Rabu, 27 Desember 2023

Calon Besanku Cinta Pertamaku (Bab 8)

 


Suasana TPU Islam Nurani siang ini sunyi senyap dari peziarah. Tak terlihat seorang pun di sana, kecuali Mia yang tengah sibuk mengumpulkan daun-daun yang berguguran untuk kemudian disingkirkan dari tempat itu. Ia terus mengayunkan batang sapunya, hingga tidak menyadari seseorang sedang menghampirinya.

"Lagi sibuk, nih?"

Mia tak asing lagi dengan suara itu. Ia berbalik dan langsung mengembangkan senyum.

"Kok, sendirian aja? Ayahmu ke mana?" Dirga celingukan.

"Aku suruh istirahat. Ayah lagi kurang enak badan. Sebenarnya beliau punya penyakit asma, jadi enggak boleh terlalu capek."

"Enggak dibawa ke rumah sakit?"

"Ayah enggak pernah mau. Biasanya sembuh sendiri setelah istirahat."

Dirga manggut-manggut.

"Oh ya, kamu sendiri, kok, tumben datang jam segini?"

"Sebenarnya aku ingin ngajak kamu ke suatu tempat."

Kening Mia mengerut samar.

"Suatu tempat yang akan memperlihatkan sisi lain dari kehidupanku."

"Sisi lain?" Kalimat Dirga serta-merta menyiramkan tanya di benak Mia. "Tapi kamu lihat sendiri, kan, kerjaanku masih banyak."

"Gampang. Aku bantuin."

"Eh, enggak usah. Mending sekarang kamu ke rumah, tunggu aku di sana. Ini sebentar lagi juga selesai, kok."

"Tapi kalau dikerjakan bareng bakalan lebih cepat selesai, kan? Jadinya kita bisa pergi lebih cepat juga."

Tanpa aba-aba Dirga meraih sapu lidi di bawah pohon yang biasanya digunakan oleh Pak Warto.

Mia senyum-senyum saja melihat semangat Dirga. Tak jarang Dirga menghadirkan gelak tawa di tengah-tengah aktivitas mereka. Hanya beberapa menit, semua sampah di kawasan TPU itu sudah tersingkirkan. Dirga menjadikan rutinitas itu benar-benar berbeda kali ini.

Setelah semuanya beres, keduanya mengambil posisi bersandar di bawah pohon, memanfaatkan kerindangannya untuk menyelamatkan diri dari sengatan matahari.

"Ternyata lumayan capek juga, ya. Kamu hebat, loh, bisa melakukan ini setiap hari." Napas Dirga memburu.

"Alah bisa karena biasa." Mia melirik ke arah Dirga dan tersenyum. "Tapi bukan berarti aku enggak pernah capek, ya. Capek juga, sih, tapi mau gimana lagi? Namanya juga kerja."

Dirga yang sedari tadi menatap Mia lekat-lekat tak berkomentar lagi.

"Oh ya, Dir, ke rumah dulu, ya. Aku buatin minum sekalian ganti baju dan pamit sama Ayah."

"Oke!" Dirga mengangguk.

***

Di tengah deru mesin kendaraan yang lalu lalang, Mia mencoba menebak tempat yang dimaksudkan Dirga. Sesekali ia berniat untuk menanyakannya langsung, tetapi kemudian memilih diam karena sebentar lagi ia juga akan tahu dengan sendirinya.

Rasa penasaran Mia kian membuncah saat mereka tiba di pelataran sebuah rumah sakit jiwa. Dirga langsung mengarahkan setirnya ke tempat parkir.

"Dir, ngapain, sih, kita ke sini?"

"Nanti juga tahu, kok."

Mereka jalan beriringan di koridor. Mia merasa kurang nyaman dengan beberapa pasien yang mereka jumpai di sepanjang koridor. Tingkahnya aneh-aneh.

Mia menggenggam erat tangan Dirga.

"Enggak usah takut, tenang aja," lirih Dirga seolah mampu membaca pikiran Mia.

Di pertigaan koridor, Dirga menghentikan langkah. Mia menurut saja, pandangannya masih sibuk berkeliling.

"Mia, coba kamu lihat perempuan yang duduk di sana." Dirga menunjuk ke arah taman, tepatnya pada seorang perempuan yang duduk di sebuah bangku bercat biru tua.

Mia menoleh ke tempat yang dimaksudkan Dirga.

"Ada apa dengan perempuan itu?"

"Kasihan banget, ya? Ia sendirian. Pasti sangat kesepian."

Mia merasa aneh dengan suara Dirga yang mendadak sendu.

"Dir, kamu kenal dengan perempuan itu?"

"Perempuan itu bernama Ranti. Setiap kali aku ke sini, ia selalu menyendiri di sana. Katanya sedang menunggu Ayah."

"Ayah ...? Maksud kamu?" Mia tercekat.

"Ya. Beliau ibuku." Dirga menghela napas berat. "Sudah cukup lama beliau dirawat di rumah sakit ini." Dirga tertunduk pilu.

Seketika jantung Mia berdetak tak seirama. Kemudian tanpa kata ia mengikuti langkah Dirga menghampiri perempuan itu. Hal ini sama sekali tidak pernah terlintas di benak Mia. Ia butuh waktu untuk mencerna.

Bu Ranti duduk dengan posisi tundukan miring ke kanan. Jemari tangannya terjalin, seolah berusaha merangkai apa-apa yang lalu-lalang di benaknya. Sendu matanya menyiratkan kehampaan. Rambut kusut kering dibiarkan terurai, membingkai wajah tirus yang kuyu. Tubuh cekingnya menampakkan bentangan lara.

Mia menatap lekat-lekat, sementara Dirga sudah bersimpuh di hadapan ibunya.

"Bu, Dirga datang lagi. Bagaimana keadaan Ibu?"

Perlahan-lahan Bu Ranti mengangkat kepala dan menatap Dirga.

"Malaikat ...?" lirihnya.

Dirga terenyuh mendengar panggilan itu. Matanya berkaca-kaca menerima tatapan seorang Ibu yang tak lagi mengenalinya.

"Ini Dirga, Bu. Dirga yakin, Ibu tidak mungkin lupa. Di hati kecil Ibu ada Dirga, kan?" Suara serak lelaki berambut ikal itu tertahan.

Bu Ranti terus menatap Dirga. Tak berkedip. Kian sendu.

"Kali ini Dirga mengajak teman. Namanya Mia, Bu."

Perempuan itu melirik ke arah Mia. Mia merunduk pelan sembari tersenyum. Kemudian Bu Ranti mengembalikan tatapannya ke wajah Dirga.

"Malaikat mau, kan, memainkan lagu itu lagi?" pinta Bu Ranti pelan, tetapi terdengar jelas oleh Dirga.

Lelaki berkemeja garis-garis itu mengangguk, setetes bening tergelincir dari sudut matanya.

Dirga menghela napas panjang, lalu mengeluarkan biola dari gigbag yang sedari tadi disandangnya. Ia pun mulai menarik gesekan nada pertama, membiarkan dawai-dawai biola pemberian almarhum ayahnya itu bersenandung. Matanya terpejam. Maka, terdengarlah alunan nada yang sangat indah. Getarannya bersetubuh dengan angin, menyambangi telinga siapa-siapa dengan sopan.

Mia nyaris tak kuasa menyaksikan pemandangan itu, suasana haru berbalut nada-nada syahdu. Hatinya terenyuh melihat sisi lain kehidupan Dirga.

Bukan hanya Bu Ranti, tetapi Mia pun turut larut dalam permainan biola Dirga. Bahkan terbawa begitu jauh, seolah ikut merasakan kepedihan yang terlahir dari sana. Selama sekian menit dawai-dawai biola Dirga berpadu dalam melodi, menguarkan kisah lama, harapan, serta doa-doa yang tak pernah berhenti berdenyut. Dirga mengakhirinya dengan suguhan nada penutup yang sempurna, kemudian ia meraih kedua tangan ibunya setelah memasukkan kembali biolanya ke tempat semula. Dicium, lalu digenggamnya penuh kehangatan.

Tiba-tiba dua bening membelah raut wajah Bu Ranti. Dirga menyekanya dengan ujung jemari.

"Bu, kemarin Dirga dapat pekerjaan baru, jadi ada penghasilan tambahan buat biaya hidup kita. Ibu pasti senang, kan, dengar kabar ini?"

Bu Ranti hanya menatap Dirga dalam-dalam, tak sepatah kata pun terucap dari bibirnya.

Seperti itulah setiap kali Dirga menjenguk ibunya. Meski tak pernah ada respons, ia selalu menceritakan hari-harinya. Ia yakin, hati kecil sang ibu masih mampu mendengarnya.

Dirga pamit setelah cukup lama menepis kesendirian ibunya. Sesekali dipaksakan senyumnya mengembang agar tetap terlihat kuat di depan perempuan berusia 42 tahun itu.

"Bu, Dirga pamit pulang dulu. Ibu baik-baik, ya, di sini. Ibu jangan khawatir, Dirga akan sering-sering jenguk Ibu."

Sebelum beranjak, Dirga mendaratkan kecupan hangat di kening sang ibu.

Bu Ranti kembali menundukkan kepala saat Dirga tak lagi di hadapannya. Tak ada tatapan untuk melepas kepergian putra tunggalnya itu. Ia tampak tak berdaya.

Sepanjang koridor tidak ada percakapan. Dirga yang sedang berusaha meredakan gemuruh di dadanya berjalan lurus dengan kepala ditundukkan. Hanya sesekali ia menatap jalanan di depannya. Sementara Mia yang prihatin, tidak tahu harus berbuat apa. Diam itu mengantarkan mereka tiba di area parkir.

"Makan dulu, yuk. Lapar, nih."

Mia hanya mengangguk. Paling tidak ia yakin, lelaki yang ia kagumi itu sudah mulai membaik.

Selang beberapa menit mereka sudah berada di salah satu warung makan sederhana yang terdekat dari rumah sakit, lengkap dengan pesanan yang sudah tersaji di atas meja. Mereka memilih ayam bakar sebagai menu makan siang hari ini.

"Dir, kamu enggak apa-apa, kan?" Mia memulai obrolan.

Dirga membalasnya dengan senyum hambar. Dia sudah berusaha, tapi kesedihan pasti masih tercetak jelas di wajahnya.

"Aku emang selalu seperti ini setiap kali mengunjungi Ibu." Dirga jeda sejenak, menerawang entah apa di permukaan meja. "Rasanya masih aneh setiap kali Ibu memanggilku malaikat. Beliau pikir, aku ini malaikat yang akan menjemput Ayah untuknya. Aku sering bertanya-tanya, sedalam apa sebenarnya kesedihan Ibu hingga harus seperti itu?" Dirga menyuap, tapi beberapa kunyahan tatapannya kembali terdiam kosong.

Mia menikmati makanannya pelan-pelan, sambil memosisikan diri sepenuhnya sebagai pendengar. Apa yang dialami Dirga tidak akan benar-benar dimengerti oleh siapa pun. Hanya dia yang paling tahu rasanya.

"Jujur, kadang aku pesimis dengan kesembuhan Ibu. Tapi harapan baru selalu lahir setiap kali Ibu memintaku memainkan lagu yang dulu sering kumainkan bersama almarhum Ayah. Paling enggak masih ada sepenggal kenangan yang tersisa di memorinya. Lambat laun Ibu akan mengenaliku lagi sebagai anaknya, bukan malaikat." Dirga memantapkan kalimatnya, meski getaran di beberapa bagian tak mampu ia hindari.

"Itu pasti, Dir! Aku turut berdoa untuk kesembuhan ibu kamu." Mia menguatkan.

"Aku paling enggak bisa melihat kesendiriannya, aku ingin selalu ada di dekatnya. Tapi aku harus kuliah, juga bekerja untuk membiayai hidup kami."

Mia terenyuh, terbayang betapa rumit posisi Dirga saat ini. Kalau itu terjadi padanya, belum tentu ia bisa sekuat Dirga.

"Kalau boleh tahu, apa yang terjadi sebelum ibu kamu seperti itu?" Mia berani melontarkan pertanyaan itu setelah merasa Dirga siap berbagi lebih banyak hal kepadanya.

"Ibu depresi berat, enggak sanggup menerima kematian Ayah yang mendadak."

"Mendadak?" potong Mia.

"Ayah meninggal dalam kecelakaan pesawat saat penerbangan pulang dari Tokyo selepas mengikuti festival musik di sana. Enggak ada yang selamat dari kecelakaan itu. Mendengar kabar tersebut, Ibu histeris. Ibu enggak percaya, karena sebelum pesawatnya take off, Ayah masih sempat menelepon. Aku bahkan mengingatkannya dengan oleh-oleh yang beliau janjikan." Dirga tercekat, terdengar suara serak yang berusaha ia redam.

"Sejak mendengar kabar itu, air mata Ibu tak pernah kering. Kamis, tanggal tiga Januari, jenazah Ayah tiba di rumah. Aku enggak akan lupa hari itu. Ibu langsung pingsan. Dan saat sadarkan diri, Ibu mulai bertingkah aneh."

Mia berusaha mengucapkan sesuatu, tapi tak satu kata pun yang dirasa cocok. Kegetiran yang dituturkan Dirga dengan cepat meresap ke relung hatinya.

"Berawal dari kematian Ayah, bisnis keluarga kami kian hari kian surut, hingga akhirnya bangkrut. Aku yakin, ada oknum-oknum tertentu di balik semua itu. Tapi saat itu aku tak lebih dari seorang siswa SMA, benar-benar belum tahu harus ngapain. Hal ini tentulah berdampak buruk pada kondisi kejiwaan Ibu yang memang sedang labil. Saat itu aku merasa ... akulah orang yang paling tersakiti di dunia ini. Kehancuran yang kualami benar-benar hancur." Dirga mengembuskan napas berat, semacam ada gumpalan yang membentur tulang-tulang rusuknya.

"Aku mencoba untuk bangkit, kehidupan harus tetap berjalan seburuk apa pun itu. Aku enggak ingin terpuruk. Prioritas utamaku adalah kesembuhan Ibu. Aku terpaksa menjual rumah yang kami tempati selama ini untuk biaya perawatannya. Sementara aku, mulai ngekos dan kerja serabutan. Awalnya kerja apa aja, yang penting halal dan cukup untuk makan sehari-hari. Bahkan, jual koran sampai jadi kuli bangunan pernah kulalui."

Kekaguman kian menebal di hati Mia. Ditatapnya wajah Dirga lekat-lekat, nyaris tak berkedip. Lelaki itu kembali meloloskan sesuap nasi ke mulutnya. Dikunyahnya pelan-pelan dengan tatapan yang seolah digelayuti ribuan masalah.

"Eh, ngomong-ngomong, kok, jadi ngelantur gini, sih? Kita ke sini, kan, buat makan. Kamu juga pasti risi, kan, dari tadi dengar cerita kelam hidupku?"

"Aku malah senang, kok. Karena dengan cerita semuanya, aku bisa kenal kamu lebih dalam."

"Kamu senang dengan kedekatan kita ini?"

Mia mengangguk tegas.

Dirga tersenyum. Ia tampak lebih cair.

***

[Bersambung]

Klik link di bawah untuk baca lanjutannya;

KBM

KARYAKARSA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar