Sabtu, 30 Desember 2023

Calon Besanku Cinta Pertamaku (Bab 10)

 


Bandung, tahun 2016

Waktu untuk menunaikan salat Isya baru saja berpaling dari pondok pesantren Nurul Taqwa dan sekitarnya. Raul kembali menyibukkan diri di antara buku-buku pelajaran. Ia mematangkan persiapan untuk menghadapi ujian besok. Tiba-tiba konsentrasinya buyar oleh kemunculan Fahran yang melompat masuk melewati jendela.

"Astagfirullah! Antum bikin kaget saja." Raul mengelus-elus dadanya setelah terperanjat.

"Maaf. Lagian, kamu serius banget, sih."

"Antum habis menyeberang bukit lagi, ya?"

Fahran tidak menjawab. Ia beranjak duduk di tepi tempat tidur. Ekspresi yang sudah sering ia tunjukkan itu semacam pembenaran atas pertanyaan pemuda berkoko biru malam yang telah jadi sahabatnya sejak hari pertama tiba di pondok pesantren itu.

"Kok, tumben cuma sebentar?"

"Aida enggak ada di asrama." Fahran tertunduk lesu. "Laila bilang malam ini ia nginap di kediaman orangtuanya. Ini pasti kehendak Ustaz Ansara."

"Ustaz Ansara telah mengambil tindakan yang tepat."

"Maksudnya?" Fahran mengernyit.

"Ayah mana pun enggak akan rela kalau sampai terjadi sesuatu yang buruk pada putrinya."

"Jadi sahabat ngerti dikit, dong! Kok, malah belain Ustaz?" Fahran mendengus. "Dan asal tahu aja, ya, aku sama Aida enggak pernah macam-macam."

"Aku percaya. Tapi, bukan berarti bisa dibenarkan."

"Duh, ribet, ya, ngomong sama kamu." Fahran menjatuhkan kepala tepat di tumpukan bantal. Secuil senyum tersungging di bibir Raul.

Sejenak hening.

"Malam ini Mama nginap di kediaman keluarga Kiai Maulana. Kira-kira ngomong apa, ya, sama Ustaz Ansara?"

"Menurut antum?"

"Pasti sedang memperjuangkan nasib cintaku sama Aida."

"Antum yakin cara ini akan berhasil?"

"Menurut kamu?"

Raul hanya mengedikkan bahu dengan ekspresi yang tidak jelas, membuat Fahran melempar sungutan kecil.

Selama beberapa saat tak ada suara di antara mereka. Raul berniat melanjutkan aktivitasnya, tetapi keduluan Fahran yang tiba-tiba menghadirkan topik baru.

"Oh ya, ada surat titipan lagi, nih, dari Laila." Fahran bangkit dan mengeluarkan sebuah lipatan kertas dari balik saku kokonya.

Raul tak lantas menerima surat tak beramplop itu, hanya menatapnya dengan sebentuk keraguan.

"Ayo ambil! Atau mau aku yang bacain?" goda Fahran dengan ekspresi jail.

Refleks, Raul langsung menyambar surat itu, membuat Fahran terkekeh. Pemuda itu lalu membuka lipatannya dengan hati-hati dan mulai membacanya.

Untuk Kang Raul

di tempat

Assalamualaikum Wr.Wb.

Sebelumnya saya minta maaf jika kedatangan surat ini mengusik ketenangan antum. Singkat saja, saya hanya ingin menanyakan keadaan antum, apakah baik-baik saja? Atau akhir-akhir ini sangat sibuk hingga tidak sempat membalas surat-surat yang saya kirimkan?

Saya bukannya menuntut, dan sebenarnya sangat tidak berhak mengatakan hal ini. Tapi, bisakah sekali saja antum menemui saya seperti Kang Fahran menemui Aida?

Itu saja. Maaf jika ada yang berlebih atau kurang dalam kalimat saya.

Wassalam ....

Laila

"Apa katanya?" tuntut Fahran begitu yakin Raul telah selesai membacanya.

Raul tidak menjawab, malah menyodorkan surat bertulis tangan itu.

"Eh?" Fahran tercengang.

Sungguh langka. Ini pertama kalinya Raul membiarkan sahabat sekamarnya itu turut membaca surat titipan dari Laila. Fahran semakin penasaran. Ia lekas meraih surat itu dan membacanya dengan saksama.

Hening. Fahran membaca dengan cepat.

"Kalau begitu, ayo!" Fahran bangkit berdiri setelah selesai.

"Ayo ke mana?"

"Memangnya kamu pikir ke mana lagi? Ya menemui Laila-lah. Ia ingin kamu menemuinya, kan?"

Seketika kening Raul mengerut, jelas sekali kekhawatiran menguasainya saat ini.

"Kenapa malah diam?"

"Aku takut!"

"Raul ... Raul ..., kamu takut apa, sih? Jadi orang jangan terlalu kaku. Sesekali bergerak enggak sesuai aturan, enggak terlalu masalah, kan?" Fahran menatap serius. "Laila itu sangat mencintaimu. Kamu enggak kasihan sama dia? Apa perlu, ia datang ke sini dan nyembah-nyembah di kakimu biar kamu bisa percaya?"

"Aku bukannya enggak percaya, tapi ...." Raul terlihat cemas. "Bagaimana kalau kita ketahuan?"

"Kamu terlalu banyak mikir. Kita enggak akan ketahuan. Percaya sama aku! Atau kamu mau, dicap sebagai lelaki pengecut oleh Laila?"

"Enggak!" timpal Raul seketika. Raut wajahnya lucu, membuat Fahran geli. "Tapi ... ini, kan, sudah malam," imbuhnya.

"Justru itu, kita bisa menyelinap dengan mudah."

"Soal ujian besok? Aku belum selesai belajar."

"Jangan banyak omong!" Fahran meraih tangan Raul dan menariknya berdiri. "Kamu itu sudah pintar, pintar banget malah. Tanpa belajar pun, kamu pasti bisa menghadapi ujian besok. Aku malah enggak belajar sama sekali."

"Tapi ...." Raul masih berusaha memberikan alasan, sementara Fahran sudah membawanya keluar melompat lewat jendela.

Raul sadar betul apa yang sedang dilakukannya, ia pun paham akan risikonya. Namun, langkahnya semakin gesit mengikuti langkah Fahran yang semakin cepat. Mereka terus berjalan menembus malam.

Di pengalaman pertama ini tentu saja Raul tidak setenang Fahran, jantungnya berdegup kencang. Berbagai macam kekhawatiran membentuk ketidaknyamanan dalam dirinya. Malam ini akan menjadi malam bersejarah dalam hidup pemuda bersahaja itu. Mungkin sampai kembali nanti, dirinya masih belum percaya telah melanggar salah satu peraturan tersakral di pondok pesantren itu.

Namun pada akhirnya, belajar untuk menikmati perjalanan itu merupakan pilihan terbaik bagi Raul. Mereka telah melewati puncak bukit, kini menapaki medan menurun. Kekhawatiran yang sedari tadi menggelayuti benak pemilik alis tebal itu perlahan-lahan tergantikan dengan perasaan-perasaan aneh, ketika sadar dirinya semakin dekat dengan Laila.

Raul menikmati untaian rasa aneh yang kini menyesaki dadanya. Indah dan mengesankan. Ini pertama kalinya ia akan bertemu secara langsung dengan gadis yang dicintai dan mencintainya. Ia harap durasinya lebih panjang dibanding ketika mereka sekadar berpandangan saat hari perayaan Maulid atau hari keagamaan lainnya. Sibuk memikirkan topik yang akan diobrolkan nanti membuatnya lupa dengan ujian besok. Benar-benar lupa!

***

Ustaz Ansara terdiam di sebuah dipan di tepi telaga. Keheningan serta keremangan tempat itu tepat membingkai suasana hatinya. Sedari tadi ia membuang pandangan ke permukaan telaga yang memantulkan bayangan bulan. Semakin dalam dan terus menerus.

Di pangkuannya, sebuah biola dielus-elus penuh perasaan, seperti sedang menidurkan bayi. Biola itu telah mengukir cerita panjang dalam hidupnya, bahkan separuh jiwanya tersemat di antara dawai-dawainya. Angannya melambung sungguh jauh, mengepak di antara kisah-kisah silam dan berusaha menemukan titik kesalahan yang pernah ada.

"Boleh saya duduk di sini?"

Ustaz Ansara terkesiap, ketika tiba-tiba suara itu membuyarkan lamunannya. Ia menoleh ke sumber suara dan mendapati senyum Mia dalam bias cahaya bulan.

Bukannya langsung menjawab, Ustaz Ansara malah terdiam dalam tatapannya beberapa jenak.

"Oh, te-tentu boleh!" Ustaz Ansara terbata. Ia bergeser sedikit, memberikan tempat yang cukup untuk Mia.

Mia melebarkan senyum sebelum duduk dengan kaki terjulur.

Hening. Keduanya seolah menanti aba-aba untuk memulai sebuah obrolan. Kecanggungan yang ada masih sangat kental, padahal obrolan panjang telah terjalin di antara mereka di ruang tamu tadi.

***

[Bersambung]

Klik link di bawah untuk baca lanjutannya;

KBM

KARYAKARSA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar