikan tajam.

"Bukannya begitu, Man. Aku heran, kenapa harus TPU itu yang mengganggu pikiranmu?"

"Terakhir ke sana aku ketemu cewek, Man," pelan Dirga. Meski samar, terdengar nada malu-malu di ujung kalimatnya.

"Wah ... wah ... wah ... tumben banget, nih, sahabatku yang anti cewek ini tiba-tiba ngomongin cewek." Wawan memperlihatkan reaksi berlebih.

"Anti cewek gimana? Gini-gini aku masih normal, tahu. Tapi, kita beda. Kamu yang aneh, masa tiada hari tanpa jatuh cinta?"

"Itu memang wajar untuk seseorang yang memesona sepertiku ini." Wawan menegakkan kepala di ujung kalimatnya, seperti biasa.

"Nah, mulai deh!" ketus Dirga dengan nada dibuat-buat.

"Eh, tapi ngomong-ngomong, cewek itu cantik, enggak? Jangan-jangan cewek jadi-jadian. Kok, ketemunya di kuburan?"

Kali ini Dirga tak tahan. Ia menyentil telinga sahabatnya itu.

"Auw...!" Wawan menyeringai.

"Omongan, tuh, disaring dulu sebelum keluar. Mana ada cewek jadi-jadian pas hari masih terang?"

"Kan, zaman terus bergeser. Siapa tahu aja makhluk jadi-jadian juga sudah berubah jam operasional?" tutur Wawan sembari masih menggosok-gosok daun telinganya.

Sesaat hening. Dirga enggan menanggapi.

"Cantik, enggak?" Rasa penasaran Wawan telanjur tersita.

"Aku, sih, enggak begitu ahli menilai kecantikan seorang cewek. Tapi yang pasti, aku nyaman di dekatnya. Caranya bertingkah ... menurutku beda dengan kebanyakan cewek yang pernah kutemui." Tanpa sadar, nada suara Dirga yang agak puitis itu menggelitik Wawan.

"Sepertinya ada yang jatuh cinta pada pandangan pertama, nih," ledek Wawan.

"Aku enggak percaya cinta pada pandangan pertama."

"Buktinya, sekarang kamu enggak bisa lupa. Itu artinya kamu merindukannya."

Sesaat Dirga terdiam.

"Masa, sih?" ucapnya kemudian. Otaknya masih memproses omongan Wawan.

"Makanya, Man, sekali-sekali pacaran biar tahu rasanya jatuh cinta."

Dirga tak berkomentar lagi. Sesuatu yang lebih penting ketimbang menanggapi omongan Wawan sedang menjamah pikirannya.

"Ya sudah, sekarang kembali ke kamarmu. Atau mau ke mana aja terserah. Yang penting jangan di sini. Aku harus melanjutkan artikelku."

"Ini, kok, malah ngusir, sih? Soal cewek tadi gimana?"

"Aku bukan kamu, ya, yang enggak ada habis-habisnya kalau bahas cewek."

"Memangnya ganggu banget, ya, kalau aku di sini sementara kamu menulis?"

"Tergantung, sih. Tapi, kalau ada kamu sepertinya otakku enggak berfungsi."

"Sesadis itu?"

Dirga yang mulai sibuk dengan laptopnya diam saja.

"Memangnya enggak capek, ya, baru pulang langsung nulis lagi?" Wawan menyela lagi.

"Capek, sih. Tapi, mau gimana lagi? Tadi redaksi telepon, besok sudah deadline. Jadi, mau enggak mau harus selesai malam ini." Jemari tangan Dirga tampak lincah menari-nari di atas keyboard. "Lagian kalau enggak seperti ini, mana bisa aku kuliah? Kamu, sih, enak, mau apa aja tinggal minta sama orangtua." Mata Dirga tetap fokus pada monitor.

Wawan mengangguk lemah, mengiyakan. "Tapi sebenarnya aku iri. Kamu bisa menghadapi semua persoalan hidup seorang diri. Luar biasa, Man." Kali ini nada suara Wawan sedikit berbeda. Dirga bisa merasakannya.

"Semua ini faktor nasib, keadaan yang membuatku seperti ini," ucap Dirga disusul helaan napas berat yang tertahan.

Seketika timbul rasa prihatin di hati Wawan. Keduanya bungkam sejenak.

"Aku keluar bentar, ya." Wawan turun dari tempat tidur.

"Eh, maksudnya masih mau balik lagi?" sergap Dirga.

"Khawatir banget, sih, kalau aku balik lagi. Tenang, aku janji enggak akan ganggu." Wawan yang sudah di ambang pintu menoleh kembali. "Aku mau cari makanan. Memangnya kamu enggak lapar?"

"Nah, ide bagus, tuh." Dirga menampakkan cengiran iseng.

"Soal makanan cepat tanggap, giliran ngusir cepat juga," cibir Wawan sembari berjalan keluar.

"Itu, sih, beda topik, Man," timpal DiHrga setengah teriak.

Sesaat Dirga dibuat senyum-senyum sendiri oleh ulah sahabatnya itu. Kemudian pandangannya kembali fokus pada monitor. Ia berusaha merangkai kata demi kata untuk menyelesaikan artikelnya malam ini juga.

***

[Bersambung]


Klik link di bawah untuk baca lanjutannya;

KBM

KARYAKARSA


Rabu, 20 Desember 2023

Calon Besanku Cinta Pertamaku (Bab 5)

 


Kabut masih membatik di setiap sisi sebuah indekos yang lengang, jauh dari aktivitas penghuninya. Tiba-tiba suara ketukan pintu kamar nomor tiga memecah keheningan. Lelaki itu mengetuk berkali-kali sambil meneriakkan nama penghuninya.

"Dir ... Dirga ...!"

Tak ada jawaban.

Tampaknya yang bersangkutan masih dibuai mimpi di dalam sana. Lelaki bersarung kotak-kotak itu pun mengulangi lagi dengan nada yang lebih tinggi.

Tak lama kemudian pintu kamar bercat abu-abu itu terkuak. Dari baliknya Dirga muncul sembari menguap dan mengucek matanya.

"Aduh, Wan, ada apa, sih? Memangnya enggak bisa nanti? Ini, kan, masih pagi buta."

"Enggak bisa. Ini penting banget!" Wawan mempertegas dengan gerakan tangan.

"Paling cuma mau bilang kalau kamu punya pacar baru lagi," malas Dirga. Ia bersandar di sisi kanan pintu.

"Wah, Man, jangan main tebak gitu, dong! Kali ini topiknya benar-benar eksklusif, sama sekali enggak ada hubungannya dengan cewek-cewek yang naksir sama aku."

"Naksir dari mana? Kamunya aja, tuh, yang ngaku-ngaku."

"Ok! Cukup! Sekarang tolong dengarkan baik-baik!" Wawan seolah ingin membekap mulut Dirga. "Kamu masih ingat lowongan guru ekskul di sekolah omku?" tanyanya setelah Dirga diam sempurna.

"Oh, jadi kamu mau bilang kalau lowongannya sudah terisi?" Raut kekecewaan tergambar di wajah Dirga.

"Ayolah, Man. Stop thinking negative! Ya udah, lebih baik kamu baca sendiri." Wawan menyodorkan sebuah amplop.

Tanpa menoleh, Dirga meraihnya. Ia malas-malasan mengeluarkan isinya dan langsung membacanya. Seketika keningnya mengerut dan menarik kertas itu lebih dekat ke wajahnya. Matanya memelotot, senyumnya mengembang kemudian.

"Ini beneran?" Dirga terus memelototi kertas itu.

"Menurutmu?"

"Wan, ini beneran, kan?" Dirga memegang kedua pundak Wawan, sedikit mengguncangnya seraya berucap tadi.

"Kamu gimana, sih? Ini memang sungguhan, balasan surat lamaran yang kamu kirim kemarin."

"Aku diterima?" Dirga berbinar-binar.

Wawan mengangguk. "Pihak sekolah memutuskan kamu yang jadi guru ekskul musik di sekolah itu."

Rasa bahagia tak terkira sesaat menenggelamkan kosakata di benak Dirga. Entah apa yang harus diucapkannya. "Ini luar biasa. Aku masih belum bisa percaya." Dirga mengguncangkan tubuh Wawan sekali lagi, kegirangan.

"Kamu pantas mendapatkannya. Kamu, kan, violis andal." Wawan memberikan senyum pujian plus acungan jempol.

"Thanks, ya, Man!" Dirga mendekap tubuh Wawan.

"Woe, jangan lama-lama meluknya! Kalau ada yang lihat nanti dikira sedang berbuat maksiat." Wawan menepuk punggung Dirga.

Keduanya tertawa kecil.

"Sebenarnya surat ini datangnya dari kemarin sore, tapi aku lupa menyampaikannya. Aku sengaja membangunkanmu pagi-pagi biar bisa siap-siap."

"Siap-siap?" Dirga mengernyit.

"Hari ini juga kamu langsung mulai kerja."

Lingkar mata Dirga membesar.

"Ini hari Sabtu, waktunya ekskul, kan?"

"Terus ... kuliahku?"

"Soal kuliah bisa diatur. Lagipula kamu enggak mau, kan, melewatkan kesempatan ini?"

Dirga mengalihkan pandangan, terlihat sedang memikirkan sesuatu. "Baiklah. Nanti aku susun ulang jadwal," ucapnya kemudian. Senyum kembali terlukis di wajah Dirga. Ia masih betah memandangi surat yang menyatakan penerimaan dirinya itu. Semua ini berkat bantuan dan dukungan Wawan yang telah merekomendasikannya dengan baik.

"Kamu siap dengan kabar selanjutnya?"

"Kayak acara berita di tivi aja." Dirga menoleh ke arah Wawan.

"Aku serius!" tegas Wawan. Ia kembali menyerahkan selembar kertas—tetapi dengan ukuran yang lebih kecil—setelah melihat semburat rasa penasaran mengalun di sorot mata sahabatnya itu.

"Apa ini?" Dirga meraihnya dengan kening mengerut.

"Di situ ada alamat tiga temanku, mereka lagi butuh jasa guru les biola privat. Ada yang buat adik, keponakan, dan ia sendiri. Nanti sore kuantar ke alamat-alamat itu. Jadi kalau memang cocok, kamu bisa langsung atur jadwalnya. Dan karena mereka rata-rata maunya hari Minggu, siap-siap aja besok kerja lagi."

"Tapi serius, nih, langsung dapat tiga?" Dirga terperangah.

Wawan mengangguk mantap.

"Wah, ini benar-benar luar biasa," girang Dirga.

"Kamu pantas mendapatkannya." Wawan menepuk pundak Dirga.

"Semua ini berkat bantuan kamu."

"Kita, kan, sahabat. Sesama sahabat wajib saling membantu, kan?"

"Kalau begitu, kamu memang sahabat yang paling the best, deh!" Kepakan senyum Dirga melebar sempurna.

"Baru sekarang, kan, kamu bilang the best? Kemarin-kemarin aku cuma playboy, buaya darat, ular sawah, atau apalah nama lain dari makianmu itu," ungkap Wawan dengan ekspresi khasnya.

"Kalau itu, sih, tetap. Tapi di balik semua itu, ternyata kamu bisa jadi sahabat yang benar-benar sahabat," ujar Dirga dengan tawa tertahan. "Aku jadi bingung, bagaimana caranya membalas semua ini?"

"Kalau soal itu gampang, cukup dengan mau mendengarkan semua cerita-ceritaku ketika sedang jatuh cinta."

"Wah, bakalan sering, dong. Kamu, kan, jatuh cintanya setiap hari."

Mereka kompak terbahak.

"Sekali lagi terima kasih, Man. Tanpa bantuanmu, aku enggak tahu harus ngapain." Ucapan Dirga penuh makna kali ini.

"Iya, sama-sama!"

Tak ada lagi yang bisa Dirga lakukan selain mendekap tubuh Wawan erat-erat. Wawan senyum-senyum saja diperlakukan seperti itu oleh sahabatnya. Ia tahu persis, hari ini hatinya sedang bahagia.

Di indekos itu Dirga memang paling dekat dengan Wawan. Mereka kenal sejak hari pertama masuk kuliah. Mereka sekampus, tapi beda fakultas. Dirga memilih seni, sementara Wawan lebih memilih jalur ekonomi untuk menentukan masa depannya. Sebenarnya ia berasal dari keluarga yang berada, orangtuanya juga masih di Jakarta, tetapi ia sedang belajar hidup mandiri. Persahabatan mereka unik, berlandaskan dua kepribadian yang sangat kontras. Namun, justru itulah yang membuat mereka saling melengkapi.

***

Sore hari memang selalu menyertakan ketenangan, meski tidak untuk hati Mia kali ini. Ia bertemankan gelisah menantikan Dirga. Sapu lidi di tangan kanannya lebih banyak dianggurkan ketimbang berfungsi sebagaimana mestinya. Ia celingukan kiri-kanan. Bahkan sesekali berlari melintasi pagar TPU, berharap orang yang ia nantikan muncul di pertigaan sana. Namun, semua itu sia-sia. Sosok yang tengah mengacaukan konsentrasinya tak kunjung datang.

Pak Warto mulai merasa aneh dengan sikap putrinya. "Ada apa, sih, Mia? Dari tadi mondar-mandir tidak jelas." Ia ikut menghentikan aktivitasnya.

"Kok, hari ini Dirga enggak datang, ya?" Alih-alih menjawab pertanyaan ayahnya, Mia malah bergumam.

Pak Warto baru kali ini mendengar nama itu, yang kemudian diyakininya milik lelaki yang kerap bermain biola di TPU itu. Sore ini memang sedikit berbeda tanpa alunan nada-nada syahdu darinya.

"Oh, jadi namanya Dirga?" Senyum geli Pak Warto melebar melihat tingkah putrinya yang diyakininya sedang kasmaran.

Mia sadar ayahnya sedang menggoda, tetapi pandangannya tetap awas ke arah gerbang TPU.

"Tapi kenapa kamu yang pusing kalau ia tidak datang?" Pak Warto kembali menggoda putrinya.

"Ih, siapa yang pusing?" Mia mengelak.

"Atau kangen?"

Seketika Mia merasa ditodong. Ia hanya menunduk tanpa jawaban.

"Mia, kamu suka dengan lelaki itu?" Kali ini nada yang tersusun di kalimat Pak Warto agak berbeda. Mia merasakan keseriusan di sana.

"Enggak tahu, Yah. Mia hanya ingin selalu melihatnya memainkan biola itu."

"Hanya itu?"

Mia mengangguk.

"Yakin?"

Mia mendalami sorot mata ayahnya, kali ini tanpa jawaban ataupun anggukan.

Pak Warto menghela napas panjang. "Berhati-hatilah, karena terkadang apa yang kita inginkan tak selalu bisa kita dapatkan. Ayah takut kamu kecewa." Pak Warto menepuk pelan pundak putrinya.

Mia diam saja.

"Ya sudah, lebih baik sekarang kita lanjut kerja lagi biar cepat selesai." Pak Warto menyunggingkan sebaris senyum penyemangat.

Mia kembali melanjutkan aktivitasnya setelah mengangguk lemah, tanpa mampu atau sekadar mencoba menepis bayangan Dirga dari ingatannya. Bayangan wajah manis violis itu ikut berlompatan bersama daun-daun kering yang terusik ujung sapunya.

***

[Bersambung]

Klik link di bawah untuk baca lanjutannya;

KBM

KARYAKARSA

Selasa, 19 Desember 2023

Calon Besanku Cinta Pertamaku (Bab 4)

 


Jakarta, 20 tahun sebelum Tuhan menunjukkan akhir sebuah kisah yang dianggap usai.

Kisah yang sesungguhnya bermula pada suatu hari, ketika hujan tanpa antaran mendung serta-merta membasahi kawasan TPU Islam Nurani yang berlokasi di pinggiran Kota Jakarta. Kawanan bulir sejuknya melumat pucuk pepohonan, nisan-nisan, rumput kuyu yang telah merekam sejuta tangis pilu, juga lelaki yang menenteng biola di tangan kanan sambil berlari keluar dari TPU. Usahanya mencari tempat berteduh berakhir pada teras sebuah rumah yang berposisi tepat di samping tembok setinggi dada yang memagari sekeliling TPU.

Lelaki itu sibuk mengibaskan rambut serta ujung kemejanya, membebaskannya dari gelayutan bintik-bintik air hujan.

"Pakai ini!"

Kesibukannya terhentikan oleh sodoran handuk putih dari seorang gadis. Tuan rumah sepertinya.

"Maaf, aku mampir berteduh tanpa permisi." Ucapan penuh rasa tidak enak itu dibalas oleh tuan rumah dengan senyum tidak mempermasalahkan.

Handuk tadi sudah berpindah ke tangan si lelaki setelah lebih dulu meletakkan biolanya di atas meja kecil yang diapit dua kursi berlengan. Ia lantas membunuh rasa tidak enaknya dengan kesibukan menyeka rambut serta lengannya.

"Sepertinya hujan masih lama. Enggak ingin menunggu sambil duduk?"

Ajakan tuan rumah disambut cengiran lebar oleh si lelaki, sebelum mengisi kursi kosong di sebelahnya.

"Dirga." Lelaki itu mengulurkan tangan. Sungguh, ia tidak ingin jika malah gadis itu yang lebih dulu menyebutkan nama.

Tuan rumah mengenalkan diri sebagai Mia, sambil menjabat tangan Dirga. Mia sudah sering melihat lelaki itu, mengamati lebih tepatnya. Namun, pertama kali untuk sedekat ini, mendengar suaranya, dan ... ah, baru saja genggaman tangan mereka menyatu. Menyadari hal itu, Mia tak setenang yang terlihat. Parade kembang api tergelar meriah dalam hatinya, menimbulkan sensasi yang ia sendiri tak mampu membahasakannya.

Jika saja Dirga lebih jeli, maka ia bisa melihat sikap grogi yang menyertai setiap gerakan Mia, juga tatapannya. Ia hanya terlampau sibuk meredam rasa tidak enak telah mampir berteduh di rumah orang tanpa permisi.

"Tunggu sebentar, ya." Mia beranjak ke dalam tanpa menyisakan jeda untuk Dirga sekadar menjawab. Sepeninggal Mia, pandangan Dirga berkeliling, lalu bertumpu pada sisi kanan teras. Di sana ada beberapa batang sapu lidi, lengkap dengan pengki dan keranjang sampah yang tertata rapi.

Berselang beberapa menit Mia hadir kembali disertai secangkir teh yang memamerkan kehangatan lewat kepulan asap tipis di permukaannya.

"Biar enggak masuk angin," ucap Mia sambil meletakkan teh suguhannya di atas meja, tepat di samping biola Dirga.

"Wah, aku jadi makin enggak enak, nih." Dirga menggaruk bagian belakang kepala yang tak gatal.

"Santai aja." Mia tersenyum, alih-alih mempersilakan tamu dadakannya untuk minum.

Masih kikuk, Dirga meraih cangkir teh berbahan keramik bermotif bunga tulip itu. Diseruputnya sekali, kemudian diletakkan kembali ke tempat semula.

"Kamu kuncen?" Dirga meloloskan pertanyaan itu setelah sekilas pandangannya kembali mengarah ke sisi kanan teras. Namun ... ah, pertanyaan bodoh! Mana ada kuncen perempuan muda dan ... cantik?

"Bisa dibilang begitu." Jawaban Mia membuat Dirga urung mengutuk pertanyaannya barusan—meski belum yakin akan kesungguhan kalimat yang baru didengarnya. "Tapi sebenarnya sekadar bantu Ayah saja, kok."

Bibir Dirga membulat disertai anggukan pelan. "Terus, kesibukan lain?"

"Kesibukanku, yah, cuma di TPU ini, bantu Ayah. Aku hanya tamatan SMA. Itu juga udah syukur banget."

"Kenapa?"

"Kamu tahu sendiri, kan, pendidikan sekarang mahal. Aku enggak ingin menyusahkan Ayah."

"Tapi sebenarnya jika kita mau berusaha, pasti selalu ada jalan."

"Iya. Aku paham."

Sejenak tidak ada percakapan. Kebersamaan itu dilatarbelakangi gemuruh air hujan yang berlaga di atap. Dirga kembali membasahi tenggorokannya dengan teh yang kini sisa setengah cangkir.

"Sudah lama ayahmu jadi kuncen?" tanya Dirga sembari meletakkan kembali cangkir tehnya.

Mia mengangguk. "Bahkan sebelum aku lahir. Aku bangga pada Ayah. Beliau pekerja keras dan penuh tanggung jawab. Dan yang paling penting, beliau sangat mencintai pekerjaannya."

"Pada dasarnya semua anak di dunia ini pasti bangga pada orangtua masing-masing. Hanya saja enggak semua bisa mengungkapkannya."

"Kamu benar. Aku setuju!"

Mereka kembali diam. Hujan masih betah menemani.

"Ohya, kamu hanya tinggal berdua dengan ayahmu?" Dirga kembali memulai obrolan.

Mia mengangguk.

"Ibu kamu?"

"Ibu sudah meninggal, lima tahun silam," ungkap Mia setelah bungkam sesaat.

"Maaf, aku enggak bermaksud untuk—"

"Enggak apa-apa, kok. Kematian bagian dari perjalanan hidup. Semua yang bernyawa pasti akan melaluinya. Lebih bijak jika kita tidak perlu terlalu larut di dalamnya."

Senyum menenangkan terlukis di wajah Dirga.

Perlahan-lahan hujan mulai reda. Kini yang terdengar hanya alunan nada-nada penutup, seiring menipisnya barisan rintik yang sedari tadi begitu kompak menghalau pandangan. Tak pernah terlintas di benak Mia akan datangnya hari ini. Terang saja jika ia merasa momen itu sangat berharga. Akan tetapi ... ini saatnya diakhiri. Dirga pamit.

"Hujannya sudah reda, nih. Aku harus pulang." Dirga meraih biolanya. "Terima kasih untuk semuanya," lanjutnya kemudian.

"Sama-sama!"

Dirga beranjak dari tempat duduknya dan mengawali langkah pertama meninggalkan rumah itu.

"Tapi, Dir ...."

Cegahan Mia mematahkan langkah Dirga.

"Besok kamu ke sini lagi, kan? Eh, maksudku main biola lagi di TPU?"

Dirga menyelipkan tanda tanya di tatapannya. Kok, ia tahu? Namun, pertanyaan itu tak dibahasakannya. Ia memilih mengangguk sembari tersenyum. Kemudian, ia berbalik dan kembali melangkah.

"Tunggu, Dir!" cegah Mia lagi.

Dirga menoleh dengan sebelah alis terangkat kali ini.

"Mm ... aku senang banget bisa ngobrol sama kamu hari ini." Mia lantas mengutuk kalimat barusan. Demi apa ia harus berkata seperti itu?

"Ah, aku juga, kok."

"Ya sudah, hati-hati, ya."

Dirga mengangguk kemudian melambaikan tangan sebelum berbalik dan benar-benar pergi. Mia membalasnya dengan senyum bermekaran. Mungkin bagi Dirga momen yang tak kurang dari tiga puluh menit barusan hanya berujung lega bisa terhindar dari guyuran hujan, tetapi berbeda dengan Mia.

Hari ini benar-benar istimewa baginya.

***

Seperti malam-malam sebelumnya, seusai menikmati hidangan makan malam yang dipersiapkan sendiri oleh putrinya, Pak Warto merebahkan diri di kursi panjang bermodel unik yang dihasilkan dari rakitan berbahan dasar bambu. Mia memijat betis dan punggung ayahnya agar rasa lelah cepat menyingkir dan besok siap untuk kembali bekerja. Inilah salah satu bentuk baktinya selaku anak. Setiap malam ia melakukannya dengan senang hati.

"Ayah, hari ini Mia senang ... banget," tutur Mia dengan ekspresi dilebih-lebihkan.

"Oh ya?"

"Ayah tahu kenapa?"

"Kenapa?" Pak Warto memang selalu meladeni setiap omongan putri semata wayangnya itu.

"Karena akhirnya bisa kenalan dengannya, bahkan ngobrol panjang lebar," ungkap Mia berbinar-binar.

"Maksudmu, lelaki yang setiap sore main biola di TPU?"

Mia mengangguk tegas tanpa menghentikan pijatannya.

"Bagaimana ceritanya? Bukannya selama ini kamu hanya bisa mengintipnya dari balik pohon?"

"Kali ini beda, Yah!"

Pak Warto hanya mengiyakan dengan gumaman.

"Ternyata orangnya ramah, dan lebih ganteng kalau dilihat dari dekat." Mia lepas kontrol atas ucapannya. Ia refleks menepuk bibirnya.

"Wah ... wah ... wah ... sepertinya ada yang lagi naksir berat, nih!" ledek Pak Warto.

"Eh, Ayah apa-apaan, sih? Enggak, kok!" Mia salah tingkah.

"Mia, Ayah juga pernah muda, pernah melewati masa-masa yang kamu alami sekarang. Jadi, Ayah tahu persis bagaimana suasana hatimu saat ini."

Mia terdiam.

"Ayah tidak masalah kalau misalnya kamu suka atau bahkan nantinya pacaran dengan lelaki itu. Yang penting tahu batasan. Hati-hati, jangan sampai ia menyakitimu."

"Omongan Ayah terlalu jauh. Kami sekadar kenalan, Yah! Mia hanya tertarik sama permainan musiknya."

"Alunan musik yang terlahir dari violis ganteng memang selalu indah, ya?" timpal Pak Warto penuh senyum jail.

"Apaan, sih, Yah?" Mia menepuk pelan betis ayahnya. "Lagian Mia enggak mau pacaran dulu. Saat ini cinta Mia hanya milik Ayah, belum ingin membaginya untuk orang lain."

"Ayah bahagia mendengarnya. Tapi bagaimanapun juga kamu harus mulai belajar membaginya untuk orang lain. Kamu butuh pendamping hidup."

"Untuk apa? Mia, kan, sudah punya Ayah."

"Ya jelas beda, dong! Lagipula Ayah ini sudah tua, sakit-sakitan. Ayah tidak bisa selamanya menjaga kamu."

Riak wajah Mia seketika berubah. "Kenapa Ayah ngomong gitu? Ayah tega meninggalkan Mia sendirian?"

"Maka dari itu, sebelum pergi, Ayah ingin kamu menemukan seseorang yang bisa menggantikan posisi Ayah untuk menjaga dan melindungimu." Pak Warto menoleh ke arah putrinya, menyematkan tatapan serius.

"Mia enggak mau dengar lagi. Mia benci Ayah ngomong begitu!"

"Ayah, kan,sekadar mengingatkan."

"Pokoknya Mia enggak mau dengar lagi!" Mia menekuk mukanya.

"Ya sudah, tidak usah ngambek. Ayah janji tidak akan mengulanginya lagi."

"Janji?" Mia melirik.

Pak Warto mengangguk sembari tersenyum.

Keceriaan hati Mia telanjur padam, berganti dengan rasa takut akan kehilangan orang yang sangat berarti di hidupnya untuk kedua kalinya. Hal ini membuat diamnya berkepanjangan.

***

Mia tak pernah melewatkan sekian menit waktu terbaiknya di setiap alunan sore, ketika seluruh sel tubuhnya tunduk pada permainan biola lelaki yang bersimpuh di sana. Entah berapa banyak hari diajaknya bercerita, sejak pohon oak rimbun itu setia memberinya sandaran untuk menikmati persembahan violis yang tak pernah ia tahu namanya, yang kemudian ia juluki "Malaikat Pengutus Kedamaian".

Mia tak punya cara untuk mencegah dirinya larut tak tersisa dalam pesona lelaki itu, hingga seluruh alam pun tahu bagaimana kedamaian begitu ikhlas merangkulnya setiap mendengar alunan musik yang tercipta dari dawai-dawai biola malaikat pengutus kedamaiannya itu. Tak heran jika pada akhirnya hujan pun bersedia menyeret pemilik rambut ikal itu untuknya.

Turut membantu pekerjaan sang ayah yang seorang kuncen di TPU Islam Nurani tak sengaja menghadirkan Dirga di kehidupan Mia. Di sanalah ia kini, di tempat persembunyiannya selama ini, di balik pohon oak.

Perasaan damai yang entah mewujud dengan cara apa masih sama ketika pertama kali ia mendengar alunan musik itu. Bukan seminggu atau sebulan yang lalu, ketika hati Mia diam-diam tercuri olehnya. Namun hingga kemarin sebelum lelaki itu memenuhi teras rumahnya dengan senyum santun, ia sebatas pengagum rahasia. Pun saat ini, jika ia belum juga mengakhiri drama yang ia perankan dari balik pohon.

Ada yang berbeda hari ini, sebab berkat hujan kemarin ia telah mengantongi nama lelaki yang masih berdansa dengan biolanya di sana.

Dirga ....

Ah, menyebut namanya saja bisa mendatangkan bahagia.

Sore ini masih sama dengan ratusan sore sebelumnya. Dirga bersimpuh di hadapan sebuah makam. Angin membelai lembut raut wajahnya. Matanya terpejam mengikuti alunan nada dari biola yang dimainkannya. Jemarinya begitu mahir memadukan dawai-dawai biola pada tangga nada. Setiap tarikan nada selaras dengan bahasa tubuhnya. Mengalun lembut, serupa tarian ilalang yang tumbuh liar di sekitaran. Ia seolah menarik diri dari dunia luar, membiarkan jiwanya berlaga di udara.

Mia memantapkan hati untuk memulai babak baru akan kehadiran Dirga dalam kesehariannya. Jika hujan telah lebih dulu berkehendak menciptakan obrolan di antara mereka, lantas alasan apa ia enggan sekadar beranjak dari balik pohon dan melipat jarak di antara mereka yang sebenarnya hanya dua kali entakan lari.

Langkah pelan mengantar Mia beranjak dari persembunyiannya. Entah tema obrolan apa yang tengah ia persiapkan. Ia hanya ingin kembali lebih dekat dengan sosok yang telah menyita rasa penasarannya selama ini. Meski langit sore sedang cerah dan sepertinya hujan yang membingkai kebersamaan mereka kemarin tak akan menampakkan diri.

Selangkah lagi posisi Mia sejajar dengan malaikat pengutus kedamaiannya selama ini, bersamaan dengan suguhan nada terakhir sebagai penutup persembahan sore tersebut. Spontan, Mia tepuk tangan meriah, menyadarkan Dirga akan kehadirannya. Lelaki berkemeja hitam kotak-kotak itu mendongak, menemukan senyum Mia yang langsung ia kenali sebagai pemilik rumah tempatnya menyelamatkan diri dari jangkauan hujan kemarin.

"Kamu?" Terkaan Dirga dibalut senyum.

Mia turut bersimpuh, menyetarakan garis pandang.

"Aku enggak ganggu, kan?" kikuk Mia.

"Enggak, kok!" jawab Dirga disertai gelengan.

"Permainan biolamu indah sekali. Aku suka!" ungkap Mia dengan nada malu-malu.

"Terima kasih!" Kepakan senyum Dirga melebar.

"Tanpa kamu sadari, setiap sore kamu selalu membaluri tempat ini dengan suasana damai dan aku selalu larut di dalamnya."

Dirga mengernyit, pertanda kurang menangkap maksud kalimat barusan.

"Musik kamu mampu mendamaikan hati siapa pun yang mendengarnya, magic," terang Mia penuh pujian.

"Masa, sih? Kamu berlebihan!" Tawa kecil meluncur dari mulut Dirga.

"Selama ini aku menikmatinya dari sana." Mia menunjuk pohon oak yang berjarak beberapa meter dari posisi mereka. "Tanpa ada keberanian untuk menampakkan diri," lanjutnya setelah tatapan Dirga kembali padanya.

"Kenapa?" Dirga mengernyit.

"Aku malu." Mia tercekat, disusul semburat merah jambu yang menyembur perlahan di pipinya. "Kamu seperti malaikat, malaikat pengutus kedamaian," lanjutnya dengan nada lebih pelan.

Dirga sukses dibuatnya terkekeh.

"Dir, yang terbaring di dalam sana, siapa?" tanya Mia, serta-merta menyudahi kekehan Dirga, berganti senyap—sangat senyap.

"Ayah." Dirga menunduk. "Beliau yang mengajarkanku bermain biola. Lagu yang sering kamu dengarkan itu memiliki banyak kenangan saat-saat indah bersama beliau." Dirga jeda sejenak. "Di hari ulang tahunku yang keenam, Ayah menghadiahkan biola ini." Dirga mengelus biola yang terletak di atas pusara sang ayah. "Hari itu, untuk pertama kalinya Ayah mengajarkanku bermain biola. Lagu itu yang beliau ajarkan."

"Apa judul lagunya?"

"Malaikatku. Ciptaan Ayah sendiri. Seperti kamu, beliau juga menganggapku malaikat. Tapi, tentu saja berbeda dalam arti sebenarnya." Dirga tersenyum getir di tengah sendu wajahnya. "Selama bertahun-tahun kami memainkan lagu itu bersama-sama, di setiap kesempatan."

Mia turut merasakan rasa kehilangan yang kini kembali mengiringi detak jantung Dirga. Tangan Mia bergerak pelan, tujuannya pundak Dirga. Namun tiba-tiba ia ragu, lekas ditariknya kembali.

"Maaf, aku sudah lancang. Harusnya kita enggak perlu membahas hal ini. Aku bikin kamu sedih."

"Enggak apa-apa, kok. Kan, kamu sendiri yang bilang, bahwa kematian bagian dari perjalanan hidup dan semua yang bernyawa pasti akan melaluinya. Lebih bijak jika kita tidak perlu terlalu larut di dalamnya."

Mia takjub. Ia yang mengucapkan kalimat itu kemarin dan baru saja Dirga mengulanginya sama persis.

"Masa-masa menjahit luka telah kulalui dengan segala cara. Aku harus lebih kuat, untuk masalah yang tak kenal waktu dan kondisi." Dirga berucap tanpa menoleh ke arah Mia. Agak tengadah, ia meluaskan pandangan saat tiba-tiba bola matanya menghangat.

Mia memandang lekat-lekat wajah Dirga dari samping. Ia yakin, lelaki hitam manis itu tidak sedang baik-baik saja.

***

[Bersambung]

Klik link di bawah untuk baca lanjutannya;

KBM

KARYAKARSA