Sabtu, 16 Desember 2023

Calon Besanku Cinta Pertamaku (Bab 1)

 


Bandung, tahun 2016

Setelah salat Asar berjamaah merupakan waktu yang paling digemari para santri dan santriwati di pondok pesantren Nurul Taqwa yang terletak di salah satu sudut Kota Bandung. Sekitar satu jam ke depan mereka terbebas dari rutinitas belajar mengajar yang padat. Inilah waktu istirahat terpanjang yang mereka punya.

Pondok pesantren yang cukup tersohor itu berada di daerah perbukitan, mengakibatkan beberapa bangunan utama diapit oleh bukit ataupun lembah. Daratan landai serta deretan pohon cemara menjadikan lingkungan di sekitarnya sangat menawan.

Suasana sedang ramai di kawasan asrama putra. Sekelompok santri asyik bermain futsal di kaki bukit yang cukup lapang. Arena permainan itu dikelilingi para pendukung kedua tim yang sedang berlaga. Sorak-sorai untuk mendukung jagoan masing-masing meriuh, tak ubahnya turnamen sungguhan. Santri-santri lainnya terlihat berkeliaran di tempat lain dengan kesibukan masing-masing. Tak sedikit juga yang memilih berdiam diri di dalam bilik.

Sedang suasana di kawasan asrama putri jauh lebih tenang. Sebagian besar santriwati memenuhi koridor asrama dengan obrolan segar yang sesekali dibumbui lelucon dan melahirkan gelak tawa. Beberapa orang lainnya bersantai dengan bacaan ringan di beranda, di tepi telaga.

Jauh dari semua itu, tepatnya di atas bukit yang menjadi pemisah antara asrama putra dengan asrama putri, Fahran setengah berlari dalam kesendiriannya. Tapak kakinya timbul tenggelam dengan cepat di permukaan rumput yang melebat. Ia masih mengenakan koko, lengkap dengan sarung dan kopiah sehabis salat Asar tadi. Dengan menyeberangi bukit itu ia akan tiba di kawasan asrama putri. Sungguh, ini pelanggaran terbesar sepanjang sejarah sejak berdirinya pondok pesantren itu. Ia tercatat sebagai santri pertama yang berani melakukannya.

Fahran mengangkat tepi sarung yang agak menyulitkan langkahnya. Ia sama sekali tak risau dengan hukuman yang menanti jika sampai ketahuan. Tak begitu lama pemuda jangkung itu sudah memasuki kawasan asrama putri. Kini ia harus lebih berhati-hati, berjalan mengendap-endap menghindari pandangan para santriwati yang hilir mudik.

Tanpa kesulitan yang berarti ia berhasil merapat ke dinding asrama yang berderet memanjang. Dengan napas yang tersengal ia berjalan menyamping, menyusuri deretan jendela yang sebagian terbuka, sehingga untuk melewatinya dengan aman ia harus berjalan sambil jongkok. Pemuda berusia 18 tahun itu berhenti di jendela ke-17. Ia memandang sekeliling, memastikan situasi aman sebelum mengetuk daun jendela sewarna langit di depannya.

"Aida ...," desisnya pelan.

Hanya sekali ketukan, seorang gadis berkerudung biru muda membuka jendela, tampaknya memang sedang menunggu. Gadis itu langsung melepas senyum yang mampu mengalahkan kesejukan di perbukitan itu. Seketika rasa lelah Fahran terbayarkan. Detak jantung yang sedari tadi tidak beraturan semakin hebat saja. Bukan lagi karena lelah, tetapi karena keindahan yang terpatri di depannya. Fahran tidak mampu menyembunyikan keterpesonaannya, meski ini bukan pertama kali ia berhadapan dengan wajah itu.

"Di dalam ada siapa?" bisiknya kemudian.

Aida menggeleng. "Semua lagi keluar. Aman, kok!"

"Gimana? Kamu siap, kan?"

Tiba-tiba sebentuk keraguan tergambar di wajah cantik gadis itu. Sejenak ia tidak menjawab.

"Entahlah," ucapnya kemudian dengan nada penyesalan.

"Kenapa begitu? Bukankah semalam kita sudah membicarakan hal ini?"

"Aida takut, Kang. Abi pasti enggak akan menyetujui hubungan kita. Beliau enggak mungkin mengizinkan Aida berpacaran."

"Aida, kita enggak akan pernah tahu sebelum mencoba. Atau mungkin kamu lebih memilih kita terus-terusan berada dalam kebohongan seperti ini?" Kening Fahran berkerut halus. "Semakin sering kita menunda, semakin banyak dosa yang kita lakukan. Kakang juga belum tentu setiap saat bisa menyeberangi bukit untuk menemui kamu seperti ini. Cepat atau lambat tindakan ini pasti akan ketahuan. Apakah Adinda rela kalau sampai Kakang dikeluarkan dari pesantren ini?"

Begitu sulit bagi Aida untuk membalas ucapan pemuda yang dicintainya itu. Kecemasan kian jelas terpancar dari sorot matanya.

"Aida, kamu enggak perlu khawatir. Apa yang akan kita lakukan ini adalah niat baik. Insya Allah, Sang Maha Kasih akan meridai."

"Tapi, bagaimana kalau kita gagal meyakinkan Abi? Apakah kita masih bisa bertemu?"

"Kalau memang kita gagal, enggak akan terjadi apa-apa dengan cinta kita. Kakang enggak akan pernah ninggalin kamu. Kita akan terus bersama, bagaimanapun caranya."

Aida berusaha menemukan keyakinan di kedalaman sorot mata Fahran.

"Aida, percaya sama Kakang!" Fahran berucap di batas pengharapan.

***

"Mas, kopinya diminum dulu." Sakina berucap sambil mengangsurkan secangkir kopi yang masih mengepulkan asap tipis dari nampan ke atas meja.

Ustaz Ansara yang tengah menikmati udara sore perbukitan dari tepi jendela beranjak dan duduk di samping sang istri.

Kediaman keluarga Kiai Maulana-sang pengasuh-berada di kawasan asrama guru pembimbing. Rumah yang tidak begitu besar itu masih bermotif sama dengan bangunan-bangunan lain di sekitarnya, menonjolkan ciri khas islami yang kental.

Ustaz Ansara meraih cangkir kopinya, diseruputnya sekali, kemudian diletakkan kembali.

"Abi sesibuk apa, sih? Kok, tidak pulang istirahat? Padahal akhir-akhir ini, kan, beliau sering sakit-sakitan."

"Sebenarnya tidak terlalu sibuk, tapi kamu tahu Abi, kan? Beliau tidak pernah betah berdiam diri di rumah. Mas sudah peringatkan agar jangan terlalu capek."

Tiba-tiba suara ketukan pintu menyela obrolan mereka. Keduanya langsung menoleh ke arah pintu yang memang tidak tertutup.

"Assalamualaikum!"

"Waalaikumsalam!" serempak keduanya.

Dua sosok yang berdiri tegang di ambang pintu tidak asing di mata sepasang suami istri itu. Mereka membenamkan wajah dalam tundukan, tampak ketakutan menggelayuti benak keduanya.

"Fahran ... Aida ...? Ada apa ini, bagaimana bisa kalian datang bersamaan seperti ini?" Sakina yang lebih dulu meluapkan rasa herannya.

Fahran dan Aida bersitatap, tanpa menjawab.

Sakina mengernyit, ia semakin tidak mengerti. "Ayo masuk," ajaknya dengan ekspresi bingung.

Fahran melangkah lebih dulu, sementara Aida nyaris tidak bisa menggerakkan kakinya. Fahran duduk berhadapan dengan Ustaz Ansara, terpisah oleh meja panjang bermotif ukiran khas. Aida berdampingan dengan sang umi di sofa panjang. Ia terus menunduk, menenggelamkan pandangan di pangkuannya. Seketika ruang tamu itu diselimuti kekakuan yang teramat sangat.

"Ada masalah apa? Apa tidak sebaiknya kamu menemui saya di kantor saja setelah jam istirahat ini?" Tatapan penuh selidik Ustaz Ansara menikam wajah Fahran.

"Maaf, tapi saya memang harus menemui Ustaz di sini." Tenggorokan Fahran seperti tersengat sesuatu setelah meloloskan kalimat itu. Meski sudah dipikirkan matang-matang, rasanya masih sulit dipercaya dia benar-benar senekat ini.

"Sepenting itukah?"

Fahran melirik ke arah Aida, ketika pemilik bulu mata lentik itu pun sedang meliriknya. Jantung mereka berdebar kencang, mengingat cinta yang tengah dipertaruhkan.

"Saya mohon maaf sebelumnya atas kelancangan ini, tapi saya harus mengatakannya sekarang." Fahran berusaha keras untuk menatap mata Ustaz Ansara.

Sesaat hening. Tatapan Ustaz Ansara dan Sakina tertancap tajam ke arah Fahran, membuat pemuda bermata bulat itu semakin sulit untuk mengatur pola napasnya. Mereka menunggu sesuatu yang akan dikatakan oleh Fahran, tetapi yang bersangkutan belum jua mengatakannya.

"Sa-saya ...." Fahran tergagap luar biasa, bintik-bintik keringat berkilauan di keningnya.

"Sebenarnya apa yang ingin kamu katakan? Kenapa begitu sulit?"

Perkataan Ustaz Ansara mengharuskan Fahran untuk segera bicara.

Fahran menelan ludah sembari melirik ke arah Aida. Namun kali ini gadis tambatan hatinya itu tidak sedang meliriknya juga, melainkan tertunduk semakin dalam. Sepertinya ia sedang mempersiapkan mental untuk menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi. Fahran berusaha mengumpulkan keberanian dalam helaan napas panjang.

"Sebenarnya ... saya mencintai putri Ustaz. Saya menyayangi Neng Aida," pungkas Fahran dengan debar jantung yang semakin tidak keruan. Akhirnya, sesuatu yang sejak tadi meronta-ronta di tenggorokannya terlepas juga.

***

[Bersambung]

Klik link di bawah untuk baca lanjutannya;

KBM

KARYAKARSA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar