Senin, 11 Desember 2023

Bukan Anak Pelacur (Bab 7)

 


Watampone, tahun 1992

Aku terpaku di depan meja belajar. Memandangi ijazah yang baru saja kudapatkan tadi pagi setelah tiga tahun berjuang. Berjuang yang kumaksud mengandung makna perjuangan yang sesungguhnya. Di kampung ini, bisa menyelesaikan pendidikan hingga SMP dianggap sudah hebat. Di luar sana, sebagian teman-teman yang nasibnya jauh lebih mujur mungkin tengah sibuk mengurus pendaftaran masuk ke SMA. Sedang aku, di sini saja. Sedang berusaha untuk berdamai dengan takdir.

Sejak pertama kali ditanya soal cita-cita sewaktu masih SD dulu, aku selalu menjawab ingin menjadi guru. Entahlah. Bagiku guru itu sangat hebat. Bisa membuat orang yang tadinya tidak tahu apa-apa jadi sangat pintar. Bahkan terkadang melampaui kepintarannya sendiri. Tapi sekarang, kenyataan memaksaku mengubur cita-cita itu. Orangtuaku hanya petani. Dan segala ketidakmungkinan yang membayangiku selama ini semakin nyata setelah Ambo[1] jatuh sakit dan akhirnya berpulang ke sisi-Nya enam bulan yang lalu.

Di mataku, Ambo bukan sekadar ayah, tapi juga pejuang tangguh. Raganya tak pernah lelah demi membahagiakan kami. Apa pun akan ia lakukan demi melihat kami tersenyum. Jika musim menanam sudah selesai, ia menarik bendi[2] sambil menunggu musim panen. Sepulang dari menarik bendi, ia tidak langsung istirahat, melainkan ke sawah untuk melihat perkembangan bibit padi. Mana tahu banyak rumput yang tumbuh di sela-selanya. Atau malah terserang hama. Ia juga tentu saja masih harus mengurusi kuda yang menemaninya mencari rezeki tambahan sepanjang hari. Memandikan serta mencarikannya rumput-rumput segar di pematang-pematang sawah agar binatang super kuat itu tetap semangat menarik penumpang setiap hari. Semua rutinitas itu terpaksa dilakukannya seorang diri.

Ambo memang punya tiga orang anak, tapi sekarang sisa aku yang masih tinggal bersamanya. Daeng[3] Firman, sejak saya belum lahir sudah merantau ke Merauke dan tidak pernah pulang sekali pun hingga hari ini. Kabarnya, ia sudah menikah dan punya dua orang anak di sana. Daeng Ida, dua tahun sejak tamat SD langsung menikah dan ikut suaminya merantau ke Riau. Ia baru tiga kali pulang menemui kami. Terakhir waktu aku masih kelas enam SD. Kepulangan sebelumnya, aku tidak begitu ingat. Mungkin ketika aku masih sangat kecil. Aku tahu sudah tiga kali hanya berdasarkan cerita Mak. Perempuan berkulit legam itu sering mewarnai suasana sore di teras dengan obrolan hangat seputar kedua kakakku.

Ia selalu ditemani album foto keluarga yang sampulnya mulai dimakan rayap. Benda itu akan memudahkannya mengenang setiap kisah yang pernah terukir. Ia begitu antusias menceritakan peristiwa di balik setiap gambar. Bahkan saking sering Mak mengulanginya, aku pun jadi hafal. Tapi, aku pura-pura lupa dan sengaja mengajukan pertanyaan yang bisa memancing semangat perempuan renta itu bercerita. Aku senang melihat Mak tersenyum dalam ceritanya, meski sesekali ada kilauan bening di sudut matanya yang susah payah ditahan agar tak tergelincir. Dengan begitu, semoga kerinduan yang menggunung di hatinya bisa tersalurkan, meski tak seutuhnya. Sebagai satu-satunya anak yang masih ada di sisinya, aku harus menguatkan.

Aku dan Mak sesekali membantu pekerjaan Ambo di sawah. Bahkan, tanpa persetujuan Ambo, Mak kadang mencari rumput untuk makanan kuda. Ambo tidak suka dibantu. Ia tidak tega melihat kami mengerjakan pekerjaan berat. Ia lebih senang jika aku fokus belajar dan Mak cukup mengerjakan pekerjaan rumah saja. Yang terpenting bagi Ambo, kami selalu menyambutnya dengan senyum setelah ia bekerja seharian.

Ia selalu bisa menikmati makanan apa pun yang dimasak Mak setiap hari. Dan ketika malam tiba, caranya melepas lelah cukup dengan bersantai di ruang depan, tentu saja ditemani Mak dan secangkir kopi hangat. Bila pohon pisang di samping rumah tengah panen, maka akan ada pisang goreng di antara mereka. Hanya seperti itu. Mereka akan mengobrol seputar kenangan, sesekali tentang masa depan yang masih harus disongsong. Nyala pelita menciptakan suasana remang, serta bayangan mereka yang bergoyang di dinding papan. Pasangan yang tak lagi muda itu berhasil mempertahankan keharmonisan rumah tangga setelah badai apa pun mereka lalui bersama. Diam-diam aku iri. Dan kelak, semoga aku mendapatkan lelaki pendamping hidup sehebat Ambo.

Ambo bukan mesin yang bisa bekerja terus menerus. Pada akhirnya tubuh kokoh itu ambruk setelah penyakit menyeramkan menguasai tubuhnya. Gejalanya mulai terlihat sejak Ambo sering mengeluh, katanya ia cepat lelah dan kadang susah untuk bernapas.

Sebagai orang awam, Mak hanya memberinya obat yang dibeli di warung. Dengan kondisi seperti itu, ia tetap beraktivitas seperti biasanya. Hanya saja selalu pulang lebih awal karena merasa sangat lelah. Mak selalu memintanya untuk berhenti bekerja dan beristirahat total di rumah. Biar Mak dan aku yang mengurusi padi di sawah. Namun, Ambo lumayan keras kepala untuk urusan pekerjaan.

Ia baru mau mendengarkan Mak ketika perutnya mulai membesar secara tidak wajar. Beberapa bagian tubuh lain seperti kaki turut mengalami pembengkakan. Semacam diisi cairan. Dari beberapa tetangga dan kerabat yang datang menjenguk, banyak pendapat perihal penyakit yang tengah diderita Ambo. Apa pun itu, kami hanya ingin agar beliau sembuh secepatnya.

Segala macam usaha kami lakukan demi kesembuhan Ambo. Entah berapa banyak ramuan yang dibuat oleh Mak dan dengan terpaksa diminum oleh Ambo. Seringkali Mak terpaksa mengayuh sepeda menempuh jarak puluhan kilometer demi menemui orang pintar di sana sesuai arahan dari siapa saja. Biasanya ia pulang membawa sebotol air putih yang katanya sudah diberi mantra penyembuh. Air itu akan habis diminum oleh ambo dalam waktu tiga hari. Dan tanpa pernah mengeluh, Mak akan ke sana lagi. Membawa pulang sebotol air yang sama.

Jika setelah tandas beberapa botol namun tidak ada perubahan yang mengarah pada kesembuhan Ambo, Mak akan beralih ke orang pintar lainnya. Begitu seterusnya. Jika Mak sedang menemui orang pintar atau ke sawah untuk mengontrol pertumbuhan tanaman padi, aku yang menjaga Ambo. Mengipas, mengelus punggungnya, apa pun yang bisa membuatnya tenang. Melupakan sejenak penyakit yang tengah menggerogoti tubuhnya.

Penyakit Ambo mungkin akan sembuh jika dibawa ke rumah sakit, ditangani oleh dokter spesialis. Tapi, kami sama sekali tidak punya uang. Lagipula kata Mak, penduduk di kampung ini belum terbiasa berobat sama dokter. Jika sedang sakit, mereka cukup mengandalkan ramuan serta air sakti dari orang-orang pintar yang ketenarannya sudah ke mana-mana. Meski tidak yakin, aku terpaksa mendukung argumen itu.

Dari hari ke hari, kondisi Ambo semakin menurun. Nafsu makannya bermasalah. Jika berhadapan dengan makanan, ia pengin muntah. Alhasil, tubuhnya semakin kurus. Tapi, perut serta kakinya malah tampak semakin membengkak. Mentalnya juga mulai terganggu. Ia jadi sensitif dan manja. Ia paling tidak bisa ditinggal sendirian. Minimal ada orang yang mengelus punggungnya atau mengipasnya. Dua hal itu yang mampu membuatnya merasa agak nyaman. Aku dan Mak bergantian melakukannya.

Melalui beberapa kenalan yang juga perantau dan kebetulan sempat pulang beberapa bulan yang lalu, Mak menitipkan surat untuk kedua anaknya yang tengah menempuh kehidupan masing-masing di pulau yang berbeda. Ia mengabarkan kondisi Ambo yang memprihatinkan.

Seminggu yang lalu, surat balasan dari Daeng Firman sudah tiba. Pada selembar kertas lusuh itu ia hanya mengirimkan doa untuk kesembuhan Ambo. Berselang tiga hari, surat balasan dari Daeng Ida juga tiba. Isinya jauh lebih baik. Selain doa, ia juga mengirimkan lembaran-lembaran rupiah untuk keperluan berobat Ambo. Entah apa yang membuat hati kedua saudaraku itu belum tergerak untuk pulang menjenguk ambo. Ada-ada saja alasan yang bisa mereka rangkai dalam deretan kata-kata indah yang selalu mampu membuat Mak maklum.

Perjuangan kami, doa-doa panjang yang seolah tak pernah putus, pada akhirnya menemui titik ujung. Tuhan memanggil Ambo untuk kembali, setelah tiga bulan tak berdaya melawan penyakit yang belakangan kami tahu bernama liver itu. Di hari itu, banyak hal dalam diri yang kurasakan runtuh bersamaan. Terutama soal cita-cita untuk menjadi guru. Tanpa Ambo, segalanya pasti lebih sulit. Aku kehilangan pegangan, panutan. Serta sepasang bintang yang kerap menyinari malam-malamku. Mata Ambo.

***


[Bersambung]


Catatan kaki:
[1]Ayah.
[2]Delman.
[3]Panggilan untuk kakak.


Klik link di bawah untuk baca lanjutannya.

KBM

KARYAKARSA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar