Jumat, 22 Desember 2023

Calon Besanku Cinta Pertamaku (Bab 7)

 


Mia menepi seorang diri di sebuah telaga yang terletak tidak begitu jauh dari halaman belakang rumahnya. Tatapannya hampa, terselip di antara bunga-bunga teratai yang menutupi hampir seluruh permukaan telaga. Hening, sepi. Bagaimana mungkin ini rindu? Pemilik wajah oval itu berusaha menepisnya, tetapi harus ia namakan apa rasa itu? Rasa yang tiba-tiba menyergap, melumpuhkan.

Kenapa sore enggan menghadirkannya lagi?

Apakah dawai-dawai biolanya lelah memberiku kedamaian?

"Mia ...." Tiba-tiba seseorang memecah keheningan, ketika lamunan Mia kian akut. Dan suara itu ...?

Sontak Mia menoleh ke belakang.

"Dirga ...?" Seketika senyum berseri di wajah Mia saat kedua matanya menangkap sosok rupawan yang berdiri sekitar sedepa di belakangnya. Dirga lalu mendekat dan mengambil posisi bersisian.

"Kok, tahu, aku di sini?" Mia tak mampu menyembunyikan rona wajahnya yang meletup-letup.

"Tahu dari ayah kamu."

Sekadar menyadari lelaki ini barusan bertamu ke rumahnya, detak jantung Mia mendadak meningkat.

"Kupikir aku enggak akan melihatmu lagi."

"Kok, gitu?" Dirga mengernyit.

"Dua hari kamu membiarkanku menunggu."

"Menunggu?"

Seketika Mia menunduk, kemudian melempar pandangan salah tingkah. Ia tak menyadari kalimat yang baru saja diucapkannya. Keluar begitu saja.

"Kemarin aku sibuk, ada pekerjaan baru."

"Wah, bagus, dong," girang Mia, alih-alih berusaha mengendalikan suasana hatinya sendiri.

"Alhamdulillah. Tuhan Maha Pemurah."

"Boleh tahu kamu dapat kerjaan baru apa?" Detik selanjutnya Mia tersadar, bahwa pertanyaan barusan mungkin saja belum pas dilontarkan oleh orang yang baru kenal. Dia tidak ingin dianggap terlalu cepat ingin tahu. Namun, syukurlah, sepertinya Dirga tidak mempermasalahkan.

"Alhamdulillah, aku diterima ngajar biola di sebuah sekolah, sama ada les privat juga."

"Alhamdulillah." Mia sungguh ikut bahagia. Kegalauan akibat dua hari tidak bisa melihat lelaki di sampingnya ini sudah menguap entah ke mana. "Mereka yang jadi muridmu beruntung banget, ya, bisa diajarin violis sekeren kamu."

"Apa, sih?" Dirga terkekeh. "Biasa aja, kok."

"Selamat, ya. Permainan biolamu akan semakin bermanfaat untuk orang banyak, dan tentu saja mendatangkan penghasilan tambahan."

Dirga mengangguk samar sembari tersenyum. "Aku benar-benar bersyukur Ayah mewariskan bakat ini. Setelah beliau tiada, manfaatnya bisa langsung kurasakan. Aku membiayai hidup dengan manggung dari kafe ke kafe, dan perlahan-lahan bisa melalui masa-masa sulit itu."

Saking fokus menyimak, Mia terdiam. Tatapannya tertancap di wajah Dirga. Meski lelaki itu sesekali melempar pandang ke tak tentu arah.

"Tapi makin ke sini kebutuhan hidup makin kompleks, enggak bisa cuma mengandalkan itu." Kali ini Dirga membalas tatapan Mia. "Aku terpaksa menulis untuk mendapatkan penghasilan tambahan."

"Menulis?" Tatapan Mia masih lekat. Tentu saja ia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan mengenal lelaki ini lebih jauh.

"Iya." Dirga mengangguk samar. "Atas arahan seorang teman, tulisanku disambut baik oleh redaksi sebuah majalah remaja. Aku nulis apa saja yang mereka minta, selama masih bisa kusanggupi." Saat menoleh lagi ke arah Mia, Dirga baru sadar, gadis di sampingnya ini menatapnya terlalu lekat. Dia jadi salah tingkah. "Jangan natap seolah aku ini dewa, ah!" kekehnya.

Mia terkesiap. "Enggak, aku kagum aja. Keren, deh."

"Enggak usah berlebihan. Siapa pun bisa jika terjepit kondisi seperti yang kualami."

"Tapi enggak semua orang dianugerahi bakat seperti yang kamu punya."

"Ya, aku paham. Inilah yang membuatku semakin yakin, Tuhan Maha Adil."

Beberapa saat hening. Hanya gemuruh angin yang mengalun pelan di pendengaran mereka.

Dirga melebarkan pandangan dan menjelajahi setiap lekuk tempat itu. "Ngomong-ngomong, tempat ini asyik juga, ya," komentarnya.

"Ini tempat favoritku sedari kecil. Jarang yang tahu tempat ini. Di saat lagi bosan atau sekadar butuh suasana nyaman, aku pasti ke sini," terang Mia dengan nada yang menyiratkan rasa sukanya pada tempat itu. "Aku menamakannya Telaga Teratai," lanjutnya disertai sebaris senyum.

"Telaga Teratai?"

"Kamu bisa lihat sendiri, kan, hampir seluruh permukaannya tertutupi bunga teratai."

Dirga bahkan baru menyadari pesona yang dihadirkan teratai-teratai itu. Semakin dipandang semakin menenangkan.

"Oh ya, sebenarnya aku ke sini mau ngajak kamu jalan-jalan nanti malam."

Kalimat itu sontak membuat Mia menoleh. Tatapannya beralih cepat dari kelopak teratai ke sepasang manik Dirga. Keningnya mengerut samar. "Jalan-jalan?" Ia memastikan tidak salah dengar.

"Iya. Anggap aja perayaan kecil-kecilan atas pekerjaan baruku."

"Kok, dirayain sama aku?" selidik Mia.

"Kamu enggak bisa, ya?" Antusiasme di wajah Dirga menyusut.

"Eh, bukannya gitu. Bisa, kok!" Mia cepat-cepat mengambil alih. "Tapi, jalan ke mana?"

"Em ...." Dirga tampak menimbang. "Kalau bersuka ria di pasar malam, mau, enggak?"

"Wah, ide bagus, tuh. Aku belum pernah ke pasar malam." Suara Mia tertahan, merasa lucu dengan kepolosannya sendiri.

"Kalau gitu, jam tujuh aku jemput, ya."

Mia mengangguk sembari tersenyum-penuh semangat.

***

Sudah lebih dari tiga puluh menit Dirga mondar-mandir di depan cermin. Beberapa kali ia menukar jaket dan kaus yang dikenakannya, atau sekadar mengubah tatanan rambut. Bisa dibilang ini pertama kali ia akan jalan sama cewek, wajar jika baginya sangat berkesan. Ia berusaha untuk tampil sebeda mungkin dari hari-hari biasanya.

Tiba-tiba dari balik cermin muncul bayangan Wawan tengah memasuki kamarnya.

"Waduh, ada apa ini? Kok, tumben rapi amat?" Wawan memerhatikan Dirga dari ujung kaki hingga ke ujung rambut. Tak biasanya ia menemukan pemandangan itu. "Biasanya jam segini kalau enggak ngerjain tugas, pasti nulis. Ini, kok, malah dandan, sih?" Wawan mengamati sahabatnya itu lebih dekat.

Dirga diam saja.

"Mau pergi, ya?" Wawan yang merasa diacuhkan mulai menampakkan tingkah usilnya.

"Sorry, Man, kali ini aku enggak punya waktu untuk mendengarkan ocehanmu," tepis Dirga tanpa menoleh.

"Sombong banget, sih!"

Dirga tidak menggubris omongan Wawan, ia masih sibuk memerhatikan dirinya di dalam cermin.

"Eh, emangnya mau ke mana?" Wawan diburu rasa penasaran.

"Ada, deh." Dirga masih tak menoleh.

"Pasti mau jalan sama cewek. Sama cewek penunggu kuburan itu, kan?"

"Hus ...! Kalau ngomong bahasanya diperbaiki, dong!" Kali ini Dirga sontak menoleh. "Penunggu kubur apaan? Kamu pikir hantu?"

"Sorry, deh. Tapi benar, kan?"

Sesaat Dirga tidak merespons, tetapi kemudian ia mengiyakan dengan gerakan kecil di alis kirinya.

"Nah, gitu dong, Man." Wawan menepuk keras tangannya dan memperlihatkan antusiasme berlebihan. "Sesekali merasakan asyiknya jalan sama cewek enggak ada salahnya, kan? Sama sahabat sendiri pakai canggung segala."

"Eh, tapi aku enggak akan macam-macam, ya! Kamu jangan berpikiran yang aneh-aneh!"

"Siapa juga yang mikir aneh-aneh." Wawan menahan tawa.

"Biasanya, kan, isi pikiranmu selalu kotor."

"Waduh!" Wawan tepuk jidat.

Beberapa saat tak ada lagi yang bersuara. Dirga masih terus-terusan memperhatikan dirinya di dalam cermin-sangat detail.

"Wan, gimana, sudah oke, belum?" Dirga berbalik ke arah Wawan.

Wawan berlagak sok menilai penampilan sahabatnya itu. Telunjuk kanannya diketuk-ketukkan di dagu dengan mimik dibuat-buat.

"Wah, ini, sih, oke banget. Ternyata kalau diamati dengan saksama, kamu keren juga, ya?" puji Wawan setengah jail.

"Ke mana aja baru tahu? Tapi sayang, aku enggak punya waktu buat narsis." Nada suara Dirga meledek.

"Nyindir, nih?"

"Kayaknya," timpal Dirga sekenanya.

Wawan senyum-senyum saja melihat tingkah sahabatnya yang benar-benar beda malam ini.

"Ya udah, sekarang kamu keluar karena pintunya mau kukunci."

"Giliran sudah dipuji malah ngusir. Gimana, sih?" ketus Wawan yang tubuhnya sudah didorong paksa keluar oleh si pemilik kamar.

"Aku pergi dulu, ya." Dirga pamit sambil mengunci pintu kamarnya.

"Good luck, Man."

Dirga melepas senyum sebelum beranjak pergi.

***

Di atas sepeda motor yang melaju dengan kecepatan konstan, Mia sibuk menata perasaannya. Ia berpegangan pada pinggiran jaket abu-abu yang dikenakan Dirga. Debar-debar rasa tak menentu mengantarkan mereka tiba di sebuah pasar malam yang kebetulan sedang ramai. Bukan hanya untuk hunting benda-benda unik, tetapi tempat ini juga menyediakan berbagai macam arena hiburan dan permainan.

Seolah tak sabaran, Mia mengajak Dirga ke tengah-tengah, berbaur dengan pengunjung lainnya. Mereka pun mencoba beberapa permainan, berpindah dari satu wahana ke wahana lainnya. Rasa canggung yang tadinya kental perlahan-lahan lebur oleh hangat suasana malam. Tanpa mereka sadari, ada cinta yang mulai mengakar dan tumbuh di hati keduanya.

Di tengah riak canda tawa, tiba-tiba langkah Mia terhenti. Pandangannya tertuju pada sebuah pondok ramal yang menarik minatnya.

"Dir, ke sana, yuk." Tangan kanan Mia menggaet lengan Dirga, sementara tangan lainnya mengacung ke arah tempat yang dimaksud.

Pandangan Dirga mengikuti arah telunjuk Mia. "Kamu percaya ramalan?" selidiknya kemudian.

"Enggak juga. Buat seru-seruan aja."

"Ya udah. Yuk." Dirga mengawali langkah.

Sejurus kemudian mereka sudah berada di dalam pondok ramal itu. Bola mata keduanya langsung berputar, menyelinap ke setiap sudut. Banyak benda-benda berbau mistis. Meskipun di luar sana binar-binar kemeriahan masih terdengar jelas, tetapi tempat ini seolah menyuguhkan suasana yang berbeda.

Di hadapan mereka terdapat sebuah meja kecil yang di atasnya terletak beberapa benda aneh dan asing di mata keduanya. Di seberang meja itu, duduk perempuan tua dengan style dan make up khas seorang peramal.

"Perkenalkan, saya Mama Nendeng. Setiap pasangan yang datang ke sini pasti menginginkan ramalan tentang cinta. Kalian juga, kan?"

Dirga dan Mia diam saja. Mereka agak risi dengan tatapan peramal itu.

"Saya ahli meramal dengan berbagai metode. Tapi kali ini, cukup menggunakan mata batin. Saya bisa membaca diri kalian dengan jelas."

Tanpa aba-aba, peramal itu menatap mata Dirga dan Mia secara bergantian. Karena merasa kurang nyaman, sesekali keduanya mengalihkan pandangan.

"Kalian sepasang kekasih?"

Dirga dan Mia sontak bersitatap.

"Oh, bukan," timpal Dirga kemudian dengan nada ganjil yang membuatnya merasa tidak nyaman. Entah dengan cara apa jawaban Dirga barusan membentur sudut-sudut hati Mia, membuatnya sesak.

"Tapi saya bisa melihat ada cinta di antara kalian. Cinta yang sangat besar, tapi masih terdiam." Getaran parau suara peramal tua itu seolah ikut menegaskan.

"Maksudnya?" timpal Mia.

"Cinta yang teramat besar selalu memeluk dua hal, kebahagiaan dan kesedihan. Meski tidak pernah benar-benar bisa memilih, kalian bisa mengupayakan."

"Aku semakin enggak ngerti," pelan Mia, kemudian menunduk.

"Jangan terlalu dipaksakan. Kenali, rasa itu yang akan menuntunmu ke sana."

Sejenak hening. Sesekali Dirga dan Mia saling lirik.

"Aku rasa cukup, Ma. Kami permisi dulu." Mia hendak beranjak.

"Tunggu! Saya belum selesai."

Mia tersentak. Ia merapikan posisi duduknya kembali.

"Jika kalian terpisahkan, maka sulit untuk bertemu kembali, atau tidak sama sekali!" ucap peramal tua itu dengan mata memelotot, alih-alih menegaskan kalimatnya. "Camkan itu!"

Untuk kesekian kalinya Dirga dan Mia bersitatap, mereka semakin tidak nyaman berlama-lama di tempat itu.

"Kemarikan tanganmu." Peramal tua itu kembali bicara kepada Mia.

Disertai serumpun tanya yang tertahan, perlahan-lahan Mia mengulurkan tangan.

"Terimalah benda ini." Sesuatu dalam genggaman peramal itu berpindah ke tangan Mia.

"Apa ini?" Mia mengernyit.

"Sepasang liontin burung merpati."

Mia memandangi benda itu lekat-lekat.

"Burung merpati adalah simbol kesetiaan. Berikanlah salah satu liontin itu pada seseorang yang sangat berarti buat kamu. Selama orang itu menjaga liontinnya dengan baik, selama itu pula ia tidak akan melupakanmu. Begitu pun sebaliknya."

Ribuan tanya mengitari benak Mia. Hal ini membuatnya bingung. Ia terus memandangi sepasang liontin itu.

"Pergilah!"

"Terima kasih, Ma."

Perempuan itu melepas sebuah senyum yang sejak tadi tampak liar di wajahnya. Meski sangat hambar, Mia pun membalasnya sebelum benar-benar beranjak dari tempat itu.

Berbagai perasaan aneh mengiringi langkah Mia menjauh dari pondok ramal itu. Sesekali ia masih menoleh, sesuatu masih menyita rasa penasarannya.

"Kenapa, sih, Mia? Kok, sepertinya kamu jadi ada beban gitu?"

"Dir, kamu merasa aneh enggak sama peramal itu?"

"Semua peramal emang kayak gitu."

"Aku enggak percaya dengan ucapannya."

"Kamu pikir aku percaya?"

"Tapi bagaimana dengan liontin ini?"

"Jangan bilang kamu percaya."

Sesaat Mia terdiam. "Entahlah ...."

Purnama meninggi. Tiba saat bagi keduanya untuk mengakhiri malam indah ini. Namun sebelum meninggalkan sejuta kenangan di tempat itu, mereka mengisi perut yang lelah mengocok tawa di salah satu warung bakso yang mulai lengang. Dirga terlihat lahap menikmati baksonya, sementara Mia sejak tadi hanya memainkan sendok dan garpu di dalam mangkuk.

"Baksonya dimakan, dong. Nanti keburu dingin, loh."

Mia hanya bergumam tidak jelas.

Dirga jeda, bakso yang nyaris masuk ke mulutnya diurungkan. "Katanya enggak percaya ramalan, katanya buat seru-seruan aja, tapi, kok, jadi kepikiran gitu?"

"Aku takut kehilangan kamu, Dir!" Meski nadanya masih sama, ada penekanan di ujung kalimat Mia.

Dirga melongo. Sebutir bakso di sendoknya tergelincir kembali ke dalam mangkuk. "Kamu takut kehilangan aku?" sudut bibirnya terangkat samar-samar. Kalimat singkat itu menghadirkan getaran yang sulit dibahasakan.

Mia baru menyadari ucapannya. Ia agak kesulitan menemukan kalimat yang tepat untuk mengelak. "Oh, bukan! Maksudnya ... aku takut kalau sampai enggak bisa dengar lagi permainan biolamu."

"Bedanya apa?" Dirga jelas-jelas tersenyum kali ini.

"Ya beda!" Mia membuang pandangannya ke arah lain, berusaha menyamarkan gugup yang tiba-tiba menyergap.

Dirga hanya senyum-senyum sambil geleng-geleng. Ia kembali sibuk menikmati baksonya.

Mia menghela napas panjang. Kemeriahan dalam hatinya telanjur beku. Pikirannya tertancap tajam pada setiap kata-kata peramal tua tadi.

***

[Bersambung]

Klik link di bawah untuk baca lanjutannya;

KBM

KARYAKARSA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar