Selasa, 12 Desember 2023

Bukan Anak Pelacur (Bab 8)

 


Sebenarnya Mak bersikeras agar aku tetap melanjutkan pendidikan. Aku paham, Mak menaruh harapan besar kepadaku untuk mengubah nasib keluarga ini. Namun, dari mana Mak bisa mendapatkan uang untuk biaya sekolah sehari-hari? Semasa SMP saja rasanya sangat dipaksakan. Terlebih setelah Ambo tiada. Mak terpaksa jual beras persediaan kami setiap hari untuk biaya hidup dan sekolahku.

Melanjutkan pendidikan kurasa hanya akan menambah beban pikiran Mak. Aku memutuskan untuk melupakan cita-cita itu. Lebih baik fokus bantu Mak di sawah, sembari mencoba cari kerja apa pun yang bisa meringankan bebannya. Tubuh renta Mak sebenarnya sudah tidak pantas lagi menangani pekerjaan berat. Tapi jika sawah itu tidak ditanami, kami mau makan apa? Dan jika bukan aku yang membantunya, siapa lagi?

Maka pada musim tanam pertama setelah Ambo tiada, aku ekstra belajar dan mencoba menikmati setiap langkah-langkahnya. Mulai dari menabur benih, mencabut, menanam, hingga memupuk. Sebenarnya tidak terlalu sulit, aku sering melihat Mak dan Ambo melakukannya. Hanya saja, fisikku belum terbiasa. Baru sebentar saja, langsung terasa capek sekali. Tapi jika Mak saja bisa sekuat itu, harusnya aku bisa jauh lebih kuat.

"Kamu tidak coba cari kerja saja, Nak? Sayang ijazahmu dianggurin." Entah berapa kali Mak mengulangi perkataan itu. Selalu, setiap kali melihatku kelelahan membantunya di sawah.

Aku juga kepikiran begitu. Namun, di kampung ini lapangan pekerjaan sangat minim. Paling mentok juga kerja di tempat pengolahan kepiting dengan upah yang tak seberapa. Menurutku masih mending dengan membantu pekerjaan Mak saja. Aku mungkin saja bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik jika berani meninggalkan kampung ini, mengadu nasib di tempat lain. Namun, mana mungkin aku tega meninggalkan Mak sendiri? Cukup sudah ia ditinggalkan oleh kedua kakakku.

Musim panen tiba. Aku sangat bersemangat, karena inilah hasil jerih payahku bersama Mak. Dari menabur benih hingga memanen, kami lakukan bersama. Hanya sesekali dibantu oleh Puang[1] Sudi-adik almarhum Ambo-jika pekerjaannya benar-benar sudah selesai. Kecuali untuk urusan membajak, kami sepenuhnya menyerahkan kepada Puang Sudi dengan upah berupa beras setelah panen nanti. Sebagian hasil panen kami jual untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Selebihnya tentu saja disimpan untuk persediaan makanan.

***


Watampone, tahun 1993

Musim tanam selanjutnya sedikit berbeda. Mak tidak segesit biasanya. Ia mulai sakit-sakitan. Aku mendadak khawatir penyakit yang merenggut nyawa Ambo kini bersarang juga di tubuh Mak. Aku melarang Mak untuk bekerja. Pekerjaan di sawah terpaksa diserahkan sepenuhnya kepada Puang Sudi. Ia mengajak beberapa temannya turut serta.

Soal upah seperti biasa, diberikan setelah panen. Puang Sudi yang akan mengaturnya. Aku cukup menyediakan serta mengantarkan bekal makan siang untuk mereka setiap hari. Seperti hari ini. Aku baru saja tiba setelah menempuh jarak panjang di atas puluhan pematang sawah. Kedengarannya melelahkan. Namun, aku sudah sering dan terbiasa melakukannya.

Aku menata piring-piring berisi lauk di atas selembar sarung yang telah kubentangkan. Setelah beres, aku memanggil mereka untuk istirahat makan siang. Aku hampir mengenal semua teman-teman Puang Sudi yang dipanggilnya menanam kali ini. Kecuali satu orang. Pemuda yang baru saja melepas selembar kain yang digunakan sebagai penutup muka sepanjang menanam tadi. Aku baru pertama kali melihatnya.

Ia duduk tepat di samping Puang Sudi. Ia sempat beberapa kali melirik ke arahku sambil mengambil nasi dan beberapa lauk. Entah apa yang menarik dari pemuda yang kini mulai menikmati makanan yang kusajikan. Saat tengah larut memperhatikannya diam-diam, secepat kilat, tatapannya beralih ke mataku. Saat itulah sekilas ia memperlihatkan senyum simpul yang mampu menghalau udara panas persawahan di sekitarku. Hati mendadak sejuk.

"Tambahki, sampai semuanya habis. Tidak boleh ada yang sisa." Tentu saja aku tak bicara padanya saja. Maksudku mempersilakan semuanya. Meski selama berucap, aku lebih sering melirik ke arahnya.

Sungguh momen singkat yang penuh degup aneh. Entah kenapa. Mereka mengambil peralatan masing-masing, kembali turun ke sawah. Meninggalkanku yang tengah membereskan piring-piring kosong serta suasana hati yang mendadak ditumbuhi ribuan kuntum bunga. Ah, apa ini?

Perjalanan pulang tak kalah aneh. Tak satu pun langkahku yang tak bertemankan senyum di bibir. Pemuda itu ...? Ah, sayang, aku tak sempat tahu namanya.

"Kamu kenapa senyum-senyum terus?" Mak pun menangkap hal aneh pada senyum tak wajar di wajahku. Ia yang sedang duduk santai di teras mengaku melihatku senyum-senyum sendiri sejak beberapa meter sebelum tiba di rumah.

Aku hanya menggeleng kemudian berlalu ke dalam, bermaksud langsung mencuci peralatan makan tadi.

Malam ini untuk pertama kalinya aku gelisah bukan soal cita-cita yang kandas, melainkan karena pemuda yang belum kutahu namanya itu. Aku menolak menyebut sedang jatuh cinta, tapi entah apa nama lainnya. Aku baru pertama kali seperti ini, karena memang masih kecil. Meski aku bukan anak SMP lagi, namun umur 16 tahun kurasa belum saatnya berurusan dengan cinta. Tapi ... anehkah bila aku mulai memiliki ketertarikan terhadap lawan jenis?

***


Meski tidurku tidak begitu nyenyak gara-gara bayangan senyum simpul pemuda itu, aku menyambut pagi dengan semangat baru. Seperti biasa, kuawali hari dengan beres-beres rumah. Menyapu halaman, mencuci pakaian, memasak, dan sebagainya. Semua pekerjaan itu terasa lebih mengasyikkan karena kali ini kujadikan sebagai pembunuh waktu. Siang nanti, aku akan ke sawah mengantarkan bekal makan siang lagi untuk Puang Sudi dan teman-temannya. Aku akan bertemu pemuda itu. Oh, Tuhan, bisakah sisa waktu kulipat saja agar siang lekas tiba?

Waktu mengantarkan bekal makan siang pun tiba. Maka di sinilah aku, di depan cermin. Tak biasanya aku melakukan ritual ini sebelum ke sawah. Untuk apa? Bedak tabur yang kukenakan ini nantinya juga akan luntur tergulung keringat. Tapi setidaknya aku merasa lebih siap setelah ini.

Namun, hari ini ternyata tak seindah hari kemarin. Pemuda itu tidak datang. Semua masakan yang kupersiapkan sedikit lebih spesial hari ini, serta langkah tergesa-gesa tadi, mendadak terasa sia-sia. Ke mana dia? Aku bermaksud menanyakannya pada Puang Sudi yang tengah sibuk dengan makanannya. Tapi urung. Aku tak punya alasan kuat mencarinya. Entah kenapa aku jadi sedih.

***


[Bersambung]


Catatan kaki:
[1]Panggilan untuk om dan tante.

Klik link di bawah untuk baca lanjutannya;

KBM

KARYAKARSA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar